Kamis, 10 Desember 2015

JURNAL Annual Report 2000

Supporting early childhood development in 2000:
a reflective review

What happens during the very earliest years
of a child’s life, from birth to age three,
influences how the rest of childhood and
adolescence unfolds. Yet this critical time is
usually neglected in the policies, programmes
and budgets of countries.
This quotation, taken from
s The State of  the World’s Children 2001, justifies ’s own
whole-hearted commitment to the healthy
development of young children. It also serves as
a rallying cry for all who should be contributing
to that healthy development: from governments
and international agencies, all the way through
to those such as community-based
organisations and parents who are closest to
children day by day. In addition, s report
details the kinds of adverse circumstances that
can blight this development – for example, war
and conflict; poverty; violence; and . In
doing so, it sets the broad agenda for action.
Given its long commitment to the healthy
development of children from zero to seven
years, where does the Bernard van Leer
Foundation fit in? We see ourselves as partners
of organisations at all levels, offering them a
great deal of accumulated experience in
supporting work aimed at benefiting children,
directly and indirectly, in the short term and in
the long term.We also bring to our partnerships
a number of principles that inform and direct
our work. These include the following.
- Recognising that children themselves are
resilient, creative, natural agents in their own
development.Work with children must build
on these truths.
- Concentrating our resources on a limited
number of countries in which to support
projects – currently 43 in total.
- Working thematically. That means
identifying common areas of concern or
interest across countries and regions, and
structuring much of our programme of
project support around them.
- Working with project partners: they have the
most pertinent overviews of the daily realities
and factors that impact on the lives of
children.
- Funding projects that enable and support
parents and other caregivers. These are the
people who are closest to children, and
should have and do have the most direct,
practical, appropriate and sustained impact
on children.
- Recognising that early childhood
development projects are often valuable
components in a wider community
development programme.
- Developing strategic alliances with fellow
organisations. This ensures that we
complement each other’s efforts to
contribute directly or indirectly to the wellbeing
of young children.
- Sharing what we and our project partners are
learning, via an extensive dissemination
programme – see pages 10-11.
In addition, we recognise that we have a duty to
be as effective as possible. This means learning
from what we do, learning from our partners,
and making changes to improve our
performance. In this sense, 2000 was another
year of learning for the Foundation and this will
be the main theme in my review.
Towards a more effective Foundation
Our learning is centred on our project partners
– the organisations that develop and operate the
early childhood development  projects
that we fund. Our learning starts with the
nature of our relationship with them. This
Bernard van Lee r Foundation 4 Annua l Re por t

FILE FULL DOWNLOAD HERE


Annual Report 2000


SENI RUPA DAN SENI LUKIS

Seni Rupa Menurut Fungsinya :

a.    Seni Rupa Murni (Fine Art) :
  Seni rupa yang diciptakan tanpa mempertimbangkan kegunaannya atau seni bebas (Free Arat).
  Contoh : seni lukis, seni patung, seni grafika dll.

b.     Seni Rupa Terapan/pakai (Applied Art):

1.     Seni lukis
                Karya seni dua demensi yang bisa mengungkapkan pengalaman atau perasaan si pencipta. Pelukis yang sedang sedih akan tercipta karya yang bersifat susah, sedangkan pelukis yang sedang gembira akan tercipta karya yang riang. Karya tersebut terlihat pada goresan, garis-garis dan pewarnaan.
2.     Seni Kriya
                Karya  seni  terapan  yang  mengutamakan  kegunaan  dan  keindahan (estetis)  yang  bisa  menarik  konsumen. Seni  kriya/kerajinan (handy Craff)  ini biasanya untuk hiasan dan  cenderamata.  Karena  karya  ini termasuk  karya  yang di perjual belikan dan berguna bagi kehidupan masyarakat sehari- hari baik untuk alat rumah tangga maupun untuk hiasan.  Bahkan satu desain kriya ini bisa di produksi dalam jumlah banyak oleh industri dan di pasarkan sebagai barang dagangan.
3.     Seni Patung
                Seni Patung termasuk karya 3 Demensi. Karya seni ini termasuk seni murni yang diciptakan untuk mengungkapkan ide-ide dan perasaan dari seniman yang mempunyai nilai   estestis yang tinggi.
4.    Seni Dekorasi
                Karya seni yang bertujuan menghias suatu ruangan agar lebih indah. Contoh : Interior (dalam ruang : kamar, ruang pertemuan, panggung, dll) Eksterior (luar ruang : taman, kebun)
5.     Seni Reklame
Reklame berasal dari Bahasa Latin (Re dan Clamo) artinya berteriak berulang-ulang. Tujuannya untuk mempengaruhi, mengajak, menghimbau orang lain. Contoh : iklan, spanduk,  poster, dll

DOWNLOAD FILE LENGKAP

FILE SENI RUPA DAN LUKIS

SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pembelajaran merupakan usaha untuk membuat peserta didik belajar atau kegiatan untuk membelajarkan peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistema Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 20, dinyatakan bahwa “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Secara empirik, terdapat lima jenis interaksi yang dapat berlangsung dalam proses belajar dan pembelajaran, yaitu: 1) interaksi antara pendidik dengan peserta didik; 2) interaksi antarsesama peserta didik atau antarsejawat; 3) interaksi peserta didik dengan narasumber; 4) interaksi peserta didik bersama pendidik dengan sumber belajar yang sengaja dikembangkan; dan 5) interaksi peserta didik bersama pendidik dengan lingkungan sosial dan alam (Warsita, 2008).
Kegiatan pembelajaran harus dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan yang bervariasi dan berfokus atau berpusat pada kondisi dan kepentingan peserta didik. Pengalaman belajar harus memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Oleh karena itu, inti dari pembelajaran adalah bagaimana proses belajar tersebut terjadi pada peserta didik dengan memanfaatkan seoptimal mungkin seluruh jalur kemampuan peserta didik dan dengan mempertimbangkan tipologi atau gaya belajar murid.
Kegiatan belajar hanya bisa berhasil jika peserta didik belajar secara aktif dan mengalami sendiri proses belajar tersebut. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi peserta didik jika dilakukan dalam lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan. Kebermaknaan belajar peserta didik sangat ditentukan sejauh mana model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan oleh guru dapat mengaktifkan secara terintegrasi jalur belajar murid dalam hal ini murid dapat berpikir (bernalar), dapat mengkomunikasikan hasil berpikirnya, dan dapat mendokumenta-sikan hasil berpikir tersebut sehingga dapat direkam jejak pemikirannya tersebut. 
Secara implisit, di dalam pembelajaran guru dapat memilih, menetapkan, dan mengembangkan model untuk mencapai hasil pembelajaran sebagaimana yang diinginkan di atas, sebab pembelajaran lebih menekankan pada cara-cara untuk mencapai tujuan dan berkaitan dengan cara mengorganisasikan isi pembelajaran, menyampaikan isi dan mengelola pembelajaran. Namun, kenyataan di lapangan fungsi dan wewenang guru tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini tentunya berefek secara simultan terhadap kualitas proses pembelajaran dan hasil pembelajaran. Dalam hal proses, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar masih didominasi dengan penggunaan model ceramah monoton (pemberian informasi), di mana murid diberi tugas, guru duduk menunggu hasil kerja murid, guru memeriksa, adakan evaluasi, dan selesai. Padahal paradigma baru model pembelajaran adalah memberikan keikutsertaan peserta didik secara aktif dalam kegiatan proses belajar mengajar, sebagaimana dikemukakan Wena (2009: 189) bahwa “perlu adanya kegiatan belajar mengajar sebagai pendorong peserta didik untuk aktif berpartisipasi”.
Sedangkan dalam hal hasil, model konvensional tersebut pada akhirnya menjadikan hasil belajar murid tidak memenuhi target. Hasil observasi dan hasil rapat kenaikan kelas tahun pelajaran 2008/2009 dengan para guru SD Negeri 558 Bide, terungkap bahwa untuk hasil belajar bidang studi bahasa Indonesia murid kelas IV tahun pelajaran 2008/2009, di mana 53,33% dari 30 murid tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 7,0.
Padahal mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembang-kan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menemukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memiliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti tentang upaya meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia melalui penerapan model pembelajaran think talk write pada murid kelas IV Mis. Darul Ulum Kec. Bantimurung Kabupaten Maros.
B.    Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pembelajaran model think talk write dapat meningkatkan keterampilan berbicara  pada mata pelajaran bahasa Indonesia murid kelas IV SD Impres Tidung II  Kecematan Rappcini Kota Makassar?.
2.    Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran think talk write. Model pembelajaran think talk write diduga mampu memecahkan permasa-lahan utama yakni rendahnya hasil belajar murid bidang studi bahasa Indonesia karena dalam sintaks pembelajaran think talk write murid dilatih menemukan kebermaknaan belajar melalui pendayagunaan kemampuan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan mencari alternative solusi), kemampuan mengkomunikasikan hasil bacaannya dengan presentasi, diskusi, dan kemudian melatih kemampuan membuat laporan hasil presentasi.
Indikator keberhasilan tindakan yang diambil adalah jika skor rata-rata aktivi-tas dan hasil belajar murid yang diukur dengan menggunakan lembar observasi dan tes meningkat secara matematis dari satu siklus ke siklus berikutnya.
C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar bidang studi bahasa Indonesia melalui model pembelajaran think talk warite pada murid kelas IV MIS. Darul Ulum Kec. Bantimurung Kabupaten Maros.
D.    Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian in diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1.    Manfaat Teoritis
Sebagai landasan teoritis memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada guna meningkatkan hasil belajar murid dalam bidang studi bahasa Indonesia.
2.    Manfaat Praktis
a.    Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat membantu pengambil kebijakan dalam merumuskan program pendidikan di sekolah sehingga terwujud pemerataan akses pendidikan berkualitas di daerah.
b.    Bagi guru, hasil penelitian ini dapat membantu guru dalam mencoba dan mengembangkan model pembelajaran think talk write, yang sesuai dengan kondisi dan konteks masing-masing, sehingga akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan dan semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
c.    Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan pe-ngembangan penelitian yang relevan dengan studi dan variabel yang berbeda.


FILE LENGKAP DAPAT DOWNLOD DI BAWAH

FILE PROPOSAL
FILE RPP
FILE DAFTAR / SAMPUL

SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING


PENDAHULUAN
 

A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu kelemahan sistem pengajaran tradisional adalah menitikberatkan pada sistem impasisi sebagaimana dikemukakan Hamalik (2004: 55), yakni “pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid”. Cara tersebut di atas tentu tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai dengan kesanggupan, kebutuhan, minat dan tingkat perkembangan murid. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan didasarkan atas motivasi dan tujuan pembelajaran pada murid. Ketika hal tersebut terjadi, maka hal itu akan mempengaruhi semangat dan orientasi belajar murid, karena adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan murid dan keinginan guru.
Perubahan (perbaikan) pada aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan seperti peningkatan kualitas tenaga pengajar merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang pada Bab XI pasal 39 ayat 2 bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran”, dan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang pada Bab III pasal 4 ayat 5 bahwa “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”.
Salah satu aspek yang berkaitan dengan budaya membaca adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara memegang peranan penting dalam upaya melahir-kan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Dengan mengua-sai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran (gagasan/ide) dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi ketika sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang beradab, komunikatif, jelas, runtut dan mudah dipahami.
Keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar saat ini dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Menurut Tarigan (1991: 40) bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak, terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti: menulis laporan ilmiah, membuat surat lamaran pekerjaan, berbicara di depan umum atau berdiskusi, berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, dan membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, dan sebagainya.
Di samping itu, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelek-tual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih rendahnya taraf pencapaian keterampilan berbicara murid kelas VI SD Negeri 598 Kadong-Kadong Kabupaten Luwu dari apa yang telah dikemukakan di atas. Berdasarkan hasil observasi awal menunjukkan: 1) beberapa murid kurang dapat menggunakan bahasa Indonesia yang standar dan baku sebagai pengantar komunikasi dalam interaksi edukasi, baik terhadap guru maupun sesama temannya, 2) hasil analisis terhadap tugas-tugas tertulis pada beberapa bidang studi ditemukan penulisan istilah-istilah yang tidak baku yang digunakan murid disebabkan karena murid kurang familiar dan kurang terbiasa menggunakan istilah-istilah tersebut dalam proses komunikasinya sebagai bagian dari keterampilan berbicara, dan 3) indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan murid dalam berbicara seperti kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata, seluruhnya menunjukkan kategori pencapaian yang rendah.
Di samping itu, hasil diskusi dengan beberapa guru yang terkait dengan identifikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan murid berbicara, yaitu: (1) penggunaan bahasa Indonesia dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran masih kurang, karena murid dalam interaksinya sesama murid lebih banyak menggunakan bahasa daerahnya; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan masih rendah; dan (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor penentu tindak komunikatif kurang diterapkan.
Adapun terhadap indikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara murid yaitu proses atau metode pembelajaran yang selama ini dikembangkan oleh guru kurang inovatif dan kreatif. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana murid berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif.
Salah satu metode pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang sesuai konteks, aktif, efektif, dan menyenangkan adalah penerapan model pembelajaran role playing. Melalui model role playing, murid diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.
            Oleh karena itu, diharapkan melalui model role playing mampu membawa murid ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang kognitif, emosional, dan afektif, maka judul penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran role playing dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara murid kelas VI SD Negeri 598 Kadong-Kadong Kabupaten Luwu.
B.     Rumusan dan Pemecahan Masalah
1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yakni: Apakah pembelajaran model role playing dapat meningkatkan keterampilan berbicara murid kelas VI SD Negeri 598 Kadong-Kadong Kec. Bajo Kabupaten Luwu?.
2.      Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan pembelajaran model role playing. Secara teoritik model pembelajaran role playing diduga mampu memecahkan masalah rendahnya keterampilan berbicara murid dengan bahasa ujaran yang standar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia karena dalam pembelajaran role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa tutur (Syamsu, 2000).
Di samping itu, dalam role playing murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Indonesia) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid. Prinsip pembelajaran bahasa menjelaskan bahwa dalam pembelajaran bahasa, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan menggunakan bahasa dengan melakukan berbagai kegiatan bahasa. Bila mereka berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari.  
Secara empirik, model pembelajaran role playing telah terbukti keberhasilannya lewat hasil penelitian yang relevan seperti hasil penelitian Mudairin (2003) pada pembelajaran bahasa Inggris murid kelas II (dua) B SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, di mana hasilnya menunjukkan bahwa dari 41 murid 51% yang menyatakan merasa kesulitan memahami arti kosa kata pada siklus I menjadi menjadi 31% pada siklus II. Ini dikarenakan kosa kata yang dipakai dalam role play banyakyang dikenal oleh murid, ditambah lagi peneliti lebih banyak menggunakan gambar, realita dan gesture untuk membantu murid memahami artinya. Kemudian dari 70% murid pada siklus sebelumnya yang menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam role play, kini meningkat menjadi 87% pada siklus II. Kondisi yang demikian ini banyak dipengaruhi oleh latihan melafalkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris pada siklus-siklus sebelumnya. Demikian pula yang menyatakan senang bermain Role Play, semula dari 82% meningkat menjadi 91% pada siklus II, yang demikian ini karena bermain merupakan kegiatan yang disukai murid SLTP jadi wajar kenaikan itu drastis.
Oleh karena itu, indikator keberhasilan tindakan pembelajaran model role playing adalah jika nilai rata-rata keterampilan berbicara murid yang meliputi: 1) kelancaran berbicara, 2) ketepatan pilihan kata (diksi), 3) struktur kalimat, 4) kelogisan (penalaran), 5) kejelasan uraian, 6) kemampuan meringkas/menyimpulkan pembicaraan, dan kontak mata pada saat berbicara meningkat secara matematis dari satu siklus ke siklus berikutnya melalui model pembelajaran role playing. 

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbicara murid kelas VI SD Negeri 598 Kadong-Kadong Kec. Bajo Barat Kabupaten Luwu melalui pembelajaran model role playing.

D.    Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian in diharapkan dapat memberi manfaat atau kontribusi yaitu:
1.      Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah teori pembelajaran bahasa dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara khususnya murid sekolah dasar kelas VI.
2.      Manfaat Praktis
  1. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai tantangan bagi guru agar pengajaran bahasa Indonesia di kelas tidak harus selalu berorientasi pada perolehan hasil akhir, melainkan bagaimana membekali murid dengan keterampilan-keterampilan yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi nanti yaitu keterampilan berbicara.
Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan, informasi, dan data untuk pengembangan penelitian yang berkaitan dengan upaya peningkatan keterampilan berbicara dengan variabel yang berbeda

FILE LENGKAP DAPAT ANDA DOWNLOAD

FILE PART I
FILE PART II
FILE PART III
 

SKRIPSI SUPIANA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu kelemahan sistem pengajaran tradisional adalah menitikberatkan pada sistem sebagaimana dikemukakan Hamalik (2004: 55), yakni “pengajaran dengan cara menuangkan hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid”. Cara tersebut di atas tentu tidak mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang diberikan itu sesuai dengan kesanggupan, kebutuhan, minat dan tingkat perkembangan murid. Tidak pula diperhatikan apakah bahan-bahan yang diberikan didasarkan atas motivasi dan tujuan pembelajaran pada murid. Ketika hal tersebut terjadi, maka hal itu akan mempengaruhi semangat dan orientasi belajar murid, karena adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan murid dan keinginan guru.
Perubahan (perbaikan) pada aspek-aspek yang berkaitan dengan pendidikan seperti peningkatan kualitas tenaga pengajar merupakan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang pada Bab XI pasal 39 ayat 2 bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran”, dan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang pada Bab III pasal 4 ayat 5 bahwa “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”.
Salah satu aspek yang berkaitan dengan budaya membaca adalah keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara memegang peranan penting dalam upaya melahir-kan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya. Dengan mengua-sai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran (gagasan/ide) dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi ketika sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan tuturan atau ujaran yang beradab, komunikatif, jelas, runtut dan mudah dipahami.
Keterampilan  berbicara  dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar saat ini dituangkan  dalam tujuan  pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit  dinyatakan dalam kurikulum. Menurut Tarigan (1991: 40) bahwa “Terampil dalam berbahasa meliputi empat hal, yakni: terampil menyimak, terampil berbicara, terampil menulis dan terampil membaca”. Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti: menulis laporan ilmiah, membuat surat lamaran pekerjaan, berbicara di depan umum atau berdiskusi, berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, dan membuat karangan-karangan bebas untuk  majalah, koran, surat-surat pembaca, dan sebagainya.
Di samping itu, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelek-tual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Hasil diskusi dengan beberapa guru dan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 5-8 januari 2012 kenyataan menunjukkan bahwa masih  rendahnya taraf pencapaian keterampilan berbicara murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecamatan Suppa  Kabupaten  Pinrang sebagaimana berdasarkan hasil observasi awal menunjukkan: 1) beberapa murid kurang dapat menggunakan bahasa Indonesia yang standar dan baku sebagai pengantar berbicara dalam interaksi edukasi, baik terhadap guru maupun sesama temannya, 2) hasil analisis terhadap tugas-tugas tertulis pada beberapa bidang studi ditemukan penulisan istilah-istilah yang tidak baku yang digunakan murid disebabkan karena murid kurang familiar dan kurang terbiasa menggunakan istilah-istilah tersebut dalam proses berbicaranya sebagai bagian dari keterampilan berbicara, dan 3) indikator-indikator  yang  digunakan untuk mengukur keterampilan murid dalam berbicara seperti kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata, seluruhnya menunjukkan kategori pencapaian yang rendah.yang terkait dengan identifikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan murid berbicara, yaitu: (1) penggunaan bahasa Indonesia dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran masih kurang, karena murid dalam interaksinya sesama murid lebih banyak menggunakan bahasa daerahnya; (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan masih rendah; dan (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor penentu tindak komunikatif kurang diterapkan. Di samping itu, jika diperhatikan hasil belajar murid pada bidang studi  bahasa indonesia terkhusus  dalam keterampilan  berbicara masih tergolong rendah dimana nilai rapor murid masih banyak diseputaran 5,6 sementara nilai yang diharapkan atau kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan adalah 6,5 ke atas baru dikategorikan baik dan tuntas secara klasikal.
Indikasi penyebab rendahnya tingkat keterampilan berbicara murid yaitu proses atau metode pembelajaran yang selama ini dikembangkan oleh guru kurang inovatif dan kreatif. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas bukan bagaimana murid berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan berbicara hanya sekadar melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunjang secara emosional dan afektif.
Salah satu metode pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang sesuai konteks, aktif, efektif, dan menyenangkan adalah penerapan model pembelajaran Think Talk Write. Melalui model Think Talk Write, murid diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.
Melalui model Think Talk Write mampu membawa murid ke dalam situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara melekat pada diri murid sebagai sesuatu yang kognitif, emosional, dan afektif, maka judul penelitian ini Adalah  Meningkatkan Keterampilan Berbicara Pada Mata Pelajaran Bah asa Indonesia Melalui Model Pembelajaran Thing Talk Write Pada Murid Kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang.
B.    Rumusan Masalah dan pemecahan masalah
1.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yakni: Bagaimanakah peningkatkan keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia melalui model pembelajaran kooperatif tipe think talk write pada murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang  ?
2.    Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran think talk write. Model pembelajaran think talk write diduga mampu memecahkan permasa-lahan utama yakni rendahnya hasil belajar murid bidang studi bahasa Indonesia karena dalam sintaks pembelajaran think talk write murid dilatih menemukan kebermaknaan belajar melalui pendayagunaan kemampuan berbicara melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan mencari alternative solusi), kemampuan mengmembicarakankan hasil bacaannya dengan presentasi, diskusi, dan kemudian melatih kemampuan membuat laporan hasil presentasi.


C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbicara murid kelas IV SDN 110 SABAMPARU Kecematan Suppa Kabupaten Pinrang. Melalui model pembelajaran think talk write. 
D.    Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat atau kontribusi yaitu:
1.    Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah teori pembelajaran bahasa dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara khususnya murid sekolah dasar kelas IV.
2.    Manfaat Praktis
a.    Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai tantangan bagi guru agar pengajaran bahasa Indonesia di kelas tidak harus selalu berorientasi pada perolehan hasil akhir, melainkan bagaimana membekali murid dengan keterampilan-keterampilan yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi nanti yaitu keterampilan berbicara.
b.    Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan, informasi, dan data untuk pengembangan penelitian yang berkaitan dengan upaya peningkatan keterampilan berbicara dengan variabel yang berbeda.
c.     Bagi Murid khususnya kelas IV,melalui model pembelajaran Think Talk write diharapkan dapat mendorong murid sebagai subjek atau pelaku (bukan obyek) dalam hal mencari, memahami, dan menemukan jawaban atau informasi dari masalah-masalah pembelajaran khususnya bidang studi bahasa Indonesia yang dihadapkan kepadanya.

FILE LENGKAP DAPAT ANDA DOWNLOAD PADACLINK DI BAWAH..


DOWNLOAD FILE PART I

DOWNLOAD FILE PART II
DOWNLOAD FILE PART III
DOWNLOAD FILE PART IV

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Kurikulum nasional untuk mata ajar Bahasa dan Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hakikat belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Hakikat belajar sastra adalah memahami manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia ialah peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar secara lisan dan tulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan kepada para siswa meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di antara keempat aspek tersebut dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada aspek berbicara. Aspek berbicara ini dipilih karena sangat mendukung terjadinya proses berkomunikasi secara lisan. Dengan belajar berbicara siswa belajar berkomunikasi.
Kemampuan berbicara tidak dinyatakan secara eksplisit dalam kurikulum, tetapi dinyatakan secara implisit pada tema (Nuraeni, 2002). Akibatnya kalau guru kurang benar-benar memberikan perhatian terhadap keterampilan berbicara tersebut, mungkin akan terabaikan pengajarannya. Kemungkinan guru akan lebih menekankan keterampilan berbahasa tertulis dan mengabaikan keterampilan berbahasa lisan.
Berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide atau gagasan dari pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh pendengar dengan baik apabila pembicara mampu menyampaikannya pula dengan baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan.
Agar pembicaraan tersebut mencapai tujuan, pembicara harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Hal tersebut bermakna bahwa pembicara harus memahami betul bagaimana cara berbicara yang efektif sehingga orang lain (pendengar) dapat menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif pula.
Untuk dapat menjadi seorang pembicara efektif, tentu dituntut kemampuan menangkap informasi secara kritis dan efektif. Karena dengan memiliki keterampilan menangkap informasi secara efektif dan kritis, pembicara akan memiliki rasa tenggang rasa kepada lawan berbicara (pendengar), sehingga pendengar dapat pula menangkap informasi yang disampaikan pembicara secara efektif.
Berbicara mengenai kemampuan menangkap informasi berarti kita berbicara pula mengenai aktivitas menyimak. Tentu hal tersebut berkenaan dengan kegiatan menyimak tepat guna dan menyimak efektif. Oleh karena itu, para siswa perlu dilatih sejak dini mengenai upaya menyimak tepat guna dan efektif agar kemampuan berbicaranya menjadi efektif pula.
Banyak orang mungkin beranggapan bahwa berbicara adalah suatu pekerjaan yang mudah dan tidak perlu dipelajari (Nuraeni, 2002). Untuk situasi yang tidak resmi (informal) barangkali anggapan tersebut ada benarnya, namun pada situasi resmi pernyataan tersebut tidak berlaku. Kenyataannya tidak semua siswa yang berani dan mau berbicara di depan kelas, sebab mereka umumnya kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Untuk itu, guru bahasa Indonesia merasa perlu melatih siswa untuk berbicara. Latihan pertama kali yang perlu dilakukan guru adalah menumbuhkan keberanian siswa untuk berbicara.
Berdasarkan pengalaman empris dan hasil observasi di lapangan khususnya di SD Negeri 437 Kariako pada siswa kelas III (naik menjadi kelas IV pada tahun ajaran 2009/2010) diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini diketahui dari sejumlah indikator antara lain: 1) Pada saat siswa menyampaikan pesan/informasi yang bersumber dari media dengan bahasa yang runtut, baik, dan benar, di mana isi pembicaraan yang disampaikan oleh siswa tersebut kurang jelas; 2) Siswa berbicara tersendat-sendat sehingga isi pembicaraan menjadi tidak jelas; 3) Ada pula di antara siswa yang tidak mau berbicara di depan kelas; 4) Pada saat guru bertanya kepada seluruh siswa, umumnya siswa lama sekali untuk menjawab pertanyaan guru. Beberapa orang siswa ada yang tidak mau menjawab pertanyaan guru karena takut jawabannya salah. Apalagi untuk berbicara di depan kelas, para siswa belum menunjukkan keberanian.
Dari latar belakang di atas perlu dicari alternatif lain sebagai solusi sekaligus upaya untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Hal ini mengingat pentingnya pengajaran berbicara sebagai salah satu usaha meningkatkan keterampilan berbahasa lisan di tingkat sekolah dasar (SD). Oleh karena itu, penulis mengajukan usulan judul penelitian Meningkatkan Keterampilan Berbicara Melalui Penerapan Metode Curah Pendapat pada Siswa Kelas IV SD Negeri 437 Kariako Kabupaten Luwu.

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH  PART II
SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MURID MELALUI PENERAPAN METODE CURAH 
PART I

SEJARAH SENI

SEJARAH SENI


Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).

1.    Seni lukis
Karya seni dua demensi yang bisa mengungkapkan pengalaman atau perasaan si pencipta. Pelukis yang sedang sedih akan tercipta karya yang bersifat susah, sedangkan pelukis  yang sedang gembira akan tercipta karya yang riang. Karya tersebut terlihat pada goresan, garis-garis dan pewarnaan.

2.    Seni Kriya
Karya  seni  terapan  yang  mengutamakan  kegunaan  dan  keindahan (estetis)  yang  bisa  menarik  konsumen. Seni  kriya/kerajinan (handy Craff)  ini biasanya untuk hiasan dan   cenderamata.  Karena  karya  ini termasuk  karya  yang di perjual belikan dan berguna bagi kehidupan masyarakat sehari- hari baik untuk alat rumah tangga maupun untuk hiasan. Bahkan satu desain kriya ini bisa di produksi dalam jumlah banyak oleh industri dan di pasarkan sebagai barang dagangan





download file lengkap sejarah seni di sini

RPP KLS 6 SEMESTER 1 & 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan          :      …………………………….. Kelas / Semester               :      VI (...