PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

Isra’ Mi’raj dan Hakikat Shalat



Isra’ Mi’raj dan Hakikat Shalat

Allah berfirman dalam pembukaan surah Al Isra’:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dari ayat ini bisa kita ambil beberapa pelajaran:
Pertama, bahwa yang Allah isra’kan adalah hamba-Nya (abduhu).
Kata hamba maksudnya adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini merupakan deklarasi dari Allah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah contoh hamba-Nya. Dialah yang harus dicontoh untuk mencapai derajat kehambaan. Tidak ada yang pantas diidolakan dalam perjalanan menuju Allah kecuali Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mengapa?
Allah memuji akhlaknya: “Wa innaka la’alaa khuluqin adziim (Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung)” (QS. Al Qalam:4).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dijamin masuk surga, maka siapa yang ingin masuk surga tidak ada pilihan keculi dengan mencontohnya.
Perbuatan Rasulullah adalah terjemahan hidup dari Al Qur’an. Maka tidak mungkin seseorang paham maksud Al Qur’an tanpa merujuk kepada sirahnya.
Kedua, bahwa Isra’ Mi’raj ini terjadi hanya semalam.
Kata lailan pada ayat di atas, yang artinya “pada suatu malam” adalah penegasan terhadap makna tersebut. Dari sini nampak bahwa kejadian Ira’ Mi’raj adalah mu’jizat. Sebab perjalanan sejauh itu di tambah lagi dengan naik ke langit lapis tujuh sampai ke Sidratul Muntaha adalah jarak yang tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan apapun yang dimiliki manusia baik pada saat itu maupun pada zaman teknologi yang sangat canggih seperti sekarang ini. Untuk mencapai bintang terdekat saja dari bumi dengan mengendarai peShalallahu ‘Alaihi wa Sallamat tercepat di dunia “Challanger” dengan kecepatan 20 ribu kilometer per jam, para ilmuwan mengatakan itu membutuhkan 428 tahun. Sungguh luar biasa kejadian Isra’ Mi’raj sebagai bukti keagungan Allah sekaligus, sebagai bukti bahwa manusia bagaimana pun pencapain keilmuannya masih tetap tidak ada apa-apanya dibanding dengan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga, diikatnya antara dua masjid: Masjid Al Haram dan Masjid Al Aqsha
Menunjukkan beberapa hal:

Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala. sangat mencintai masjid.
Bahwa semua bumi ini diciptakan oleh Allah untuk tempat bersujud.
Bahwa semua masjid di manapun berada adalah sama, milik hamba-hamba Allah.
Bahwa siapapun yang mengaku beriman ia pasti mencintai masjid dan meramaikannya. Allah berfirman: “Yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah:18). Karena dalam sejarah kita menyaksikan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. selalu membangun masjid setiap singgah di suatu tempat.
Keempat, kata masjid identik dengan ibadah shalat.
Dan perjalan Isra’ Mi’raj juga identik dengan penerimaan ibadah shalat, langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada ibadah dalam Islam yang diserahkan langsung oleh Allah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali shalat. Selain shalat semua ibadah diterima melalui malaikat Jibril alahis salam. Dari sini nampak betapa agungnya ibadah shalat. Dalam pembukaan surah Al Mu’minun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ciri-ciri orang mu’min yang bahagia, penyebutan itu dimulai dengan shalat “alladziina hum fii shalaatihim khaasyi’uun” dan ditutup dengan shalat “walladziina hum ‘alaa shalawaatihim yuhaafidzuun”.
Para ulama tafsir ketika menyingkap rahasia ayat ini mengatakan bahwa itu menunjukkan pentingnya shalat. Bahwa shalat merupakan barometer ibadah-ibadah yang lain. Bila shalat seseorang baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain akan ikut baik. Sebaliknya bila shalat seseorang tidak baik, maka bisa dipastikan ibadah-ibadah yang lain tidak akan baik. Itulah makna ayat: “Innash sholaata tanhaa ‘anil fahsyaai wal mungkar (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” (QS. Al Ankabuut: 45).
Di hari Kiamat pun kelak demikian. Shalat tetap menjadi barometer ibadah-ibadah yang lain. Karena itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Awwalu maa yuhasabu bihil ‘abdu yaumal qiyaamati ashshalaatu (yang pertama kali kelak di hisab pada hari Kiamat adalah ibadah shalat) .”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar