PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

Dialog, Bukan Konfrontasi


Dialog, Bukan Konfrontasi
Ulil Abshar-Abdalla,
Lakpesdam NU, Kontributor Islam Liberal
KoranTempo

Banyak hal perlu disesalkan setelah tragedi 11 September lalu. Yang pertama adalah bangkitnya kembali "naluri" lama yang meresap dalam bawah sadar orang-orang Barat umumnya, yaitu adanya semacam prasangka buruk terhadap dunia Islam. Seperti ditulis Edward Said, seorang Kristen Palestina yang kini tinggal di New York, dalam bukunya yang sudah klasik, Covering Islam , bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat "mengumumkan" ( generalizing ) Islam dan orang Islam tanpa melihat nuansa-nuansa yang lembut dan kecil-kecil dalam kehidupan nyata, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.
Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul ke permukaan. Prasangka itu ibarat sebuah virus yang kadang tidur, tapi tak pernah benar-benar mati. Setiap peristiwa tragis terjadi di dunia Islam, atau di dunia Barat yang ada sangkut pautnya dengan dunia Islam, prasangka itu akan muncul kembali. Seorang anggota National Security Council, Peter Rodman, menulis di National Review pada 11 Mei 1992, " Yet now the West finds itself challenged from the outside by a militant, atavistic force driven by hatred of all Western political thought, harking back to age-old grievances against Christendom ."
Tulisan dengan nada hampir serupa tiba-tiba muncul di The New York Times pada 16 September 2001, " The airborne assault on the World Trade Center and the Pentagon is the culmination of a decade-long holy war against the United States that is escalating methodically in ambition, planning and execution ." Kata Christendom dan holy war digunakan dalam dua tulisan itu seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi "perang suci" antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama dunia Islam. Tentu harus diberi catatan di sini, kata crusade atau holy war kerap digunakan oleh para penulis Barat dalam pengertiannya yang umum tanpa ada muatan keagamaan di dalamnya.
Ketika kontroversi soal aborsi pecah di Amerika beberapa tahun silam, misalnya, tak jarang orang-orang yang proaborsi digambarkan sebagai pihak yang melakukan crusade atau perang salib melawan kehidupan sang janin. Judul buku Charles A. Scontras tentang penggunaan anak-anak sebagai buruh adalah contoh menarik, In the Name of Humanity: Maine's Crusade Against Child Labor . Tentu kata crusade di situ tak ada sangkut pautnya dengan perang salib abad pertengahan antara orang-orang Islam dan Kristen.
Hal yang sama juga terjadi pada pihak Islam. Begitu rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) menyerang Afganistan diumumkan oleh Presiden Bush, reaksi yang muncul dari kalangan (sebagian) umat Islam adalah seruan "jihad" melawan AS. Bahkan dalam kadar yang lebih buruk, ada kelompok-kelompok yang ingin "menyisir" orang-orang asing, terutama warga AS, di Indonesia. Beberapa kelompok Islam menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi suatu konfrontasi total antara dunia Islam dan dunia Barat alias Kristen. Teori (?) "benturan peradaban" Samuel Huntington tiba-tiba dikutip di mana-mana.
Padahal, kesan semacam itu jelas tak benar. Usaha untuk membangun jembatan dialog antarperadaban bukan berarti tidak ada. Bahkan "dialog antarperadaban"-lah yang lebih sering terjadi ketimbang "benturan peradaban". Tak terhitung jumlah para pelajar dari dunia muslim yang pergi setiap tahun ke negeri-negeri Barat (Eropa, Amerika, atau Australia) untuk menimba ilmu-ilmu "sekuler" di sana.
Harus diakui juga, banyak di antara orang-orang yang begitu keras melakukan "serangan" atas Barat, adalah didikan universitas-universitas di negeri-negeri itu. Pun tak terhitung jumlah para sarjana Barat yang setiap tahun melakukan perjalanan "intelektual" ke negeri-negeri Islam. Usaha untuk menampilkan Islam dalam pelbagai wajah dan seginya juga dilakukan oleh para sarjana, wartawan, dan kalangan lain.
Ingatlah upaya Presiden Iran Ali Khamenei untuk mengampanyekan dialog antarperadaban sebagai suatu usaha membuktikan bahwa "benturan" bukanlah jalan satu-satunya yang mungkin. Lepas dari sejumlah prasangka buruk yang masih mengendap dalam bawah sadar media Barat terhadap dunia Islam, seperti dengan bagus diulas Edward W. Said, tapi tak boleh dilupakan bahwa ada sejumlah "niat baik" sarjana Barat untuk memahami dunia Islam dengan cukup baik. History of God, karya seorang mantan biarawati, Karen Armstrong, yang menjadi bacaan laris di negeri-negeri Barat, adalah salah satu contoh.
Buku-buku populer karya antropolog Amerika Elisabeth Warnock Fernea adalah contoh lain. Fernea telah menulis buku cukup laris mengenai masyarakat Irak, Guest of the Sheik . Dia juga menulis dua buku lain yang cukup enak dinikmati oleh pembaca awam, Street in Marrakech dan In Search of Islamic Feminism. Bersama suaminya yang juga antropolog, Robert A. Fernea, dia menulis sebuah kesaksian tentang hidup "dalam" masyarakat Islam di Timur Tengah, The Arab World: Personal Encounters .
Nama sangat dikenal tapi juga sering disalahpahami di dunia Islam adalah John L. Esposito yang menulis empat jilid The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, sebuah buku sumber cukup penting bagi sarjana muslim atau Barat umumnya. Bersama sejumlah intelektual lain di Georgetown University, Esposito mendirikan sebuah pusat pengembangan "saling pengertian" antara Islam dan Kristen, yakni Center for Muslim-Christian Understanding. Di tempat ini ada John O. Voll, Yvonne Yazbeck Haddad, dan seorang cendekiawan negeri jiran Malaysia, Osman Bakar.
Georgetown University adalah perguruan tinggi yang didirikan oleh gereja Katolik di Washington, DC. Pendirian suatu pusat saling pengertian antara Islam dan Kristen di perguruan tinggi milik gereja Katolik adalah contoh yang menarik. Ini memperlihatkan bahwa dialog antara kedua agama itu adalah hal yang mungkin, bahkan "sudah semestinya". Yang menarik, sejak musim semi 1999, Georgetown University telah mengangkat seorang chaplain penuh untuk mahasiswa muslim di universitas tersebut. Chaplain adalah kedudukan yang menyerupai seorang imam. Posisi ini dijabat oleh seorang ulama asal Yordania, Imam Yahya Hendi.
Tentu bukan berarti tak ada masalah dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS sendiri terhadap dunia Islam. Paradoks yang sering mengganggu akal sehat orang banyak adalah kampanye besar-besaran AS untuk menyebarkan ide tentang demokrasi dan hak asasi, tapi memberikan dukungan yang sepertinya tanpa cadangan terhadap Kerajaan Arab Saudi yang banyak melakukan pelanggaran hak-hak sipil di dalam negeri.
Kebijakan AS menyangkut Palestina yang dianggap berat sebelah dan diskriminatif terhadap warga Palestina jelas menjadi asal muasal kejengkelan dan kebencian terhadap pemerintah AS di kawasan Arab. Namun, mencampuradukkan antara pemerintah AS dan warga negaranya adalah tindakan yang ceroboh. Tidak semua warga AS setuju pada kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahnya, sehingga amat tidak masuk akal tindakan "penyisiran" terhadap warga AS di Indonesia. Penyisiran semacam itu mengandaikan ada kesebangunan antara pendapat pemerintah dan warganya, padahal dalam kenyataannya sama sekali tidak.
Maka, keadaan seolah-olah jalan dialog antarperadaban adalah suatu hal yang sulit ditempuh juga patut disesalkan. Seolah-olah timbul kesan, antara dunia "Barat" dan "Islam" terdapat jurang menganga yang susah untuk dijembatani. Mereka yang percaya bahwa dunia terbentuk oleh dua blok besar yang saling bermusuhan, blok "kebaikan" dan blok "kejahatan", sangat diuntungkan oleh keadaan semacam ini. Pandangan yang hitam-putih menjadi mudah dipeluk, sebab inilah yang paling sederhana untuk dicerap oleh pikiran yang tidak kritis.
Yang kerap dilupakan banyak orang adalah bahwa apa yang disebut sebagai "Barat" dan "Islam" tak pernah jelas dan tepat pengertiannya. Barat? Barat dari sebelah mana? Dalam pengertian populer, Barat acap diidentikkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Jelas, ada perbedaan yang amat besar dan mendalam antara bangsa-bangsa yang hidup di dua benua itu. Barat juga sering disamakan dengan Amerika (Serikat).
Seperti kita tahu, Amerika adalah negeri kontinental yang terdiri dari berbagai negara bagian, dengan masyarakat yang beragam pandangan-pandangannya. Kecenderungan yang menonjol dalam masyarakat Amerika adalah adanya semangat "antinegara" yang begitu kuat, karena warisan sejarah di negeri Eropa di mana negara adalah identik dengan kekuasaan imperial yang menindas dan disokong oleh gereja (Katolik).
Etos "antinegara" inilah yang menjelaskan kuatnya semangat federalisme di negeri itu, dan kejengkelan pada segala hal yang "memusat". Itulah sebabnya, negeri Amerika yang begitu "imperial" sebetulnya tidak disertai dengan kesadaran warga negaranya yang "imperial". Orang-orang Amerika, dalam kesan saya, sangat cuek pada hal-hal yang menyangkut kebijakan luar negeri pemerintahnya.
Jadi, jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Barat sebagai sesuatu yang jelas dan tunggal; jelas tidak benar mengandaikan masyarakat Amerika sebagai identik dengan pemerintahnya; jelas tidak tepat mengandaikan masyarakat Amerika sebagai himpunan orang-orang yang seragam pendapatnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Islam. Apa yang sering diteriakkan sebagai "Islam" dengan tanda pentung besar sebetulnya tidaklah sejelas yang dikira banyak orang. Sebab, pada akhirnya, pengertian mengenai Islam adalah pengertian kemasyarakatan. Maksudnya, Islam toh wujudnya adalah orang-orang yang hidup dalam sejarah yang konkret. Pada tataran itu, Islam sebetulnya tidak berwajah satu dan seragam.
Dilihat dari segi mana pun, mustahil mengatakan konfrontasi antara "Barat" dan "Islam". Islam yang mana? Kita tahu, pandangan-pandangan umat Islam mengenai tragedi WTC dan Pentagon sangatlah beragam. Jika kita mengandaikan bahwa dengan tragedi itu dunia Islam telah "mengobarkan jihad" versus Amerika, seperti kerap kali diucapkan oleh para juru khotbah, Islam mana yang dimaksudkan di sana?
Kesalahpahaman lain adalah mengucapkan dalam satu tarikan napas "Rakyat Afganistan-Pemerintah Taliban-Negara Afganistan-Islam". Karena mayoritas masyarakat Afgan adalah muslim, dan diperintah oleh pemerintahan Taliban yang "seolah-olah" secara lahiriah menegakkan syariat Islam, maka serangan AS terhadap Afganistan adalah serangan terhadap Islam. Rencana AS menyerang Afganistan jelas tindakan yang harus ditentang. Tapi menyamakan serangan itu seolah-olah sebagai serangan atas Islam, jelas tindakan yang ceroboh.
Simpati yang mendalam patut diberikan kepada rakyat Afganistan yang telah menderita karena konflik-konflik internal menjelang invasi Uni Soviet ke negeri itu pada 1979. Karena invasi itu sendiri, karena perang saudara yang terus berkobar setelah invasi itu berakhir, juga karena kebijakan represif pemerintahan Taliban yang memberangus hak-hak sipil warganya. Kebijakan pemerintahan Taliban yang berakibat tragis buat kaum perempuan di negeri itu jelas sesuatu yang tak bisa dikatakan "Islami". Yang hendak mengetahui secara persis bagaimana "jahatnya" pemerintahan Taliban terhadap kaum perempuan, bisa menengok situs www.rawa.org .
Amat disesalkan jika para penguasa Taliban, yang karena berjubah dan berjenggot itu, serta merta dianggap dari "luar" Afganistan sebagai wakil dari dunia Islam, sementara perlakuan pemerintahan itu terhadap warganya sangat berlawanan dengan nilai-nilai profetis Islam sendiri.
Jalan dialog adalah satu-satunya jalan yang paling mungkin ditempuh kini. Jalan konfrontasi hanya akan menguntungkan orang-orang yang berpandangan dualistis mengenai kehidupan ini: "Islam" dan "kafir", baik dan jahat, dan seterusnya. Jalan ini hanya akan menguntungkan orang-orang berpandangan konservatif dan ekstrem dalam agama mana pun, entah Islam, entah yang lain. Jalan ini juga amat menguntungkan para elite agama mana pun yang hendak memanipulasi ignoransi umatnya untuk kepentingan yang sempit dan cupet.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar