Kamis, 17 Januari 2013

KTI Kultur Kebudayaan Masyarakat Tradisional Menuju Masyarakat Modern Dari Pengaruh Globalisasi Zaman Tanpa Harus Mengikis Konsep Kebudayaan Nasionalisme


A.    Kultur Kebudayaan  Masyarakat Tradisional Menuju Masyarakat Modern
1.      Pengertian Kebudayaan
Istilah 'kebudayaan'. Mulai untuk cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa luas. Luas cakupan itu tidak hanya terjadi dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, namun juga penggunaannya sebagai istilah dalam wacana ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial. Kata 'kebudayaan' berasal dari bahasa sanksekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti akal atau budi. Dengan demikian kebu-dayaan dapat diartikan sebagai hal-ha1 yang berkenaan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan sendiri di dalam wacana ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan upaya mencari padanan kata culture dalam bahasa Inggris. Sedangkan 'culture' adalah berasal dari bahasa Latin yaitu 'colere' yang berarti bercocok tanam. 'Culture‘ diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam. Hingga kinipun kata 'cul-ture' tetap juga digunakan dalam dunia pertanian, misalnya 'agriculture' untuk menyebut ilmu-ilmu pertanian, 'monoculture' untuk menyebut pertanian yang terdiri dari satu jenis tanaman.
Sebagai obyek studi, semula antropologilah yang dipandang sebagai 'pemilik' wilayah studi kebudayaan. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropolgi tampaknya tidak mungkin memonopoli bidang ini, sebab pada kenyatannya wilayah studi ini juga berhimpitan dengan kawasan studi disiplin ilmu yang lain. Sosiologi misalnya. Hal itu bisa dimaklumi lantaran manusia adalah 'obyek m ateria' dari semua disiplin ilmu sosial. Sekalipun sosiologi memusatkan perhatian terhadap masyarakat, namun disadari bahwa masyarakat itu menjadi ada lantaran adanya kebudayaan. Keduanya bukan hanya berkoeksistensi namun juga berintegrasi. Masyarakat memproduksi kebudayaan sekaligus sebagai pengguna kebudayaan itu untuk bereksistensi. Itulah sebabnya, dalam studi sosiologi samasekali tidak mungkin mengabaikan aspek kebudayaan. Pandangan semacam ini setidaknya dikemukakan oleh para penganut diterminisme kebudayaan seperti antropolog Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski ketika menyatakan bahwasegala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan keberadaannya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.1
Definisi klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan adalah dikemukakan oleh E.B. Tylor seorang antropolog terkemuka, dalam bukunya Primitive Culture, yang terbit tahun 1924:2  "Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” Dalam perpektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat.

2.      Bentuk-Bentuk Kebudayaan 
Sesungguhnya banyak cara untuk mengklasifikasikankebudayaan. Di kalangan sosiolog umumnya sepakat bahwa kandungan kebudayaan pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu material culture dan nonmaterial culture 4. Untuk istilah yang pertama tampaknya semuanya sepakat, sedangkan untuk yang kedua, ada pula yang menyebut immaterial culture. Bertrand mem,beri pengertian 'material culture', sebagai: "... a culture includes those things Which men have created and use which have a tangible forms" (jenis kebudayaan dimana orang telah menciptakan dan menggunakan ciptaanya itu untuk memiliki bentuk yang berwujud). Sedangkan 'nonmaterial culture' sebagai: "all those creations of man with he uses to explain and guide his actions, but with are not found except in his mind" (segala bikinan manusia yang ia gunakan untuk menyatakan dan membimbing tindakannya, tetapi bikinannya itu tidak bisa didapati kecuali di dalam pikirannya saja5.
Adapun Selo Soemardjan, sosiolog paling terkemuka di Indonesia, merumuskan kebudayaan sebagai: "semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat (pemberian huruf tebal oleh penulis)." Karya menghasilkan 'material culture', sedangkan rasa dan cipta membuahkan 'immaterial culture”. Rasa itu sendiri menghasilkan segala kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti yang luas; sedangkan cipta menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.6 Bertitik tolak dari pembahasan singkat tersebut, patut dicurigai bahwa didalam kebudayaan terdapat adanya oposisi biner (binary oposition) sebagaimana pernah dituduhkan oleh antropolog strukturalis Levi-Strauss.
Jadi didalam kebudayaan itu ada unsur kontradiksi, yang menciptakan ketegangan-ketegangan kreatif. Dua ketegangan itu memiliki konsekuensi bahwa kebu-dayaan itu tidak pernah mandeg. Selalu melakukan rekonstruksi diri ataupun mendekonstruksi diri. Setidaknya ada lima oposisi biner didalam diri kebudayaan, yaitu: budaya material versus budaya immaterial, idea budaya versus realitas budaya, budaya seharusnya versus budaya senyatanya, budaya tinggi versus budaya rendahan, budaya elite versus budaya massa.

3.      Masyarakat Tradisional
a.      Pengertian Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.
Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Istilah desa dapat merujuk pada arti yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandangnya.
Secara umum desa memiliki 3 unsur, yaitu :
1)      Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas, lokasi dan batas-batasnya yang merupakan lingkungan geografis;
2)      Penduduk; meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencaharian yang sebagian besar bertani, serta pertumbuhannya.
3)       Tata kehidupan; meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa.
Ketiga unsur dari desa tersebut tidak lepas satu sama lain, melainkan merupakan satu kesatuan Secara sosiologis pengertian desa memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat pertanian dalam suatu masyarakat yang jelas menurut susunan pemerintahannya. Bila kita amati secara fisik, desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, kadang-kadang dilingkungi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya belum sepenuhnya digarap manusia.
Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran atau melepaskan lelah dari kehidupan kota. Akan tetapi, sebaliknya, adapula kesan yang menganggap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, sulit menerima pembaharuan, mudah ditipu dan sebagainya. Kesan semacam ini timbul karena masyarakat kota hanya mengamati kehidupan desa secara sepintas dan kurang mengetahui tentang kehidupan mereka sebenarnya.
Perlu kita pahami bahwa tidak semua masyarakat desa dapat kita sebut sebagai masyarakat tradisional, sebab ada desa yang sedang mengalami perubahan ke arah kemajuan dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Jadi, masyarakat desa yang dimaksud sebagai masyarakat tradisional dalam pembahasan ini adalah mereka yang berada di pedalaman dan kurang mengalami perubahan atau pengaruh dari kehidupan kota.
b.      Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional
Ciri yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam itu. Jadi, masyarakat tradisional, hubungan terhadap lingkungan alam secara khusus dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu :
1)  Hubungan langsung dengan alam, dan
2)  Kehidupan dalam konteks yang agraris.
Dengan demikian pola kehidupan m masyarakat tradisional tersebut ditentukan oleh 3 faktor, yaitu :
1) Ketergantungan terhadap alam,
2) Derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam, dan
3) Struktur sosial yang berkaitan dengan dua faktor ini, yaitu struktur sosial geografis serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah.

4.      Masyarakat Transisi
a.      Pengertian Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suattu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.

b.      Ciri-Ciri Masyarakat Transisi
Ciri-ciri masyarakat transisi :
1.      Adanya pergeseran dalam bidang, misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor industry.
2.      Adanya pergeseran pada tingkat pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi sekrang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat.
3.      Mengalami perubahan ke arah kemajuan.
4.      Masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan jaman.
5.      Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
6.      Biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.

5.      Masyarakat Modern
a.      Pengertian Masyarakat Modern
masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan itu masyarakat modern berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan berusaha agar mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.
Bagi negara-negara sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.  Pengertian kota secara sosiologi terletak pada sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah penduduk di suatu wilayah perkotaan. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini, misalnya gelandangan atau orang yang tidak jelas pekerjaan dan tempat tinggal.

b.      Ciri-Ciri Masyarakat Modern
Alam tidak lagi hal yang amat vital dalam menunjang kehidupan mereka seperti yang dialami masyarakat tradisional. Sebaliknya alam dikendalikan dengan kemampuan pengetahuan mereka dalam menunjang kehidupan yang lebih baik.
Masyarakat kota yang hidupnya mengalami gejala modernisasi umumnya hidup dari sektor industri, selain itu mereka juga hidup dari sektor perdagangan kepariwisataan, dan jasa lainnya. Jadi, kota yang sebagian besar warganya terlibat dalam kegiatan itu disebut kota industri. Sistem mata pencaharian sektor industri mempengaruhi segi-segi kehidupan sosial masyarakat modern antara lain mempengaruhi pembentukan sistem pelapisan sosial, organisasi sosial, pola-pola perilaku, nilai dan norma sosial, kekuasaan dan wewenang dan segi-segi kehidupan lainnya yang merupakan ciri-ciri masyarakat modern.

6.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebudayaan Masyarakat Indonesia
Dalam realitas kehidupan masyarakat moderen, masalah-masalah yang berkaitan dengan politik dan perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, bahkan terhadap suku asli yang tidak tersentuh dalam belahan dunia ini. Kemajuan ekonomi dan teknologi di dunia Barat telah membuktikan keunggulan ekonomi kapitalis dan pasar bebas. Dalam perdagangan internasional, negara-negara Dunia Ketiga yang telah terseret ke dalam kapitalisme dunia dan pasar bebas ternyata telah menghasilkan polarisasi yang tajam antara kaum miskin yang semakin banyak jumlahnya dengan lapisan orang-orang kaya. Salah satu faktor penyebabnya adalah akibat eksploitasi sumber daya alam untuk memperbesar pertumbuhan ekonomi  daerah dan nasional, tetapi manfaatnya belum dirasakan oleh masyarakat, bahkan kondisi ini telah menghancurkan tatanan budaya lokal dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini merupakan penghisapan surplus ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat dan semakin meluasnya tingkat kerusakan lingkungan.
Terhadap kondisi di atas, kalangan akademisi yang berpikir kritis dan kelompok aliran humanis menyebutkan sebagai suatu kesadaran dalam melihat realitas kehidupan moderen sebagai kekecewaan dunia (disenchantment of the world) terhadap modernisasi yang kurang peka terhadap penderitaan kaum miskin dan kerusakan ekosistem alam.
Dalam menghadapi tantangan global kebudayaan Dayak telah mengalami transformasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat maupun sebagai penangkal bagi intervensi luar yang ingin merusak tatanan sosial dan upaya-upaya  memperbesar kerusakan lingkungan alam.
modernisasi yang dipahami sebagai impor dari dunia Barat dengan ideologi kapitalisme yang memiliki kecenderungan materialisme, telah menghancurkan sistem mata pencaharian masyarakat lokal dan hancurnya tatanan adat dan penghisapan atas surplus ekonomi yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Mereka mengibaratkan seperti speed boat yang sedang melaju di pinggir sungai yang tidak mempedulikan ombaknya yang besar yang dapat menenggelamkan perahu-perahu kecil, mengganggu nelayan yang sedang memancing dan membasahi orang- orang yang sedang berada di batang (dermaga masyarakat). Kondisi ini telah terjadi akibat eksploitasi sumberdaya hutan secara besar- besaran oleh pengusaha HPH dan perkebunan untuk memenuhi permintaan pasaran dunia dan politik utang yang menyeret bangsa Indoneisa ke dalam ekonomi kapitalis dan pasar bebas yang merugikan masyarakat lokal tanpa melakukan kebijakan proteksi untuk mengamankan industri dalam negeri yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.
Disamping itu masyarakat Indonesia dipaksakan untuk memasuki era modernisasi ketidak mampuan masyarakat untuk bersaing dengan kebudayaan  bangsa asing sehingga mengakibatkan masyarakat harus tunduk terhadap kebudayaan bangsa asing, hal ini tampak dari proses pendidikan masyarakat Indonesia yang belum dibekali pengetahuan yang sepadan, salah satunya kecakapan dalam menguasai tegnologi.
oleh pelaku budaya lokal telah mengalami revitalisasi sejalan dengan berkembangnya pengetahuan dan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga menjadi pengetahuan publik  dalam mengatasi atau memberi respon terhadap realitas kehidupan yang dialami pada masa kini

                               

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
1.      Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, pre-experimental yang mengkaji kultur kebudayaan Indonesia dari pengaruh globalisasi zaman tanpa harus mengikis konsep kebudayaan yang telah ada. Penelitian ini tidak menggunakan kelompok kontrol tetapi menerapkan desain penelitian yang dilaksanakan dengan cara membandingkan hasil pre-test dengan hasil post-test. Desain yang digunakan dapat digambarkan sebagai berikut:
 Pre-test                           Treatment                                  Post-test
     T1                                                                X                                             T2
Tabel 3.1 Model Rancangan Penelitian (Arikunto, 2002)

Keterangan:
T1  : Pengukuran pertama sebelum subjek di beri perlakuan ( Pre-test)
X  : Treatment atau perlakuan (teknik self management)
T2 : Pengukuran kedua setelah subjek diberi perlakuan  (Post-test)
Adapun prosedur penelitian, mulai dari penentuan subjek penelitian, pre-test, pemberian perlakuan berupa teknik relaksasi, dan post-test, dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.                  Pelaksanaan pre-test terhadap subjek berupa pemberian angket penelititan yang berisi daftar pertanyaan tentang penggunaan waktu luang Pelaksanaan pre-test dilaksanakan selama 1 hari, dimana dalam pelaksanaanya di bantu oleh guru bimbingan konseling.
b.                  Pemberian perlakuan berupa teknik self management terhadap subjek penelitian.
c.                  Pelaksanaan post-test terhadap subjek penelitian berupa memberikan angket penelitian yang berisi item pertanyaan tentang penggunaan waktu luang siswa.

B.     Waktu  Dan Tempat Penelitian
1.      Waktu
Waktu diadakan penelitian ini adalah pada hari senin tanggal 21 oktober 2012
2.      Tempat
Tempat ddiadakan penelitian ini adalah berangkat dari sebuah inisiatif kedaerahan yang kemudian dikembangkan oleh peneliti kepada setiap segenap lapisan masyarakat Indonesia


C.    Populasi Dan Sampel
1.      Populasi
Menurut Suharsimi Arikunto, bahwa populasi adalah :

KeseIuruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau penelitiannya juga disebut populasi atau studi kasus

Berdasarkan pengertian tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lapisan masyarakat indonesia
2.      Sampel
Sutrisno hadi mengemukakan bahwa sampel adalah "sebagian dari populasi disebut sampel, se.jumlah penduduk jumiahnya kurang dari populasi". Oleh karena besarnya subjek dalam populasi, maka sampel dalam penelitian ini adalah segenap lapisan masyarakat Indonesia.


D.    Teknik Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah[1]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan adalah:

 

1)      Lembar Observasi
Lembar observasi yang digunakan adalah model checklist dimaksudkan untuk mengamati aktivitas masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya.
2)      Angket
Angket atau kuisioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responder dalam arti tanggapan pribadi atau hal-hal yang diketahuinya. Dalam penelitian ini yang hendak diungkap dari instrumen angket adalah tanggapan masyarakat dalam bernegara.
3)      Soal Tes
Test merupakan serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan atau kemampuan kognisi masyarakat. Test yang diberikan kepada responden dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan tetap mengacu pada kebudayaan yang ada. Tes disusun dalam bentuk tes uraian dan pilihan ganda.

4)      Dokumentasi
Instrumen dokumentasi yang digunakan adalah model checklist dan dokumentasi tertulis. Model checklist dimaksudkan untuk merekap data



Karya Tulis Ilmiah Pengertian Pergaulan


A.          Pengertian Pergaulan
Kata pergaulan identik dengan kata “gaul” mengulas tentang kata gaul pada pradaban kejayaan romawi ada suku yang bernama suku gaul yang pada waktu itu bangsa gaul menjadi budak kaum romawi, konon katanya mereka diberi nama bangsa gaul dikarnakan mereka memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda dengan bangsa atau suku lainnya, yang dimana mereka lebih cendrung memiliki sifat afatisme dan hedonisme yang artinya mereka akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Akan tetapi sikap persekawanan yang  mereka miliki sangat disambut mesra oleh bangsa atau suku lainnya karna mereka memiliki sifat persekawanan yang kuat, salah atau benar sesuatu itu mereka tetap memperjuangkannya. Mengingat tentang perjuangan atau pemberontakan kaum Sparta dari belenggu perbudakan dimana keprcayaan bangsa gaul diberikan oleh kaum Sparta untuk mencapai kebebasan dari belenggu perbudakan, walaupun pada waktu itu kepercayaan orang Sparta terhadap bangsa gaul terpecah dikarenakan adanya bangsa gaul yang lainnya menjadi penghianat atau dengan kata lain lebih memilih menjadi pengikut bangsa romawi akan tetapi tidak mengendurkan semangat perlawanan mereka. Setelah transisi masa pradaban modern seirirng dengan majunya teknologi  mulailah bermunculan berbagai jenis fasion sebagai bentuk pengejawantahan ekspresi pergaulan. Sekilas penjelasan dari argumentative diatas dapat ditarik sebuah benang merah pergaulan yang artinya  menjunjung tinggi kebersamaan, persekawanan, dan persaudaraan 
Sekilas tentang penjelasan sejarah pergaulan di ala eropanya, pergaulan dalam arti masyarakat pribumi intraksi antara sesama dengan maksud untuk  membangun hubungan emosional. Akan tetapi pengertian pergaulan telah menyimpang dari perbuatan para remaja masa kekinian, kebanyakan diantara para remaja menganggap bahwa pergaulan yang mereka maksud adalah identik dengan tata penggunaan bahasa  maupun fasion, merka beranggapan  siapa yang tidak tau berarti tidak modern, sebagai contoh kata LO dan GUE padahal dalam ejaan bahasa Indonesia yang baku tidak ada kata LU dan GUE, hal inilah yang terkadang menimbulkan kebingungan dalam konteks kehidupan masyarakat.
Bila kita ingin bercermin dikonteks ala eropa pergaulan merka jadikan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai contoh terjadinya revolusi prancis disaat ditemukannya mesin uap, sehingga majunya peradaban ala eropa dikarnakan karna adanya dukungan social. Hal inilah yang seharusnya menjadi cerminan bagi para kaum remaja adanya penemuan karna adanya inspirasi dan dukungan social sehingga adanya kebebasan dalam berpikir. Bukannya berpikir afatisme yang cendrung ingin melakukan kesenangan toh saja yang biasanya orang seperti ini tidak pernah mengalami kemajuan karna hanya memikirkan kesenangan toh saja, begitu pula dengan bersikap naïf yang cendrung hanya memikirkan diri sendiri biasanya orang seperti ini hanya memikirkan dirinya toh saja, tanpa harus melihat status.  
Dari apa yang diuraikan diatas dapat disimpulakan pergaulan adalah sebagai bentuk intraksi dengan tujuan membangun statu kebersamaan, persaudaraan dan persekawanan.
                                                              
