Dialog, Bukan
Konfrontasi
Ulil Abshar-Abdalla,
Lakpesdam NU, Kontributor Islam Liberal
KoranTempo
Banyak hal perlu
disesalkan setelah tragedi 11 September lalu. Yang pertama adalah bangkitnya
kembali "naluri" lama yang meresap dalam bawah sadar orang-orang
Barat umumnya, yaitu adanya semacam prasangka buruk terhadap dunia Islam.
Seperti ditulis Edward Said, seorang Kristen Palestina yang kini tinggal di New
York, dalam bukunya yang sudah klasik, Covering Islam , bahwa kecenderungan
memberikan label yang bersifat "mengumumkan" ( generalizing ) Islam
dan orang Islam tanpa melihat nuansa-nuansa yang lembut dan kecil-kecil dalam
kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.
Dari waktu ke
waktu, prasangka semacam itu selalu muncul ke permukaan. Prasangka itu ibarat
sebuah virus yang kadang tidur, tapi tak pernah benar-benar mati. Setiap
peristiwa tragis terjadi di dunia Islam, atau di dunia Barat yang ada sangkut
pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan muncul kembali. Seorang anggota
National Security Council, Peter Rodman, menulis di National Review pada 11 Mei
1992, " Yet now the West finds itself challenged from the outside by a
militant, atavistic force driven by hatred of all Western political thought,
harking back to age-old grievances against Christendom ."
Tulisan dengan nada hampir serupa
tiba-tiba muncul di The New York Times pada 16 September 2001, " The
airborne assault on the World Trade Center and the Pentagon is the culmination
of a decade-long holy war against the United States that is escalating
methodically in ambition, planning and execution ." Kata Christendom dan
holy war digunakan dalam dua tulisan itu seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa
sedang terjadi "perang suci" antara Barat dan dunia lain di luarnya,
terutama dunia Islam. Tentu harus diberi catatan di sini, kata crusade atau
holy war kerap digunakan oleh para penulis Barat dalam pengertiannya yang umum
tanpa ada muatan keagamaan di dalamnya.
Ketika kontroversi soal aborsi
pecah di Amerika beberapa tahun silam, misalnya, tak jarang orang-orang yang
proaborsi digambarkan sebagai pihak yang melakukan crusade atau perang salib
melawan kehidupan sang janin. Judul buku Charles A. Scontras tentang penggunaan
anak-anak sebagai buruh adalah contoh menarik, In the Name of Humanity: Maine's
Crusade Against Child Labor . Tentu kata crusade di situ tak ada sangkut
pautnya dengan perang salib abad pertengahan antara orang-orang Islam dan
Kristen.
Hal yang sama juga terjadi pada
pihak Islam. Begitu rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) menyerang
Afganistan diumumkan oleh Presiden Bush, reaksi yang muncul dari kalangan
(sebagian) umat Islam adalah seruan "jihad" melawan AS. Bahkan dalam
kadar yang lebih buruk, ada kelompok-kelompok yang ingin "menyisir"
orang-orang asing, terutama warga AS, di Indonesia. Beberapa kelompok Islam
menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi suatu konfrontasi total antara
dunia Islam dan dunia Barat alias Kristen. Teori (?) "benturan
peradaban" Samuel Huntington tiba-tiba dikutip di mana-mana.
Padahal, kesan semacam itu jelas
tak benar. Usaha untuk membangun jembatan dialog antarperadaban bukan berarti
tidak ada. Bahkan "dialog antarperadaban"-lah yang lebih sering
terjadi ketimbang "benturan peradaban". Tak terhitung jumlah para
pelajar dari dunia muslim yang pergi setiap tahun ke negeri-negeri Barat
(Eropa, Amerika, atau Australia) untuk menimba ilmu-ilmu "sekuler" di
sana.
Harus diakui juga, banyak di
antara orang-orang yang begitu keras melakukan "serangan" atas Barat,
adalah didikan universitas-universitas di negeri-negeri itu. Pun tak terhitung
jumlah para sarjana Barat yang setiap tahun melakukan perjalanan
"intelektual" ke negeri-negeri Islam. Usaha untuk menampilkan Islam
dalam pelbagai wajah dan seginya juga dilakukan oleh para sarjana, wartawan,
dan kalangan lain.
Ingatlah upaya Presiden Iran Ali
Khamenei untuk mengampanyekan dialog antarperadaban sebagai suatu usaha
membuktikan bahwa "benturan" bukanlah jalan satu-satunya yang
mungkin. Lepas dari sejumlah prasangka buruk yang masih mengendap dalam bawah
sadar media Barat terhadap dunia Islam, seperti dengan bagus diulas Edward W.
Said, tapi tak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah "niat baik" sarjana
Barat untuk memahami dunia Islam dengan cukup baik. History of God, karya seorang
mantan biarawati, Karen Armstrong, yang menjadi bacaan laris di negeri-negeri
Barat, adalah salah satu contoh.
Buku-buku populer karya
antropolog Amerika Elisabeth Warnock Fernea adalah contoh lain. Fernea telah
menulis buku cukup laris mengenai masyarakat Irak, Guest of the Sheik . Dia
juga menulis dua buku lain yang cukup enak dinikmati oleh pembaca awam, Street
in Marrakech dan In Search of Islamic Feminism. Bersama suaminya yang juga
antropolog, Robert A. Fernea, dia menulis sebuah kesaksian tentang hidup "dalam"
masyarakat Islam di Timur Tengah, The Arab World: Personal Encounters .
Nama sangat
dikenal tapi juga sering disalahpahami di dunia Islam adalah John L. Esposito
yang menulis empat jilid The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World,
sebuah buku sumber cukup penting bagi sarjana muslim atau Barat umumnya.
Bersama sejumlah intelektual lain di Georgetown University, Esposito mendirikan
sebuah pusat pengembangan "saling pengertian" antara Islam dan
Kristen, yakni Center for Muslim-Christian Understanding. Di tempat ini ada
John O. Voll, Yvonne Yazbeck Haddad, dan seorang cendekiawan negeri jiran
Malaysia, Osman Bakar.
Georgetown University adalah
perguruan tinggi yang didirikan oleh gereja Katolik di Washington, DC.
Pendirian suatu pusat saling pengertian antara Islam dan Kristen di perguruan
tinggi milik gereja Katolik adalah contoh yang menarik. Ini memperlihatkan
bahwa dialog antara kedua agama itu adalah hal yang mungkin, bahkan "sudah
semestinya". Yang menarik, sejak musim semi 1999, Georgetown University
telah mengangkat seorang chaplain penuh untuk mahasiswa muslim di universitas
tersebut. Chaplain adalah kedudukan yang menyerupai seorang imam. Posisi ini
dijabat oleh seorang ulama asal Yordania, Imam Yahya Hendi.
Tentu bukan berarti tak ada masalah
dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS sendiri terhadap dunia Islam.
Paradoks yang sering mengganggu akal sehat orang banyak adalah kampanye
besar-besaran AS untuk menyebarkan ide tentang demokrasi dan hak asasi, tapi
memberikan dukungan yang sepertinya tanpa cadangan terhadap Kerajaan Arab Saudi
yang banyak melakukan pelanggaran hak-hak sipil di dalam negeri.
Kebijakan AS menyangkut Palestina
yang dianggap berat sebelah dan diskriminatif terhadap warga Palestina jelas
menjadi asal muasal kejengkelan dan kebencian terhadap pemerintah AS di kawasan
Arab. Namun, mencampuradukkan antara pemerintah AS dan warga negaranya adalah
tindakan yang ceroboh. Tidak semua warga AS setuju pada kebijakan-kebijakan
luar negeri pemerintahnya, sehingga amat tidak masuk akal tindakan
"penyisiran" terhadap warga AS di Indonesia. Penyisiran semacam itu
mengandaikan ada kesebangunan antara pendapat pemerintah dan warganya, padahal
dalam kenyataannya sama sekali tidak.
Maka, keadaan seolah-olah jalan
dialog antarperadaban adalah suatu hal yang sulit ditempuh juga patut
disesalkan. Seolah-olah timbul kesan, antara dunia "Barat" dan
"Islam" terdapat jurang menganga yang susah untuk dijembatani. Mereka
yang percaya bahwa dunia terbentuk oleh dua blok besar yang saling bermusuhan,
blok "kebaikan" dan blok "kejahatan", sangat diuntungkan
oleh keadaan semacam ini. Pandangan yang hitam-putih menjadi mudah dipeluk,
sebab inilah yang paling sederhana untuk dicerap oleh pikiran yang tidak
kritis.
Yang kerap dilupakan banyak orang
adalah bahwa apa yang disebut sebagai "Barat" dan "Islam"
tak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Barat? Barat dari sebelah mana? Dalam
pengertian populer, Barat acap diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika.
Jelas, ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang
hidup di dua benua itu. Barat juga sering disamakan dengan Amerika (Serikat).
Seperti kita tahu, Amerika adalah
negeri kontinental yang terdiri dari berbagai negara bagian, dengan masyarakat
yang beragam pandangan-pandangannya. Kecenderungan yang menonjol dalam
masyarakat Amerika adalah adanya semangat "antinegara" yang begitu
kuat, karena warisan sejarah di negeri Eropa di mana negara adalah identik
dengan kekuasaan imperial yang menindas dan disokong oleh gereja (Katolik).
Etos "antinegara"
inilah yang menjelaskan kuatnya semangat federalisme di negeri itu, dan
kejengkelan pada segala hal yang "memusat". Itulah sebabnya, negeri
Amerika yang begitu "imperial" sebetulnya tidak disertai dengan kesadaran
warga negaranya yang "imperial". Orang-orang Amerika, dalam kesan
saya, sangat cuek pada hal-hal yang menyangkut kebijakan luar negeri
pemerintahnya.
Jadi, jelas tidak benar
mengandaikan masyarakat Barat sebagai sesuatu yang jelas dan tunggal; jelas
tidak benar mengandaikan masyarakat Amerika sebagai identik dengan
pemerintahnya; jelas tidak tepat mengandaikan masyarakat Amerika sebagai
himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya.
Hal yang sama juga terjadi pada
Islam. Apa yang sering diteriakkan sebagai "Islam" dengan tanda pentung
besar sebetulnya tidaklah sejelas yang dikira banyak orang. Sebab, pada
akhirnya, pengertian mengenai Islam adalah pengertian kemasyarakatan.
Maksudnya, Islam toh wujudnya adalah orang-orang yang hidup dalam sejarah yang
konkret. Pada tataran itu, Islam sebetulnya tidak berwajah satu dan seragam.
Dilihat dari segi mana pun,
mustahil mengatakan konfrontasi antara "Barat" dan "Islam".
Islam yang mana? Kita tahu, pandangan-pandangan umat Islam mengenai tragedi WTC
dan Pentagon sangatlah beragam. Jika kita mengandaikan bahwa dengan tragedi itu
dunia Islam telah "mengobarkan jihad" versus Amerika, seperti kerap
kali diucapkan oleh para juru khotbah, Islam mana yang dimaksudkan di sana?
Kesalahpahaman lain adalah
mengucapkan dalam satu tarikan napas "Rakyat Afganistan-Pemerintah
Taliban-Negara Afganistan-Islam". Karena mayoritas masyarakat Afgan adalah
muslim, dan diperintah oleh pemerintahan Taliban yang "seolah-olah"
secara lahiriah menegakkan syariat Islam, maka serangan AS terhadap Afganistan
adalah serangan terhadap Islam. Rencana AS menyerang Afganistan jelas tindakan
yang harus ditentang. Tapi menyamakan serangan itu seolah-olah sebagai serangan
atas Islam, jelas tindakan yang ceroboh.
Simpati yang mendalam patut
diberikan kepada rakyat Afganistan yang telah menderita karena konflik-konflik
internal menjelang invasi Uni Soviet ke negeri itu pada 1979. Karena invasi itu
sendiri, karena perang saudara yang terus berkobar setelah invasi itu berakhir,
juga karena kebijakan represif pemerintahan Taliban yang memberangus hak-hak
sipil warganya. Kebijakan pemerintahan Taliban yang berakibat tragis buat kaum
perempuan di negeri itu jelas sesuatu yang tak bisa dikatakan
"Islami". Yang hendak mengetahui secara persis bagaimana
"jahatnya" pemerintahan Taliban terhadap kaum perempuan, bisa
menengok situs www.rawa.org .
Amat disesalkan jika para
penguasa Taliban, yang karena berjubah dan berjenggot itu, serta merta dianggap
dari "luar" Afganistan sebagai wakil dari dunia Islam, sementara
perlakuan pemerintahan itu terhadap warganya sangat berlawanan dengan
nilai-nilai profetis Islam sendiri.
Jalan dialog adalah satu-satunya
jalan yang paling mungkin ditempuh kini. Jalan konfrontasi hanya akan
menguntungkan orang-orang yang berpandangan dualistis mengenai kehidupan ini:
"Islam" dan "kafir", baik dan jahat, dan seterusnya. Jalan
ini hanya akan menguntungkan orang-orang berpandangan konservatif dan ekstrem
dalam agama mana pun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat
menguntungkan para elite agama mana pun yang hendak memanipulasi ignoransi
umatnya untuk kepentingan yang sempit dan cupet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar