PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Selasa, 19 Maret 2013

Wajah Pendidikan Kita, Pergulatan Antara Idealita dan Realita


Wajah Pendidikan Kita,
Pergulatan Antara Idealita dan Realita

            Kita semua tahu bahwasannya pendidikan diciptakan dalam rangka sebagai sebuah usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 45 maupun dalam UUD 45 itu sendiri. Namun yang kadang-kadang sering terlintas dipikiran kita apakah konsepsi seperti itu sudah benar-benar terjadi di dalam konteks realitas yang ada saat ini?
Secara kelembagaan atau secara formal pendidikan Indonesia dimulai semenjak kemunculan politik etis yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1902, yaitu sebagai politik balas budi kepada rakyat Indonesia. Dimana politik etis sendiri terdiri dari tiga program dasar yaitu berupa irigasi, emigrasi, dan edukasi. Dari poltik etis ini pulalah yang pada akhirnya menjadi awal bagi kemunculan pergerakan kaum muda yang terdidik yang berasal dari beberapa kaum muda yang telah merasakan pendidikan tinggi diluar negeri, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan lain sebagainya. Dimana hal tersebut menjadi sebuah awal kebangkitan kaum muda khususnya para kaum priyayi atau kaum bangsawan untuk mempelopori perjuangan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonsesia.
Bagi kaum penjajah Belanda tentunya hal ini merupakan suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka inginkan sebelumnya terhadap politik etis. Hal ini dikarenakan  pertama, adanya politik etis merupakan sebuah strategi bagi pemerintah Hindia Belanda untuk bagaimana bisa mencuri uang dari tangan para kaum bangsawan-bangsawan pribumi. Ini mengingat karena hanya dari kaum bangsawanlah yang mampu untuk membiayai seluruh biaya pendidikan tinggi tersebut. Kedua, politik etis merupakan sebuah strategi Belanda untuk melakukan hegemoni atas bangsa Indonesia. Karena mereka yang telah keluar dari sekolah tinggi tersebut nantinya akan dijadikan sebagai tenaga produktif Belanda guna mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Namun pada kenyataannya ternyata nasib baik masih berpihak kepada kita, dimana tidak semua dari mereka memilih untuk hidup senang dengan uang bergelimang ataupun dengan sekian jabatan yang coba ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan beberapa dari mereka justru menjadi sadar akan perannya sebagai kaum pelopor yang akan mendorong perubahan bangsa ini dengan “tetap setia digaris massa”.
Dalam konteks yang terjadi di Indonesia hari ini ternyata juga tidaklah terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dimassa penjajahan dahulu. Pasca pemerintahan Soekarno jatuh atau tepatnya pada massa Orba, kita bisa melihat bagaimana dunia pendidikan benar-benar menjadi sebuah alat bagi negara yang semata-mata digunakan untuk menyukseskan putaran roda ekonomi negara. Artinya bahwa segala institusi maupun instrumen yang ada didalam negara pada dasarnya tidak lain adalah kepanjangan tangan dari kekuatan modal, yang dilakukan melalui sekian kebijakan yang diambil oleh negara. Yang akhirnya hal tersebut pun juga berimbas kepada dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan pun tidak memiliki arah yang jelas karena dunia pendidikan semata-mata diarahkan guna menyukseskan program pembangunanisme (developmentalisme) yang menjadi icon Orba pada waktu itu.
Pada tingkatan universitas atau perguruan tinggi dunia pendidikan juga mengalami pergeseran orientasi (disorientasi) yang sangat signifikan, dimana yang pada awalnya universitas dibangun sebgai upaya untuk menjadikan manusia lebih manusia, yaitu menuju perkembangan untuk mejadi manusia yang lebih dewasa, bermoral, intelektual, populis, kritis, maju dan juga independen, kemudian diarahkan atau didorongkan untuk sekedar menjadi tenaga-tenaga kerja guna memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini secara otomatis menyebabkan perkawinan antara dua paradigma diatas, yaitu paradigma pembangunanisme dan paradigma pendidkan humanisme, dimana salah satunya kemudian cenderung dominan (peradigma pembangunanisme). Imbasnya wacana kebenaran, keadilan, maupun intelektualitas secara perlahan-lahan mulai digeser oleh pola pikir seragam yaitu lulus cepat, pragmatis, IP dengan nilai yang tinggi serta seabrek jargon-jargon pembangunanisme lainnya (pendidikan model pabrik). Artinya bahwa pembangunanisme yang coba dibawakan oleh kepemimpinan orba pada waktu itu, diciptakan guna mencetak tenaga kerja yang terampil, siap pakai, dan taat oleh atasan tanpa harus membutuhkan pemikiran yang kritis, konseptual serta intelektualitas yang tinggi. Standar keberhasilan pendidkan pun menjadi rancu karena diukur dengan kondisi fisik yang tampak, yaitu berapa banyak lulusan yang dihasilkan, seberapa lama waktu studi dan sejauh mana lulusan yang bisa bekerja. Dan manusia seolah-olah diposisikan seperti halnya sebuah komoditi barang yang harus diproduksi secra seragam tanpa harus dipikirkan atau direnungkan kembali berguna atau tidak. Jika berguna jelas dibanggakan dan jika tidak bukankah masih bisa diloakkan?
Dalam konteks yang terjadi saat ini, paradigma diatas jelas masih sangat benar-benar kita rasakan. Dimana universitas yang sampai hari ini pun masih tidak jauh berbeda halnya dengan massa Orba dahulu, hal ini dapat kita lihat bagaimana sistem sks, absensi 70 % dan metode-metode yang lain yang masih tetap dilakukan. Krisis keuangan yang terjadi hingga pemerintahan saat ini, juga telah menyebabkan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan kita saat ini. Lilitan hutang luar negeri yang terus bertambah dari tahun ketahun juga, berakibat sangat fatal terhadap dunia pendidikan. Standar anggaran dana pendidikan yang seharusnya mencapai angka 20 % untuk pendidikan, kemudian dipotong hingga hanya mencapai kurang dari 5 %. Dimana sebagian besar anggaran dana pendidikan kita digunakan untuk menutupi devisit anggaran dana guna membayar hutang luar negeri bangsa ini. Akibatnya dunia pendidikan pun mengalami kekurangan anggaran guna memenuhi kebetuhan rumah tangga mereka. Yang kemudian solusinya adalah dengan melakukan komersialisasi pendidikan, dimana tiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta diberikan kebebasan untuk mencari kekurangan anggaran dana yang mereka perlukan sendiri. Diberikannya kebebasan setiap institusi pendidikan untuk mencari kekurangan anggaran yang mereka butuhkan untuk memenuhi kekurangan anggaran mereka, mengakibatkan mereka seolah-olah diberikan kebebasan/berhak untuk menaikkan biaya pendidikan bagi setiap calon peserta didik yang akan masuk sebagai konsekuensinya.
Mahalnya biaya pendidikan ini kemudian menyebabkan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah untuk menikmati pendidikan tinggi pada khususnya, padahal itulah yang nantinya memungkinkan bagi mereka untuk terlibat dalam upaya perubahan struktur sosial masyarakat. Dampaknya pun secara otomatis juga membuat lapangan pekerjaan hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang bernotabene sebagai seorang sarjana. Sehingga kita bisa melihat peran sistem pendidikan tinggi juga tidak jauh berbeda halnya dengan sebagai sebuah upaya untuk melanggengkan struktur masyarakat yang menindas dan mendukung terwujudnya sebuah komunitas sosial yang asing dengan masyarakat bawah.
Dalam konteks kehidupan unversitas swasta seperti UMY khususnya, minimnya subsidi dana pendidikan akhirnya dijadikan alasan bagi mereka untuk setiap tahun secara terus-menerus dengan menambah jumlah kapasitas mahasiswa dengan uang sumbangan pendidikan mahasiswa baru yang terus bertambah, demi mengembangkan kejayaan mereka. Yang mana itu nantinya akan mengakibatkan :
Pertama, kecenderungan pertambahan / percepatan jumlah mahasiswa tidak seimbang dengan kualitas dan kuantitas dosen, laboraturium, perpustakaan dan lain sebagainnya.
Kedua, kentalnya orientasi bisnis membuat mahasiswa seolah-olah layak dibebani dengan ambisi universitas dalam mengembangkan simbol-simbol kejayaan kampus yang dapat dijadikan komoditi menarik bagi lulusan SLTA.
Ketiga, demi kebutuhan dana yang besar, maka target jumlah mahasiswapun dipatok kaku. Sehingga bukan ukuran standar kualitas yang dipakai melainkan ukuran target jumlah mahasiswa yang dikejar guna memperoleh pemasukan keuangan.
Keempat, jumlah mahasiswa yang berjubel mengakibatkan beratnya pengurus-pengurus fakultas untuk mengelola mahasiswanya. Akhirnya dipikirkanlah cara-cara agar bagaimana mempercepat kelulusan mahasiswa. Maka keluarlah idiom-idiom bahwa mahasiswa yang pandai adalah mahasiswa yang lulus cepat, penghargaan hanuya layak bagi mahasiswa yang mempunyai nilai IP yang tinggi dan sebagainya. Yang selanjutnya lahirlah ide semester pendek sebagai terobosan baru yang malah justru akhirnya hal tersebut laris-manis dikalangan mahasiswa.
Kelima, waktu pengajar pada akhirnya habis untuk aktivitas mengajar dan mengurusi jumlah mahasiswa yang begitu banyak. Dosen juga kehilangan waktu untuk mengembangkan kerja-kerja penelitian dan pengabdian masyarakat yang sesungguhnya. Sempitnya waktu yang mereka miliki mengakibatkan munculnya kasus penjiplakkan oleh dosen demi memenuhi syarat-syarat eksistensi mereka, sehingga bukan karya yang berkualitas yang dikejar melainkan karya yang apa adanya asal ada karya.
Dari situ maka sebenarnya kita sebagai kaum intelektual hendaknya kritis menyikapi semua problem-problem yang ada saat ini, karena bahwasannya  pendidikan humaniora bukanlah sebuah pendidikan kejuruan yang bisa dilakukan dengan waktu yang singkat, melainkan sebuah proses panjang yang nantinya akan menciptakan sebuah manusia yang seutuhnya”.(Education In The Humanities, Drost, SJ, 1998 : 191)



                                                                                                            







[1] Mahasiswa Unismuh Makassar, Sekarang pengurus kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) kota Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar