Senin, 01 April 2013

Sejarah Sekolah


Sejarah Sekolah

Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu.
Kata itu pada umumnya diacukan pada suatu system, lembaga, suatu organisasi besar, dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya.
Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada si Jan atau Jack, yang menyebu kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam bahasa kita sekarang ?
Sebenarnya, tak ada yang keliru. Pangkal perkaranya bisa dilacak jauh ke belakang zaman yunani kuno, zaman dan tempat asal-muasal kata tersebut.
Alkisah orang yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan memperlajai hal-ikhawal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebuit kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae, atau schola. Keempatnya punya arti sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar’.
Lama kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat yunani kuno. Kebiasaan itu uga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakn perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang dan tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Ditempat itulah anak-anak bisa bermain, brlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali kerumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Maka, sejak saat itulah telah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pangasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua ummat manusia, menjadi scola in loco parentis ( lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (almamater).
Waktu terus berlalu.para orang tua makin terbaisa saja mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orange-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka diluar rumah tersebut, dalam jangka waktu yang semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula. Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untk mengasuh anak-anak di suaru tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu.
Adalah seorang john amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebgai fons et origo nya ilmu pendidikan ( tepatnya: teori pengajaran), yakni kitab didactica magna, melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sisematis dan metodis, terutama karena kenyaaan memang adanya keragaman latarbelakang dan proses perkemangan anak-anak asuhan yang memerlukan penanganan khusus.
Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan swiss, john heinrich Pestalozzi, pada abad-18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anka asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut “pelajaran”) yang harus mereka lalui secara bertahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahap menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya yang kemudian dikenal dengan nama “sisem klasikal Pestalozzi” ini, akhirnya menjadi cikal bakal pola pengajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sebegitu jauh, skhole nya masyarakat yunani kuno pun menjadi suatu tradisi mendunia dengan berbagai keragaman bentuk pengembangan dan penyesuaiannya di berbagai tempat. Memang, orang-orang yunani kuno bukanlah bangsa pertama dan satu-satunya yang memulai tradisi sekolah. Konon, bahkan sebelum Socrates dan muridnya, plao, menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa cina purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum jesus lahir. Dan, konon, itulah lembaga sekolah tertua didunia yang pernah diketahui sampai saa ini. Juga, kaum Brahmin India sudah membangun sekolah-sekolah veda mereka setengah abad sesudahnya. Sejarah pun mencatat bahwa hamper semua bangsa di dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola pengasuhan anak dan lembaga persekolahannya sendiri-sendiri, tentu saja dalam rangka bentuk, sifat dan sebutan yang berbeda-beda.
Pun, nenek moyang kita di nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India dan kemudian juga dari tradisi jazirah arab. Tetapi, untuk menjelaskan pengertian sekolah seperti yang kita kenal dan fahami dalam bentuknya yang umum saat ini, maka akar keberadaan dan alur kesejarahannya yang berpangkal pada zaman dan tradisi yunani kuno itulah yang mesti ditelusuri, yang kemudian kita warisi melalui tradisi sekolah-sekolah colonial, berkat kebijaksanaan “politik balas-budi: (etische politiek) kaum sosialis-humanis, belanda dan ingris, kala itu.
Ah, kalau begitu, mudah saja menerangkan bagaimana kiranya kata sekolah yang semula Cuma berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan yang kadang kala dan celakanya sekaligus, diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri. Kata itu mestinya memang difahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan peradaban umat manusia di mana lembaga itu mewujudkan diri.
Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami hakekat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah; bagaimana sebenarnya ia mewujud pada saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan kearah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.
Sebagai kesimpulan apakah kia sedang bergerak kea rah pendidikan yang diperluas dan menyusun rencana dengan gagasan bahwa perkembangan individu adalah suatu praxis, ataukah kita justru sedang menuju kea rah scolae dalam arti kata yang sebenarnya?

           

Selasa, 19 Maret 2013

HUKUM KESEIMBANGAN


A.      Hukum Keseimbangan
Hukum Guldberg dan Wange: Dalam keadaan kesetimbangan pada suhu tetap, maka hasil kali konsentrasi zat-zat hasil reaksi dibagi dengan hasil kali konsentrasi pereaksi yang sisa dimana masing-masing konsentrasi itu dipangkatkan dengan koefisien reaksinya adalah tetap.
Pernyataan tersebut juga dikenal sebagai hukum kesetimbangan. Untuk reaksi kesetimbangan: a A + b B  «   c C + d D maka:  Kc = (C)c x (D)d / (A)a x (B)b
Kc adalah konstanta kesetimbangan yang harganya tetap selama suhu tetap.
B.      Beberapa Hal Yang Harus Diperhatikan
Ø Jika zat-zat terdapat dalam kesetimbangan berbentuk padat dan gas yang dimasukkan dalam, persamaan kesetimbangan hanya zat-zat yang berbentuk gas saja sebab konsentrasi zat padat adalah tetap den nilainya telah terhitung dalam harga Kc itu.
Contoh: C(s) + CO2(g)  «   2CO(g)
Kc = (CO)2 / (CO2)
Ø Jika kesetimbangan antara zat padat dan larutan yang dimasukkan dalam perhitungan Kc hanya konsentrasi zat-zat yang larut saja.
Contoh:  Zn(s) + Cu2+(aq)  «   Zn2+(aq) + Cu(s)
 Kc = (Zn2+) / (CO2+)
Ø Untuk kesetimbangan antara zat-zat dalam larutan jika pelarutnya tergolong salah satu reaktan atau hasil reaksinya maka konsentrasi dari pelarut itu tidak dimasukkan dalam perhitungan Kc.
Contoh: CH3COO-(aq) + H2O(l)  «   CH3COOH(aq) + OH-(aq)
Kc = (CH3COOH) x (OH-) / (CH3COO-)
C.       Aplikasi Prinsip Kesetimbangan Kimia dalam Industri
Banyak proses industri zat kimia yang didasarkan pada reaksi kesetimbangan. Agar efesien, kondisi reaksi haruslah diusahakan sedemikian sehingga menggeser kesetimbangan ke arah produk dan meminimalkan reaksi balik. Misalnya:
1.        Pembuatan Amonia menurut proses Haber-Bosch
Nitrogen terdapat melimpah di udara, yaitu sekitar 78% volume. Walaupun demikian, senyawa nitrogen tidak terdapat banyak di alam. Satu-satunya sumber alam yang penting ialah NaNO3 yang disebut Sendawa Chili. Sementara itu, kebutuhan senyawa nitrogen semakin banyak, misalnya untuk industri pupuk, dan bahan peledak. Oleh karena itu, proses sintesis senyawa nitrogen, fiksasi nitrogen buatan, merupakan proses industri yang sangat penting. Metode yang utama adalah mereaksikan nitrogen dengan hidrogen membentuk amonia. Selanjutnya amonia dapat diubah menjadi senyawa nitrogen lain seperti asam nitrat dan garam nitrat.
Dasar teori pembuatan amonia dari nitrogen dan hidrogen ditemukan oleh Fritz Haber (1908), seorang ahli kimia dari Jerman. Sedangkan proses industri pembuatan amonia untuk produksi secara besar-besaran ditemukan oleh Carl Bosch, seorang insinyur kimia juga dari Jerman.
Berdasarkan prinsip kesetimbangan kondisi yang menguntungkan untuk ketuntasan reaksi ke kanan (pembentukan NH3) adalah suhu rendah dan tekanan tinggi. Akan tetapi, reaksi tersebut berlangsung sangat lambat pada suhu rendah, bahkan pada suhu 500oC sekalipun. Dipihak lain, karena reaksi ke kanan eksoterm, penambahan suhu akan mengurangi rendemen.
Dewasa ini, seiring dengan kemajuan teknologi, digunakan tekanan yang jauh lebih besar, bahkan mencapai 700 atm. Untuk mengurangi reaksi balik, maka amonia yang terbentuk segera dipisahkan. Mula-mula campuran gas nitrogen dan hidrogen dikompresi (dimampatkan) hingga mencapai tekanan yang diinginkan. Kemudian campuran gas dipanaskan dalam suatu ruangan yang bersama katalisator sehingga terbentuk amonia. Diagram alur dari proses Haber-bosch untuk sintesis ammonia
2.       Pembuatan Asam Sulfat Menurut Proses Kontak
Industri lainnya yang berdasarkan reaksi kesetimbangan yaitu pembuatan asam sulfat yang dikenal dengan proses kontak. Reaksi yang terjadi dapat diringkas sebagai berikut ;
Tahap penting dalam proses ini adalah reaksi (2). Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan dan eksoterm. Sama seperti pada sintesis amonia, reaksi ini hanya berlangsung baik pada suhu tinggi. Akan tetapi pada suhu tinggi justru kesetimbangan bergeser ke kiri.
Dalam industri kimia, jika campuran reaksi kesetimbangan mencapai kesetimbangan maka produk reaksi tidak bertambah lagi. Akan tetapi produk reaksinya diambil atau disisihkan, maka akan menghasilkan lagi produk reaksi.
Amonia yang terbentuk dipisahkan dari campuran kesetimbangan dengan cara pencarian dari gas nitrogen di daur ulang ke wadah reaksi untuk menghasilkan produk reaksi.
Banyak proses alamiah dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan perubahan konsentrasi pada sistem kesetimbangan. pH darah dan jaringan badan kira-kira 7,4 . Harga ini diatur dalam darah berada dalam kesetimbangan dengan ion hidrogen karbonat dan ion hidrogen.
Jika konsentrasi ion hidrogen bertambah, ion-ion ini bereaksi dengan ion hidrogen karbonat. Jika konsentrasi ion hidrogen terlampau rendah, asam karbonat bereaksi menghasilkan hidrogen. Oksigen diangkut dari paru-paru ke sel badan oleh haemoglobin dalam sel darah merah. Dalam paru-paru, konsentrasi oksigen cukup tinggi dan haemoglobin bereaksi dengan oksigen membentuk oksihemoglobin,
Dalam jaringan tubuh, konsentrasi oksigen rendah, sehingga reaksi sebaliknya yang terjadi, yaitu menghasilkan oksigen untuk digunakan dalam sel tubuh. Ketika oksigen diangkut dari paru-paru ke jaringan tubuh, karbon dioksida yang dihasilkan oleh respirasi sel angkut dari jaringan tubuh ke paru-paru. Dalam jaringan tubuh karbon dioksida yang konsentrasinya relatif tinggi melarut dalam darah bereaksi dengan air membentuk asam karbonat.
Dalam paru-paru di mana konsentrasi karbon dioksida relatif rendah, reaksi sebaliknya yang terjadi dan karbon dikeluarkan dari darah ke udara.
Jika air tanah mengalir melalui daerah berkapur, maka batu kapur melarut. Jika air berjumpa dengan udara yang mengandung sedikit karbondioksida maka karbon dioksida akan dilepaskan dari larutan ke udara, sehingga kalsium karbonat mengendap.



Contoh soal:
1.       Satu mol AB direaksikan dengan satu mol CD menurut persamaan reaksi:
AB(g) + CD(g)  «   AD(g) + BC(g)
Setelah kesetimbangan tercapai ternyata 3/4 mol senyawa CD berubah menjadi AD dan BC. Kalau volume ruangan 1 liter, tentukan tetapan kesetimbangan untuk reaksi ini !
Jawab:
Perhatikan reaksi kesetimbangan di atas jika ternyata CD berubah (bereaksi) sebanyak 3/4 mol maka AB yang bereaksi juga 3/4 mol (karena koefsiennya sama).
Dalam keadaan kesetimbangan:
(AD) = (BC) = 3/4 mol/l
(AB) sisa = (CD) sisa = 1 - 3/4 = 1/4 n mol/l
Kc = [(AD) x (BC)]/[(AB) x (CD)] = [(3/4) x (3/4)]/[(1/4) x (1/4)] = 9
2.       Jika tetapan kesetimbangan untuk reaksi:  A(g) + 2B(g)  «   4C(g)
sama dengan 0.25, maka berapakah besarnya tetapan kesetimbangan bagi reaksi:  2C(g)  «   1/2A(g) + B(g)
Jawab:
- Untuk reaksi pertama: K1 = (C)4/[(A) x (B)2] = 0.25
- Untuk reaksi kedua : K2 = [(A)1/2 x (B)]/(C)2
- Hubungan antara K1 dan K2 dapat dinyatakan sebagai:
   K1 = 1 / (K2)2 ®   K2 = 2

Wajah Pendidikan Kita, Pergulatan Antara Idealita dan Realita


Wajah Pendidikan Kita,
Pergulatan Antara Idealita dan Realita

            Kita semua tahu bahwasannya pendidikan diciptakan dalam rangka sebagai sebuah usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 45 maupun dalam UUD 45 itu sendiri. Namun yang kadang-kadang sering terlintas dipikiran kita apakah konsepsi seperti itu sudah benar-benar terjadi di dalam konteks realitas yang ada saat ini?
Secara kelembagaan atau secara formal pendidikan Indonesia dimulai semenjak kemunculan politik etis yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1902, yaitu sebagai politik balas budi kepada rakyat Indonesia. Dimana politik etis sendiri terdiri dari tiga program dasar yaitu berupa irigasi, emigrasi, dan edukasi. Dari poltik etis ini pulalah yang pada akhirnya menjadi awal bagi kemunculan pergerakan kaum muda yang terdidik yang berasal dari beberapa kaum muda yang telah merasakan pendidikan tinggi diluar negeri, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan lain sebagainya. Dimana hal tersebut menjadi sebuah awal kebangkitan kaum muda khususnya para kaum priyayi atau kaum bangsawan untuk mempelopori perjuangan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonsesia.
Bagi kaum penjajah Belanda tentunya hal ini merupakan suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka inginkan sebelumnya terhadap politik etis. Hal ini dikarenakan  pertama, adanya politik etis merupakan sebuah strategi bagi pemerintah Hindia Belanda untuk bagaimana bisa mencuri uang dari tangan para kaum bangsawan-bangsawan pribumi. Ini mengingat karena hanya dari kaum bangsawanlah yang mampu untuk membiayai seluruh biaya pendidikan tinggi tersebut. Kedua, politik etis merupakan sebuah strategi Belanda untuk melakukan hegemoni atas bangsa Indonesia. Karena mereka yang telah keluar dari sekolah tinggi tersebut nantinya akan dijadikan sebagai tenaga produktif Belanda guna mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Namun pada kenyataannya ternyata nasib baik masih berpihak kepada kita, dimana tidak semua dari mereka memilih untuk hidup senang dengan uang bergelimang ataupun dengan sekian jabatan yang coba ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan beberapa dari mereka justru menjadi sadar akan perannya sebagai kaum pelopor yang akan mendorong perubahan bangsa ini dengan “tetap setia digaris massa”.
Dalam konteks yang terjadi di Indonesia hari ini ternyata juga tidaklah terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dimassa penjajahan dahulu. Pasca pemerintahan Soekarno jatuh atau tepatnya pada massa Orba, kita bisa melihat bagaimana dunia pendidikan benar-benar menjadi sebuah alat bagi negara yang semata-mata digunakan untuk menyukseskan putaran roda ekonomi negara. Artinya bahwa segala institusi maupun instrumen yang ada didalam negara pada dasarnya tidak lain adalah kepanjangan tangan dari kekuatan modal, yang dilakukan melalui sekian kebijakan yang diambil oleh negara. Yang akhirnya hal tersebut pun juga berimbas kepada dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan pun tidak memiliki arah yang jelas karena dunia pendidikan semata-mata diarahkan guna menyukseskan program pembangunanisme (developmentalisme) yang menjadi icon Orba pada waktu itu.
Pada tingkatan universitas atau perguruan tinggi dunia pendidikan juga mengalami pergeseran orientasi (disorientasi) yang sangat signifikan, dimana yang pada awalnya universitas dibangun sebgai upaya untuk menjadikan manusia lebih manusia, yaitu menuju perkembangan untuk mejadi manusia yang lebih dewasa, bermoral, intelektual, populis, kritis, maju dan juga independen, kemudian diarahkan atau didorongkan untuk sekedar menjadi tenaga-tenaga kerja guna memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini secara otomatis menyebabkan perkawinan antara dua paradigma diatas, yaitu paradigma pembangunanisme dan paradigma pendidkan humanisme, dimana salah satunya kemudian cenderung dominan (peradigma pembangunanisme). Imbasnya wacana kebenaran, keadilan, maupun intelektualitas secara perlahan-lahan mulai digeser oleh pola pikir seragam yaitu lulus cepat, pragmatis, IP dengan nilai yang tinggi serta seabrek jargon-jargon pembangunanisme lainnya (pendidikan model pabrik). Artinya bahwa pembangunanisme yang coba dibawakan oleh kepemimpinan orba pada waktu itu, diciptakan guna mencetak tenaga kerja yang terampil, siap pakai, dan taat oleh atasan tanpa harus membutuhkan pemikiran yang kritis, konseptual serta intelektualitas yang tinggi. Standar keberhasilan pendidkan pun menjadi rancu karena diukur dengan kondisi fisik yang tampak, yaitu berapa banyak lulusan yang dihasilkan, seberapa lama waktu studi dan sejauh mana lulusan yang bisa bekerja. Dan manusia seolah-olah diposisikan seperti halnya sebuah komoditi barang yang harus diproduksi secra seragam tanpa harus dipikirkan atau direnungkan kembali berguna atau tidak. Jika berguna jelas dibanggakan dan jika tidak bukankah masih bisa diloakkan?
Dalam konteks yang terjadi saat ini, paradigma diatas jelas masih sangat benar-benar kita rasakan. Dimana universitas yang sampai hari ini pun masih tidak jauh berbeda halnya dengan massa Orba dahulu, hal ini dapat kita lihat bagaimana sistem sks, absensi 70 % dan metode-metode yang lain yang masih tetap dilakukan. Krisis keuangan yang terjadi hingga pemerintahan saat ini, juga telah menyebabkan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan kita saat ini. Lilitan hutang luar negeri yang terus bertambah dari tahun ketahun juga, berakibat sangat fatal terhadap dunia pendidikan. Standar anggaran dana pendidikan yang seharusnya mencapai angka 20 % untuk pendidikan, kemudian dipotong hingga hanya mencapai kurang dari 5 %. Dimana sebagian besar anggaran dana pendidikan kita digunakan untuk menutupi devisit anggaran dana guna membayar hutang luar negeri bangsa ini. Akibatnya dunia pendidikan pun mengalami kekurangan anggaran guna memenuhi kebetuhan rumah tangga mereka. Yang kemudian solusinya adalah dengan melakukan komersialisasi pendidikan, dimana tiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta diberikan kebebasan untuk mencari kekurangan anggaran dana yang mereka perlukan sendiri. Diberikannya kebebasan setiap institusi pendidikan untuk mencari kekurangan anggaran yang mereka butuhkan untuk memenuhi kekurangan anggaran mereka, mengakibatkan mereka seolah-olah diberikan kebebasan/berhak untuk menaikkan biaya pendidikan bagi setiap calon peserta didik yang akan masuk sebagai konsekuensinya.
Mahalnya biaya pendidikan ini kemudian menyebabkan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah untuk menikmati pendidikan tinggi pada khususnya, padahal itulah yang nantinya memungkinkan bagi mereka untuk terlibat dalam upaya perubahan struktur sosial masyarakat. Dampaknya pun secara otomatis juga membuat lapangan pekerjaan hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang bernotabene sebagai seorang sarjana. Sehingga kita bisa melihat peran sistem pendidikan tinggi juga tidak jauh berbeda halnya dengan sebagai sebuah upaya untuk melanggengkan struktur masyarakat yang menindas dan mendukung terwujudnya sebuah komunitas sosial yang asing dengan masyarakat bawah.
Dalam konteks kehidupan unversitas swasta seperti UMY khususnya, minimnya subsidi dana pendidikan akhirnya dijadikan alasan bagi mereka untuk setiap tahun secara terus-menerus dengan menambah jumlah kapasitas mahasiswa dengan uang sumbangan pendidikan mahasiswa baru yang terus bertambah, demi mengembangkan kejayaan mereka. Yang mana itu nantinya akan mengakibatkan :
Pertama, kecenderungan pertambahan / percepatan jumlah mahasiswa tidak seimbang dengan kualitas dan kuantitas dosen, laboraturium, perpustakaan dan lain sebagainnya.
Kedua, kentalnya orientasi bisnis membuat mahasiswa seolah-olah layak dibebani dengan ambisi universitas dalam mengembangkan simbol-simbol kejayaan kampus yang dapat dijadikan komoditi menarik bagi lulusan SLTA.
Ketiga, demi kebutuhan dana yang besar, maka target jumlah mahasiswapun dipatok kaku. Sehingga bukan ukuran standar kualitas yang dipakai melainkan ukuran target jumlah mahasiswa yang dikejar guna memperoleh pemasukan keuangan.
Keempat, jumlah mahasiswa yang berjubel mengakibatkan beratnya pengurus-pengurus fakultas untuk mengelola mahasiswanya. Akhirnya dipikirkanlah cara-cara agar bagaimana mempercepat kelulusan mahasiswa. Maka keluarlah idiom-idiom bahwa mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang lulus cepat, penghargaan hanuya layak bagi mahasiswa yang mempunyai nilai IP yang tinggi dan sebagainya. Yang selanjutnya lahirlah ide semester pendek sebagai terobosan baru yang malah justru akhirnya hal tersebut laris-manis dikalangan mahasiswa.
Kelima, waktu pengajar pada akhirnya habis untuk aktivitas mengajar dan mengurusi jumlah mahasiswa yang begitu banyak. Dosen juga kehilangan waktu untuk mengembangkan kerja-kerja penelitian dan pengabdian masyarakat yang sesungguhnya. Sempitnya waktu yang mereka miliki mengakibatkan munculnya kasus penjiplakkan oleh dosen demi memenuhi syarat-syarat eksistensi mereka, sehingga bukan karya yang berkualitas yang dikejar melainkan karya yang apa adanya asal ada karya.
Dari situ maka sebenarnya kita sebagai kaum intelektual hendaknya kritis menyikapi semua problem-problem yang ada saat ini, karena bahwasannya  pendidikan humaniora bukanlah sebuah pendidikan kejuruan yang bisa dilakukan dengan waktu yang singkat, melainkan sebuah proses panjang yang nantinya akan menciptakan sebuah manusia yang seutuhnya”.(Education In The Humanities, Drost, SJ, 1998 : 191)



                                                                                                            







[1] Mahasiswa Unismuh Makassar, Sekarang pengurus kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) kota Makassar

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...