Isra’
Mi’raj dan Hakikat Shalat
Allah berfirman dalam
pembukaan surah Al Isra’:
“Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dari ayat ini bisa kita
ambil beberapa pelajaran:
Pertama, bahwa yang
Allah isra’kan adalah hamba-Nya (abduhu).
Kata hamba maksudnya
adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini merupakan deklarasi dari
Allah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah contoh hamba-Nya.
Dialah yang harus dicontoh untuk mencapai derajat kehambaan. Tidak ada yang
pantas diidolakan dalam perjalanan menuju Allah kecuali Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Mengapa?
Allah memuji akhlaknya:
“Wa innaka la’alaa khuluqin adziim (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung)” (QS. Al Qalam:4).
Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam dijamin masuk surga, maka siapa yang ingin masuk surga tidak
ada pilihan keculi dengan mencontohnya.
Perbuatan Rasulullah
adalah terjemahan hidup dari Al Qur’an. Maka tidak mungkin seseorang paham
maksud Al Qur’an tanpa merujuk kepada sirahnya.
Kedua, bahwa Isra’
Mi’raj ini terjadi hanya semalam.
Kata lailan pada ayat
di atas, yang artinya “pada suatu malam” adalah penegasan terhadap makna
tersebut. Dari sini nampak bahwa kejadian Ira’ Mi’raj adalah mu’jizat. Sebab
perjalanan sejauh itu di tambah lagi dengan naik ke langit lapis tujuh sampai
ke Sidratul Muntaha adalah jarak yang tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan
apapun yang dimiliki manusia baik pada saat itu maupun pada zaman teknologi
yang sangat canggih seperti sekarang ini. Untuk mencapai bintang terdekat saja
dari bumi dengan mengendarai peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat tercepat di dunia
“Challanger” dengan kecepatan 20 ribu kilometer per jam, para ilmuwan
mengatakan itu membutuhkan 428 tahun. Sungguh luar biasa kejadian Isra’ Mi’raj
sebagai bukti keagungan Allah sekaligus, sebagai bukti bahwa manusia bagaimana
pun pencapain keilmuannya masih tetap tidak ada apa-apanya dibanding dengan
kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga, diikatnya
antara dua masjid: Masjid Al Haram dan Masjid Al Aqsha
Menunjukkan beberapa
hal:
Bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala. sangat mencintai masjid.
Bahwa semua bumi ini
diciptakan oleh Allah untuk tempat bersujud.
Bahwa semua masjid di
manapun berada adalah sama, milik hamba-hamba Allah.
Bahwa siapapun yang
mengaku beriman ia pasti mencintai masjid dan meramaikannya. Allah berfirman:
“Yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At
Taubah:18). Karena dalam sejarah kita menyaksikan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam. selalu membangun masjid setiap singgah di suatu tempat.
Keempat, kata masjid
identik dengan ibadah shalat.
Dan perjalan Isra’
Mi’raj juga identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada ibadah dalam Islam yang diserahkan langsung oleh
Allah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali shalat. Selain
shalat semua ibadah diterima melalui malaikat Jibril alahis salam. Dari sini nampak
betapa agungnya ibadah shalat. Dalam pembukaan surah Al Mu’minun, ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ciri-ciri orang mu’min yang bahagia, penyebutan
itu dimulai dengan shalat “alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun” dan
ditutup dengan shalat “walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun”.
Para ulama tafsir
ketika menyingkap rahasia ayat ini mengatakan bahwa itu menunjukkan pentingnya
shalat. Bahwa shalat merupakan barometer ibadah-ibadah yang lain. Bila shalat
seseorang baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain akan ikut baik.
Sebaliknya bila shalat seseorang tidak baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah
yang lain tidak akan baik. Itulah makna ayat: “Innash sholaata tanhaa ‘anil
fahsyaai wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari
perbuatan keji dan mungkar)” (QS. Al Ankabuut: 45).
Di hari Kiamat pun
kelak demikian. Shalat tetap menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Karena
itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Awwalu maa yuhasabu bihil
‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu (yang pertama kali kelak di hisab pada hari
Kiamat adalah ibadah shalat) .”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar