Hijrah
Tak ada suatu kata yang
menyiratkan makna demikian kuat, seperti kata hijrah. Dari tiga rangkaian amal
islami (QS. Al Anfal:74), tampak perannya yang sangat monumental. Bertolak dari
iman, sebagai suatu pilihan hati nurani untuk bersama seluruh ciptaan-Nya
tunduk mengabdi kepada Allah Rabbul ‘Alamin, seorang hamba memutuskan pilihan
sulit; diam di tempat dengan kehinaan, iman yang tidak “produktif”, dan masa
depan yang sangat gelap atau “berangkat”.
Pilihan iman saja sudah
menuntut keberanian. Berani berbeda dari seluruh bangsa yang masih terbelenggu,
menuntut pengorbanan, dari ‘bubar jalan’ karena kelemahan mereka yang kerap
kagum dengan konsep islam, tetapi terbelenggu oleh rasa takut atau gengsi,
sampai makar pemenjaraan, pengusiran, atau pembunuhan (QS. Al Anfal:30).
Hijrah bukanlah
anggapan naif “sebuah keterpaksaan mengamankan diri”. Ia sebuah aksioma
abjadiyat pembangunan islam, yaitu harus sampai ke puncak bangunannya (Dzirwatu
Sanamihi), yaitu jihad. Mengapa ada pembangunan base camp, dan masjid sebagai
pusatnya? Mengapa Quraisy masih tetap memburu mereka di Madinah? Mengapa ada
persaudaraan (muakhah) anatara muhajirin dan Anshar? Mengapa ada pembangunan
pasar Muslimin dan sekian lagi institusi?
Dua kalimah syahadat
sendiri menyuratkan dan menyiratkan kekuatan pesan pembebasan, menggetarkan
pendukung status quo jahiliyah (QS. Fathir:45/Al Jinn :18-20).
Di jalan iman, syaitan
menunggu sang pemberani, “Kau ikuti beliau macam Muhammad dan tinggalkan agama
datukmu?” Bila ia terus maju, syaitan mencegatnya di jalan hijrah. “Kau tega
tinggalkan sanak kerabat , bangsa yang besar dan kekayaan negeri yang melimpah,
untuk masa depan yang tak jelas?” Bila ia istiqomah, syaitan mengancamnya di
jalan jihad. “Kau korbankan dirimu mati terbunuh, lalu hartamu dibagi-bagikan
dan istrimu diambil orang lain?” (HR. Ahmad, Tirmidzi & Ibnu Hibban)
Hijrah melahirkan kelas
bukan berbasis fatalisme konflik proletar versus Borjuis & kapitalis,
tetapi pada iltizam, wala’ dan tadlhiyah:
1. Muhajirin meninggalkan Mekah, merelakan
begitu banyak yang “sepatutya” disedihkan; tanah air, keluarga, kekayaan,
harapan, dan masa depan. Menuju madinah yang dalam parameter materialisme penuh
masalah; masa depan yang tidak jelas, iri dan benci Yahudi, Munafiqin dan
akhirnya Mashara Rum, perasaan menjadi beban bagi orang lain, dan seterusnya.
2.
Kaum Anshar menerima saudara Muhajirin mereka dengan penuh kecintaan; modal
usaha, hunian, diri mereka sendiri menjadi benteng dan perisai.
3.
Pelanjut yang arif, serius dan tulus.
Suatu hari Imam Ali Zainal Abidin
radhiyallahu’anhu cucunda Ali Bin Abi Thalib, radhiyallahu’anhu. Kedatangan
seorang rafidhah yang sangat profokatif. Dikafirkannya semua sahabat
sepeninggal Rasulullah kecuali 6 orang diantara mereka (Usamah bin Zaid, Ammar
bin Yasir, Miqdad bin Al Aswad, Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari,…). Ia
berharap dapat mempengaruhi dan merekrut sang imam. (Padahal bertahun-tahun
fuqaha madinah tidak tahu dari mana mereka dapat makanan. Sewafat Ali Zainal
Abidin itu, shadaqah sirriyah (tersembunyi) tersebut terhenti dan orang yang
memandikannya menemukan bekas di bahunya; kulit yang menebal lantaran terus menerus
memikul sendiri bahan makanan). Dengan bijak sang imam bertanya kepada si
rafidhah itu:
“Anda termasuk kelompok
ini?” seraya membacakan ayat 8 surat
Al-Hasyir tentang kaum muhajirin.
“Mungkin anda kelompok berikutnya?”
(kaum anshar, ayat 9)
“Juga tidak,” jawab
sang provokator.
“Nah kalau begitu anda
juga tidak termasuk ke dalam kelompok berikutnya (Al-Hasyir:10, tabi’in dst),
pergilah dari rumahku!” bentak Imam Zainal Abidin.
Hijrah tidak menyisakan
ruang bagian pengecut, pemalas, penghasud, dan semua yang berfikiran sempit.
Ruang hijrah hanya untuk tiga kaum; 1. Muhajirin dan semua pengambil inisiatif,
2. Anshar dan semua pembela dengan jiwa, raga, dan harta, 3. Para tabi’in dan
pendukung sesudah mereka. Selebihnya bila masih ada itulah ruang keasingan bagi
iman dan ruang kegelapan bagi kejujuran.
Biarkan sejarah
bertutur mengisahkan semua keutamaan ini:
Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallohu ‘anhu berkata: “Tak pernah sekalipun Rasulullah luput untuk datang
mengunjungi Abu Bakar, pagi atau petang. Pada hari beliau diizinkan untuk
berangkat hijrah, keluar dari Mekah dan meninggalkan bangsanya ia datang pada
tengah hari. Saat Abu Bakar melihatnya, ia berkata: “Tak mungkin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi kita di saat ini kecuali bila suatu hal (penting) telah
terjadi.”
Ketika beliau tiba, Abu
Bakar undur, menyilakannya duduk di tempat duduknya. Beliau pun duduk,
sementara tak ada yang menyertai Abu Bakar saat itu kecuali aku dan Asma’,
saudariku. Beliau berkata: “Keluarkan orang yang bersamamu”. Abu Bakar
menjawab: “Mereka itu anak-anakku, ada apa ya Rasululla? Jiwa ayah bundaku jadi
tebusanmu.”
Beliau menjawab:
“Sesungguhnya Alloh telah mengizinkanku untuk keluar dan berhijrah.” Abu Bakar
memohon, “Kutemani ya Rasulullah.” “Ya, tentu,”jawab Rasulullah. Demi Allah
belum pernah sama sekali kurasakan sebelum hari itu ada seseorang bisa menangis
karena gembira, kecuali saat Abu Bakar menangis..”.
“Kami menyiapkan untuk
mereka bekal terbaik. Kami buatkan safrah (makanan musafir). Asma’ memotong
secarik sabuknya untuk mengikat makananan di leher kantungnya, karenanya ia
digelari dzatun nithaqain (pemilik dua sabuk).
Kemudian Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar masuk gua Tsur, bersembunyi di sana
tiga malam. Bermalam bersama mereka Abdullah bin Abi Bakar, beliau yang cerdas
(tsaqif) dan tanggap (laqin). Ia menyelusup pergi dari sana menjelang fajar dan
pagi hari telah ada di tengah kaum Quraisy, seakan bermalam di Mekah. Tak ada satu
perkara yang membahayakan mereka yang tak diliputnya, lalu ia sampaikan
beritanya kepada mereka ketika kegelapan semakin membaur. Amir bin Fuhairah
mantan budak Abu Bakar menyiapkan kambing yang diantarkannya lepas isya. Mereka
makan malam dengan susu kambing tersebut tiga malam itu.
Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu menyewa seorang pemandu
profesional dari kabilah Bani Dail yang berasal usul dari Bani Abd bin Adi yang
telah mengikuti perjanjian pengamanan (hilf, persekutuan) beragama kafir
Quraisy. Mereka menilainya dapat dipercaya. Maka mereka pun berjanji untuk
berjumpa di Gua Tsur setelah tiga hari pada subuh ketiga. Setelah itu Amir
membawa mereka bersama pemandu menempuh jalur pantai (Shahih Bukhari, Sirah Nabawiyah
Ibnu Katsir, dll. Dikutip dari Ahzami Samiun Jazuli, Dr. MA. Hijrah Fil Qur’an
:331-333).
Di Jazurah, di pasar
Mekah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak melantunkan
perasaan paling dalam: “ Demi Allah, engkaukah bumi Allah terbaik dan paling
dicintai-Nya, kalaulah aku tidak dipisahkan dari dirimu, niscaya takkan daku
keluar meninggalkanmu.” (Tirmidzi & Ibnu Majah,op. cit.335)
Para hujjaj telah
kembali, berjuta hati telah larut dalam samudra sejarah paling indah. Bulan 12
menjadi 1 kembali, Muharram 1433. 1433 tahun sejak hijrahnya, bukan dari
lahirnya. Ia adalah catatan maha gemilang prestasisebuah generasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar