Senin, 11 November 2013

Harry Tjan Silalahi Member, Board of Trustee

                                                                      Harry Tjan Silalahi
                                                                    Member, Board of Trustee


Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.


KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 155 /U/1998

                                                                       TENTANG
PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI PERGURUAN TINGGI
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Menimbang
a. bahwa pendidikan nasional telah mengalami perkembangan yang memerlukan penyesuaian dan pemantapan baik dalam hal kebijaksanaan maupun tatanannya;
b. bahwa pengembangan kehidupan kemahasiswaan adalah bagian integral dalam sistem pendidikan nasional sebagai kelengkapan kegiatan kurikuler;
c. bahwa organisasi kemahasiswaan perlu ditingkatkan peranannya sebagai perangkat perguruan tinggi dan sebagai warga sivitas akademika;
d. bahwa pengembangan organisasi kemahasiswaan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan reformasi di bidang pendidikan tinggi dan tuntutan globalisasi pada masa mendatang;
e. bahwa sesuai dengan butir a, b, c, dan d dipandang perlu menetapkan pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi;
Mengingat
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi beserta perubahannya;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN
DI PERGURUAN TINGGI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan
1. Organisasi kemahasiswaan intra. perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.
2. Tujuan pendidikan tinggi adalah :
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetatman, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
3. Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman tentang arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerjasama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
4. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan akademik yang meliputi : kuliah, pertemuan kelompok kecil (seminar, diskusi, responsi), bimbingan penelitian, praktikum, tugas mandiri, belajar mandiri, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (kuliah kerja nyata, kuliah kerja lapangan dan sebagainya).
5. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial bagi masyarakat.
Pasal 2
Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
BAB II
BENTUK ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Pasal 3
(1) Di setiap perguruan tinggi terdapat satu organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan.
(3) Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Organisasi kemahasiswaan pada sekolah tinggi, politeknik, dan akademi menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
(5) Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang sejenis menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TANGGUNGJAWAB
Pasal 4
Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 5
Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi mempunyai fungsi sebagai sarana dan wadah:
1. perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahasiswaan;
2. pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan;
3. komunikasi antar mahasiswa;
4. pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan;
5. pengembangan pelatihan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa;
6. pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional;
7. untuk memelihara dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan.
Pasal 6
Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi.
BAB IV
KEPENGURUSAN, KEANGGOTAAN DAN MASA BAKTI
Pasal 7
(1) Pengurus organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi pada masing-masing tingkat sekurang-kurangnya terdiri atas ketua umum, sekretaris dan anggota pengurus.
(2) Pengurus ditetapkan melalui pemilihan yang tatacara dan mekanismenya ditetapkan oleh mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 8
Keanggotaan organisasi kemahasiswaan pada masing-masing tingkat adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar dan masih aktif dalam kegiatan akademik.
Pasal 9
Masa bakti pengurus organisasi kemahasiswaan maksimal 1 (satu) tahun dan khusus untuk ketua umum tidak dapat dipilih kembali.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
(1) Pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada anggaran perguruan tinggi yang bersangkutan dan/atau usaha lain seijin pimpinan perguruan tinggi dan dipertanggungiawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Penggunaan dana dalam kegiatan kemahasiswaan harus dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Semua organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang telah ada pada saat ditetapkannya Keputusan ini agar menyesuaikan dengan Keputusan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Petunjuk teknis pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1998
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
ttd.
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelitian dan. Pengembangan Pendidikan. dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Badan Penelitian. dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
6. Semua Rektor universitas/institut, Ketua sekolah tinggi, Direktur politeknik/akademi di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara,
9. Badan Pemeriksa Keuangan,
10. Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan,
11. Komisi VII DPR-RI.


Menimbang Urgensi RUU BHP

                                                           Menimbang Urgensi RUU BHP
                                                                 Oleh : Dinoroy Aritonang


Beberapa waktu yang lalu telah diadakan uji publik terhadap RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh pihak Panja DPR RI. Dalam forum uji publik tersebut bisa disimpulkan bahwa semua pihak pada dasarnya belum bisa menerima konsep yang ditawarkan dalam RUU tersebut meskipun hingga draft terakhir beberapa masukan dan keinginan masyarakat sudah berusaha diakomodasi. Pro dan kontra akhirnya pun muncul kembali seperti ketika awal kemunculannya. Dalam kesempatan itu juga, pihak DPR RI sendiri setuju bahwa draft terakhir tanggal 5 Desember 2007 masih jauh dari final, sehingga bisa diperkirakan bahwa sampai tahun ini draft RUU BHP belum bisa dirampungkan. Beranjak dari hasil forum uji publik tersebut ada beberapa hal yang memang perlu dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah dan DPR sebelum melanjutkan RUU tersebut ke tahapan yang lebih serius. Hal ini sangat terkait dengan fungsi dan kelayakan RUU tersebut sebagai sebuah kebijakan yang akan mempengaruhi semua pihak.
Tanpa Visi
Kehadiran RUU BHP patut diakui secara yuridis memang merupakan kehendak dari UU Sisdiknas dimana dalam pasal 53 ayat (1) dikatakan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan dan untuk selanjutnya BHP akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa visi yang dibawa dalam RUU BHP akan mengacu kepada visi dalam UU Sisidiknas yang menyatakan bahwa hendak diwujudkannya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa, untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Beranjak dari visi tersebut maka paling tidak perlu ada benang merah yang mampu menjelaskan dengan rasional dan beralasan bahwa untuk mendukung visi di atas maka diperlukan sebuah instrumen yang bernama RUU BHP. Pertanyaannya adalah apakah visi yang jelas mengenai perlunya dibentuk BHP sudah tertuang dalam RUU BHP. Jawabannya belum, sebab dalam draft terakhir pun alasan logis mengapa BHP merupakan sistem yang hendak dibangun belum tertuang sama sekali. Apabila dipandang secara yuridis, jelas bahwa keberadaan RUU BHP merupakan amanat dari UU Sisdiknas, namun paling tidak pemerintah harus memiliki argumen dan alasan yang mapan mengapa dulu metode itu (BHP) yang dipilih. Sebab jika tidak maka hal ini bisa menjadi salah satu kelemahan yang paling mendasar dalam sebuah kebijakan. Pemerintah harus dapat meyakinkan masyarakat sebagai penyelenggara dan peserta pendidikan bahwa keberadaan BHP bisa diterima tidak hanya dari segi yuridis namun juga dari sisi kemanfaatan. Tanpa visi yang jelas sebuah kebijakan tidak akan membawa perbaikan dan solusi sama sekali.  
Ketergesaan pemerintah
Sebelum munculnya RUU BHP, saat ini sudah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan dengan pendidikan, antara lain UU Guru dan Dosen dan peraturan perundang-undangan mengenai BHMN. Pada awal kemunculan sampai pada pelaksanaannya keberadaan kedua peraturan tersebut terutama BHMN juga megandung pro dan kontra, meskipun pada akhirnya semua pihak dapat menerimanya. Tetapi permasalahanya sekarang adalah sampai saat ini pekerjaan pemerintah tersebut belum selesai, bahkan pemerintah masih perlu mengevaluasi kembali keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebagai contoh, ada beberapa perguruan tinggi yang dari segi waktu baru saja menerapkan konsep BHMN dalam pengelolaannya sekarang sudah diperhadapkan dengan status baru sebagai BHP. Selain itu apabila merujuk pada UU Guru dan Dosen sampai saat ini masih banyak kewajiban legal pemerintah yang belum terlaksana sepenuhnya, seperti pemberian sertifikasi kepada guru dan dosen sebagai dasar kualifikasi menyandang status sebagai pendidik. Belum lagi bila berbicara mengenai tingkat kesejahteraan dan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Artinya dalam hal ini pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang banyak sebelum ’menciptakan’ pekerjaan rumah yang lain.Oleh karena itu, sepatutnya pemerintah lebih memfokuskan diri pada sejumlah tugas di atas. Hal yang pertama adalah selesaikan dulu pekerjaan rumah tersebut dan lakukan evaluasi untuk menilai sejauh mana perkerjaan tersebut sudah diselesaikan dan bagaimana tingkat keberhasilannya, baru kemudian mulai memikirkan langkah lain sebagai bagian dari perbaikan menyeluruh sistem pendidikan kita. Setiap perubahan perlu waktu yang tepat untuk melaksanakannya, jangan sampai apa yang sudah dibangun pemerintah sendiri harus dirombak lagi dengan yang baru hanya karena menjalankan amanat UU tanpa melihat perkembangan dan akibatnya. 1 Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara Perwakilan Bandung (STIA LAN Bandung), Peserta dalam Uji Publik RUU BHP di ITB Bandung, 5 Desember 2007

Kekurangan RUU BHP
RUU BHP secara substansi bukan tanpa ‘cacat’, sebab masih terdapat banyak kekurangan dalam aturan-aturannya, dan bahkan meyimpang dari sistem hukum kita. Salah satunya adalah digunakannya Peradilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikan perselisihan antara penyelenggara pendidikan (BHP)dengan tenaga pendidik yang diikat berdasarkan kontrak kerja. Padahal dalam sistem hukum kita sudah jelas bahwa untuk kasus seperti di atas harus diselesaikan dalam peradilan perburuhan atau peradilan umum. Hal ini bisa berbahaya sebab dalam draft saja kelemahan mendasar belum tergali apalagi jika sudah berlaku sebagai sebuah kebijakan. Permasalahan lain adalah konsep BHP diwajibkan kepada semua lembaga penyelenggara pendidikan tanpa memandang perbedaan kemampuan. Selain itu pelaksanaannya pun sepertinya hendak dilaksanakan secara serentak tanpa proses penjajakan terlebih dahulu. Apabila dibandingkan dengan BHMN maka, BHP merupakan kebijakan yang kurang bijak, sebab tidak semua PTN di Indonesia yang wajib untuk melaksanakan BHMN, hanya PTN yang dianggap mampu dan sudah siap saja. Artinya ada semacam pencontohan terlebih dahulu lalu kemudian dievaluasi, dan hasil tersebut dapat dijadikan acuan untuk lembaga pendidikan yang lain.
Makna kebijakan
Kelak jika RUU BHP menjadi Undang-undangan maka keberadaannya sudah pasti mengikat dan memaksa sebagai sebuah kebijakan, sebab hal tersebut sudah merupakan konsekuensi legal. Sebagai sebuah kebijakan ada beberapa hal lain yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya selain instrumen hukum yaitu struktur organisasi dan mekanisme operasi (sistem). Hal ini berarti pemerintah perlu merealisasikan RUU BHP dari segi kelembagaan dan sistem yang hendak diciptakan sesuai amanat RUU tersebut. Sebagai ’calon’ sebuah kebijakan, hal yang harus diperhatikan pertama kali adalah pada tahap formulasi, sebab hal ini akan sangat mempengaruhi dalam tahap implementasinya, untuk kemudian mengevaluasinya. Jika tidak, maka besar kemungkinan dalam pelaksanaan akan mengalami banyak kendala yang dapat berasal dari ketidaksiapan pemerintah sendiri sebagai pelaksana dari RUU tersebut dan dari masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dalam ranah kebijakan publik hal ini disebut sebagai
policy failure
 (kegagalan kebijakan). Akibat dari kegagalan kebijakan ada dua yaitu kebijakannya diubah kembali bahkan dicabut dan diganti dengan kebijakan yang baru ataukah badan pelaksananya yang diganti dan kemudian membentuk yang baru. Oleh karena itu, RUU BHP harus bercirikan sebuah kebijakan yang baik, yaitu mampu melihat ke depan dan keluar, inovatif dan kreatif, didasarkan pada bukti, mampu mempengaruhi publik, melibatkan semua pihak terkait, dapat dievaluasi dan beranjak dari pengalaman.  Oleh Karena itu, pemerintah harus lebih memberi perhatian pada kesiapan dan kemampuan riil lembaga penyelenggara pendidikan. Jangan sampai, pemerintah seolah lepas tangan ketika RUU BHP akhirnya berlaku dan mengikat semua pihak.*****

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...