Hijrah
vs Menyerah
Tak ada perjuangan
seberat hijrah dan tak ada pengorbanan setulus hijrah. Siapa pun punya hak
untuk mengajukan bukti, ada hijrah lain yang menandingi kesakralan hijrah atas
nama Tuhan, asal jangan benturkan dia dengan jihad, karena keduanya memang tak
bisa dipertentangkan. Yang satu lahir dari kandungan yang lain. Jihad yang
lahir dari jiwa hijrah masih memberi ‘ruang’ bagi pembalasan, pelampiasan, dan
kemurkaan karena Allah –sementara hijrah telah ‘membiarkan’ orang-orang
terhormat meninggalkan tanah air dan kecintaan mereka serta bersabar atas
cibiran khalayak. Mereka lepaskan kecintaan kepada tanah air, pergi jauh dalam
keterasingan. Tak dapat dinafikan nilai ‘hijrah’ orang-orang Irlandia, Spanyol,
dan Eropa lainnya mendatangi benua baru, Amerika. Seperti juga yang mereka
lakukan ke Australia. Tetapi siapa mau dibohongi tentang punahnya bangsa
Indian, Maori, dan Aborigin. Penderitaan mereka masih panjang dan masa depan
mereka masih remang-remang.
Batu Ujian
Tidak usah
menginterogasi orang Madinah atau keturunan mereka, apakah mereka menyetujui
telah membela, melayani dan mencintai saudara-saudara Muhajirin mereka.
Berbinar wajah mereka menyambut peziarah ke Madinah yang bercahaya itu.
Benarlah pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Di setiap rumah Anshar
ada kebaikan.” Jadi tidak ada yang mengherankan bila perang Fathu Makkah itu
tanpa insiden mabuk kemenangan atau tumpahan dendam. Derita hijrah adalah
konsekuensi iman. Semua pedih sudah terbayar dengan keramahan, kecintaan dan
pembelaan saudara-saudara Anshar serta cinta Rasul yang teramat dalam.
Wahai ahli Thaibah,
beruntung sangat Anda
Dapatkan dia yang
saruwa alam tak berdaya, mendekat, dan mengkhidmatinya.
Namun tentu saja luapan
cinta ini tidak menafikan hak untuk beruntung dan berbahagia menjadi
pengikutnya. Yang luput dari melihat Al Mukhtar, Rasul pilihan silakan melihat
Sunnah yang besar dan Al Qur’an yang ia wariskan.
Silakan tanya apakah
orang-orang Anshar akan mengajukan resolusi ke PBB atas hilangnya ‘hak
kepemimpinan’ Abdullah bin Ubay bin
Salul yang asli Arab Madinah, kandidat pemimpin tertinggi Yatsrib dengan
penampilan dan tutur kata yang menjadikannya pantas memimpin. Sayang jiwa
ringkihnya meleleh dalam gesekan yang tak disadarinya dan hasad kepada sang
Nabi akhir zaman.
Atau Huyai bin Al
Ahthab, Ka’ab bin Al Asyraf, dan Lubaid Al Asham sang penyihir, tokoh-tokoh
Yahudi yang akhirnya kehilangan peluang emas lantaran tidak cerdas seperti
saudara mereka Abdullah bin Salam yang menerima risalah cahaya ini dengan hati
yang bahagia.
“Wahjurhum Hajran
Jamila”
Bila seorang Muslim
membaca Al Qur’an Allah memasang tabir (hijaban mastura) atau yang membatasi
mereka dengan orang-orang kafir. Inilah penghijrahan ruhani yang menjadikan
Muslim punya basecamp dan batas demarkasi dimana pun mereka berada. Bahkan
upaya intensif kaum kaffar untuk memalingkan masyarakat dari Al Qur’an dengan
ucapan mereka: “Janganlah kalian dengarkan Al-Qur’an ini dan permainkan
(sibukkan orang-orang dengan permainan agar melupakan) dia.” (Qs. Fushilat:26),
dibalas Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perintah: “Sabarlah atas ucapan mereka
dan menyingkirlah dari mereka dengan baik.”
(Qs Al Muzammil:10). Alangkah jauhnya perbedaan ini. Mereka menghambat
laju penyebaran Al Qur’an dan ia menghijrahkan ruhani kaum beriman agar dapat
menikmati kelezatan hidup dibawah naungan Al Qur’an (Qs. Al Isra’ :45). Hijrah
bukan melarikan diri, ia adalah langkah cerdas agar kebenaran tidak menjadi
mangsa.
“Inni Muhajirun ila
Rabbi” (Aku Berangkat Menuju Dia)
Kebodohan terhadap
sunnatullah menyebabkan kaum Yahudi dan segelintir elit Madinah semacam Ibnu
Saul menjadi begitu meradang saat kotanya dibanjiri Muhajirin. Betapa tidak
cerdasnya mereka memahami gejala alam. Mereka lupa moyang mereka yang
berevakuasi ke Madinah tahun 70 M, saat negeri mereka diserang dan akhirnya
memimpin di Madinah? Hijrah bukan hanya perpindahan dari wilayah ancaman ke
wilayah aman. Ia adalah seleksi ‘alami’ yang akan membuktikan kekuatan seorang
atau sekelompok hamba Allah untuk menjadi pemimpin. Siapa yang diam, dia takkan
menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas. “Al
harakah, fiha barakah” (dalam gerak ada berkah). Para muhajir telah memulainya
dengan benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari
kemarahan.
Sadar bahwa iman itu
punya nilai tinggi yang hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan. Jiwa dan
semangat hijrah dengan dinamika, tantangan, dan kepedihannya yang beragam
mempunyai satu mata air dari telaga yang sama, “Inni Muhajirun ila Rabbi” (aku
berangkat menuju Dia). Bukan kebetulan bila susunan bulan dalam perhitungan
tahun Hijrah, diakhiri dengan susunan bulan Haji dan dimulai dengan bulan
Muharram, sebagai pembuka tarikh hijri.
Haji yang bagi sebagian
kita berarti tamatnya Islam, justru menjadi puncak bagi pendakian berikutnya.
Sejak Al Khalil Ibrahim alaihissalam berangkat meninggalkan Haram ke Palestina
sampai berangkat lagi ‘menghijrahkan’ istri dan putra sulungnya Ismail sampai
hijrah Al Kalim Musa as ke Madyan dan puncaknya hijrah sang penutup, Muhammad
Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, menjadi munthalaq (milestone) keagungan syari’ah
yang abadi ini. Inilah mozaik kejujuran, keikhlasan, kesabaran, harapan dan
kekuatan.
Ketika baru saja
merasakan kebahagiaan mendapatkan putra pertama Ismail, ia diperintahkan untuk
menghijrahkan sang bayi kecil dan ibunya, jauh keselatan, ia hanya punya kata
“Siap: labbaik!”. Namun ia juga seorang ayah dan seorang suami. Ia tak mampu
menjawab pertanyaan istrinya yang terkejut ditinggalkan di lembah suci itu,
tanpa makanan tanpa minuman kecuali untuk hari itu di lembah yang belum ada
apa-apa dan belum ada siapa-siapa “Mengapa engkau tinggalkan kami disni?” Tak
ada jawaban. Pertanyaan berulang. Tak ada jawaban. Jawaban “Na’am” (Ya), baru
keluar setelah sang istri yang sangat bertauhid ini mengajukan pertanyaan
cerdas: “Apakah Allah yang menyuruhmu meninggalkan kami di sini?” Jawaban itu
pula yang memantapkan istrinya: “Jadi (kalau itu kehendak Allah), maka tentu Ia
takkan menyia-nyiakan kami.” (HR. Bukhari: Kitabul Anbiya).
Pewarisan
Hijrah adalah keutuhan
harga diri. Sekeping tanah jauh di rantau, bersama kemerdekaan, lebih berharga
daripada tinggal di negeri sendiri dengan kehinaan, tak dapat mengekspresikan
iman. Kecuali bila jihad telah menjadi bahasa tunggal. Inilah terjemah hakiki
sifat Islam yang ‘alamiyah (semestawi) tak tersekat oleh batas-batas sempit
kesukuan dan kebangsaan, kecuali perjuangan kebangsaan bertujuan menyelamatkan
dzawil qurba. Sedikit orang dapat memahami mengapa idealisme Hijrah itu
menjurus-jurus ‘nekad dan naif’.
Siapa yang hina, mudah
berbuat hina.
Bagi si mati tak ada
rasa sakit dalam luka.
Umat ini tak menjadi
kecil atau hina karena tak punya pewarisan material dari sejarah mereka, karena
nilai-nilai mulia yang mereka miliki bukan hanya telah menjadi milik dunia
tetapi telah menghidupkan, menyambung, dan membangun peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar