Definisi dan Urgensi Mantiq
Mantiq adalah
alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya,
Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir,
sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun,
saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi,
subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan
upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita
pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud
dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir
Hal-hal yang
dijadikan dasar (premis) tidak benar.
Susunan atau
form yang menyusun premis tidak
sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi
(proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu
bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi
bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua
unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan
baik dan sempurna.
Sebagai misal,
"[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka
[3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi
susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang
berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak
tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah
seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis
ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak
benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti
akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Ilmu dan Idrak
Dua kata di
atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq,
kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek
terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu
sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin)
mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).
Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq.
Jadi tashawwur
hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian
atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau
"tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air
itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu
bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri
dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi
(aksiomatis). Nadzari adalah ilmu
yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'I
Pembahasan
tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah
tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda
di luar.
Misalnya :
gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi,
Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah
tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya:
gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam
berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke
Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan
sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan
adalah tashawwur-thasawwur kulli,
yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang
bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab
dan lain sebagainya.
Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang
universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita
terdapat banyak tashawwur yang
bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang
lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu
sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori
relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan
[4] Umum wa Khusus Minwajhin
(asosiasi).
Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari
keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad
tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap
manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa
diterapkan pada seluruh afrad kulli
yang lain. Misal: tashawwur manusia
dan tashawwurt berpikir. Artinya
setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
Umum wa khusus mutlak
adalah dua tashawwur kulli yang satu
dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli
yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur
hewan dan tashawwur manusia. Setiap
manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan
lebih luas sehingga mencakup semua afrad
tashawwur manusia.
Umum wa khusus min wajhin adalah
dua tashawwur kulli yang
masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan.
Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang
manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang
hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat
bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari
tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu,
dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting
sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum
jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi
bergantung pada kulli yang digunakan.
Ada lima kulli yang digunakan untuk
mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa
disebut "kulliyat
khamsah"). Lima kulli itu
adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh
'aam (common accidens) dan [5] 'aradh
khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat,
bukan pembahasan mantiq.
Had Tâm, adalah
definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian
dari esensi yang majhul. Misal:
Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir"
adalah fashl manusia. Keduanya
merupakan bagian dari esensi manusia.
Had Nâqish, adalah
definisi yang menggunakan jins saja.
Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi
manusia.
Rasam Tâm, adalah
definisi yang mengunakan 'ardh khas.
Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat
tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan
"tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
Rasam Nâqish, adalah
definisi yang menggunakan 'ardh 'âm,
misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah
(Proposisi)
Sebagaimana yang
telah kita ketahui, tashdiqi adalah
penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti:
gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu,
tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu'
dan mahmul ("gunung"
sebagai maudhu' dan "indah"
sebagai mahmul). Gabungan dari dua
sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam
Qadhiyyah.
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah
(hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur
itu, qadhiyyah dibagi menjadi
beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya,
ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya
sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu
indah". "Gunung" adalah mawdhu',
"indah" adalah mahmul dan
"itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi
kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah
adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan
kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan
"tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian
manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah
jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau
manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
Mujabah
kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
Salibah
kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
Mujabah
juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
Salibah
juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih
banyak lagi pembagian qadhiyyah baik
berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah,
daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah
yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita
ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah,
maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan
terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus
mutlak dan [4] umum wa khusus min
wajhin. Demikian pula terdapat empat
macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah
mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua
qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya
sama, tetapi kuantitas (kam) dan
kualitasnya (kaif) berbeda, yakni
yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian
manusia bukan hewan" (juz'iyyah
salibah).
Tadhad (kontrariatif)
adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah
dan yang lain salibah. Misalnya,
"Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah
mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif
sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah
yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah),
tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian
manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia
tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah
dua qadhiyyah yang sama kualitasnya
tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian
manusia akan mati" (juz'iyyah
mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian
manusia tidak kekal" (juz'iyyah
salibah). Dua qadhiyyah ini
disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif)
jika salah satu dari dua qadhiyyah
itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah,
maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi
kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain
(interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia)
lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya,
Ali).
Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar. Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah
kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti
"sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B",
maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
Kesamaan tempat
(makan)
Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi
(syart)
Kesamaan
korelasi (idhafah)
Kesamaan pada
sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
Kesamaan dalam
potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li).
Qiyas
(silogisme)
Pembahasan
tentang qadhiyyah sebenarnya
pendahuluan dari masalah qiyas,
sebagaimana pembahasan tentang tashawwur
sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan
mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah
kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan
sendirinya (li dzatihi) akan
menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita
lebih lnjut membahas tentang qiyas,
ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang
majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
Pengetahuan dari
juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah
titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
Pengetahuan dari
juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi
yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
Pengetahuan dari
kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini
disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi
dua; iqtirani (silogisme kategoris)
dan istitsna'i (silogisme hipotesis).
Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah
atau beberapa qadhiyyah yang
tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan
hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah
yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya
berada secara terpisah pada dua muqaddimah.
Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika
dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2]
setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika
dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut
muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang
ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan
gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika
dipanaskan" (mahmul). Sedangkan
"besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat
dari letak kedudukan had awsath-nya
pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan
menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi
dua syarat berikut ini:
Muqaddimah shugra harus mujabah.
Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua
adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan
"tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari
nabi itu pendosa".
Syarat-syarat
syakl kedua.
Kedua muqaddimah harus berbeda dalam
kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan
salibah).
Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga
adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan
"sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah
imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.
Syarat-syarat Syakl ketiga.
Muqaddimah sughra harus mujabah.
Salah satu dari kedua
muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal
Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah
shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
Syarat-syarat Syakl keempat.
Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya
(kaif)
Salah satu dari
keduanya harus kulliyyah.
Catatan:
Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan
ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh
pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak
mencantumkan bentuk yang keempat.
2. Qiyas Istitsna'I
2. Qiyas Istitsna'I
Berbeda dengan qiyas iqtirani,
qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya,
"Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena
dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya:
"Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah
yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan
"Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan
"maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i
karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena".
Macam-Macam Qiyas
istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam
positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia
mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan
Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu
tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan
satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya,
"Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia
mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan
muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan
binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".
Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika
"Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam
Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober - 1 November 1999 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar