PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

Hijrah



Hijrah
Tak ada suatu kata yang menyiratkan makna demikian kuat, seperti kata hijrah. Dari tiga rangkaian amal islami (QS. Al Anfal:74), tampak perannya yang sangat monumental. Bertolak dari iman, sebagai suatu pilihan hati nurani untuk bersama seluruh ciptaan-Nya tunduk mengabdi kepada Allah Rabbul ‘Alamin, seorang hamba memutuskan pilihan sulit; diam di tempat dengan kehinaan, iman yang tidak “produktif”, dan masa depan yang sangat gelap atau “berangkat”.
Pilihan iman saja sudah menuntut keberanian. Berani berbeda dari seluruh bangsa yang masih terbelenggu, menuntut pengorbanan, dari ‘bubar jalan’ karena kelemahan mereka yang kerap kagum dengan konsep islam, tetapi terbelenggu oleh rasa takut atau gengsi, sampai makar pemenjaraan, pengusiran, atau pembunuhan (QS. Al Anfal:30).
Hijrah bukanlah anggapan naif “sebuah keterpaksaan mengamankan diri”. Ia sebuah aksioma abjadiyat pembangunan islam, yaitu harus sampai ke puncak bangunannya (Dzirwatu Sanamihi), yaitu jihad. Mengapa ada pembangunan base camp, dan masjid sebagai pusatnya? Mengapa Quraisy masih tetap memburu mereka di Madinah? Mengapa ada persaudaraan (muakhah) anatara muhajirin dan Anshar? Mengapa ada pembangunan pasar Muslimin dan sekian lagi institusi?
Dua kalimah syahadat sendiri menyuratkan dan menyiratkan kekuatan pesan pembebasan, menggetarkan pendukung status quo jahiliyah (QS. Fathir:45/Al Jinn :18-20).
Di jalan iman, syaitan menunggu sang pemberani, “Kau ikuti beliau macam Muhammad dan tinggalkan agama datukmu?” Bila ia terus maju, syaitan mencegatnya di jalan hijrah. “Kau tega tinggalkan sanak kerabat , bangsa yang besar dan kekayaan negeri yang melimpah, untuk masa depan yang tak jelas?” Bila ia istiqomah, syaitan mengancamnya di jalan jihad. “Kau korbankan dirimu mati terbunuh, lalu hartamu dibagi-bagikan dan istrimu diambil orang lain?” (HR. Ahmad, Tirmidzi & Ibnu Hibban)
Hijrah melahirkan kelas bukan berbasis fatalisme konflik proletar versus Borjuis & kapitalis, tetapi pada iltizam, wala’ dan tadlhiyah:
 1. Muhajirin meninggalkan Mekah, merelakan begitu banyak yang “sepatutya” disedihkan; tanah air, keluarga, kekayaan, harapan, dan masa depan. Menuju madinah yang dalam parameter materialisme penuh masalah; masa depan yang tidak jelas, iri dan benci Yahudi, Munafiqin dan akhirnya Mashara Rum, perasaan menjadi beban bagi orang lain, dan seterusnya.
2. Kaum Anshar menerima saudara Muhajirin mereka dengan penuh kecintaan; modal usaha, hunian, diri mereka sendiri menjadi benteng dan perisai.
3. Pelanjut yang arif, serius dan tulus.
    Suatu hari Imam Ali Zainal Abidin radhiyallahu’anhu cucunda Ali Bin Abi Thalib, radhiyallahu’anhu. Kedatangan seorang rafidhah yang sangat profokatif. Dikafirkannya semua sahabat sepeninggal Rasulullah kecuali 6 orang diantara mereka (Usamah bin Zaid, Ammar bin Yasir, Miqdad bin Al Aswad, Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari,…). Ia berharap dapat mempengaruhi dan merekrut sang imam. (Padahal bertahun-tahun fuqaha madinah tidak tahu dari mana mereka dapat makanan. Sewafat Ali Zainal Abidin itu, shadaqah sirriyah (tersembunyi) tersebut terhenti dan orang yang memandikannya menemukan bekas di bahunya; kulit yang menebal lantaran terus menerus memikul sendiri bahan makanan). Dengan bijak sang imam bertanya kepada si rafidhah itu:
“Anda termasuk kelompok ini?”  seraya membacakan ayat 8 surat Al-Hasyir tentang kaum muhajirin.
“Mungkin anda kelompok berikutnya?” (kaum anshar, ayat 9)
“Juga tidak,” jawab sang provokator.
“Nah kalau begitu anda juga tidak termasuk ke dalam kelompok berikutnya (Al-Hasyir:10, tabi’in dst), pergilah dari rumahku!” bentak Imam Zainal Abidin.
Hijrah tidak menyisakan ruang bagian pengecut, pemalas, penghasud, dan semua yang berfikiran sempit. Ruang hijrah hanya untuk tiga kaum; 1. Muhajirin dan semua pengambil inisiatif, 2. Anshar dan semua pembela dengan jiwa, raga, dan harta, 3. Para tabi’in dan pendukung sesudah mereka. Selebihnya bila masih ada itulah ruang keasingan bagi iman dan ruang kegelapan bagi kejujuran.
Biarkan sejarah bertutur mengisahkan semua keutamaan ini:
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu ‘anhu berkata: “Tak pernah sekalipun Rasulullah luput untuk datang mengunjungi Abu Bakar, pagi atau petang. Pada hari beliau diizinkan untuk berangkat hijrah, keluar dari Mekah dan meninggalkan bangsanya ia datang pada tengah hari. Saat Abu Bakar melihatnya, ia berkata:  “Tak mungkin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kita di saat ini kecuali bila suatu hal (penting) telah terjadi.”
Ketika beliau tiba, Abu Bakar undur, menyilakannya duduk di tempat duduknya. Beliau pun duduk, sementara tak ada yang menyertai Abu Bakar saat itu kecuali aku dan Asma’, saudariku. Beliau berkata: “Keluarkan orang yang bersamamu”. Abu Bakar menjawab: “Mereka itu anak-anakku, ada apa ya Rasululla? Jiwa ayah bundaku jadi tebusanmu.”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya Alloh telah mengizinkanku untuk keluar dan berhijrah.” Abu Bakar memohon, “Kutemani ya Rasulullah.” “Ya, tentu,”jawab Rasulullah. Demi Allah belum pernah sama sekali kurasakan sebelum hari itu ada seseorang bisa menangis karena gembira, kecuali saat Abu Bakar menangis..”.
“Kami menyiapkan untuk mereka bekal terbaik. Kami buatkan safrah (makanan musafir). Asma’ memotong secarik sabuknya untuk mengikat makananan di leher kantungnya, karenanya ia digelari dzatun nithaqain (pemilik dua sabuk).

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar masuk gua Tsur, bersembunyi di sana tiga malam. Bermalam bersama mereka Abdullah bin Abi Bakar, beliau yang cerdas (tsaqif) dan tanggap (laqin). Ia menyelusup pergi dari sana menjelang fajar dan pagi hari telah ada di tengah kaum Quraisy, seakan bermalam di Mekah. Tak ada satu perkara yang membahayakan mereka yang tak diliputnya, lalu ia sampaikan beritanya kepada mereka ketika kegelapan semakin membaur. Amir bin Fuhairah mantan budak Abu Bakar menyiapkan kambing yang diantarkannya lepas isya. Mereka makan malam dengan susu kambing tersebut tiga malam itu.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu menyewa seorang pemandu profesional dari kabilah Bani Dail yang berasal usul dari Bani Abd bin Adi yang telah mengikuti perjanjian pengamanan (hilf, persekutuan) beragama kafir Quraisy. Mereka menilainya dapat dipercaya. Maka mereka pun berjanji untuk berjumpa di Gua Tsur setelah tiga hari pada subuh ketiga. Setelah itu Amir membawa mereka bersama pemandu menempuh jalur pantai (Shahih Bukhari, Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir, dll. Dikutip dari Ahzami Samiun Jazuli, Dr. MA. Hijrah Fil Qur’an :331-333).
Di Jazurah, di pasar Mekah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak melantunkan perasaan paling dalam: “ Demi Allah, engkaukah bumi Allah terbaik dan paling dicintai-Nya, kalaulah aku tidak dipisahkan dari dirimu, niscaya takkan daku keluar meninggalkanmu.” (Tirmidzi & Ibnu Majah,op. cit.335)
Para hujjaj telah kembali, berjuta hati telah larut dalam samudra sejarah paling indah. Bulan 12 menjadi 1 kembali, Muharram 1433. 1433 tahun sejak hijrahnya, bukan dari lahirnya. Ia adalah catatan maha gemilang prestasisebuah generasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar