Jumat, 21 Desember 2012

KTI Pengaruh Minuman Keras Terhadap Remaja


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
 Minuman keras meliputi seluruh jenis minuman yang mengandung alkohol (nama kimianya etanol). Menurut catatan arkeologi, minuman beralkohol sudah dikenal manusia sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Minuman beralkohol merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari pada berbagai kebudayaan tertentu. Di Indonesia, dikenal beberapa minuman lokal yang beralkohol, misalnya brem, tuak, dan ciu.
Jika kita minum Alkohol dalam jumlah banyak, dapat menekan aktivitas otak bagian atas.Sehingga menghilangkan kesadaran. Pemakaian alcohol dalam jangka waktu lama dapatmenginduksi dan meningkatkan metabolisme aktivitas zat – zat yang terdapat pada hati danzat – zat yang dapat menimbulkan kanker, menghambat pembentukan protein danmenyebabkan gangguan fungsi hati.Alkohol yang diminum akan cepat diresap ke dalam pembuluh darah kemudian disebarluaskan keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Semakin tinggi kadar alcohol dalamminuman, akan semakin cepat penyerapan kedalam darah kita. Didalam hati, Alkohol akandioksidasi atau dibakar. Apabila alkohol yang diminum terlalu banyak, maka tidak semuaalcohol akan tinggal didalam darah dan akan dibawa sampai otak. Didalam otak apabila kadar alcohol masih sedikit maka peminum akan mengalami euphoria ( perasaan gembira dannyaman ).Tetapi jika masuknya alcohol makin lama makin banyak, akibatnya minuman alcohol secaraterus menerus maka orang yang meminum alcohol akan mengantuk dan tertidur, bahkandapat meninggal.
B.     Manfaat Penelitian
Denagan dibuatnya karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Manfaat Teoritis
  Dengan dibuatnya  karya tulis ini membuat penulis menjadi mengerti bagaimana membuat laporan penelitian yang baik,serta dengan dibuatnya laporan penelitian ini akan dijadikan penulis sebagai acuan dalam pembuatan karya tulis yang berikutnya untuk menjadi lebih baik.

2. Manfaat Praktis
  Pembaca dapat memperoleh informasi mengenai dampak pengaruh minuman keras terhadap remaja, pengaruhnya terhadap system social dan budaya Indonesia serta cara mengatasi,dengan demikian akan sedikit mengurangi atau meminimalisir dampak negative dari pengaruh dampak minuman keras terhadap remaja.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Pengaruh Minuman Keras Terhadap Remaja
1.      Penegrtian Remaja
Sarwono (2002) mendefinisikan masa remaja sebagai masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik, dimana usianya antara 12-21 tahun. Perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik. Bagi mereka, permulaan timbulnya tanda-tanda tertentu justru merisaukan dirinya, karena dirasakannya sebagai kelainan. Penilaian diri mereka sebagai suatu keanehan disebabkan oleh perasaan-perasaan yang menggelorakan, merisaukan, dan menguasai dirinya akan tetapi sulit dikendalikan.

2.      Pengertian Minuman Keras
Minuman keras / beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran. Di berbagai negara, penjualan minuman keras / beralkohol dibatasi ke sejumlah kalangan saja, umumnya orang-orang yang telah melewati batas usia tertentu.
Minuman keras meliputi seluruh jenis minuman yang mengandung alkohol (nama kimianya etanol). Menurut catatan arkeologi, minuman beralkohol sudah dikenal manusia sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Minuman beralkohol merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari pada berbagai kebudayaan tertentu. Di Indonesia, dikenal beberapa minuman lokal yang beralkohol, misalnya brem, tuak, dan ciu.
Alkohol adalah zat penekan susuan syaraf pusat meskipun dalam jumlah kecil mungkin mempunyai efek stimulasi ringan Bahan psikoaktif yang terdapat dalam alkohol adalah etil alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi madu, gula sari buah atau umbi umbian. Nama yang populer : minuman keras (miras), kamput, tomi (topi miring), cap tikus , balo dll.
Alkohol dapat dibuat melalui proses fermentasi (peragian) berbagai jenis bahan yang mengandung gula, misalnya buah-buahan (seperti anggur dan apel), biji-bijian (seperti beras dan gandum), umbi-umbian (seperti singkong), dan madu. Melalui proses fermentasi dapat diperoleh alkohol dengan kadar 14%. Alkohol dengan kadar yang lebih tinggi dapat diperoleh melalui penyulingan. Selain melalui proses fermentasi, alkohol juga dapat dibuat dari etena, suatu produk dari minyak bumi.
Menurut peraturan Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, minuman keras dibagi ke dalam tiga golongan berdasarkan kadar alkohol di dalamnya, yaitu :
a.                   Golongan A   :   kadar alkohol 1% – 5%, misalnya bir.
b.                  Golongan B   :   kadar alkohol 5% – 20%, misalnya anggur.
c.                   Golongan C   :   kadar alkohol 20% – 45%, misalnya wiskey dan vodka.
Minuman beralkohol mempunyai kadar yang berbeda-beda, misalnya bir dan soda alkohol ( 1-7% alkohol), anggur (10-15% alkohol) dan minuman keras yang biasa disebut dengan spirit (35 – 55% alkohol). Konsentrasi alkohol dalam darah dicapai dalam 30 – 90 menitsetelah diminum.
Dari beberapa penelitian alkohol dapat menyebabkan :
a.                   Kecelakaan lalu lintas
b.                  Luka bakar
c.                   Kasus penganiayaan anak
d.                  Bunuh diri
e.                   Kecelakaan kerja
Di Indonesia penjualan minuman beralkohol di batasi dan yang boleh membeli adalah mereka yang telah berumur 21 tahun Beberapa etnik di Indonesia menggunakan minuman beralkohol pada acara tertentu dalam jumlah yang sedikit. Mereka juga memproduksi minuman beralkohol dengan nama yang bermacam ragam misalnya : tuak, minuman cap tikus, ciu dll.



3.      Factor Penyebab Minuman Keras
Menurut teori Lawrence Green (1980), mengemukakan bahwa perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, yang dipengaruhi oleh 3 faktor pendukung yaitu faktor prediposisi (predisposing factors), faktor pendukung (Enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).
a.       Faktor prediposisi (predisposing factors)
Masalah dalam hidup manusia berasal dari dua sumber. Pertama, yang berasal dari luar diri, yang seringkali disebut sebagai faktor pencetus/precipitating factor, dan yang kedua berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Yang kedua ini seringkali disebut sebagai faktor bawaan/predisposing factor, yang sebenarnya sudah menjadi masalah pada dirinya sendiri sebelum ada faktor pencetus yang hadir.
Faktor ini merupakan faktor yang mempermudah dalam upaya penggunaan kesehatan dan menjadi dasar atau motivasi yang mencakup:
1.      Kebiasaan minum minuman keras sudah menjadi kebiasaan bagi pemuda / remaja dikota-kota besar yang salah pergaulan dan sebagai pelarian dari suatu masalah.
2.      Kepercayaan pemuda/remaja sangat percaya jika meminum minuman keras dapat menghilangkan stres, beban jadi hilang dan lain-lain.

b.      Faktor pendukung (Enabling factors)
Faktor ini mencakup:
1)       Ketersediaan faktor: Minuman Keras umumnya mudah ditemukan, hal ini dikarenakan adanya warung atau toko yang masih menjual minuman keras secara bebas.
2)       Ketercapaian fasilitas: fasilitas perkotaan atau kampung yang padat penduduk memungkinkan banyaknya warung atau toko menyediakan/menjual minuman keras.
c.        Faktor pendorong (reinforcing factors).
Sebagai faktor pendorong untuk berperilaku yang diharapkan, faktor ini mencakup: sikap dan perilaku kesehatan, seminar tentang kesehatan, ceramah dari tokoh masyarakat Undang-undang dan sebagainya.

4.      Dampak Pengaruh Minuman Keras
a.      Pengaruh Terhadap Tubuh (Fisik dan Mental)
Pengaruh alkohol terhadap tubuh bervariasi, tergantung pada beberapa faktor yaitu :
a.        Jenis dan jumlah alkohol yang dikonsumsi
b.      Usia, berat badan, dan jenis kelamin
c.       Makanan yang ada di dalam lambung
d.      Pengalaman seseorang minum – minuman beralkohol
e.       Situasi dimana orang minum – minuman beralkohol
b.      Pengaruh jangka pendek
Walaupun pengaruh terhadap individu berbeda – beda, terdapat hubungan antara konsentrasi alkohol di dalam darah (Blood Alkohol Concentration – BAC) dan efeknya. Euphoria ringan dan stimulasi terhadap perilaku lebih aktif seiring dengan meningkatnya konsentrasi alkohol di dalam darah. Sayangnya orang banyak beranggapan bahwa penampilan mereka menjadi lebih baik dan mereka mengabaikan efek buruknya.
c.       Resiko intoksikasi (”mabuk”)
Gejala intoksikasi alkohol yang paling umum adalah ”mabuk”, ”teler” sehingga dapat menyebabkan cedera dan kematian. Penurunan kesadaran seperti koma dapat terjadi pada keracunan alkohol yang berat demikian juga henti nafas dan kematian. Selain kematian, efek jangka pendek alkohol dapat menyebabkan hilangny produktifitas kerja (misalnya ”teler, kecelakaan akibat ngebut). Sebagai tambahan, alkohol dapat menyebabkan perilaku kriminal. 70 % dari narapidana menggunakan alkohol sebelum melakukan tindak kekerasan dan lebih dari 40 % kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh alcohol.

