Rabu, 29 Mei 2013

Hijrah



Hijrah
Tak ada suatu kata yang menyiratkan makna demikian kuat, seperti kata hijrah. Dari tiga rangkaian amal islami (QS. Al Anfal:74), tampak perannya yang sangat monumental. Bertolak dari iman, sebagai suatu pilihan hati nurani untuk bersama seluruh ciptaan-Nya tunduk mengabdi kepada Allah Rabbul ‘Alamin, seorang hamba memutuskan pilihan sulit; diam di tempat dengan kehinaan, iman yang tidak “produktif”, dan masa depan yang sangat gelap atau “berangkat”.
Pilihan iman saja sudah menuntut keberanian. Berani berbeda dari seluruh bangsa yang masih terbelenggu, menuntut pengorbanan, dari ‘bubar jalan’ karena kelemahan mereka yang kerap kagum dengan konsep islam, tetapi terbelenggu oleh rasa takut atau gengsi, sampai makar pemenjaraan, pengusiran, atau pembunuhan (QS. Al Anfal:30).
Hijrah bukanlah anggapan naif “sebuah keterpaksaan mengamankan diri”. Ia sebuah aksioma abjadiyat pembangunan islam, yaitu harus sampai ke puncak bangunannya (Dzirwatu Sanamihi), yaitu jihad. Mengapa ada pembangunan base camp, dan masjid sebagai pusatnya? Mengapa Quraisy masih tetap memburu mereka di Madinah? Mengapa ada persaudaraan (muakhah) anatara muhajirin dan Anshar? Mengapa ada pembangunan pasar Muslimin dan sekian lagi institusi?
Dua kalimah syahadat sendiri menyuratkan dan menyiratkan kekuatan pesan pembebasan, menggetarkan pendukung status quo jahiliyah (QS. Fathir:45/Al Jinn :18-20).
Di jalan iman, syaitan menunggu sang pemberani, “Kau ikuti beliau macam Muhammad dan tinggalkan agama datukmu?” Bila ia terus maju, syaitan mencegatnya di jalan hijrah. “Kau tega tinggalkan sanak kerabat , bangsa yang besar dan kekayaan negeri yang melimpah, untuk masa depan yang tak jelas?” Bila ia istiqomah, syaitan mengancamnya di jalan jihad. “Kau korbankan dirimu mati terbunuh, lalu hartamu dibagi-bagikan dan istrimu diambil orang lain?” (HR. Ahmad, Tirmidzi & Ibnu Hibban)
Hijrah melahirkan kelas bukan berbasis fatalisme konflik proletar versus Borjuis & kapitalis, tetapi pada iltizam, wala’ dan tadlhiyah:
 1. Muhajirin meninggalkan Mekah, merelakan begitu banyak yang “sepatutya” disedihkan; tanah air, keluarga, kekayaan, harapan, dan masa depan. Menuju madinah yang dalam parameter materialisme penuh masalah; masa depan yang tidak jelas, iri dan benci Yahudi, Munafiqin dan akhirnya Mashara Rum, perasaan menjadi beban bagi orang lain, dan seterusnya.
2. Kaum Anshar menerima saudara Muhajirin mereka dengan penuh kecintaan; modal usaha, hunian, diri mereka sendiri menjadi benteng dan perisai.
3. Pelanjut yang arif, serius dan tulus.
    Suatu hari Imam Ali Zainal Abidin radhiyallahu’anhu cucunda Ali Bin Abi Thalib, radhiyallahu’anhu. Kedatangan seorang rafidhah yang sangat profokatif. Dikafirkannya semua sahabat sepeninggal Rasulullah kecuali 6 orang diantara mereka (Usamah bin Zaid, Ammar bin Yasir, Miqdad bin Al Aswad, Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari,…). Ia berharap dapat mempengaruhi dan merekrut sang imam. (Padahal bertahun-tahun fuqaha madinah tidak tahu dari mana mereka dapat makanan. Sewafat Ali Zainal Abidin itu, shadaqah sirriyah (tersembunyi) tersebut terhenti dan orang yang memandikannya menemukan bekas di bahunya; kulit yang menebal lantaran terus menerus memikul sendiri bahan makanan). Dengan bijak sang imam bertanya kepada si rafidhah itu:
“Anda termasuk kelompok ini?”  seraya membacakan ayat 8 surat Al-Hasyir tentang kaum muhajirin.
“Mungkin anda kelompok berikutnya?” (kaum anshar, ayat 9)
“Juga tidak,” jawab sang provokator.
“Nah kalau begitu anda juga tidak termasuk ke dalam kelompok berikutnya (Al-Hasyir:10, tabi’in dst), pergilah dari rumahku!” bentak Imam Zainal Abidin.
Hijrah tidak menyisakan ruang bagian pengecut, pemalas, penghasud, dan semua yang berfikiran sempit. Ruang hijrah hanya untuk tiga kaum; 1. Muhajirin dan semua pengambil inisiatif, 2. Anshar dan semua pembela dengan jiwa, raga, dan harta, 3. Para tabi’in dan pendukung sesudah mereka. Selebihnya bila masih ada itulah ruang keasingan bagi iman dan ruang kegelapan bagi kejujuran.
Biarkan sejarah bertutur mengisahkan semua keutamaan ini:
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu ‘anhu berkata: “Tak pernah sekalipun Rasulullah luput untuk datang mengunjungi Abu Bakar, pagi atau petang. Pada hari beliau diizinkan untuk berangkat hijrah, keluar dari Mekah dan meninggalkan bangsanya ia datang pada tengah hari. Saat Abu Bakar melihatnya, ia berkata:  “Tak mungkin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kita di saat ini kecuali bila suatu hal (penting) telah terjadi.”
Ketika beliau tiba, Abu Bakar undur, menyilakannya duduk di tempat duduknya. Beliau pun duduk, sementara tak ada yang menyertai Abu Bakar saat itu kecuali aku dan Asma’, saudariku. Beliau berkata: “Keluarkan orang yang bersamamu”. Abu Bakar menjawab: “Mereka itu anak-anakku, ada apa ya Rasululla? Jiwa ayah bundaku jadi tebusanmu.”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya Alloh telah mengizinkanku untuk keluar dan berhijrah.” Abu Bakar memohon, “Kutemani ya Rasulullah.” “Ya, tentu,”jawab Rasulullah. Demi Allah belum pernah sama sekali kurasakan sebelum hari itu ada seseorang bisa menangis karena gembira, kecuali saat Abu Bakar menangis..”.
“Kami menyiapkan untuk mereka bekal terbaik. Kami buatkan safrah (makanan musafir). Asma’ memotong secarik sabuknya untuk mengikat makananan di leher kantungnya, karenanya ia digelari dzatun nithaqain (pemilik dua sabuk).

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar masuk gua Tsur, bersembunyi di sana tiga malam. Bermalam bersama mereka Abdullah bin Abi Bakar, beliau yang cerdas (tsaqif) dan tanggap (laqin). Ia menyelusup pergi dari sana menjelang fajar dan pagi hari telah ada di tengah kaum Quraisy, seakan bermalam di Mekah. Tak ada satu perkara yang membahayakan mereka yang tak diliputnya, lalu ia sampaikan beritanya kepada mereka ketika kegelapan semakin membaur. Amir bin Fuhairah mantan budak Abu Bakar menyiapkan kambing yang diantarkannya lepas isya. Mereka makan malam dengan susu kambing tersebut tiga malam itu.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu menyewa seorang pemandu profesional dari kabilah Bani Dail yang berasal usul dari Bani Abd bin Adi yang telah mengikuti perjanjian pengamanan (hilf, persekutuan) beragama kafir Quraisy. Mereka menilainya dapat dipercaya. Maka mereka pun berjanji untuk berjumpa di Gua Tsur setelah tiga hari pada subuh ketiga. Setelah itu Amir membawa mereka bersama pemandu menempuh jalur pantai (Shahih Bukhari, Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir, dll. Dikutip dari Ahzami Samiun Jazuli, Dr. MA. Hijrah Fil Qur’an :331-333).
Di Jazurah, di pasar Mekah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak melantunkan perasaan paling dalam: “ Demi Allah, engkaukah bumi Allah terbaik dan paling dicintai-Nya, kalaulah aku tidak dipisahkan dari dirimu, niscaya takkan daku keluar meninggalkanmu.” (Tirmidzi & Ibnu Majah,op. cit.335)
Para hujjaj telah kembali, berjuta hati telah larut dalam samudra sejarah paling indah. Bulan 12 menjadi 1 kembali, Muharram 1433. 1433 tahun sejak hijrahnya, bukan dari lahirnya. Ia adalah catatan maha gemilang prestasisebuah generasi.

Hijrah vs Menyerah



Hijrah vs Menyerah
Tak ada perjuangan seberat hijrah dan tak ada pengorbanan setulus hijrah. Siapa pun punya hak untuk mengajukan bukti, ada hijrah lain yang menandingi kesakralan hijrah atas nama Tuhan, asal jangan benturkan dia dengan jihad, karena keduanya memang tak bisa dipertentangkan. Yang satu lahir dari kandungan yang lain. Jihad yang lahir dari jiwa hijrah masih memberi ‘ruang’ bagi pembalasan, pelampiasan, dan kemurkaan karena Allah –sementara hijrah telah ‘membiarkan’ orang-orang terhormat meninggalkan tanah air dan kecintaan mereka serta bersabar atas cibiran khalayak. Mereka lepaskan kecintaan kepada tanah air, pergi jauh dalam keterasingan. Tak dapat dinafikan nilai ‘hijrah’ orang-orang Irlandia, Spanyol, dan Eropa lainnya mendatangi benua baru, Amerika. Seperti juga yang mereka lakukan ke Australia. Tetapi siapa mau dibohongi tentang punahnya bangsa Indian, Maori, dan Aborigin. Penderitaan mereka masih panjang dan masa depan mereka masih remang-remang.

Batu Ujian
Tidak usah menginterogasi orang Madinah atau keturunan mereka, apakah mereka menyetujui telah membela, melayani dan mencintai saudara-saudara Muhajirin mereka. Berbinar wajah mereka menyambut peziarah ke Madinah yang bercahaya itu. Benarlah pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Di setiap rumah Anshar ada kebaikan.” Jadi tidak ada yang mengherankan bila perang Fathu Makkah itu tanpa insiden mabuk kemenangan atau tumpahan dendam. Derita hijrah adalah konsekuensi iman. Semua pedih sudah terbayar dengan keramahan, kecintaan dan pembelaan saudara-saudara Anshar serta cinta Rasul yang teramat dalam.
Wahai ahli Thaibah, beruntung sangat Anda
Dapatkan dia yang saruwa alam tak berdaya, mendekat, dan mengkhidmatinya.
Namun tentu saja luapan cinta ini tidak menafikan hak untuk beruntung dan berbahagia menjadi pengikutnya. Yang luput dari melihat Al Mukhtar, Rasul pilihan silakan melihat Sunnah yang besar dan Al Qur’an yang ia wariskan.
Silakan tanya apakah orang-orang Anshar akan mengajukan resolusi ke PBB atas hilangnya ‘hak kepemimpinan’  Abdullah bin Ubay bin Salul yang asli Arab Madinah, kandidat pemimpin tertinggi Yatsrib dengan penampilan dan tutur kata yang menjadikannya pantas memimpin. Sayang jiwa ringkihnya meleleh dalam gesekan yang tak disadarinya dan hasad kepada sang Nabi akhir zaman.
Atau Huyai bin Al Ahthab, Ka’ab bin Al Asyraf, dan Lubaid Al Asham sang penyihir, tokoh-tokoh Yahudi yang akhirnya kehilangan peluang emas lantaran tidak cerdas seperti saudara mereka Abdullah bin Salam yang menerima risalah cahaya ini dengan hati yang bahagia.

“Wahjurhum Hajran Jamila”
Bila seorang Muslim membaca Al Qur’an Allah memasang tabir (hijaban mastura) atau yang membatasi mereka dengan orang-orang kafir. Inilah penghijrahan ruhani yang menjadikan Muslim punya basecamp dan batas demarkasi dimana pun mereka berada. Bahkan upaya intensif kaum kaffar untuk memalingkan masyarakat dari Al Qur’an dengan ucapan mereka: “Janganlah kalian dengarkan Al-Qur’an ini dan permainkan (sibukkan orang-orang dengan permainan agar melupakan) dia.” (Qs. Fushilat:26), dibalas Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perintah: “Sabarlah atas ucapan mereka dan menyingkirlah dari mereka dengan baik.”  (Qs Al Muzammil:10). Alangkah jauhnya perbedaan ini. Mereka menghambat laju penyebaran Al Qur’an dan ia menghijrahkan ruhani kaum beriman agar dapat menikmati kelezatan hidup dibawah naungan Al Qur’an (Qs. Al Isra’ :45). Hijrah bukan melarikan diri, ia adalah langkah cerdas agar kebenaran tidak menjadi mangsa.

“Inni Muhajirun ila Rabbi” (Aku Berangkat Menuju Dia)
Kebodohan terhadap sunnatullah menyebabkan kaum Yahudi dan segelintir elit Madinah semacam Ibnu Saul menjadi begitu meradang saat kotanya dibanjiri Muhajirin. Betapa tidak cerdasnya mereka memahami gejala alam. Mereka lupa moyang mereka yang berevakuasi ke Madinah tahun 70 M, saat negeri mereka diserang dan akhirnya memimpin di Madinah? Hijrah bukan hanya perpindahan dari wilayah ancaman ke wilayah aman. Ia adalah seleksi ‘alami’ yang akan membuktikan kekuatan seorang atau sekelompok hamba Allah untuk menjadi pemimpin. Siapa yang diam, dia takkan menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas. “Al harakah, fiha barakah” (dalam gerak ada berkah). Para muhajir telah memulainya dengan benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari kemarahan.
Sadar bahwa iman itu punya nilai tinggi yang hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan. Jiwa dan semangat hijrah dengan dinamika, tantangan, dan kepedihannya yang beragam mempunyai satu mata air dari telaga yang sama, “Inni Muhajirun ila Rabbi” (aku berangkat menuju Dia). Bukan kebetulan bila susunan bulan dalam perhitungan tahun Hijrah, diakhiri dengan susunan bulan Haji dan dimulai dengan bulan Muharram, sebagai pembuka tarikh hijri.
Haji yang bagi sebagian kita berarti tamatnya Islam, justru menjadi puncak bagi pendakian berikutnya. Sejak Al Khalil Ibrahim alaihissalam berangkat meninggalkan Haram ke Palestina sampai berangkat lagi ‘menghijrahkan’ istri dan putra sulungnya Ismail sampai hijrah Al Kalim Musa as ke Madyan dan puncaknya hijrah sang penutup, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, menjadi munthalaq (milestone) keagungan syari’ah yang abadi ini. Inilah mozaik kejujuran, keikhlasan, kesabaran, harapan dan kekuatan.
Ketika baru saja merasakan kebahagiaan mendapatkan putra pertama Ismail, ia diperintahkan untuk menghijrahkan sang bayi kecil dan ibunya, jauh keselatan, ia hanya punya kata “Siap: labbaik!”. Namun ia juga seorang ayah dan seorang suami. Ia tak mampu menjawab pertanyaan istrinya yang terkejut ditinggalkan di lembah suci itu, tanpa makanan tanpa minuman kecuali untuk hari itu di lembah yang belum ada apa-apa dan belum ada siapa-siapa “Mengapa engkau tinggalkan kami disni?” Tak ada jawaban. Pertanyaan berulang. Tak ada jawaban. Jawaban “Na’am” (Ya), baru keluar setelah sang istri yang sangat bertauhid ini mengajukan pertanyaan cerdas: “Apakah Allah yang menyuruhmu meninggalkan kami di sini?” Jawaban itu pula yang memantapkan istrinya: “Jadi (kalau itu kehendak Allah), maka tentu Ia takkan menyia-nyiakan kami.” (HR. Bukhari: Kitabul Anbiya).

Pewarisan
Hijrah adalah keutuhan harga diri. Sekeping tanah jauh di rantau, bersama kemerdekaan, lebih berharga daripada tinggal di negeri sendiri dengan kehinaan, tak dapat mengekspresikan iman. Kecuali bila jihad telah menjadi bahasa tunggal. Inilah terjemah hakiki sifat Islam yang ‘alamiyah (semestawi) tak tersekat oleh batas-batas sempit kesukuan dan kebangsaan, kecuali perjuangan kebangsaan bertujuan menyelamatkan dzawil qurba. Sedikit orang dapat memahami mengapa idealisme Hijrah itu menjurus-jurus ‘nekad dan naif’.
Siapa yang hina, mudah berbuat hina.
Bagi si mati tak ada rasa sakit dalam luka.
Umat ini tak menjadi kecil atau hina karena tak punya pewarisan material dari sejarah mereka, karena nilai-nilai mulia yang mereka miliki bukan hanya telah menjadi milik dunia tetapi telah menghidupkan, menyambung, dan membangun peradaban.

Fitnah



Fitnah

 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabuut 2-3).
Kehidupan dunia secara keseluruhan, baik dan buruknya adalah fitnah atau ujian bagi manusia. Fitnah yang senantiasa menyertai manusia dalam hidupnya sampai akhir hayatnya. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini  fitnah. Sebagian yang lain mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah tetapi kalah oleh dahsyatnya fitnah itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang sadar bahwa kehidupan di dunia ini fitnah, kemudian mereka berhati-hati terhadap fitnah itu dan ketika lalai atau lupa kembali pada petunjuk  Allah.
Bagi orang beriman yang memahami hakekat kehidupan dunia, tetap belum aman terhadap fitnah, karena syetan selalu mengawasi mereka dan menggodanya sehingga orang beriman itu, lalai, jatuh dan terkena fitnah dunia dengan segala macamnya. Begitu juga para da’i yang selalu mengajak manusia untuk beribadah pada Allah belum aman dari fitnah. Syetan memiliki seribu satu macam cara untuk memfitnah dan menggoda para da’i sehingga mereka jatuh dan meninggalkan gelanggang dakwah  kemudian memilih kehidupan dan profesi lain yang lebih santai, aman  dan jauh dari dinamika dakwah.
Dan begitu juga para pemimpin umat, mubaligh, ustadz dan tokoh masyarakat belum aman dari fitnah. Fitnah akan menyerang siapa saja dari manusia selagi mereka hidup di dunia, ada yang berjatuhan terkena fitnah dan ada juga yang selamat dengan izin Allah. Di akhir zaman ini fitnah akan semakin dahsyat dan mengerikan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Segeralah beramal sebelum terjadinya fitnah-fitnah seperti gelapnya malam. Seorang yang paginya mukmin sorenya menjadi kafir, dan pada  sore hari mukmin dan paginya kafir, menjual agamanya dengan sedikit dari kekayaan dunia.” (HR Muslim)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang membahayakan manusia. Diantara do’a Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membentengi fitnah tersebut yaitu : “Jika kalian membaca tasyahud, maka berlindunglah dari empat hal, yaitu berkata:”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari buruknya fitnah Al Masih ad-Dajjaal.” (HR Muslim)

Makna Fitnah
Fatana Al Ma’din artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, (29: 2). Fatana Fulanan artinya si Fulan itu disiksa agar berubah dari sikap atau pendiriannya, (85: 10). Fatanahul Maal dan fatanathul Mar’ah artinya tergoda dengan harta dan wanita, (8: 28). Fatana fulaanan ’an sya’i artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, (5: 49). Iftatana bil amri artinya terkena fitnah dengan sesuatu seperti harta, wanita dan lainnya.
Jadi sesuai dengan ungkapan diatas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dsb. Ada ujian dalam bentuk kebaikan seperti harta, wanita, kedudukan, popularitas dsb. Fitnah juga bermakna kegagalan dari sebuah ujian dan berakibat pada keburukan, seperti syirik, kejahatan, kemungkaran, kerusakan, perselisihan, saling bunuh, dan sebagainya.

Gambaran Fitnah dalam Al Qur’an
Al Qur’an banyak sekali mengungkapkan kata fitnah dengan berbagai macam maknanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, diantaranya:
”Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al Ankabuut 1-3)
Manusia dalam mensikapi ajaran para nabi dan rasul ada dua sikap. Pertama, orang-orang  yang mengimani ajarannya, merekalah orang-orang yang beriman. Dan kedua, orang orang-orang yang mengingkari ajarannya, mereka termasuk kelompok orang-orang kafir.  Ketika manusia menyatakan keimanannya, maka mereka akan diuji untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar atau salah. Karena keimanan bukan hanya kata-kata yang diungkapkan, tetapi keimanan adalah hakekat yang mengandung resiko dan tanggungjawab, keseriusan yang membutuhkan ketabahan, jihad yang membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu tidak cukup manusia menyatakan beriman sebelum mendapatkan ujian, cobaan dan tantangan.
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar juga ujian dan cobaannya. Para nabi adalah orang yang paling besar ujian dan cobaannya kemudian yang sejenisnya dan seterusnya sesuai kadar keimanan seseorang. ”Orang yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian yang sejenisnya dan sejenisnya. Seorang akan diuji sesuai kualitas agamanya. Jika kualitas agamanya kuat maka ujiannya juga kuat dan jika agamanya lemah, maka diuji sesuai kadar agamanya” (HR Bukhari, Ahmad dan At Tirmidzi).
Demikian orang-orang yang menyatakan beriman akan mendapatkan ujian dan cobaan di dunia, sedangkan orang kafir juga akan mendapatkan ujian dan cobaan. Orang beriman mendapatkan ujian awal di dunia berupa penderitaan, cobaan, ujian, kesusahan, fitnah dll untuk kemudian mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan akhir di akhirat. Sedangkan orang-orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya di awal hidupnya di dunia untuk kemudian mendapatkan ujian dan siksaan di akhirat. Jadi kedua golongan itu menjadapatkan kesusahan, fitnah dan ujian, orang beriman di dunia dan orang kafir di akhirat.

Seseorang bertanya pada imam Asy Syafi’i, dan berkata: “Wahai Aba Abdillah, mana yang lebih utama bagi seorang lelaki, mendapatkan kedudukan atau mendapat ujian?” Berkata imam Asy Syafi’i: “Seseorang tidak mungkin akan mendapat kedudukan sehingga mendapat ujian. Karena sesungguhnya Allah telah menguji Nuh ‘Alaihis Salam, Ibrahim ‘Alaihis Salam, Musa ‘Alaihis Salam, Isa ‘Alaihis Salam, dan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ketika mereka sabar, maka Allah berikan kemuliaan kepada mereka. Maka jangan menyangka seorang beriman bebas dari ujian kesusahan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah 155)

Gambaran Fitnah Dalam Hadits
Hampir di setiap kitab hadits memuat bab tentang Fitnah. Imam Bukhori, At-Turmudzi dan  Ibnu Majah membuat judul dalam kitab haditsnya Kitabul Fitan, Abu Dawud dan Al Hakim menyebutnya dengan judul Kitabul Fitan wal Malaahim( bab fitnah dan huru hara), sedangkan imam Muslim menyebutnyaKitabul Fitan wa ’Asyraatus Saa’ah (bab fitnah dan tanda-tanda hari kiamat).
Diantara hadits-hadits yang disebutkan dalam shohih Bukhori tentang fitnah dapat disebutkan antara lain:
Imam Bukhari mengawali hadits Fitnah dengan menyebut surat Al Anfaal 25, agar orang beriman hati-hati terhadap fitnah dan menjauhinya.
Fitnah semakin hari semakin berat dan semakin buruk.
Harta yang paling bersih di akhir zaman bagi muslim adalah domba yang digembalakan di hutan dekat gunung dan iar hujan.
Diantara fitnah diakhir zaman, diangkatnya ilmu, dominannya kebodohan dan banyaknya pembunuhan.
Umat Islam harus bersabar pada pemimpin jamaah Islam walaupun benci asal tidak menyuruh kepada kemungkaran dan kekafiran.
Cara yang baik untuk selamat dari fitnah yaitu komitmen dengan jamaah Islam.
Di masa fitnah dilarang memegang senjata yang membahayakan umat Islam.
Tokoh sahabat yang paling menguasai masalah fitnah adalah Hudzaifah bin Al Yaman. Beliau banyak bertanya tentang keburukan daripada kebaikan. Hal ini dilakukan agar orang-orang beriman terhindar dari fitnah dan keburukannya. B

unyi lengkap hadits adalah: “manusia biasa bertanya pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku.” Saya berkata: “Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam apakah kami dahulu dimasa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan  kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini adalagi keburukan.” Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab:”Ya.” Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan.” Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya.” “Apa polusinya?” Rasul menjawab: “Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari.” Saya berkata: “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?” Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melamparkannya ke dalam neraka.” Saya berkata: “Ya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, terangkan ciri mereka pada kami?” Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “(kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita.” Saya berkata: “Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya.” Saya berkata: “Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasul menjawab: “tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits lain yang berbicara tentang fitnah yang diriwayatkan Hudzaifah adalah: Saat itu kami bersama Umar bin Khattab beliau berkata: “Siapa diantara kalian yang mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang fitnah-fitnah ? Berkata diantara mereka: “Kami mendengarnya.” Berkata Hudzaifah: ”Mungkin yang antum maksud terfitnahnya seorang lelaki oleh keluarga dan tetangganya ?” Mereka menjawab : “Benar.” Berkata Hudzaifah: “Fitnah itu terhapus dengan sholat, puasa dan sedekah, tetapi siapa yang mendengar Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan fitnah-fitnah seperti gelombang lautan ? “Berkata Hudzaifah: “Maka mereka terdiam.” Aku berkata: “Aku tahu.” Berkata Umar: “Engkau wahai Hudzaifah !.” Berkata Hudzaifah, saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Fitnah-fitnah itu mengenai hati seperti tikar yang menempel secara terus-menerus” (HR Bukhari dan Muslim)
Fitnah anak, istri, tetangga dan lain-lain berupa mencintai mereka secara berlebihan, kurang ketaatannya kepada Allah akibat kesibukan dengan mereka, munculnya sikap kikir akibat kecintaan tersebut. Fitnah anak istri dapat juga berupa melalaikan hak-hak anak dan istri seperti mendidik mereka, begitu juga terkait dengan fitnah tetangga.  Dan fitnah ini sebagaimana disebutkan dalam hadits terhapus dengan ibadah sholat, puasa dan sedekah. Fitnah ini banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits, diantaranya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS At Taghabuun 15). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).

Dikatakan oleh ulama bahwa fitnah anak ada satu dan fitnah wanita ada dua. Fitnah wanita ada dua yaitu, pertama; wanita menyuruh suaminya untuk memutus hubungan silaturahim pada ibu dan saudara-saudara suaminya. Kedua; menyuruh  suaminya untuk mencari harta yang halal atau haram. Sedangkan fitnah anak hanya satu yaitu membuat bapaknya mencari harta yang halal atau haram.
Dan fitnah lain yang disebut Hudzaifah adalah fitnah yang besar seperti gelombang lautan yang dapat menghanyutkan siapa saja yang ada di lautan kehidupan. Dalam hadits lain fitnah ini dapat menyebabkan seorang yang paginya muslim sorenya menjadi kafir, atau sorenya muslim, paginya menjadi kafir, mereka menjual agama dengan harta yang sedikit.
Diantara  fitnah yang sangat besar adalah fitnah yang  muncul dari para pemuka agama, alim ulama, kyai dan para da’i, jika mereka sudah terkena fitnah dunia, maka mereka menjual agamanya dengan harta dunia, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ulama seperti ini dalam terminologi Islam  disebut Ulama Suu (ulama jahat). Ciri khas mereka yang utama adalah lebih mencintai dan mengutamakan dunia. Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap dunia, seperti kecintaan pada harta, kekuasaan, wanit, dan lain-lain. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Bersabda: “Orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah alim, yang Allah tidak memberi manfaat pada ilmunya” (HR Ath Thabrani dan Al Baihaqi)
Berkata Umar bin Khattab:”Yang paling aku takuti pada umat ini adalah orang jahat yang pandai berkata (ilmunya tidak sampai pada hatinya).” Berkata Ali ra: “Yang paling menjengkelkanku adalah dua orang, orang berilmu tapi jahat, orang bodoh tapi rajin ibadah. Yang pertama membuat jauh manusia karena kejahatannya, dan yang kedua menipu manusia karena ibadahnya.”
Ulama Jahat akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan kejahatannya. Maka terkumpulah pada mereka sifat buruk,  mengikuti hawa nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara yang hak dan batil, bahkan memutarbalikan antara yang hak dengan batil,  sehingga melihat yang hak itu batil dan yang batil itu  hak. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah lebih mencintai dunia, syahwat dan hawa nafsu dari akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al A’raaf 175,176.
Para pemimpin baik pemimpin agama, maupun pemimpin politik  yang sesat lebih membahayakan dari Dajjaal, karena datang pada setiap tempat dan waktu. Sedangkan Dajjaalakan datang hanya menjelang hari kiamat. Maka para pemimpin yang sesat yang memiliki sifat-sifat Dajjaal tingkat bahayanya lebih kuat dari Dajjaal yang sebenarnya. Namun keduanya adalah fitnah yang harus diwaspadai oleh setiap muslim. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Selain Dajjaal ada yang lebih aku takuti atas umatku dari Dajjaal; yaitu para pemimpin yang sesat” (HR Ahmad).

Fitnah Dajjaal, baik yang sebenarnya maupun para pemimpin yang memiliki sifat Dajjaal adalah bahaya laten yang harus dihadapai umat Islam. Fitnah Dajjaal membuat umat Islam menjadi sesat dan kafir. Dan umat Islam dapat saling bunuh karena fitnah Dajjaal tersebut. Dajjaal memutar balikan fakta, sehingga yang benar menjadi salah dan 4yang salah menjadi benar, yang haram menjadi halal dan yang halal menjadi haram. Fitnah tersebut didukung dengan dana, media masa dan oknum-oknum yang memang telah sesat. Lebih dahsyat lagi Dajjaal didukung oleh Yahudi internasional dan negara-negara adidaya.
Fitnah yang paling bahaya dari Dajjaal adalah yang keluar dari mulutnya. Dajjaal- baik yang sebenarnya atau yang mirip-mirip- senantiasa mengucapkan kata-kata yang membuat manusia sesat dari agama Allah. Dajjaal senantiasa memproduk ungkapan sesat, batil dan kontroversial. Sehingga kebenaran menjadi kabur dan tidak jelas sedangkan kebatilan seolah-olah indah dan menarik. Kebenaran selalu ditutup-tutupi dan dibungkus dengan dusta. Syari’ah Islam dianggap kejam dan tidak manusiawi, sedangkan nilai-nilai sekuler dianggap baik, adil dan paling cocok di era modern.  Nilai-nilai agama dijauhkan dan diredusir dari kehidupan sosial dan kenegaraan. Bid’ah dianggap sunnah dan sunnah dianggap bid’ah. Umat Islam dicap fundamentalis, ekstrim dan teroris sedangkan non muslim dianggap humanis, baik dan demokratis.
Para pemimpin yang sesat yang memiliki sifat Dajjaal berlagak seperti ulama, intelektual, tokoh masyarakat atau wali. Padahal mereka adalah musuh Islam yang paling nyata. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Akan muncul di akhir zaman lelaki yang memanipulasi agama untuk kepentingan dunia, mengenakan pakaian yang halus-halus, lidah mereka lebih manis daripada madu tetapi mereka berhati serigala. Allah berfirman: “Apakah kepada-Ku mereka sombong atau, kepada-Ku mereka berani. Atas nama-Ku mereka bersumpah. Maka akan ditimpakan kepada mereka fitnah, yang membuat orang-orang pandai jadi kebingungan” (HR. Tirmidzi)

Macam-Macam Fitnah
Sebagaimana uraian diatas, maka secara umum fitnah terbagi menjadi dua, yaitu fitnah kebaikan dan fitnah keburukan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala. berfirman: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS Al Anbiyaa 35).
Fitnah kebaikan biasa disebut juga dengan fitnah dunia dan bermuara pada tiga hal yaitu harta, tahta dan wanita. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:”Sesungguhnya dunia itu manis dan  lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita”(HR Muslim)

Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah keni’matan yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. kepada hamba-Nya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam  hidupnya. Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikannya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka, harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat.
Dan bagian fitnah yang harus diwaspadai para da’i dan pemimpin umat terkait dengan kebaikan adalah popularitas, sanjungan, pujian, penampilan, kecantikan, pengikut yang banyak, kemenangan dan sejenisnya.  Imam Ahmad bin Hambal Radhiyallahu ‘Anh setelah terbebas dan penyiksaan yang berat dan dikeluarkan dari penjara, beliau mendapatkan simpati dan sambutan yang luar biasa dari pengikutnya. Mereka berdatangan untuk belajar, bertanya dan berguru pada imam Ahmad Radhiyallahu ‘Anh Melihat sambutan yang luar biasa dari pengikutnya, imam Ahmad menangis dan sangat khawatir kalau ini adalahistidraj (fitnah) yang akan menjatuhkan beliau dari sikap istiqomah.
Sedangkan fitnah keburukan, seperti siksaan sampai ketingkat pembunuhan, pengusiran, pemenjaraan, pemboikotan, kemiskinan, penyakit dll. Demikianlah fitnah terjadi silih berganti yang terjadi pada para nabi dan orang-orang beriman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS Al Baqarah 214)
Dalam konteks pemikiran dan gerakan, muncul  beragam fitnah dan syubhat di bidang gerakan pemikiran sesat dan bid’ah yang menjamur di tengah masyarakat muslim, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Baha’iyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Isa Bugis, Syiah dll. Fitnah ini muncul karena lemahnya umat Islam terhadap ajaran Islam. Dan jatuhlah mereka pada pemahaman yang salah dan menyimpang terhadap Islam. Tingkat penyimpangan gerakan pemikiran berbeda satu sama lain, ada yang sudah sesat dan keluar dari ajaran Islam, seperti Ahmadiyah, tetapi ada  juga yang masih dapat diajak dialog tentang keislaman.
Dan fitnah yang terbesar dan terberat yang dihadapi oleh orang-orang beriman adalah fitnah menyebarnya kemusyrikan, kekafiran, kemungkaran, perselisihan dan perang antara sesama orang beriman.  Fitnah  yang pertama muncul setelah wafatnya Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, menyebarnya kemurtadaan dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu bakar As-Siddiq berhasil memeranginya. Fitnah pembunuhan terhadap Khulafaur Rasyidin, Umar, Utsman dan Ali semoga Allah meridhoi semuanya. Fitnah antara imam Ali ra dengan siti Aisyah ra dalam perang Jamal, antara Ali ra dengan Muawiyah ra dalam perang Shiffin. Dan para ulama menyebutnya dengan istilah Fitnah Qubra.

Sikap Para Da’i terhadap Fitnah
Segala macam fitnah harus disikapi dengan bijak oleh para da’i sesuai dengan bentuk dan kadar fitnahnya. Ketika para da’i berhasil mengatasi fitnah yang terjadi di dunia, maka dia akan sukses dan mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah. Sikap pertama yang harus dilakukan oleh para da’i untuk menghadapi fitnah adalah hati hati dan waspada (hadzr). Setiap da’i apapun yang terjadi, baik dan buruknya, senantiasa dalam kondisi diuji. Kemudian untuk menyikapi segala macam fitnah keburukan para da’i harus bersabar, bersabar tidak terlibat dalam keburukan dan bersabar atas segala musibah yang buruk. Dan menyikapi segala bentuk kemudahan para da’i harus bersyukur. Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sungguh mena’jubkan urusan orang beriman, segala urusannnya baik dan itu tidak terjadi kecuali orang beriman. Jika diuji kemudahan, dia bersyukur maka itu baik untuk orang beriman. Dan jika diuji kesusahan maka dia bersabar, dan itu baik untuk orang beriman” (HR Muslim)
Selanjutnya dalam mensikapi berbagai macam huru hara, perselisihan dan fitnah antara sesama muslim, maka sikap para da’i  harus tetap komitmen pada jamaah Islam dan tetap taat pada pemimpin selagi tidak menyuruh pada kemungkaran dan kekafiran.
Fitnah terkait dengan kebatilan dan pemikiran yang sesat harus dihadapi dengan dakwah dan argumentasi yang kuat sehingga terlihat jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ulama dan para da’i harus menjelaskan kepada umat antara yang hak dengan yang batil agar mereka tidak menjadi bingung dan tidak tersesat. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Sebaik-baiknya jihad adalah perkataan yang benar pada penguasa yang sesat” (HR Ahmad).
Pada masa kekhalifahan imam Ali Radhiyallahu ‘Anh, banyak kaum yang keluar dari jamaahnya dan disebut kelompok Khawarij. Lalu Imam Ali Radhiyallahu ‘Anh mengirim Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anh kepada mereka untuk berdialog seputar agama dan pemahaman Islam, maka banyak sekali diantara mereka yang sadar dan kembali pada ajaran yang benar. Begitu juga terhadap kelompok yang mengkultuskan dirinya dari kalangan Syiah, maka imam Ali ra senantiasa mengarahkan pada pemahaman yang benar dan menolak segala macam pengkultusan.
Sedangkan untuk menyikapi fitnah kekafiran dan kemusyrikan, maka umat Islam harus berjihad melawannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS Al Anfal 39). Seluruh bentuk fitnah harus dilawan oleh umat Islam sehingga hanya Islamlah yang eksis di muka bumi ini.


RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...