Qaulan
Sadiidaa untuk Anak Kita
Remaja. Pernah saya
menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita?
Ternyata jawabnya
tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa
dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan
peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang
memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah
masih remaja!”
Jika tak berkait dengan
taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah
‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis
‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah
dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu
peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda
baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal
shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam,
adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti,
shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang
dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini
mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah
dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa?
Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut
orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah
yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QSnAn
Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta
yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan
yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk
membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh,
kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan
agama.
Nah, mari sejenak kita
renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita.
Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus
benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah
selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak
menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa
menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya
secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang
redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya,
padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk
mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk
membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan
buah hati kita?
Saya melihat,
kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita
menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak
keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis
saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek,
atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam
yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang
ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya.
Si kecil memang tidak
menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah
menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu
tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau
begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku
yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia
menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa
mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji
akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita
akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan
akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan
sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.
Di waktu lain, anak
yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya?
Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin
jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai
orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh
sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya.
Atau bisa saja kita
katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya
Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai
menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh
SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas
menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.”
Atau bisa saja kita
katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak
usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya
maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah
bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan
kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan,
katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya,
bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat
umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak
gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai
anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat
kecil?
Ah.. Qaulan sadiida.
Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak
kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada
dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi
penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca;
kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita
kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”
Sejujurnya, siapa yang
tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja.
Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita
mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni,
“Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini
kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar.
Alangkah agungnya
qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya
jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang
satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan
kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si
anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan
terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun
tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.
Sementara ibu dari anak
yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini,
“Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun
bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu.
Ibu pertama dan kedua
sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang
membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih
yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika
dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok
ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi
selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.
Ya Allah, kami tahu,
rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami
citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami
tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah
maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami,
keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta
sejati.
Ya Allah, karuniakan
pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami
anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski
kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan
sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata.. Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar