PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

Kesadaran Idealitas, Rasionalitas, dan Realitas



Kesadaran Idealitas, Rasionalitas, dan Realitas

Ikhwan fillah sekalian,
Alhamdulillah kita kembali dipertemukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka taqarub kepada Allah. Membicarakan ashalah dakwah kita sebenarnya adalah membicarakan ashalah islamiyah. Yang tidak memiliki mabadi’ kecuali mabadi’ imaniyah, fikriyah yang bersumber dari Al Qur’an. Ashalah dakwah Islamiyah itulah yang dipakai ashalah dakwah kita, nggak ada perbedaannya. Dia tidak punya mabadi’ baik aqidiyah, fikriyah, atau minhajiyah kecuali mabadi’ aqidiyah, fikriyah, dan minhajiyah islamiyah yang berinduk pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Tapi betapapun luasnya pembahasan tentang ashalah yang merupakan bagian kita untuk menyegarkan diri, salah satu keistimewaan dakwah kita yang merupakan dakwah islamiyah itu selain ruang lingkup yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah, juga keterepaduan dari perjuangan, tatanan, sistem yang kita anut sesuai dengan intregalitas dan keterpaduan ajaran Islam itu sendiri.
Selain itu masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih kepada pendekatan prinsipil. Tapi ada hal lain yang bisa dilihat dari pendekatan operasional, yaitu kemampuan dakwah kita mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah Islam dari para Rasul dan anbiya’, para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan juga para salafush shalihin. Bentuknya, kemampuannya dalam melakukan tawazun, dalam melakukan langkah-langkah yang mutawazinah bainal khutuwat ta’shiliyah (langkah-langkah orisinalisasi) wa khutuwat tathwiriyah(langkah-langkah pengembangan). Ini salah satu tamayuz (keunggulan) yang sebetulnya merupakan tamayuz islami yang banyak diabaikan oleh gerakan-gerakan dakwah lain. Diabaikan juga oleh banyak perjuangan lain. Tapi kita juga respek terhadap mereka, mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan, pengorbanan mereka di dalam berjuang. Tapi titik qudratu dakwah (kemampuan dakwah) dalam melangkah baina ta’shil wa tathwir di zaman modern ini tamayuz Islami yang benar-benar kita upayakan untuk kita laksanakan secara konsisten.
Sudah barang tentu apabila kita membahas dakwah baina ta’shil wa tathwir tentu perlu waktu yang cukup banyak. Dulu pernah saya sampaikan ketika akan dimunculkan partai. Saya sampaikan kembali sebagai dzikra dan sebagai resume terhadap dakwah baina ta’shil wa tathwir.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah,
Konsistensi kita dalam menjaga ta’shil dan tathwir ini sangat penting bagi keselamatan kita baik kita sebagai pribadi maupun kita sebagai jamaah dakwah atau harakah. Sebab tanpa adanya keseimbangan antara ta’shil dan tathwir sudah tentu kan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dakwah akibat dari mengabaikan ta’shil dan tathwir. Kita ketahui kesyumuliyahan dan ketakamuliyahan dakwah kita tergambar dari pengelolaan bagaimana membangun hablum minallah dan hablum minannas yang baik. Dan ini sangat terkait dengan kita menjaga keseimbangan dalam menjaga khutuwat ta’shiliyah yang bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kitab dan sunah. Begitu juga konsistensi kita dalam membangun khutuwat tathwiriyah,titik beratnya adalah bagaimana membangun hablum minannas secara baik. Tanpa kedua itu akan terjadi inkhirafat yakni terjadi bala’, malapetaka di dunia dan akhirat.
Kemampuan kita dalam mengelola dakwah di sektor khutuwat ta’shiliyah di dalam langkah-langkah orisinalisasi dakwah kita baik aqidiyah, fikriyah atau minhajiyah,  sekali lagi kita lebih dekat dengan konteks bagaimana keutuhan hubungan kita dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari sisi moral, ma’nawiyah, sisi ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya akidah kita. Juga dari terjauhkan dari kesyirikan baik yang besar maupun kecil, atau dari yang nampak dengan yang tersembunyi dan menyelinap dalam pikiran kita. InsyaAllah dengan memperhatikan khutuwat ta’shiliyah kita, keutuhan ruhiyah, fikriyah, manhajiyah kita akan bisa terjaga dengan baik.
Ada satu aspek agar selalu menjaga kesadaran tentang pentingnya khutuwat ta’shiliyah kita, konteks materinya banyak di tamhidiyah, banyak di takwiniyah. Yaitu konteks kesadaran PERTAMA: kesadaran posisi manusia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertama posisi manusia sebagai makhluk. Ini penting disadari oleh kita, betapapun tinggi ilmu kita dan keulamaan kita, jabatan kita, baik di dalam jamaah dakwah kita atau pun negara, atau dalam mayarakat. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk sangatlah penting. Sebab, konteks sebagai makhluk adalah aspek ketergantungannya kepada khalik. Tidak ada satupun makhluk ciptaan yang tidak tergantung pada Khaliknya. Tidak satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan kepada pembuatnya. Buatan-buatan pabrik saja, merek-merek mobil saja sangat tergantung kepada pabrik. Baik ketergantungan teoritis dengan petunjuk manualnya maupun ketergantungan software dan hardwarenya dalam bentuk spare part, yang besar maupun yang kecil. Ini nampak sepele tapi sangat penting untuk menunjukkan kesadaran bahwa kita harus kembali kepada ashalah bahwa manzilah kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai makhluk. Oleh karena itu kita sebagai makhluk memilik ketergantungan kepada Khaliq. Dan ini merupakan modal dasar unuk slalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesadaran kedua dari manusia kepada Allah adalah kesadaran sebagai hamba. Kesadaran sebagai hamba ini penting dibangun, karena kalau sebagai makhluk tadi adanya ketergantungan secara mutlak, kalau dari segi penghambaan ini lebih kepada apresiasi dari keinginan-keinginan, kehendak-kehendak, rencana-rencana yang sangat terkait dengan grand design yang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita tidak mempunyai kehendak apapun kecuali dengan apa yang telah dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ayat Quran banyak menjelaskan sisi aqidah dari segi memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, rencana-rencana sesuai dengan iradah-Nya. inilah tinjauan manusia sebagai hamba.
Ketiga manusia sebagai junud. Sebagai prajurit kita harus mersakan adanya jalur komando dari Allah dan Rasul-Nya yang mutlak. Ini adalah posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando. InsyaAllah jika ketiga kesadaran ini dijaga dengan baik dan hal tersebut dijaga dengan melalui upaya-upaya ta’shil yang mengarah pada ashalah islamiyah dan ashalah dakwah, insya Allah kesadaran ini akan segera tumbuh.
KEDUA yaitu thabiat insaniyah atau kesadaran akan tabiat insan. Artinya humanity by nature, yaitu kemanusiaan yang disesuaikan dengan tabiat yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak kepada persepsi-persepsi yang mungkin timbul dari rencana-rencana terhadap evaluasi yang seolah-olah tarbiyah kita itu akan mengangkat itu, akan mengangkat kita dan melepaskan kita dari kemanusiaan kita, bukan melepaskannya dari kemanusiaan kita. Bukan menuju kemuliaan yang seringkali diidentikkan dengan malaikat. Kita tetap jadi manusia, tetapi jadi manusia seutuhnya. Yang penting adalah bagaimana me-manage kelebihan dan kekurangan yang kita miliki, yang penting adalah manajemennya. Jadi jangan digambarkan dari tarbiyah kita ini munculnya insan yang kamil. Dia adalah manusia sebagai ibn Adam yang memang diberi kehormatan, tapi tetap saja bisa lupa dan sering berbuat salah. Manusia adalah makhluk yang sering berbuat salah. Kesadaran ini sangatlah penting akan kelebihan dan kekurangan manusia agar kita bisa memanagenya. Dengan demikian kita akan tetap terjaga dari keghururan seperti Firaun yang merasa dirinya sebagai tuhan. Atau juga akan terjaga dari keputusasaan sehingga melumpuhkan semangat dakwah kita. Kita berjuang harus sesuai dengan fitrah, sesuai dengan tabiat insaniyah atau pun tabiat kauniyah yang ada di diri kita, masyarakat dan alam. Ini hanya bisa bila kita memiliki kesadaran penuh akan tabiat insaniyah kita.
KETIGA adalah kesadaran akan risalatul insan yang biasa kita bahas dalammateri-materi kita. Kita memiliki misi ibadah dan pengabdian. Sgala gerak hidup kita, apakah yang kita miliki, yang kita lakukan, adalah ibadah, sehingga apapun yang kita miliki seluruhnya harus dikalkulasi apakah akan meningkatkan ibadah kita kepada Allah atau tidak. Karena misi total kita adalah pengabdian kepada Allah.
KEEMPAT adalah khalifatul insan (sebagai khalifah). Mengapa kita diberi kemuliaan, adalah karena kita diberi tugas yang besar yaitu khilafah yang pada hakekatnya bagi semua orang. Mu’minuhum wa kuffaruhum, baik yang amanah atau pun yang tidak amanah.
Kesadaran ini sangat penting agar kita selalu merasa dalam tugas (on duty), merasa dalam tugas, tidak ada perasaan kita perlu cuti. Mungkin kita ada rehat. Ya, rehat itu dalam rangka untuk mengumpulkan potensi kita untuk melaksanakan tugas. Bukan berarti cuti secara total dengan tidak adanya kaitan dengan misi dan wazhifah kita. Makanya dalam tarbiyah kita dikenal adanya rihlah, mukhayam, adalah dalam rangka membangun potensi agar inthilaqot dan langkah kita lebih kuat dan cepat lagi dalam melakukan akselerasi-akselerasi perjuangan kita. Ini salah satu dimana kita membutuhkan keashalahan tasdi dalam bentuk kesadaran tadi. Jika kesadaran tentang manzilatul insan, thabiatul insan, risalatu insan tadi ada, upaya untuk menuju orisinalitas akan hidup, insyaAllah. Dan, dengan demikian efek negatif dari melemahnya khutuwat ta’shiliyah bisa dihindari. Salah satu efek negatif melemahnya ta’shiliyah adalah pelarutan.
Jika kita mengabaikan khutuwat ta’shiliyah (orisinalitas), dakwah perjuangan kita akan mengalami pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dahulu. Sebelum mencair tidak akan melarut, sebab maddah jamidah (benda padat) itu sulit dalam pelarutan, tapi maddah ma’iyah ( benda cair) paling mudah untuk melarut. Yang sering saya ingatkan yang pertama-tama adalah dalam era jamahirriyah ini dimana kita sering berinteraksi dengan manusia, terutama dalam pergaulan, pertama terjadi degradasi penurunan akibat ihtikak, akibat banyak bersentuhan dengan manusia dengan aneka ragam manusia, organisasi dan ideology. Yang pertama, sekali lagi saya ingatkan, adalah tamayu’ alkhuluqi (pencairan akhlak). Naudzubillah akan berlanjut pada idzabah alkhuluqiyah (pelarutan akhlak) jika kita tidak berpegang teguh pada ashalah.
Ikhwan wa akhwat fillah,

Sudah jelas akibat dari tamayu’ dan idzabah ini, efeknya atau indikator yang paling menonjol adalah tasahul atau menggampangkan dan menyepelekan suatu pelanggaran. Kita memang harus toleran dalam efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan menggampangkan. Bila terjadi itu harus ditindaklanjuti dengan ‘ilaj (terapi) tarbawi. Apakah ‘ilaj ijtimai, ‘ilaj tandzimi, dan ‘ilaj iqtishadi, dan semuanya bisa kita lakukan. Alhamdulillah selama ini jamaah dakwah kita selalu mewaspadai melalui upaya tarbawiyah ataupun pengamatan-pengamatan syari’ah Dewan Syari’ah ataupun pengamatan tanzhimiyah yang dilakukan oleh DPP. Dan Alhamdulillah kondisi ini bisa direspon dan diantisipasi agar tidak membesar. Sudah tentu antum semua sebagai anggota dalam hai’ah ini harus memperhatikan baik kepada diri ataupun kepada yang lain yang berada di bawah pengawasan kita. Bila hal ini terjadi, berawal dari tasahul lama-lama menjadi ibahiyah, segala hal boleh, dalilnya gampang dicari. Akhirnya menjadi dalil tunggal (dalil darurat).
Selanjutnya dalam merespon tugas yang semakin berkembang yang harus diwaspadai adalah tamayu’wal idzabah dalam ubudiyah di segi mahdhah. Karena terlalu sibuk sehingga sebulan penuh nol shaum, nol tahajud. Dan sudah barang tentu walaupun dalam baramij tarbiyah kita ada program itu, tetapi iitu sifatnya adalah stimulan (ayamul bidh, usbu ruhi). Buah stimulasi adalah munculnya iradah dzatiyah/tarbiyah dzatiyah dengan amal dzati di luar program. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan tamayu’ wal idzabah ‘ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah fikriyah (idealisme ideologinya/pemikirannya jadi hilang) dan kacau balau. Kita akan mengambil fikrah kiri kanan dan meninggalkan manhaj.
Dan apabila sudah terkena idzabah khuluqiyah, idzabah taabudiyah, idzabah fikriyah, maka akan menimbulkan idzabah aqidiyah. Pertama mengakui kesejajaran aneka ragam keyakinan. Mula-mulanya di dalam memandang, misalnya, syiah dan sunni adalah sama saja. Kemudian berkembang keluar dengan menyamakan orang lain, komunis, sosialis, Islam sama saja untuk manusia-manusia juga. Kebenaran yang mutlak hanya dalam Islam itu luntur. Memang semua ajaran ada kebenarannya tai tidak semua benar. Jika lemah dalam langkah-langkah ashalah akan terjadi al idzabiyah dan tamayu’ dalam berbagai sektor. Jika itu sudah terjadi pada suatu golongan sudah tentu akan terjadi kehancuran dunia dan akhirat.
Jika ta’shiliyah tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud. Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain adalah ma’un, kufr, dan lain-lain. Dia tidak akan dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang lain.
Ketika mutajamid ruhi, fikri akan sulit menerima masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi akan merasa, semua dengan akidah akan beres. Tetapi aqidah bukan satu-satunya.
Ikhwah fillah
Memperhatikan idealitas, rasionalitas, realitas seperti dijelaskan di atas sangatlah penting. Yang mengabaikan tiga hal tersebut adalah wahm. Memperhatikan realitas saja melahirkan pragmatis. Memperhatikan idealitas saja menghasilkan perfectionist tetapi tidak bisa dilaksanakan. Memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan teori saja.
Kita harus mampu mengkomunikasikan rencana kita, baik secara inernal maupun eksternal. Dalam era ­jahriyah komoditi kita ditawarkan terbuka. Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah: qaulan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa tegas, lembut, sindiran, dan lain-lain. Patokannya: khatibunnas ala qadri uqulihim(bicaralah kepada manusia sesuai kadar intelektualitas), khatibunnas ala lughatihim(bicaralah kepada manusia dalam bahasa mereka), dengan memperhatikan budaya, karena manusi adalah anak lingkungan. Sebagai dai harus memilih qaulan sadida baik melalui pendekatan intelektual, budaya atau sosial. Yang pertama adalah akui keberadaannya, kemudian cari cara yang tepat mendekatinya. Dalam Al Quran ada yaa ayyuhannas, yaa ayyuhalladziina aamanu.
Dengan pemilihan kata yang tepat, yuslih lakum a’malakum. Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri ataupun orang lain. Dan yang paling besar lagi, ampunan Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar