DAMPAK SOSIAL REFORMASI IMF DAN
REFORMASI POLITIK
Untuk memahami dan menuntaskan
permasalahan krisis moneter yang tengah melanda Asia, khususnya Indonesia, akan
lebih mudah bila terlebih dulu mengidentifikasi penyebab-penyebabnya. Secara
garis besar, penyebab krisis moneter ini dapat dikategorikan ke dalam faktor
penyebab eksternal dan internal, dan keduanya memiliki keterkaitan erat.
Penyebab eksternal (global) dari krisis moneter adalah:
Berbeda dengan
sektor perdagangan dunia, pengaturan telah dilakukan oleh GATT. Ketiadaan Bank
Sentral Dunia yang dapat menjadi pengatur moneter dunia. Kondisi ini
menyebabkan –pada tingkat dunia- terjadinya hukum rimba ekonomi, siapa yang
kuat (kaya) akan menang (berkuasa). (The
Jakarta Post, 9 Januari 1998 h.5).
Tidak adanya
single currency, yang dapat memberi peluang kepada para spekulan uang (Eropa
akan menggunakan Euro sejak 1998). Tidak adanya pajak bagi pemodal (fund
managers) sehingga mereka mudah memindahkan (menarik) dana dari satu negara ke
negara lain. (Pentingnya pajak sebagai disinsetif pernah dikemukakan oleh James
Tobin, Pemenang Nobel Ekonomi 1981, lihat Washington Post edisi 25 Desember
1997).
fund managers
yang relatif sangat tinggi dalam mencari ‘keuntungan’. (Dalam majalah Time
edisi 3 November 1997, menunjukkan bagaimana mereka menyerang Baht/Thailand;
Dalam artikel yang berjudul 1997: Year
of Transition, Kenichi Ohmae, menunjukkan bagaimana George Soros melalui
Quantum Fund-nya dan Julian Roberson dengan Tiger Fund-nya mendapat keuntungan
dari Baht). Fund managers ini bahkan dapat
"menggoyang" budget Amerika 1979 (era Presiden Carter) dan
Inggrisd 1992 (era Perdana Menteri John Major) (The Strait Times edisi 12
Desember 1997, juga dapat dilihat Kompas edisi 8 Desember 1997 h.2).
Kondisi global
ini menyebabkan Thailand
(yang rapuh karena property dan pola konsumsi berlebihan) mengambangkan
Baht-nya sehingga terjadi depresiasi. Keadaan ini berdampak pada Indonesia yang
akhirnya juga mengambangkan rupiah dan mengalami depresiasi. Sementara itu
kondisi internal Indonesia
juga dibebani oleh:
Terjadinya
kolusi bank, yang ditandai dengan terjadinya pelanggaran legal lending limit
:"infus bank" dan Non performing loan ratio bank swasta dan bank
pemerintah yan relatif tinggi (bank swasta : 5%, bank pemerintah 17%; Malaysia :3.9%; Filipina : 1,2 %, Thailand 7.7 %,
(Far Eastern Economic Review edisi 25 September 1997).
Bunga kredit
dari bank-bank dalam negeri yang tinggi, menyebabkan terjadinya banyak
peminjaman jangka pendek dari luar negeri untuk proyek jangka panjang.
Banyaknya dana Indonesia yang
diparkir di luar negeri (80 milyard dollar). Sedikitnya pinjaman (10-20%)
dengan hedging (lindung-nilai) (Bisnis Indonesia edisi 10 Januari 1998
h.4) Kondisi ini dibarengi dengan
performance perusahan dengan performance perusahaan yang sudah go-public sangat
rendah, 86. 6 % berstatus "Unhealthy and Poor"(Far Eastern Economic
Review edisi 25 Desember 1997, h.123).
Kondisi-kondisi
tersebut kemudian menghasilkan krisis "Exchange rate" atau hutang
yang tadinya dan sebenarnya kita mampu bayar menjadi berlipat ganda dalam waktu
singkat. Dalam keadaan normal, solusi depresiasi adalah roll over debts atau
recapitalization, namun dalam kasus Indonesia dipengaruhi oleh faktor
confidence dan credibility.
Untuk mengatasi
krisis moneter ini, IMF menyarankan dilakukannya beberapa hal, antara lain;
transparansi, demonopolisasi, kepastian hukum, pencabutan subsidi BBM;PHK;
pengurangan/pencabutan subsidi sembako. Namun demikian, 50 butir ‘saran’ yang
diajukan IMF ini banyak mendapat kritik karena (sebagian ) solusi tersebut
dianggap kurang tepat untuk krisis moneter
yang melanda Asia. IMF juga dikritik
karena terdapat kenyataan 89 negara berkembang yang dibantu IMF ternyata lebih
dari setengahnya tidak menjadi baik, bahkan 32 negara diantaranya kondisinya
memburuk (Far Eastern Economic Review edisi 25 Desember 1997, h. 5). Penjelasan
diatas dapat diringkas dalam gambar
(lihat gambar 1).
Dampak Program IMF di
Amerika Latin
Krisis moneter
di Amerika Latin yang di "obati" dengan resep IMF menghasilkan IMF
riots seperti yang terlihat dalam tabel 1.
Tabel tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan IMF menghasilkan dampak (berupa kerusuhan dengan
korban jiwa dan benda) serta dampak ekonominya seperti "negosiasi,
resecheduling, distribusi uang dan makan". Sedangkan dampak politiknya
antara lain jatuhnya pemerintah, mundurnya Presiden, pergantian
kabinet/menteri.
Dampak sosial
reformasi IMF Dalam mengatasi gejolak ekonomi akhir-akhir ini, pemerintah
sepakat melakukan 50 butir rencana aksi yang disarankan IMF. Diharapkan pelaksanaan
reformasi IMF akan meningkatkan kestabilan dan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Reformasi ini mencakup pengurangan subsidi BBM dan listrik secara
bertahap dan penghapusan monopoli Bulog (kecuali beras) serta asumsi
pertumbuhan 0 % dan inflansi 20%. Reformasi IMF ini memiliki dampak sosial
yaitu menghasilkan instabilitas, yang jika ditambah dengan keresahan-keresahan
yang telah menumpuk selama ini berpotensi untuk berkembang menjadi kerusuhan
yang intensif dan ekstensif.
Kerusuhan sosial sebagai dampak reformasi
IMF dapat menyebar, dengan mayoritas massa
dan waktunya (duration) yang bukan mingguan atau. Hal ini berbeda dengan
kerusuhan-kerusuhan sosial sebelumnya.
Dalam sejarah Orde Baru, konflik yang
terjadi lebih berupa demonstrasi dan kerusuhan bersifat lebih urban, lokal dan
terbatas peserta serta masanya.
Sebagai contoh, kerusuhan Malari,
Situbondo, Tasikmalaya dan Ujungpandang adalah intensif namun bersifat lokal,
tidak simultan dan memakan waktu yang tidak lama. Kerusuhan yang agak bersifat
nasional hanyalah kerusuhan pada pemilu yang cukup menyebar secara nasional
namun waktunya pun tidak lama dan
menghilang sendiri setelah pemilu selesai.
Secara teoritik, keresahan dapat menjadi
protes-demonstransi jika terdapat pemicu, seperti: kebijakan yang merugikan,
utamanya kenaikan harga atau konflik individu dari kelompok yang bertentangan
secara vertikal-horizontal. Jika ditambah mobilisator maka protes-demonstrasi
berpotensi menjadi kerusuhan sosial. Secara historis, berbagai kerusuhan sosial
(lihat gambar 2). Secara historis, berbagai kerusuhan sosial selama ini
pemicunya bermula ustadz di Tasikmalaya, penusukan pada pesta dangdut di Sanggau Ledo atau pembunuhan anak
dosen di Ujungpandang. Kerusuhan terjadi karena situasi masyarakat yang
sebenarnya sudah berada dalam situasi konflik terpendam atau tertutup. Dalam
situasi ini persepsi (beberapa) kelompok terhadap kelompok lainnya (utamanya
yang berbeda secara vertikalkelas dan horizontalagama, suku, ras) bersifat
negatif.
Keadaan ini terjadi karena kurang
berhasilnya sistem perwakilan politik kita menyalurkan aspirasi, lemahnya
paropol sebagai integrator sosial, kesenjangan ekonomi yang makin melebar,
sosialisasi agama yang negatif dan ekseklusif serta arogansi dan penyimpangan
kekuasaan oleh birokrasi.
Akibatnya situasi ini menghasilkan
kelompok-kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil seperti pedagang dan
pemilik tanah yang tergusur, petani cengkeh, pencari keadilan yang dipermainkan
lembaga peradilan, konsumen yang dirugikan produsen yang monopolistis, atau
anggota PPP yang merasa dirugikan dalam pemilu.
Secara komparatif, seperti tertera dalam
tulisan John Walton: Debt, Protest and the State in Latin
America, 1989, dampak reformasi IMF di 13 Amerika Latin
(1976-1986) yang menghasilakn kerusuhan IMF (IMF Riots). Kerusuhan IMF ini
dicoba diatai dengan berbagai kebijakan ekonomi seperti renegosiasi kebijakan
IMF, penjadwalan hutang, program padat karya, subsidi dan program food stamps.
Dampak politiknya adalah diberlakukannya
UU Darurat (Peru),
mundurnya militer (Argentina),
reshuffle, kabinet (Bolivia),
pergantian kabinet (Haiti),
perpecahan kabinet dan penggantian Menteri Keuangan (Mexico
) dan mundurnya Presiden (Panama).
Kenaikan harga dan bertambahnya
pengangguran-karena reformasi ekonomi IMF-dapat menjadi pemicu kerusuhan
sosial, terutama pada masyarakat yang kurang demokratis dan penuh dengan
nepotisme, kolusi dan korupsi.
Berdasarkan analisis sejarah dan komparatif
tersebut maka reformasi IMF di Indonesia mempunyai potensi untuk menimbulkan
keresahan dalam masyarakat.
Apalagi ditambah dengan meningkatknya
pengangguran karena macetnya proyek pembangunan, naiknya harga BBM dan listrik
esrta pulangnya TKI dari luar negeri (utamanya dari Malaysia). Adanya reformasi IMF
(kemungkinan selama 3 tahun) berpotensi untuk menghasilkan kesulitan hidup yang
meluas.
Keadaan ini diperburuk dengan kesalnya
masyarakat yang merasa bahwa keadaan ekonomi yang memburuk ini disebakan oleh
hutang luar negeri swasta, bobroknya sistem perbankan serta lemahnya kontrol
dalam sistem politik dan hukum.
Keresahan ini mungkin untuk sebagian
telah diantisipasi dengan program seperti operasi pasar, kredit bagi golongan
lemah, subsidi BBM dan program padat karya (atau dapat ditambah food stamps
seperti di Brazil).
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo, ibarat
obat, program-program tersebut baru
berupa aspirin, bukan antibiotika untuk menyembuhkan penyakit kroins yakni
lemahnya "good governance" dalam bidang ketatanegaraan, hukum dan
birokrasi.
Reformasi Politik.
Selama ini program pembangunan Indonesia yang
menekankan pada pertumbuhan ekonomi telah membatasi partisipasi pembangunan
politik atau "Ekonomi Yes; politik No". slogan ini dapat berjalan
lancar jika keadaan ekonomi cukup baik seperti harga yang terjangkau dan
tersedianya lapangan kerja.
Namun jika terjadi kemacetan ekonomi dan
upaya ekonomi (operasi pasar atau padat karya) tidak dapat mengatasi
sepenuhnya, maka perlu dilakukan reformasi politik. Dalam jangka pendek, secara
psikologis masyarakat merasa "terkompensasi" karena kesulitan ekonomi
mereka "distribusi" dengan
kebebasan politik. Selain itu reformasi politik ini diperlukan pula
untuk mendukung penyembuhan pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan
kontrol sehingga mencegah penyimpanan dalam masa penghematan kontrol dan
prihatin. Jika tidak dilakukan reformasi politik maka kapasitas daya dukung masyarakat
menjadi rapuh dan dapat mengarah pada instabilitas politik. Dengan kata lain, reformasi
politik justru memperkuat masyarakat dan menambah kepercayaan mereka. Keadaan
ini berbeda dengan negara-negara bekas komunis (utamanya Uni Soviet) dimana basis
utama integrasi adalah paksaan (coercive), sehingga ketika paksaan melemah
karena reformasi politik terjadilah disintegrasi .
Dalam reformasii ekonomi sekarang ini
terdapat pihak luar (IMF dan Presiden Clinton) yang memaksa kita untuk meminum aspirin.
Namun untuk memaksa meminum antibiotika tidak ada lembaga internasional yang
dapat memaksa kecuali lembaga konstutional seperti "MPR/DPR Jalanan".
Reformasi politik melalui lembaga konstitusional hendaknya jangan dianggap akan menghasilkan anarki politik ataupun
instabilitas politik karena tidak akan menganggu sistem sosial secara
keseluruhan. Hanya sebagian kecil kelompok (vested interest) yang merasa bahwa
reformasi politik merupakan suatu ancaman.
Sebagai perbandingan, Thailand melakukan
reformasi politik ("Operation Accountability, " Asiaweek 10 October
1997) yang intinya membuat mekanisme agar terdapat pengawasan yang lebih
efektif pada pihak-pihak yang berkuasa, utamanya pemerintah dan parlemen.
Reformasi ini mencakup kewajiban anggota kabinet untuk menjelaskan kekayaannya
sebelum dan sesudah duduk di
kabinet, anggota kabinet tidak boleh merangkap anggota parlemen, pemilu
Indenpenden, bukan oleh Depdagri, 300 senator tidak lagi ditunjuk tetapi
dipilih langsung dalam pemilu dan pembentukkan Komnas HAM.
Bahkan dengan 50.000 penandatangan,
rakyat dapat meminta Komisi Anti Korupsi untuk memeriksa pejabat dan politisi
yang dicurigai.
Kemenangan politik masyarakat Thailand ini
telah meningkatkan tingkat kepercayaan pada sistem politik dan merupakan salah
satu faktor mengapa mereka tetap tabah dalam menjalani reformasi ekonomi dari
IMF. Reformasi yang dilakukan di Thailand lebih bersifat
komprehensif dan berfungsi sebagai antibiotika karena upaya tersebut berusaha
untuk mengobati sumber distorsi ekonomi antara lain kurangnya akuntabilitas
(accountability) pemerintah yang menyebabkan kolusi, cronysim, nepotisme dan
korupsi.
Dalam reformasii politik ini perlu
penegasan komitmen dari semua lembaga dan pihak sehingga dapat meningkatkan
tingkat kepercayaan masyarakat pada tatanan sosial yang ada. Komitmen Nasional
ini perlu dituangkan dalam rencana nyata seperti 50 butir reformasi IMF dan
tercakup dalam GBHN.
Butir-butir reformasi tersebut masih
berada dalam koridor Pancasila dan UUD 1945 dan justru akan memperkuat
masyarakat Indonesia.
Misalnya, membolehkan setiap anggota DPR untuk melaksanakan hak-haknya (Pasal
21) yang selama ini menjadi hak kolektif (fraksi); diperbolehkannya masyarakat
mengeluarkan pendapat lisan maupun tulisan/pers (Pasal 28) serta ditumbuhkannya kemandirian lembaga
peradilan (Pasal 24).
Dalam hal ini, lembaga MPR/DPR, utamanya
fraksi-fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, perlu lebih aktif mencari butir-butir
reformasi yang diharapkan masyarakat. Karena kedua kekuatan sosial-politik
itulah yang mempunyai kekuasan dominan dalam lembaga konstitusional MPR/DPR.
Penutup
Bahwa reformasi IMF berpotensi mengubah
keresahan yang sudah terakumulasi menjadi kerusuhan bersifat nasional karena
upaya-upaya ekonomi tidak dapat sepenuhnya mengatasi kesulitan ekonomi. Selain
itu pembahasan diatas menunjukkan perlunya reformasi politik yang dampak jangka
pendeknya memberi kemenangan psikologis
pada masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Jika reformasi politik
tidak dilakukan maka masyarakat luas pada akhirnya akan melancarkan tuntutan
ini secara inkonstitutional.
Pelaksanaan reformasi politik (meminum
antibiotika) ini harus dilakukan secara bersama sebagai upaya memperbaiki
keadaaan dengan kesadaeran sendiri tanpa dipaksa pihak luar.
Kita juga punya nih artikel mengenai 'Dampak Sosial Ekonomi', silahkan dikunjungi dan
BalasHapusdibaca, berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3143/
1/PESAT%202005%20_ekonomi_008.pdf
Terimakasih