Kesadaran
Idealitas, Rasionalitas, dan Realitas
Ikhwan fillah sekalian,
Alhamdulillah kita
kembali dipertemukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka taqarub kepada
Allah. Membicarakan ashalah dakwah kita sebenarnya adalah membicarakan ashalah
islamiyah. Yang tidak memiliki mabadi’ kecuali mabadi’ imaniyah, fikriyah yang
bersumber dari Al Qur’an. Ashalah dakwah Islamiyah itulah yang dipakai ashalah
dakwah kita, nggak ada perbedaannya. Dia tidak punya mabadi’ baik aqidiyah,
fikriyah, atau minhajiyah kecuali mabadi’ aqidiyah, fikriyah, dan minhajiyah
islamiyah yang berinduk pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Tapi betapapun luasnya
pembahasan tentang ashalah yang merupakan bagian kita untuk menyegarkan diri,
salah satu keistimewaan dakwah kita yang merupakan dakwah islamiyah itu selain
ruang lingkup yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah, juga keterepaduan
dari perjuangan, tatanan, sistem yang kita anut sesuai dengan intregalitas dan
keterpaduan ajaran Islam itu sendiri.
Selain itu masalah
syumuliyah dan takamuliyah itu lebih kepada pendekatan prinsipil. Tapi ada hal
lain yang bisa dilihat dari pendekatan operasional, yaitu kemampuan dakwah kita
mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah Islam dari para Rasul dan
anbiya’, para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan juga para salafush shalihin.
Bentuknya, kemampuannya dalam melakukan tawazun, dalam melakukan
langkah-langkah yang mutawazinah bainal khutuwat ta’shiliyah (langkah-langkah
orisinalisasi) wa khutuwat tathwiriyah(langkah-langkah pengembangan). Ini salah
satu tamayuz (keunggulan) yang sebetulnya merupakan tamayuz islami yang banyak
diabaikan oleh gerakan-gerakan dakwah lain. Diabaikan juga oleh banyak
perjuangan lain. Tapi kita juga respek terhadap mereka, mengakui eksistensi
perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan, pengorbanan mereka di dalam
berjuang. Tapi titik qudratu dakwah (kemampuan dakwah) dalam melangkah baina
ta’shil wa tathwir di zaman modern ini tamayuz Islami yang benar-benar kita
upayakan untuk kita laksanakan secara konsisten.
Sudah barang tentu
apabila kita membahas dakwah baina ta’shil wa tathwir tentu perlu waktu yang
cukup banyak. Dulu pernah saya sampaikan ketika akan dimunculkan partai. Saya
sampaikan kembali sebagai dzikra dan sebagai resume terhadap dakwah baina
ta’shil wa tathwir.
Ikhwan dan akhwat
fillah rahimakumullah,
Konsistensi kita dalam
menjaga ta’shil dan tathwir ini sangat penting bagi keselamatan kita baik kita
sebagai pribadi maupun kita sebagai jamaah dakwah atau harakah. Sebab tanpa
adanya keseimbangan antara ta’shil dan tathwir sudah tentu kan banyak sekali
kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dakwah akibat dari mengabaikan ta’shil dan
tathwir. Kita ketahui kesyumuliyahan dan ketakamuliyahan dakwah kita tergambar
dari pengelolaan bagaimana membangun hablum minallah dan hablum minannas yang
baik. Dan ini sangat terkait dengan kita menjaga keseimbangan dalam menjaga
khutuwat ta’shiliyah yang bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kitab dan
sunah. Begitu juga konsistensi kita dalam membangun khutuwat tathwiriyah,titik
beratnya adalah bagaimana membangun hablum minannas secara baik. Tanpa kedua
itu akan terjadi inkhirafat yakni terjadi bala’, malapetaka di dunia dan
akhirat.
Kemampuan kita dalam
mengelola dakwah di sektor khutuwat ta’shiliyah di dalam langkah-langkah
orisinalisasi dakwah kita baik aqidiyah, fikriyah atau minhajiyah, sekali lagi kita lebih dekat dengan konteks
bagaimana keutuhan hubungan kita dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari
sisi moral, ma’nawiyah, sisi ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya akidah
kita. Juga dari terjauhkan dari kesyirikan baik yang besar maupun kecil, atau
dari yang nampak dengan yang tersembunyi dan menyelinap dalam pikiran kita.
InsyaAllah dengan memperhatikan khutuwat ta’shiliyah kita, keutuhan ruhiyah,
fikriyah, manhajiyah kita akan bisa terjaga dengan baik.
Ada satu aspek agar
selalu menjaga kesadaran tentang pentingnya khutuwat ta’shiliyah kita, konteks
materinya banyak di tamhidiyah, banyak di takwiniyah. Yaitu konteks kesadaran
PERTAMA: kesadaran posisi manusia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertama posisi manusia
sebagai makhluk. Ini penting disadari oleh kita, betapapun tinggi ilmu kita dan
keulamaan kita, jabatan kita, baik di dalam jamaah dakwah kita atau pun negara,
atau dalam mayarakat. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk sangatlah
penting. Sebab, konteks sebagai makhluk adalah aspek ketergantungannya kepada
khalik. Tidak ada satupun makhluk ciptaan yang tidak tergantung pada Khaliknya.
Tidak satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan kepada pembuatnya.
Buatan-buatan pabrik saja, merek-merek mobil saja sangat tergantung kepada
pabrik. Baik ketergantungan teoritis dengan petunjuk manualnya maupun
ketergantungan software dan hardwarenya dalam bentuk spare part, yang besar
maupun yang kecil. Ini nampak sepele tapi sangat penting untuk menunjukkan
kesadaran bahwa kita harus kembali kepada ashalah bahwa manzilah kita di
hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai makhluk. Oleh karena itu kita sebagai
makhluk memilik ketergantungan kepada Khaliq. Dan ini merupakan modal dasar
unuk slalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesadaran kedua dari
manusia kepada Allah adalah kesadaran sebagai hamba. Kesadaran sebagai hamba
ini penting dibangun, karena kalau sebagai makhluk tadi adanya ketergantungan
secara mutlak, kalau dari segi penghambaan ini lebih kepada apresiasi dari
keinginan-keinginan, kehendak-kehendak, rencana-rencana yang sangat terkait
dengan grand design yang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga kita tidak mempunyai kehendak apapun kecuali dengan apa yang telah
dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ayat Quran banyak menjelaskan sisi
aqidah dari segi memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, rencana-rencana
sesuai dengan iradah-Nya. inilah tinjauan manusia sebagai hamba.
Ketiga manusia sebagai
junud. Sebagai prajurit kita harus mersakan adanya jalur komando dari Allah dan
Rasul-Nya yang mutlak. Ini adalah posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa
siap menerima komando. InsyaAllah jika ketiga kesadaran ini dijaga dengan baik
dan hal tersebut dijaga dengan melalui upaya-upaya ta’shil yang mengarah pada
ashalah islamiyah dan ashalah dakwah, insya Allah kesadaran ini akan segera
tumbuh.
KEDUA yaitu thabiat
insaniyah atau kesadaran akan tabiat insan. Artinya humanity by nature, yaitu kemanusiaan
yang disesuaikan dengan tabiat yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak kepada persepsi-persepsi yang
mungkin timbul dari rencana-rencana terhadap evaluasi yang seolah-olah tarbiyah
kita itu akan mengangkat itu, akan mengangkat kita dan melepaskan kita dari
kemanusiaan kita, bukan melepaskannya dari kemanusiaan kita. Bukan menuju
kemuliaan yang seringkali diidentikkan dengan malaikat. Kita tetap jadi
manusia, tetapi jadi manusia seutuhnya. Yang penting adalah bagaimana me-manage
kelebihan dan kekurangan yang kita miliki, yang penting adalah manajemennya.
Jadi jangan digambarkan dari tarbiyah kita ini munculnya insan yang kamil. Dia
adalah manusia sebagai ibn Adam yang memang diberi kehormatan, tapi tetap saja
bisa lupa dan sering berbuat salah. Manusia adalah makhluk yang sering berbuat
salah. Kesadaran ini sangatlah penting akan kelebihan dan kekurangan manusia
agar kita bisa memanagenya. Dengan demikian kita akan tetap terjaga dari
keghururan seperti Firaun yang merasa dirinya sebagai tuhan. Atau juga akan
terjaga dari keputusasaan sehingga melumpuhkan semangat dakwah kita. Kita
berjuang harus sesuai dengan fitrah, sesuai dengan tabiat insaniyah atau pun
tabiat kauniyah yang ada di diri kita, masyarakat dan alam. Ini hanya bisa bila
kita memiliki kesadaran penuh akan tabiat insaniyah kita.
KETIGA adalah kesadaran
akan risalatul insan yang biasa kita bahas dalammateri-materi kita. Kita
memiliki misi ibadah dan pengabdian. Sgala gerak hidup kita, apakah yang kita
miliki, yang kita lakukan, adalah ibadah, sehingga apapun yang kita miliki
seluruhnya harus dikalkulasi apakah akan meningkatkan ibadah kita kepada Allah
atau tidak. Karena misi total kita adalah pengabdian kepada Allah.
KEEMPAT adalah khalifatul
insan (sebagai khalifah). Mengapa kita diberi kemuliaan, adalah karena kita
diberi tugas yang besar yaitu khilafah yang pada hakekatnya bagi semua orang.
Mu’minuhum wa kuffaruhum, baik yang amanah atau pun yang tidak amanah.
Kesadaran ini sangat
penting agar kita selalu merasa dalam tugas (on duty), merasa dalam tugas,
tidak ada perasaan kita perlu cuti. Mungkin kita ada rehat. Ya, rehat itu dalam
rangka untuk mengumpulkan potensi kita untuk melaksanakan tugas. Bukan berarti
cuti secara total dengan tidak adanya kaitan dengan misi dan wazhifah kita.
Makanya dalam tarbiyah kita dikenal adanya rihlah, mukhayam, adalah dalam
rangka membangun potensi agar inthilaqot dan langkah kita lebih kuat dan cepat
lagi dalam melakukan akselerasi-akselerasi perjuangan kita. Ini salah satu
dimana kita membutuhkan keashalahan tasdi dalam bentuk kesadaran tadi. Jika
kesadaran tentang manzilatul insan, thabiatul insan, risalatu insan tadi ada,
upaya untuk menuju orisinalitas akan hidup, insyaAllah. Dan, dengan demikian
efek negatif dari melemahnya khutuwat ta’shiliyah bisa dihindari. Salah satu
efek negatif melemahnya ta’shiliyah adalah pelarutan.
Jika kita mengabaikan
khutuwat ta’shiliyah (orisinalitas), dakwah perjuangan kita akan mengalami
pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dahulu.
Sebelum mencair tidak akan melarut, sebab maddah jamidah (benda padat) itu
sulit dalam pelarutan, tapi maddah ma’iyah ( benda cair) paling mudah untuk
melarut. Yang sering saya ingatkan yang pertama-tama adalah dalam era
jamahirriyah ini dimana kita sering berinteraksi dengan manusia, terutama dalam
pergaulan, pertama terjadi degradasi penurunan akibat ihtikak, akibat banyak
bersentuhan dengan manusia dengan aneka ragam manusia, organisasi dan ideology.
Yang pertama, sekali lagi saya ingatkan, adalah tamayu’ alkhuluqi (pencairan
akhlak). Naudzubillah akan berlanjut pada idzabah alkhuluqiyah (pelarutan
akhlak) jika kita tidak berpegang teguh pada ashalah.
Ikhwan wa akhwat
fillah,
Sudah jelas akibat dari
tamayu’ dan idzabah ini, efeknya atau indikator yang paling menonjol adalah
tasahul atau menggampangkan dan menyepelekan suatu pelanggaran. Kita memang
harus toleran dalam efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan menggampangkan.
Bila terjadi itu harus ditindaklanjuti dengan ‘ilaj (terapi) tarbawi. Apakah
‘ilaj ijtimai, ‘ilaj tandzimi, dan ‘ilaj iqtishadi, dan semuanya bisa kita
lakukan. Alhamdulillah selama ini jamaah dakwah kita selalu mewaspadai melalui
upaya tarbawiyah ataupun pengamatan-pengamatan syari’ah Dewan Syari’ah ataupun
pengamatan tanzhimiyah yang dilakukan oleh DPP. Dan Alhamdulillah kondisi ini
bisa direspon dan diantisipasi agar tidak membesar. Sudah tentu antum semua
sebagai anggota dalam hai’ah ini harus memperhatikan baik kepada diri ataupun
kepada yang lain yang berada di bawah pengawasan kita. Bila hal ini terjadi,
berawal dari tasahul lama-lama menjadi ibahiyah, segala hal boleh, dalilnya
gampang dicari. Akhirnya menjadi dalil tunggal (dalil darurat).
Selanjutnya dalam
merespon tugas yang semakin berkembang yang harus diwaspadai adalah tamayu’wal
idzabah dalam ubudiyah di segi mahdhah. Karena terlalu sibuk sehingga sebulan
penuh nol shaum, nol tahajud. Dan sudah barang tentu walaupun dalam baramij
tarbiyah kita ada program itu, tetapi iitu sifatnya adalah stimulan (ayamul
bidh, usbu ruhi). Buah stimulasi adalah munculnya iradah dzatiyah/tarbiyah
dzatiyah dengan amal dzati di luar program. Harus diwaspadai agar tamayu’
khuluqi dan tamayu’ wal idzabah ‘ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan
berlanjut pada idzabah fikriyah (idealisme ideologinya/pemikirannya jadi
hilang) dan kacau balau. Kita akan mengambil fikrah kiri kanan dan meninggalkan
manhaj.
Dan apabila sudah
terkena idzabah khuluqiyah, idzabah taabudiyah, idzabah fikriyah, maka akan
menimbulkan idzabah aqidiyah. Pertama mengakui kesejajaran aneka ragam
keyakinan. Mula-mulanya di dalam memandang, misalnya, syiah dan sunni adalah
sama saja. Kemudian berkembang keluar dengan menyamakan orang lain, komunis,
sosialis, Islam sama saja untuk manusia-manusia juga. Kebenaran yang mutlak
hanya dalam Islam itu luntur. Memang semua ajaran ada kebenarannya tai tidak
semua benar. Jika lemah dalam langkah-langkah ashalah akan terjadi al idzabiyah
dan tamayu’ dalam berbagai sektor. Jika itu sudah terjadi pada suatu golongan
sudah tentu akan terjadi kehancuran dunia dan akhirat.
Jika ta’shiliyah tidak
diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud. Mungkin akan merasa
bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain adalah ma’un, kufr,
dan lain-lain. Dia tidak akan dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang
lain.
Ketika mutajamid ruhi,
fikri akan sulit menerima masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi
akan merasa, semua dengan akidah akan beres. Tetapi aqidah bukan satu-satunya.
Ikhwah fillah
Memperhatikan
idealitas, rasionalitas, realitas seperti dijelaskan di atas sangatlah penting.
Yang mengabaikan tiga hal tersebut adalah wahm. Memperhatikan realitas saja
melahirkan pragmatis. Memperhatikan idealitas saja menghasilkan perfectionist
tetapi tidak bisa dilaksanakan. Memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan
teori saja.
Kita harus mampu
mengkomunikasikan rencana kita, baik secara inernal maupun eksternal. Dalam era
jahriyah komoditi kita ditawarkan terbuka. Kemampuan mengkomunikasikan ini
intinya ada pada qudrah mukhatabah: qaulan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa
tegas, lembut, sindiran, dan lain-lain. Patokannya: khatibunnas ala qadri
uqulihim(bicaralah kepada manusia sesuai kadar intelektualitas), khatibunnas
ala lughatihim(bicaralah kepada manusia dalam bahasa mereka), dengan
memperhatikan budaya, karena manusi adalah anak lingkungan. Sebagai dai harus
memilih qaulan sadida baik melalui pendekatan intelektual, budaya atau sosial.
Yang pertama adalah akui keberadaannya, kemudian cari cara yang tepat
mendekatinya. Dalam Al Quran ada yaa ayyuhannas, yaa ayyuhalladziina aamanu.
Dengan pemilihan kata
yang tepat, yuslih lakum a’malakum. Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri
ataupun orang lain. Dan yang paling besar lagi, ampunan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar