Rabu, 29 Mei 2013

Dialog, Bukan Konfrontasi


Dialog, Bukan Konfrontasi
Ulil Abshar-Abdalla,
Lakpesdam NU, Kontributor Islam Liberal
KoranTempo

Banyak hal perlu disesalkan setelah tragedi 11 September lalu. Yang pertama adalah bangkitnya kembali "naluri" lama yang meresap dalam bawah sadar orang-orang Barat umumnya, yaitu adanya semacam prasangka buruk terhadap dunia Islam. Seperti ditulis Edward Said, seorang Kristen Palestina yang kini tinggal di New York, dalam bukunya yang sudah klasik, Covering Islam , bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat "mengumumkan" ( generalizing ) Islam dan orang Islam tanpa melihat nuansa-nuansa yang lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.
Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul ke permukaan. Prasangka itu ibarat sebuah virus yang kadang tidur, tapi tak pernah benar-benar mati. Setiap peristiwa tragis terjadi di dunia Islam, atau di dunia Barat yang ada sangkut pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan muncul kembali. Seorang anggota National Security Council, Peter Rodman, menulis di National Review pada 11 Mei 1992, " Yet now the West finds itself challenged from the outside by a militant, atavistic force driven by hatred of all Western political thought, harking back to age-old grievances against Christendom ."
Tulisan dengan nada hampir serupa tiba-tiba muncul di The New York Times pada 16 September 2001, " The airborne assault on the World Trade Center and the Pentagon is the culmination of a decade-long holy war against the United States that is escalating methodically in ambition, planning and execution ." Kata Christendom dan holy war digunakan dalam dua tulisan itu seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi "perang suci" antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama dunia Islam. Tentu harus diberi catatan di sini, kata crusade atau holy war kerap digunakan oleh para penulis Barat dalam pengertiannya yang umum tanpa ada muatan keagamaan di dalamnya.
Ketika kontroversi soal aborsi pecah di Amerika beberapa tahun silam, misalnya, tak jarang orang-orang yang proaborsi digambarkan sebagai pihak yang melakukan crusade atau perang salib melawan kehidupan sang janin. Judul buku Charles A. Scontras tentang penggunaan anak-anak sebagai buruh adalah contoh menarik, In the Name of Humanity: Maine's Crusade Against Child Labor . Tentu kata crusade di situ tak ada sangkut pautnya dengan perang salib abad pertengahan antara orang-orang Islam dan Kristen.
Hal yang sama juga terjadi pada pihak Islam. Begitu rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) menyerang Afganistan diumumkan oleh Presiden Bush, reaksi yang muncul dari kalangan (sebagian) umat Islam adalah seruan "jihad" melawan AS. Bahkan dalam kadar yang lebih buruk, ada kelompok-kelompok yang ingin "menyisir" orang-orang asing, terutama warga AS, di Indonesia. Beberapa kelompok Islam menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi suatu konfrontasi total antara dunia Islam dan dunia Barat alias Kristen. Teori (?) "benturan peradaban" Samuel Huntington tiba-tiba dikutip di mana-mana.
Padahal, kesan semacam itu jelas tak benar. Usaha untuk membangun jembatan dialog antarperadaban bukan berarti tidak ada. Bahkan "dialog antarperadaban"-lah yang lebih sering terjadi ketimbang "benturan peradaban". Tak terhitung jumlah para pelajar dari dunia muslim yang pergi setiap tahun ke negeri-negeri Barat (Eropa, Amerika, atau Australia) untuk menimba ilmu-ilmu "sekuler" di sana.
Harus diakui juga, banyak di antara orang-orang yang begitu keras melakukan "serangan" atas Barat, adalah didikan universitas-universitas di negeri-negeri itu. Pun tak terhitung jumlah para sarjana Barat yang setiap tahun melakukan perjalanan "intelektual" ke negeri-negeri Islam. Usaha untuk menampilkan Islam dalam pelbagai wajah dan seginya juga dilakukan oleh para sarjana, wartawan, dan kalangan lain.
Ingatlah upaya Presiden Iran Ali Khamenei untuk mengampanyekan dialog antarperadaban sebagai suatu usaha membuktikan bahwa "benturan" bukanlah jalan satu-satunya yang mungkin. Lepas dari sejumlah prasangka buruk yang masih mengendap dalam bawah sadar media Barat terhadap dunia Islam, seperti dengan bagus diulas Edward W. Said, tapi tak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah "niat baik" sarjana Barat untuk memahami dunia Islam dengan cukup baik. History of God, karya seorang mantan biarawati, Karen Armstrong, yang menjadi bacaan laris di negeri-negeri Barat, adalah salah satu contoh.
Buku-buku populer karya antropolog Amerika Elisabeth Warnock Fernea adalah contoh lain. Fernea telah menulis buku cukup laris mengenai masyarakat Irak, Guest of the Sheik . Dia juga menulis dua buku lain yang cukup enak dinikmati oleh pembaca awam, Street in Marrakech dan In Search of Islamic Feminism. Bersama suaminya yang juga antropolog, Robert A. Fernea, dia menulis sebuah kesaksian tentang hidup "dalam" masyarakat Islam di Timur Tengah, The Arab World: Personal Encounters .
Nama sangat dikenal tapi juga sering disalahpahami di dunia Islam adalah John L. Esposito yang menulis empat jilid The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, sebuah buku sumber cukup penting bagi sarjana muslim atau Barat umumnya. Bersama sejumlah intelektual lain di Georgetown University, Esposito mendirikan sebuah pusat pengembangan "saling pengertian" antara Islam dan Kristen, yakni Center for Muslim-Christian Understanding. Di tempat ini ada John O. Voll, Yvonne Yazbeck Haddad, dan seorang cendekiawan negeri jiran Malaysia, Osman Bakar.
Georgetown University adalah perguruan tinggi yang didirikan oleh gereja Katolik di Washington, DC. Pendirian suatu pusat saling pengertian antara Islam dan Kristen di perguruan tinggi milik gereja Katolik adalah contoh yang menarik. Ini memperlihatkan bahwa dialog antara kedua agama itu adalah hal yang mungkin, bahkan "sudah semestinya". Yang menarik, sejak musim semi 1999, Georgetown University telah mengangkat seorang chaplain penuh untuk mahasiswa muslim di universitas tersebut. Chaplain adalah kedudukan yang menyerupai seorang imam. Posisi ini dijabat oleh seorang ulama asal Yordania, Imam Yahya Hendi.
Tentu bukan berarti tak ada masalah dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS sendiri terhadap dunia Islam. Paradoks yang sering mengganggu akal sehat orang banyak adalah kampanye besar-besaran AS untuk menyebarkan ide tentang demokrasi dan hak asasi, tapi memberikan dukungan yang sepertinya tanpa cadangan terhadap Kerajaan Arab Saudi yang banyak melakukan pelanggaran hak-hak sipil di dalam negeri.
Kebijakan AS menyangkut Palestina yang dianggap berat sebelah dan diskriminatif terhadap warga Palestina jelas menjadi asal muasal kejengkelan dan kebencian terhadap pemerintah AS di kawasan Arab. Namun, mencampuradukkan antara pemerintah AS dan warga negaranya adalah tindakan yang ceroboh. Tidak semua warga AS setuju pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahnya, sehingga amat tidak masuk akal tindakan "penyisiran" terhadap warga AS di Indonesia. Penyisiran semacam itu mengandaikan ada kesebangunan antara pendapat pemerintah dan warganya, padahal dalam kenyataannya sama sekali tidak.
Maka, keadaan seolah-olah jalan dialog antarperadaban adalah suatu hal yang sulit ditempuh juga patut disesalkan. Seolah-olah timbul kesan, antara dunia "Barat" dan "Islam" terdapat jurang menganga yang susah untuk dijembatani. Mereka yang percaya bahwa dunia terbentuk oleh dua blok besar yang saling bermusuhan, blok "kebaikan" dan blok "kejahatan", sangat diuntungkan oleh keadaan semacam ini. Pandangan yang hitam-putih menjadi mudah dipeluk, sebab inilah yang paling sederhana untuk dicerap oleh pikiran yang tidak kritis.
Yang kerap dilupakan banyak orang adalah bahwa apa yang disebut sebagai "Barat" dan "Islam" tak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Barat? Barat dari sebelah mana? Dalam pengertian populer, Barat acap diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Jelas, ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua itu. Barat juga sering disamakan dengan Amerika (Serikat).
Seperti kita tahu, Amerika adalah negeri kontinental yang terdiri dari berbagai negara bagian, dengan masyarakat yang beragam pandangan-pandangannya. Kecenderungan yang menonjol dalam masyarakat Amerika adalah adanya semangat "antinegara" yang begitu kuat, karena warisan sejarah di negeri Eropa di mana negara adalah identik dengan kekuasaan imperial yang menindas dan disokong oleh gereja (Katolik).
Etos "antinegara" inilah yang menjelaskan kuatnya semangat federalisme di negeri itu, dan kejengkelan pada segala hal yang "memusat". Itulah sebabnya, negeri Amerika yang begitu "imperial" sebetulnya tidak disertai dengan kesadaran warga negaranya yang "imperial". Orang-orang Amerika, dalam kesan saya, sangat cuek pada hal-hal yang menyangkut kebijakan luar negeri pemerintahnya.
Jadi, jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Barat sebagai sesuatu yang jelas dan tunggal; jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Amerika sebagai identik dengan pemerintahnya; jelas tidak tepat mengandaikan masyarakat Amerika sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Islam. Apa yang sering diteriakkan sebagai "Islam" dengan tanda pentung besar sebetulnya tidaklah sejelas yang dikira banyak orang. Sebab, pada akhirnya, pengertian mengenai Islam adalah pengertian kemasyarakatan. Maksudnya, Islam toh wujudnya adalah orang-orang yang hidup dalam sejarah yang konkret. Pada tataran itu, Islam sebetulnya tidak berwajah satu dan seragam.
Dilihat dari segi mana pun, mustahil mengatakan konfrontasi antara "Barat" dan "Islam". Islam yang mana? Kita tahu, pandangan-pandangan umat Islam mengenai tragedi WTC dan Pentagon sangatlah beragam. Jika kita mengandaikan bahwa dengan tragedi itu dunia Islam telah "mengobarkan jihad" versus Amerika, seperti kerap kali diucapkan oleh para juru khotbah, Islam mana yang dimaksudkan di sana?
Kesalahpahaman lain adalah mengucapkan dalam satu tarikan napas "Rakyat Afganistan-Pemerintah Taliban-Negara Afganistan-Islam". Karena mayoritas masyarakat Afgan adalah muslim, dan diperintah oleh pemerintahan Taliban yang "seolah-olah" secara lahiriah menegakkan syariat Islam, maka serangan AS terhadap Afganistan adalah serangan terhadap Islam. Rencana AS menyerang Afganistan jelas tindakan yang harus ditentang. Tapi menyamakan serangan itu seolah-olah sebagai serangan atas Islam, jelas tindakan yang ceroboh.
Simpati yang mendalam patut diberikan kepada rakyat Afganistan yang telah menderita karena konflik-konflik internal menjelang invasi Uni Soviet ke negeri itu pada 1979. Karena invasi itu sendiri, karena perang saudara yang terus berkobar setelah invasi itu berakhir, juga karena kebijakan represif pemerintahan Taliban yang memberangus hak-hak sipil warganya. Kebijakan pemerintahan Taliban yang berakibat tragis buat kaum perempuan di negeri itu jelas sesuatu yang tak bisa dikatakan "Islami". Yang hendak mengetahui secara persis bagaimana "jahatnya" pemerintahan Taliban terhadap kaum perempuan, bisa menengok situs www.rawa.org .
Amat disesalkan jika para penguasa Taliban, yang karena berjubah dan berjenggot itu, serta merta dianggap dari "luar" Afganistan sebagai wakil dari dunia Islam, sementara perlakuan pemerintahan itu terhadap warganya sangat berlawanan dengan nilai-nilai profetis Islam sendiri.
Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh kini. Jalan konfrontasi hanya akan menguntungkan orang-orang yang berpandangan dualistis mengenai kehidupan ini: "Islam" dan "kafir", baik dan jahat, dan seterusnya. Jalan ini hanya akan menguntungkan orang-orang berpandangan konservatif dan ekstrem dalam agama mana pun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elite agama mana pun yang hendak memanipulasi ignoransi umatnya untuk kepentingan yang sempit dan cupet.


Definisi dan Urgensi Mantiq


Definisi dan Urgensi Mantiq

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir
Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.
Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'I
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar.
Misalnya : gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali).
Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar. Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
Kesamaan tempat (makan)
Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah)
Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li).
Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
Muqaddimah shugra harus mujabah.
Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua.
Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.
Muqaddimah sughra harus mujabah.
Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
2. Qiyas Istitsna'I
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".
Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika   "Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober - 1 November 1999 M)


RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...