B.     Remaja
1.      Pengertian Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.MenurutWHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24tahun.Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja adalah masa yang sangat menentukan bagi diri individu, karena pada masa ini remaja mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Perubahan kondisi kejiwaan menyebabkan remaja mudah melakukan perilaku yang menyimpang dari aturan dan nrma sosial yang berlaku di masyarakat. Keadaan tersebut muncul karena pada masa ini remaja sedang dalam pencarian jati diri (Sabri, 1993).
Dari uaraian diatas dapat disimpulkan remaja adalah masa transisi kanak-kanak menuju dewasamulai pada 10 tahun sampai 19 tahun dan belum berstatus kawin dengan diiringi pola perubahan prilaku baik emosi, tubuh, minat, juga mampu mengatasi masalah-masalahnya.

2.      Factor-faktor yang mempengaruhi
1.      Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.
2.      Dimensi kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

3.      Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.
Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat yang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

4.      Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja  cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”.
Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu.
( Kaplan dan Sadock, 1997 ). Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja Dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan – kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini.

Diantaranya adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negative pada remaja. Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan alcohol, tembakau dan zat lainnya;
aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang gantung.

         


BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Pendekatan dan Jenis Penelitian
1.      Pendidikan Dan Jenis penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Corbin dan Strauss, 2003) dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor, 1993). Denzin dan Lincoln (Salam, 2006) mengemukakan bahwa kualitatif menekankan pada proses dan makna yang tidak diuji atau diukur dengan setepat-tepatnya, dalam istilah-istilah kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensi. Penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat statistik atau alat-alat kuantifikasi lainnya. Konsep tersebut menekankan bahwa penelitian kualitatif ditandai oleh penekanan pada penggunaan non-statistik khususnya dalam proses analisis data sehingga suatu temuan penelitian secara alamiah.


B.     Waktu  Dan Tempat Penelitian
1.      Waktu
Waktu diadakan penelitian ini adalah pada hari sabtu tanggal 19 November  2012
2.      Tempat
Tempat diadakan penelitian ini adalah berangkat dari sebuah inisiatif kedaerahan peneliti mencoba mengamati  setiap remaja yang mengalami pengaruh dampak pergaulan bebas.

C.    Populasi Dan Sampel
1.      Populasi
Menurut Suharsimi Arikunto, bahwa populasi adalah :

KeseIuruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau penelitiannya juga disebut populasi atau studi kasus
Berdasarkan pengertian tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak yang mengalami dampak pengaruh televise.
2.      Sampel
Sutrisno hadi mengemukakan bahwa sampel adalah "sebagian dari populasi disebut sampel, se.jumlah penduduk jumiahnya kurang dari populasi". Oleh karena besarnya subjek dalam populasi, maka sampel dalam penelitian ini adalah anak-anak yang mengalami dampak pengaruh televise.

D.    Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data  kualitatif. Data tersebut diperoleh dengan menggunakan tehnik sebagai berikut:

1.    Observasi
Pengambilan data berupa informasi mengenai situasi belajar mengajar yang menyangkut aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman yang di dalamnya sudah tertera indikator – indikator yang akan diamati.

2.    Tes
Pengambilan data berupa informasi mengenai penguasaan siswa terhadap materi bidang studi IPA yang dilakukan dengan cara pemberian soal-soal. Tes ini dilakukan pada akhir setiap tindakan. Hasil dari tes ini berupa skor yang diperoleh siswa.

3.    Dokumentasi
Tehnik ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi belajar mengajar berupa foto-foto.

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...