Kamis, 10 Desember 2015

SKRIPSI SUPIANA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu kelemahan sistem pengajaran tradisional adalah menitikberatkan pada sistem sebagaimana dikemukakan Hamalik (2004: 55), yakni “pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid”. Cara tersebut di atas tentu tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai dengan kesanggupan, kebutuhan, minat dan tingkat perkembangan murid. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan didasarkan atas motivasi dan tujuan pembelajaran pada murid. Ketika hal tersebut terjadi, maka hal itu akan mempengaruhi semangat dan orientasi belajar murid, karena adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan murid dan keinginan guru.
Perubahan (perbaikan) pada aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan seperti peningkatan kualitas tenaga pengajar merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang pada Bab XI pasal 39 ayat 2 bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran”, dan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang pada Bab III pasal 4 ayat 5 bahwa “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”.
Salah satu aspek yang berkaitan dengan budaya membaca adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara memegang peranan penting dalam upaya melahir-kan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Dengan mengua-sai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran (gagasan/ide) dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi ketika sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang beradab, komunikatif, jelas, runtut dan mudah dipahami.
Keterampilan  berbicara  dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar saat ini dituangkan  dalam tujuan  pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit  dinyatakan dalam kurikulum. Menurut Tarigan (1991: 40) bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak, terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti: menulis laporan ilmiah, membuat surat lamaran pekerjaan, berbicara di depan umum atau berdiskusi, berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, dan membuat karangan-karangan bebas untuk  majalah, koran, surat-surat pembaca, dan sebagainya.
Di samping itu, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelek-tual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Hasil diskusi dengan beberapa guru dan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 5-8 januari 2012 kenyataan menunjukkan bahwa masih  rendahnya taraf pencapaian keterampilan berbicara murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecamatan Suppa  Kabupaten  Pinrang sebagaimana berdasarkan hasil observasi awal menunjukkan: 1) beberapa murid kurang dapat menggunakan bahasa Indonesia yang standar dan baku sebagai pengantar berbicara dalam interaksi edukasi, baik terhadap guru maupun sesama temannya, 2) hasil analisis terhadap tugas-tugas tertulis pada beberapa bidang studi ditemukan penulisan istilah-istilah yang tidak baku yang digunakan murid disebabkan karena murid kurang familiar dan kurang terbiasa menggunakan istilah-istilah tersebut dalam proses berbicaranya sebagai bagian dari keterampilan berbicara, dan 3) indikator-indikator  yang  digunakan untuk mengukur keterampilan murid dalam berbicara seperti kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata, seluruhnya menunjukkan kategori pencapaian yang rendah.yang terkait dengan identifikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan murid berbicara, yaitu: (1) penggunaan bahasa Indonesia dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran masih kurang, karena murid dalam interaksinya sesama murid lebih banyak menggunakan bahasa daerahnya; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan masih rendah; dan (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor penentu tindak komunikatif kurang diterapkan. Di samping itu, jika diperhatikan hasil belajar murid pada bidang studi  bahasa indonesia terkhusus  dalam keterampilan  berbicara masih tergolong rendah dimana nilai rapor murid masih banyak diseputaran 5,6 sementara nilai yang diharapkan atau kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan adalah 6,5 ke atas baru dikategorikan baik dan tuntas secara klasikal.
Indikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara murid yaitu proses atau metode pembelajaran yang selama ini dikembangkan oleh guru kurang inovatif dan kreatif. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana murid berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunjang secara emosional dan afektif.
Salah satu metode pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang sesuai konteks, aktif, efektif, dan menyenangkan adalah penerapan model pembelajaran Think Talk Write. Melalui model Think Talk Write, murid diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.
Melalui model Think Talk Write mampu membawa murid ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang kognitif, emosional, dan afektif, maka judul penelitian ini Adalah  Meningkatkan Keterampilan Berbicara Pada Mata Pelajaran Bah asa Indonesia Melalui Model Pembelajaran Thing Talk Write Pada Murid Kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang.
B.    Rumusan Masalah dan pemecahan masalah
1.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yakni: Bagaimanakah peningkatkan keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia melalui model pembelajaran kooperatif tipe think talk write pada murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang  ?
2.    Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran think talk write. Model pembelajaran think talk write diduga mampu memecahkan permasa-lahan utama yakni rendahnya hasil belajar murid bidang studi bahasa Indonesia karena dalam sintaks pembelajaran think talk write murid dilatih menemukan kebermaknaan belajar melalui pendayagunaan kemampuan berbicara melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan mencari alternative solusi), kemampuan mengmembicarakankan hasil bacaannya dengan presentasi, diskusi, dan kemudian melatih kemampuan membuat laporan hasil presentasi.