d.      Pengaruh Jangka Panjang
Mengkonsumsi alkohol berlebiha dalam jangka panjang dapat menyebabkan :
a.       Kerusakan jantung
b.      Tekanan Darah Tinggi
c.       Stroke
d.      Kerusakan hati
e.       Kanker saluran pencernaan
f.       Gangguan pencernaan lainnya (misalnya tukak lambung)
g.      Impotensi dan berkurangnya kesuburan
h.      Meningkatnya resiko terkena kanker payudara
i.        Kesulitan tidur
j.        Kerusakan otak dengan perubahan kepribadian dan suasana perasaan
k.      Sulit dalam mengingat dan berkonsentrasi
l.        Sebagai tambahan terhadap masalah kesehatan, alkohol juga berdampak terhadap hubungan sesama, finansial, pekerjaan, dan juga menimbulkan masalah hukum .
e.       Toleransi dan Ketergantungan
Pengguna alkohol yang terus menerus dapat mengalami toleransi dan ketergantungan. Toleransi adalah peningkatan penggunaan alkohol dari jumlah yang kecil menjadi lebih besar untuk mendapatkan pengaruh yang sama. Sedangkan ketergantungan adalah keadaan dimana alkohol menjadi bagian yang penting dalam kehidupannya, banyak waktu yang terbuang karena memikirkan (cara mendapatkan, mengkonsumsi dan bagaimana cara berhenti). Pengguna alkohol akan mengalami kesulitan bagaimana cara menghentikan atau mengendalikan jumlah alkohol yang dikonsumsi.
f.       Gejala Putus Alkohol
Seseorang yang mengalami ketergantungan secara fisik terhadap alkohol akan mengalami gejala putus alkohol apabila menghentikan atau mengurangi penggunaannya. Gejala biasanya terjadi mulai 6 – 24 jam setelah minum yang terakhir. Gejala ini dapat berlangsung selama 5 hari, diantaranya adalah :
a.       Gemetar
b.      Mual
c.       Cemas
d.      Depresi
e.       Berkeringat yang banyak
f.       Nyeri kepala
g.      Sulit tidur (berlangsung beberapa minggu)
Gejala putus alkohol sangat berbahaya. Orang yang minum lebih dari 8 standar minum perhari dianjurkan untuk berkonsultasi ke dokter (sebelum memutuskan untuk berhenti minum) untuk mendapatkan terapi medis guna mencegah komplikasi
Pada dasarnya, alkohol (etanol) mempunyai sifat menekan aktivitas susunan saraf pusat. Sama dengan kafein dan nikotin, alkohol merupakan zat adiktif yang paling banyak digunakan. Dalam bidang kedokteran, alkohol digolongkan sebagai depresan. Dalam jumlah sedikit, mula-mula alkohol akan menekan pusat pengendalian diri. Oleh karena itu, rasa malu peminum minuman keras akan berkurang, sehingga peminum lebih berani berbicara, merasa santai, dan tidak merasakan kecemasan. Dalam jumlah yang lebih banyak, peminum akan sempoyongan, berbicara pelo, dan kemampuannya menilai sesuatu akan berkurang untuk sementara waktu. Dalam jumlah yang lebih banyak lagi dapat menyebabkan koma, bahkan kematian. Ada juga orang yang sangat peka terhadap minuman keras. Dalam jumlah sedikit saja akan menyebabkan perubahan tingkah laku yang nyata, yaitu menjadi agresif dan cenderung melawan orang lain.
Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, alkohol dapat menyebabkan ketergantungan. Jika orang yang mengalami ketergantungan ini pada suatu saat menghentikan kebiasaannya minum minuman keras, akan timbul berbagai gangguan fisik maupun psikis. Misalnya tangan, lidah, dan kelopak mata bergetar, mual, lesu, detak jantung bertambah cepat, berkeringat, resah, sedih, mudah tersinggung, penurunan kesadaran yang akut (delirium), kehilangan daya ingat (amnesia), dan melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada (halusinasi).
Kebiasaan minum minuman keras dalam jumlah banyak dan dalam jangka panjang dapat pula menimbulkan kerusakan pada hati (kanker hati atau cirrhosis hepatis), otak, jantung, pankreas, lambung, impotensi, dan pembesaran payudara pada pria. Kerusakan permanen pada otak dapat menyebabkan gangguan daya ingat, gangguan kemampuan belajar, dan gangguan jiwa tertentu.
Penelitian pada wanita hamil yang sering minum minuman keras, menunjukkan adanya indikasi gangguan pada bayi yang dilahirkan. Termasuk di antaranya adalah kepala (otak) lebih kecil, jari-jari tangan atau kaki tidak lengkap, retardasi mental (terbelakang), hiperaktif, dan problem tingkah laku lainnya. Hal yang sangat perlu diperhatikan juga adalah bahwa orang tua yang peminum menjadi contoh yang kurang baik bagi anak-anaknya.
BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Demikian beberapa alternative penanggulangan terhadap masalah miras atau minuman keras yang dapat kami tawarkan. Melihat kondisi social, politik, ekonomi dan hukum kita hingga saat ini masih belum stabil, kami masih pesimis kalau masalah ini dapat diatasi secara tuntas. Pertama sebenarnya kita harus memiliki landasan Hukum yang kuat dan mapan sebagai landasan utama untuk mengatur proses pembangunan social, budaya, ekonomi dan politik serta character building. Namun, demikian, tidak salah kalau kita mencoba sekaligus sebagai trial and error. Apabila kita berhasil, sangat mungkin cara yang kita tempuh akan di pakai secara nasional bahkan International. Namun apabila kita masih gagal dan gagal terus, adalah suatu hal yang lumrah mengingat kondisi social politik dan ekonomi kita saat ini masih dalam proses transisi dan mencari bentuk yang tepat. Kesulitan selanjutnya adalah karena masalah narkoba, miras dan judi erat kaitannya dengan budaya. Merubah suatu budaya atau tradisi sangat sulit dan memerlukan waktu dan proses yang lama.
B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang dirumuskan di atas, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Bagi remaja diharapkan tegar dalam menghadapi setiap masalah yang ada dan meyakini bahwa dirinya memiliki potensi yang besar yang bisa digunakan untuk memikirkan masa depan yang lebih cerah meskipun saat ini mereka memiliki masalah dalam status sosial.
2.      Bagi anggota keluarga diharapkan agar memberikan dukungan melalui relasi yang baik kepada remaja yang masih dalam tahap pencarian jati diri untuk berhasil menjalankan tugas-tugas perkembangannya meskipun dalam status sosialnya mempunyai maslah karna keluarga sangat berperan penting pada proses pembentukan karakter remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, B. & Koentjoro. 2004. Psikologi Keluarga, Peran Ayah Menuju Coparenting. Yogyakarta: CV. Citra Media.
Calhoun, J.F., & Acocella, J. R., 1995, Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Terjemahan oleh Satmiko, S.R. Semarang: IKIP Press.
Nasution. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Transito.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Diposkan oleh nujumiyah. Pengaruh minuman terhadap remaja ( online ) ( www.minumankeras.com2. www.destro.com3. www.napza.co.id4). Diakses 19 may 2012
Dr.Qardhawi Yusuf. 2007. minuman keras. ( online ) (www.ganja.co.id5. www.merokokmakruh.com6. www.shabu-shabu.com7). Halal dan Haram. Surabaya
Rahardjo. 2007. Esensi Lembaga pendidikan terhadap remaja, (Online), (http://hmibecak.wordpress.com/2007/05/29/minuman-keras-remaja /, diakses 16 November 2012).

PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA


PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA




1. Pendahuluan
Standar kompetensi dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk membantu peserta didik mengenal diri, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Selain itu, pembelajaran bahasa diarahkan agar peserta didik menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, peserta didik diharapkan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis (Depdiknas, 2006: 1).
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, siswa telah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin lama kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi sempurna, pilihan katanya semakin tepat, kalimat-kalimatnya semakin bervariasi.
Pada hakikatnya, berbicara merupakan suatu proses berkomunikasi sebab di dalamnya terdapat pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Bahkan, telah disebutkan bahwa dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan bahwa hakikat pembelajaran berbicara pada dasarnya adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama (Depdiknas, 2006: 1).
Pada dasarnya, setiap guru bahasa dan sastra Indonesia mengharapkan bahwa semua siswa mampu menggunakan keterampilan berbicara sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasinya secara lisan sehingga dalam kondisi pembicaraan apa pun, mereka mampu mengaplikasikannya secara efisien dan efektif.
2. Hakikat Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan keterampilan dalam menyampaikan pesan yang dilakukan secara lisan. Rofiuddin (1998: 13) mengatakan bahwa berbicara merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan secara lisan.
Salah satu keterampilan pembicara adalah keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak (Tarigan, 1983: 12)
Berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik dan linguistik. Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar dalam kelancaran berbicara, seperti stabilitas emosi sangat mendukung. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan saraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara.
Berbicara sebagai salah satu unsur keterampilan berbahasa sering dianggap sebagai suatu kegiatan yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dari kegiatan pengajaran berbicara yang selama ini dilakukan. Dalam praktiknya, pengajaran berbicara dilakukan dengan menyuruh siswa berdiri di depan kelas untuk berbicara, misalnya bercerita atau berpidato. Siswa yang lain diminta mendengarkan dan tidak mengganggu. Akibatnya, pengajaran berbicara di sekolah-sekolah itu kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping siswa itu harus mempersiapkan bahan seringkali guru melontarkan kritik yang berlebih-lebihan. Sementara itu, siswa yang lain merasa kurang terikat pada kegiatan itu kecuali ketika mendapatkan giliran.
Agar seluruh anggota kelas dapat terlibat dalam kegiatan pembelajaran berbicara, hendaklah selalu diingat bahwa hakikatnya berbicara itu berhubungan dengan kegiatan berbicara yang lain seperti menyimak, membaca, dan menulis dan pokok pembicaraan. Dengan demikian, sebaiknya pengajaran berbicara memperhatikan komunikasi dua arah dan fungsional. Tugas pengajar adalah mengembangkan pengajaran berbicara agar aktivitas kelas dinamis, hidup dan diminati oleh anak sehingga benar-benar dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan untuk memepersiapkan diri terjun ke masyarakat. Untuk mencapai hal itu, dalam pembelajaran berbicara harus diperhatikan beberapa faktor, misalnya pembicara, pendengar, dan pokok pembicaraan. 
Terkait dengan hal tersebut, Rofi’uddin (1998: 18) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran berbicara sebagai berikut:
a.       Berbicara bercirikan oleh pertemuan antara dua orang atau lebih yang melangsungkan komunikasi secara lisan, ada pembicara dan ada penyimak;
b.    Ada banyak tipe dalam komunikasi lisan antara pembicara dan penyimak, mulai dari orang berbincang-bincang sampai ke pertemuan umum di lapangan;
c.    Pembelajaran berbicara tidak dapat mencakup semua variasi atau tipe pertemuan lisan itu;
d.    Pembelajaran berbicara harus bersifat fungsional.
Agar prinsip pembelajaran berbicara dapat terlaksana dengan baik, hendaknya seorang guru juga memperhatikan kriteria pemilihan bahan ajar berbicara, sebagai berikut:
a.       Bahan yang dipilih harus memiliki nilai tambah, (1) memperkenalkan gagasan baru, (2) mengandung informasi yang belum diketahui siswa, (3) membantu siswa memahami cara berpikir orang lain, dan (4) mendorong siswa untuk membaca tanpa disuruh;
b.      Meningkatkan kecerdasan siswa;
c.       Memperluas kosakata yang dapat dikuasai siswa dalam jumlah yang memadai;
d.      Bahan bacaan memberikan kemungkinan kepada guru untuk mengajukan pertanyaan, yakni (1) membuat gambar, (2) mengolah kembali informasi dalam teks, (3) melakukan permainan peran, percakapan;
e.       Saduran sesuai dengan tingkat keterampilan siswa;
f.       Karangan guru terdiri atas, (1) sesuai dengan tujuan pendidikan, (2) sesuai dengan jiwa Pancasila, (3) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (4) sesuai dengan tema, dan (5) tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku.


3. Keefektifan Berbicara
a. Ketepatan pengucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perahatian pendengar. Sudah tentu pola ucapan dan artikulasi yang digunakan tidak selalu sama. Setiap orang mempunyai gaya tersendiri dan gaya bahasa yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Akan tetapi kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok, dan menyimpang, maka keefektifan komunikasi akan terganggu.
Setiap penutur tentu sangat dipengaruhi oleh bahasa ibunya. Misal­nya, pengucapan kan untuk akhiran -kan yang kurang tepat, memasukkan. Memang kita belum memiliki lafal baku, namun sebaiknya ucapan kita jangan terlalu diwarnai oleh bahasa daerah, sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar. Demikian juga halnya dengan pengucapan tiap suku kata. Tidak jarang kita dengar orang mengucapkan kata-kata yang tidak jelas suku katanya.
Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar, mengganggu komunikasi, atau pemakainya dianggap aneh (Maidar dan Mukti, 1991).

b. Ketepatan intonasi
Kesesuaian intonasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara dan merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan intonasi yang sesuai dengan masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat dipastikan menim­bulkan kejemuan dan keefektifan berbicara berkurang.
Demikian juga halnya dalam pemberian intonasi pada kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang, kemudian ditempatkan pada suku kata pertama. Misalnya kata peyanggah, pemberani, kesempatan, diberi tekanan pada pe-, pem-, ke-, tentu kedengarannya janggal. 

c. Pilihan kata (diksi)
Pilihan kata (diksi) hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan lebih paham, kalau kata-kata yang digunakan sudah dikenal oleh pendengar. Misalnya, kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata yang belum dikenal memang membangkitkan rasa ingin tahu, namun menghambat kelancaran komu­nikasi. Pilihan kata itu tentu harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa kita berbicara (pendengar).

d. Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Seringkali kita dengar pembicara berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang sangat mengganggu penangkapan pendengar, misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan seba­gainya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicarannya.

4. Evaluasi Pembelajaran Berbicara
Bicara merupakan suatu kemampuan kompleks yang melibatkan beberapa faktor, yaitu kesiapan belajar, kesiapan berpikir, kesiapan mempraktikkan,  motivasi, dan bimbingan; Apabila salah satu faktor tidak dapat dikuasai dengan baik, akan terjadi kelambatan dan mutu bicara akan menurun (Hasuti, dkk., 1985). Semakin tinggi kemampuan seseorang menguasai kelima unsur itu, semakin baik pula penampilan dan penguasaan berbicaranya. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan seseorang untuk menguasai kelima unsur itu, semakin rendah pula penguasaan berbicaranya. Akan tetapi, sangat sulit bagi kita untuk menilai faktor-faktor itu karena sulit diukur.
Berdasarkan fakta bahwa kegiatan berbicara cenderung dapat diamati dalam konteks nyata saat siswa berbicara, maka dalam kegiatan berbicara dapat dikembangkan penilaian kinerja yang bertujuan menguji kemampuan siswa dalam mendemontrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan) pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu (Johnson and Johnson, 2004).
Penilaian kinerja mempunyai dua karakteristik dasar yaitu (1) siswa diminta untuk mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengkreasikan suatu produk atau terlibat dalam suatu aktivitas (perbuatan), misalnya berpidato, (2) produk dari penilaian kinerja lebih penting daripada kinerja (performance)-nya.
Penilaian mengenai apakah yang akan dinilai itu produk atau kinerjanya akan sangat bergantung pada karakteristik domain yang diukur. Dalam bidang sastra, misalnya acting dan menari, kinerja dan produknya sama penting.
Penilaian mengenai kemampuan kinerja dapat juga dilakukan dengan menggunakan skala penilaian (rating scale). Walaupun cara ini serupa dengan checklist, tapi skala penilaian memungkinkan penilai menilai kemampuan peserta didik secara kontinum tidak lagi dengan model dikotomi. Dengan kata lain, kedua cara ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan keterampilan atau kemampuan kerja yang hendak diukur: checklist hanya memberikan dua katagori penilaian, sedangkan skala penilaian memberikan lebih dari dua kategori penilaian. Paling tidak ada tiga jenis skala penilaian, yaitu: (1) numerical rating scale, (2) graphic rating scale, dan (3) descriptive rating scale. Selain itu, alat penilaian dalam berbicara dapat berwujud penilaian yang terdiri atas komponen-komponen tekanan, tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini adalah deskripsi masing-masing komponen (Nurgiyantoro, 2005: 156).

a. Tekanan
1)      Ucapan sering tak dapat dipahami.
2)      Sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang.
3)      Pengaruh ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah ucap yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
4)      Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang tidak menyebabkan kesalahpahaman.
5)      Tidak ada salah ucap yang menolak, mendekati ucapan standar
6)      Ucapan sudah standar.

b. Tata bahasa
1)      Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat.
2)      Ada kesalahan dalam pemgunaan pola-pola pokok secara tetap yang selalu mengganggu komunikasi.
3)      Sering terjadi kesalahan dalam pola tertentu karena kurang cermat yang dapat mengganggu komunikasi.
4)      Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi.
5)      Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola.
6)      Tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan wawancara.

c. Kosakata
1)      Penggunaan kosakata tidak tepat dalam percakapan yang paling sederhana sekalipun.
2)      Penguasaan kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal (waktu, makanan, transportasi, keluar).
3)      Pemilihan kosakata sering tidak tepart dan keterbatasan penggunaannya menghambat kelancaran komunikasi dalam masalah sosial dan profesional.
4)      Penggnaan kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang masalah tertentu, tetapui penggunaan kosakata umum terasa berlebihan.
5)      Penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum tepat digunakan sesuai dengan situasi sosial.
6)      Penggunaan kosakata teknis dan umum terkesan luas dan tepat sekali.

d. Kelancaran
1)      Pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus.
2)      Pembicaraan sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek dan rutin.
3)      Pembicaraan sering nampak ragu, kalimat tidak lengkap.
4)      Pembicaraan kadang-kadang masih ragu, pengelompokan kata kadang-kadang tidak tepat.
5)      Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajeg.
6)      Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus.

e. Pemahaman
1)      Memahami sedikit isi percakapan yang paling sederhana.
2)      Memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan pengulangan.
3)      Memahami percakapan sederhana dengan baik, dalam hal tertentu masih perlu penjelasan dan pengulangan.
4)      Memahami percakapan normal dengan lebih baik, kadang-kadang mesih perlu pengulangan dan penjelasan.
5)      Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali yang bersifat koloqial.
6)      Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal dan koloqial.



Berikut adalah contoh lembar penilaian berdasarkan komponen-komponen itu.

Nama Siswa             :
Kelas, Semester       :
Tanggal                  :

No
Butir Penilaian
1
2
3
4
5
6
Skor
1
Tekanan







2
Tata bahasa







3
Kosakata







4
Kelancaran







5
Pemahaman







           Jumlah Skor
Nilai = jumlah skor : 5
(Nilai tertinggi 6, terendah 1)
         
          Dalam penelitian ini, dilakukan pembobotan nilai dengan berdasarkan pada tujuan atau fokus penilaian, serta melakukan modifikasi berbagai butir penilaian sesuai dengan tujuan, situasi, dan kondisi yang melatari.      


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia.  Jakarta: Depdiknas. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Djamarah, S. B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Cetakan Pertama. Jakarta:  Penerbit Rineka Cipta.   
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Yakarta: Gramedia.
Maidar, Arsjad, G. dan Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Rofi’uddin, Ahmad & Zuhdi, Darmiyati. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Depdikbud
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Berbahasa. Bandung: Angkasa.

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...