C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbicara murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang. Melalui model pembelajaran think talk write. 
D.    Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat atau kontribusi yaitu:
1.    Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah teori pembelajaran bahasa dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara khususnya murid sekolah dasar kelas IV.
2.    Manfaat Praktis
a.    Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai tantangan bagi guru agar pengajaran bahasa Indonesia di kelas tidak harus selalu berorientasi pada perolehan hasil akhir, melainkan bagaimana membekali murid dengan keterampilan-keterampilan yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi nanti yaitu keterampilan berbicara.
b.    Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan, informasi, dan data untuk pengembangan penelitian yang berkaitan dengan upaya peningkatan keterampilan berbicara dengan variabel yang berbeda.
c.     Bagi Murid khususnya kelas IV,melalui model pembelajaran Think Talk write diharapkan dapat mendorong murid sebagai subjek atau pelaku (bukan obyek) dalam hal mencari, memahami, dan menemukan jawaban atau informasi dari masalah-masalah pembelajaran khususnya bidang studi bahasa Indonesia yang dihadapkan kepadanya.

FILE LENGKAP DAPAT ANDA DOWNLOAD PADACLINK DI BAWAH..


DOWNLOAD FILE PART I

DOWNLOAD FILE PART II
DOWNLOAD FILE PART III
DOWNLOAD FILE PART IV

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Kurikulum nasional untuk mata ajar Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hakikat belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Hakikat belajar sastra adalah memahami manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia ialah peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar secara lisan dan tulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan kepada para siswa meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di antara keempat aspek tersebut dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada aspek berbicara. Aspek berbicara ini dipilih karena sangat mendukung terjadinya proses berkomunikasi secara lisan. Dengan belajar berbicara siswa belajar berkomunikasi.
Kemampuan berbicara tidak dinyatakan secara eksplisit dalam kurikulum, tetapi dinyatakan secara implisit pada tema (Nuraeni, 2002). Akibatnya kalau guru kurang benar-benar memberikan perhatian terhadap keterampilan berbicara tersebut, mungkin akan terabaikan pengajarannya. Kemungkinan guru akan lebih menekankan keterampilan berbahasa tertulis dan mengabaikan keterampilan berbahasa lisan.
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh pendengar dengan baik apabila pembicara mampu menyampaikannya pula dengan baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan.
Agar pembicaraan tersebut mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal tersebut bermakna bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara yang efektif sehingga orang lain (pendengar) dapat menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Untuk dapat menjadi seorang pembicara efektif, tentu dituntut kemampuan menangkap informasi secara kritis dan efektif. Karena dengan memiliki keterampilan menangkap informasi secara efektif dan kritis, pembicara akan memiliki rasa tenggang rasa kepada lawan berbicara (pendengar), sehingga pendengar dapat pula menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif.
Berbicara mengenai kemampuan menangkap informasi berarti kita berbicara pula mengenai aktivitas menyimak. Tentu hal tersebut berkenaan dengan kegiatan menyimak tepat guna dan menyimak efektif. Oleh karena itu, para siswa perlu dilatih sejak dini mengenai upaya menyimak tepat guna dan efektif agar kemampuan berbicaranya menjadi efektif pula.
Banyak orang mungkin beranggapan bahwa berbicara adalah suatu pekerjaan yang mudah dan tidak perlu dipelajari (Nuraeni, 2002). Untuk situasi yang tidak resmi (informal) barangkali anggapan tersebut ada benarnya, namun pada situasi resmi pernyataan tersebut tidak berlaku. Kenyataannya tidak semua siswa yang berani dan mau berbicara di depan kelas, sebab mereka umumnya kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Untuk itu, guru bahasa Indonesia merasa perlu melatih siswa untuk berbicara. Latihan pertama kali yang perlu dilakukan guru adalah menumbuhkan keberanian siswa untuk berbicara.
Berdasarkan pengalaman empris dan hasil observasi di lapangan khususnya di SD Negeri 437 Kariako pada siswa kelas III (naik menjadi kelas IV pada tahun ajaran 2009/2010) diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini diketahui dari sejumlah indikator antara lain: 1) Pada saat siswa menyampaikan pesan/informasi yang bersumber dari media dengan bahasa yang runtut, baik, dan benar, di mana isi pembicaraan yang disampaikan oleh siswa tersebut kurang jelas; 2) Siswa berbicara tersendat-sendat sehingga isi pembicaraan menjadi tidak jelas; 3) Ada pula di antara siswa yang tidak mau berbicara di depan kelas; 4) Pada saat guru bertanya kepada seluruh siswa, umumnya siswa lama sekali untuk menjawab pertanyaan guru. Beberapa orang siswa ada yang tidak mau menjawab pertanyaan guru karena takut jawabannya salah. Apalagi untuk berbicara di depan kelas, para siswa belum menunjukkan keberanian.
Dari latar belakang di atas perlu dicari alternatif lain sebagai solusi sekaligus upaya untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Hal ini mengingat pentingnya pengajaran berbicara sebagai salah satu usaha meningkatkan keterampilan berbahasa lisan di tingkat sekolah dasar (SD). Oleh karena itu, penulis mengajukan usulan judul penelitian Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Penerapan Metode Curah Pendapat pada Siswa Kelas IV SD Negeri 437 Kariako Kabupaten Luwu.

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH  PART II
SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH 
PART I

SEJARAH SENI

SEJARAH SENI


Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).

1.    Seni lukis
Karya seni dua demensi yang bisa mengungkapkan pengalaman atau perasaan si pencipta. Pelukis yang sedang sedih akan tercipta karya yang bersifat susah, sedangkan pelukis  yang sedang gembira akan tercipta karya yang riang. Karya tersebut terlihat pada goresan, garis-garis dan pewarnaan.

2.    Seni Kriya
Karya  seni  terapan  yang  mengutamakan  kegunaan  dan  keindahan (estetis)  yang  bisa  menarik  konsumen. Seni  kriya/kerajinan (handy Craff)  ini biasanya untuk hiasan dan   cenderamata.  Karena  karya  ini termasuk  karya  yang di perjual belikan dan berguna bagi kehidupan masyarakat sehari- hari baik untuk alat rumah tangga maupun untuk hiasan. Bahkan satu desain kriya ini bisa di produksi dalam jumlah banyak oleh industri dan di pasarkan sebagai barang dagangan





download file lengkap sejarah seni di sini

MACAM-MACAM SENI

Macam-macam seni dan contohnya

Seni merupakan salah satu keindahan keanekaragaman alam yang menjadi pusat tatapan tujuan kehidupan, banyak makna yang dapat kita petik dari kendahan seni keragaman alam salah contoh sebagai berikut :

A.    Seni lukis

Karya seni dua demensi yang bisa mengungkapkan pengalaman atau perasaan si pencipta. Pelukis yang sedang sedih akan tercipta karya yang bersifat susah, sedangkan pelukis  yang sedang gembira akan tercipta karya yang riang. Karya tersebut terlihat pada goresan, garis-garis dan pewarnaan.

B.    Seni grafika

Seni ini tercipta melalui pemikiran seseorang yang penuh dengan nilai seni dengan melalui media komputer dan biasanya banyak digunakan sebagai media untuk membuat suatu brosur

C.    SeniI patung
    Seni Patung termasuk karya 3 Demensi. Karya seni ini termasuk seni murni yang diciptakan untuk mengungkapkan ide-ide dan perasaan dari seniman yang mempunyai nilai    estestis yang tinggi.








dowload file lengkapnya disini

SEJARAH SOEKARNO HATTA



    SOEKARNO / HATTA
                                                                    
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.. Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar.
Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926. Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan.
Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok. Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi.

anda dapat melihat file lengkap setelah anda mendownload pada link yang ada di bawah, semoga bermanfaat..

download fle sejarah soekarno/hatta

The Cognitive Style Index

Introduction
In recent years, there has been a growing interest in cognitive and learning style, but a major problem facing researchers and practitioners has been a shortage of valid and reliable assessment instruments convenient for adoption in organisational settings. The Cognitive Style Index (CSI) is a psychometric measure that meets this need. It was designed to be used primarily with managerial and professional groups, but has also been applied successfully with students and non-managerial employees.
The CSI is a 38-item self-report questionnaire. Each item has ‘true’, ‘uncertain’ and ‘false’ response options, and scores of 2, 1 or 0 are assigned to each response with the direction of scoring depending on the polarity of the item. The nearer the total score to the maximum of 76, the more ‘analytical’ the respondent, and the nearer to the minimum of zero, the more ‘intuitive’ the respondent.
There is evidence that knowledge of a person’s cognitive style is valuable in selection, placement, careers guidance, task design, team composition, conflict management, mentoring and training and development. The CSI should prove useful in each of these applications.

Theoretical Background
Cognitive style is an individual’s preferred way of gathering, processing and evaluating data. It influences how we scan our environments for information, how we organise and interpret it, and how we integrate our interpretations into mental models and subjective theories that guide our behaviour.
Many dimensions of cognitive style have been highlighted in the literature. Hayes and Allinson (1994) identified 29 of these, including, for example, field dependence – field independence, convergence – divergence, reflection – impulsivity, serialism – holism and rationality – intuition. Armstrong (1999) extended the list to 54, and, more recently, Coffield et al (2004) evaluated 71 measures of cognitive and learning style that represent a wide variety of theoretical models. While certain authors (e.g. Globerson and Zelniker 1989; Streufert and Nogami 1989) argue that this multiplicity of descriptors reflects the sheer complexity of cognition, others claim that many, if not most, are simply different conceptions of a generic dimension that is associated with the traditional notion of ‘the dual nature of human consciousness' (Robey and Taggart, 1981). Nickerson et al (1985) describe one of the elements of consciousness as analytic, deductive, rigorous, constrained, formal and critical, and the other as synthetic, inductive, expansive, unconstrained, divergent, informal, diffuse and creative. Similarly, Ornstein (1977) differentiates between analytic thinking which implies processing information in an ordered, linear sequence, and holistic thinking which involves viewing the whole situation at once in order to facilitate the synthesis of all available information. These approaches essentially refer to the rational and intuitive sides of the individual. In keeping with established terminology, however, these modes of cognition are labelled ‘analytic’ and ‘intuitive’ respectively.


Models of Cognitive Style
The duality of consciousness has been viewed in different ways. Some have conceived it as a simple dichotomy in which a person is deemed to be either basically analytic or intuitive, an approach consistent with the type theory of personality. This perception has now, however, largely fallen out of favour. Human attributes can rarely be thought of as simply being one thing or another. Rather, a person is predisposed toward, or has a preference for, a way of thinking or mode of behaviour that falls somewhere along a continuum. Many, therefore, view intuitive and analytic cognition as representing the poles of a single dimension. This suggests that the cognitive style of a particular individual may fall at any point on the scale. Those whose style is positioned toward the extremes would, in most circumstances, tend to favour the one mode of thought to the virtual exclusion of the other while those positioned toward the middle area would be comfortable drawing upon a combination of analysis and intuition in their problem solving and decision making. This perspective
views cognitive style essentially as a personality trait which may be thought of as a single factor in statistical terms, and suggests that the more analytical an individual, the less intuitive he or she will be, and vice versa. A study by Hodgkinson and Sadler-Smith (2003) suggested that analysis and intuition as measured by the CSI could, in fact, be two separate, though correlated, dimensions, the implication being that a person may be not just high on one and low on the other (as suggested by the continuum model), but also high on both or low on both at the same time. Later, they reported evidence to suggest that the instrument may even yield three factors (Hodgkinson et al, 2009). The balance of independent research evidence, however, appears to support the one-factor perspective (see section on Factor Analysis below), and therefore the idea of the CSI as a measure of a single dimension was retained. Indeed, it is noteworthy that only a small minority of researchers have adopted the approach advocated by Hodgkinson and his colleagues since their findings were published. Aside from the statistical debate, to regard analysis and intuition as independent dimensions would be to deny a centuries-old perception of individual differences in human thought processes that can be traced back at least to the writings of Aristotle, as well as sacrificing the most parsimonious explanation of cognitive style. This is not to deny the idea of ‘dual processing’ as the integration of analytic and intuitive thinking is often called. Rather, there will be individual differences in the tendency to favour a particular combination of the two approaches. It is the various combinations that represent the different cognitive styles measured by the CSI.
Cognitive Continuum Theory
The single trait approach is consistent with Cognitive Continuum Theory (Hammond et al, 1987), a framework for linking cognitive style to task performance that has been highly influential in recent years. Hammond and his colleagues propose two continua: one for cognitive mode, ranging from analysis at one end to intuition at the other; one for tasks, ranging from the analysis-inducing to the intuition-inducing. They contend that individuals ‘oscillate’ between the poles of the cognitive continuum in order to respond to the cognitive demands of the task. The greater the correspondence between the cognitive style used and the task demands, the better the task performance is likely to be. Associated with the idea of a cognitive continuum is the notion that individuals will have a preference for, or disposition towards, a particular cognitive mode. As indicated above, it is this preference, disposition or ‘style' that is measured by the CSI. It is argued that it is the tendency to favour a specific cognitive style that may reduce the correspondence between cognitive mode and task demands and thus hinder task performance.
The intuition-analysis dimension assessed by the CSI is depicted in Figure 1. Five notional styles representative of the full range are identified. At the extremes are the pure cases of ‘intuition’ and ‘analysis’ respectively. The full exercise of either precludes the adoption of the other. The cognitive
style of most people, however, involves elements of both intuition and analysis. In the middle range, the ‘Adaptive’ style implies a balanced blend of the two cognitive modes. Either side of this are the ‘Quasi-Intuitive’ and ‘Quasi-Analytical’ styles, each of which denotes a tendency towards, but not the full adoption of, one of the extreme cognitive modes. A distinction should be made here between the

FILE FULL DOWNLOAD HERE

TESIS / SKRIPSI

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini adalah perkawinan antara teknologi komputer dan teknologi Internet. Internet mampu menampilkan teknologi media yang sebelumnya berkumpul dalam dunia maya dan dapat diakses dari segala belahan dunia secara real time. Karenanya kita yang berada di Indonesia bisa membaca majalah Time majalah People yang terbit dari belahan negara lain secara bersamaan dengan masyarakat yang berada di wilayah dimana media tersebut terbit.
Bukan hanya media cetak saja yang dapat diakses melalui Internet, tetapi radio bahkan televisi.Keberadaan Internet tidak dapat disangkal telah membawa revolusi pada cara manusia melakukan komunikasi. internet, kendala ruang dan jarak dalam berkomunikasi dapat diatasi. Internet sangat efektif untuk melakukan pertukaraninformasi jarak jauh. saat ini, Internet sudah menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat untuk memenuhi kepuasan akan hiburan, dan pemenuhan kebutuhan informasi.
Informasi yang didapat melalui Internet memiliki nilai lebih karena berita – berita yang beredar lebih cepat diketahui dibandingkan dengan media massa lainnya seperti televisi, radio, surat kabar dan sebagainya.Dilihat dari sisi hiburannya,internet dapat menyajikan berbagai macam hiburan yang membuat penggunanya bisa lupa waktu selama berjam - jam di depan komputer. Salah satu hiburan yang sedang diminati oleh kebanyakan orang dimanapun berada adalah situs jejaring sosial.
Situs jejaring sosial kini kian bertambah banyak, fungsinya pun tak sekadar saling sapa dan bertukar kabar serta berita dengan orang – orang  yang dikenal saja namun juga menjalin hubungan dengan orang - orang baru. Dewasa ini jejaring sosial berkembang menjadi salah satu ajang promosi bahkan yang mempromosikan usahanya  secara online sampai kepada para musisi yang ingin memperkenalkan karyanya kepada masyarakat luasdengan lebih mudah dan tidak membutuhkan biaya yang besar.
Oleh karena pasar yang dijangkau sangat luas, maka penggunaan internet ini akan berdampak juga pada kepopuleran seseorang. Beberapa situs jejaring sosial yang sedang diminati anak muda terutama yang berhubungan dengan musik dan musisi tak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia antara lain Facebook, Friendster, Twitte,Reverbnation dan Myspace.Masing - masing situs ini mempunyai kelebihan serta kurangan, sehingga pengguna dapat memilih situs mana yang paling sesuai dengan kebutuhannya.
Bagi para musisi terutama yang bergerak di jalur indie situs jejaring sosial ini merupakan media yang sangat ampuh untuk memperkenalkan karyanyakepada orang dengan lingkup yang sangat besar dan jangkauan yang tidak terbatas. Situs yang kerap digunakan oleh para musisi ini adalah ReverbnationReverbnation adalah webyang kebanyakan di gunakan oleh musisi/ band lokan dan interlokal untuk mempromosikan band nya masing-masing. Biasanya lagu di reverbnation hanya untuk didengar saja, tidak bisa untuk di unduh walaupun pakai IDM (internet download manager)tapi tenang saja dengan software ini anda dapat download lagu di reverbnation sepuasnya.
Kelebihan situs Reverbnation ini adalah mempunyai aplikasi tentang musik. Situs ini mengkhususkan diri terhadapmusik dibandingkan dengan jenis situs pertemanan lainnya. Situs ini dapat menjadi pembuka jalan bagi musisi terutama yang berjalan sendiri tanpa dukungan dari pihak label untuk mengembangkan karirnya. Reverbnation telah dikenal dan dipercaya sebagai situs untuk pemusik hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya musisi nasional yang mempromosikan musiknya sejak awal kemunculanReverbnation pada tahun2006
Dengan semakin bertambahnya peminat musik yang mengakses Reverbnation, maka semakin besar juga kemungkinan untuk memasarkan karya musik dari band indie agar dapat dikenal dan tidak hanya untuk pendengar lokal sekaligus juga dapat merambah pendengar internasional, karena sifat dari internet sebagai media massa yang ditujukan untuk khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar, dan tidak mengenal batas geografis-kultura,internet ini adalah media yang sangat efektif untuk memasarkan karya dari musisi indie tanpa harus mengeluarkan biaya promosi yang besar.
Keberhasilan dari seorang musisi atau grup yang memasarkan musiknya melalui situs pertemanan reverbnation ini, dapat dilihat melalui kepopuleran musisi. Keberadaan situs ini dapat membantu musisi indie untuk mendapatkan popularitas yang tidak berbeda dengan musisi dari major label. Popularitas ini dapat dilihat melalui jumlah orang yang mendengar lagu yang dipublikasikan di situs tersebut, ataupun dari komentar orang – orang yang telah menjadi teman di situs mereka.
Perkembangan teknologi informasi telah membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia,teknologi informasi mutahir ini telah berhasil menggabungkan sifat-sifat teknologi konvensional.
Peneliti melihat bahwa band indie segitiga dan foru band telah menggunakan  jejaring sosial reverbnation sebagai media promosi group musik mereka,oleh karena itu  peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul analisa peran reverbnation sebagai media promosi grup musik independent

SILAHKAN ANDA DOWLOAD FILENYA PADA LINK DI BAWAH..........
DOWLOAD FILE TESIS /SKRIPSI BAB IV
DOWLOAD FILE TESIS /SKRIPSI BAB III
DOWLOAD FILE TESIS /SKRIPSI BAB II

DOWNLOAD FILE TESI / SKRIPSI BAB I           

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...