Kekuasaan Adalah Amanah
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Konsep kepemimpinan dalam Islam adalah konsep
kepemimpinan yang khas (qiyadah mu’ayyanah). Ketika ajaran atau ideologi
yang lain menekankan kepemimpinan untuk menguasai orang lain, bahkan menipu
orang lain agar berkuasa, Islam justru mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah
amanah yang amat berat.
Salah satu ajaran kekuasaan dan kepemimpinan yang merusak
adalah yang diajarkan Niccolo Machiavelli. Dalam buku politiknya yang berjudul The
Prince mengajarkan kepada dunia bahwa untuk berkuasa orang boleh
mempergunakan/menghalalkan segala cara. Kemudian untuk mempertahankan kekuasaan
maka orang bisa melakukan politik adu domba untuk melemahkan musuh-musuh
mereka.
Penguasa dalam sistem politik selain Islam juga
menempatkan diri mereka sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan terbaik
dari masyarakat. Ini bisa dilihat dari gaya hidup mereka dan penghasilan serta
beragam tunjangan yang mereka dapatkan selaku penguasa. Hal ini bukan saja
terjadi dalam sistem kerajaan tapi dalam sistem demokrasi yang dikatakan sebagai ‘pemerintahan rakyat’
pun menjadikan penguasa sebagai pihak yang harus dilayani oleh publik. Para
penguasanya hidup di menara gading sedangkan rakyatnya hidup menderita. Itulah
sebabnya orang berlolba-lomba ingin menjadi penguasa.
Sementara Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah,
perkara berat yang kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Demikian
beratnya sampai-sampai alam semesta menolak tawaran amanah ini.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami
telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh,”(QS. al-Ahzab: 72).
Jika alam saja menolak tawaran amanah, maka bagaimana manusia
bisa demikian bernafsu untuk mendapatkan kekuasaan? Sedangkan Allah pun
menyatakan bahwa manusia itu ‘amat zalim dan bodoh’.
Nabi saw. mengingatkan kaum muslimin agar berhati-hati
terhadap amanah kekuasaan ini. Beliau
berpesan kepada Abu Dzar ra. dan kaum muslimin:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Wahai Abu Dzar
sesungguhnya engkau orang yang, dan bahwasanya ia adalah amanah. Dan pada Hari
Kiamat ia akan datang sebagai kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang
mengambilnya sesuai dengan haknya dan melaksanakan apa yang menjadi
tuntutannya.”(HR. Muslim)
Dengan pandangan dan dasar yang sangat khas lagi luar biasa
ini, kepemimpinan selayaknya tidak menjadi rebutan. Penguasa juga merasa takut
bila mereka hidup bermegah-megahan sementara rakyat mereka menderita. Mereka
akan takut karena akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Dengan ketakutan
yang datang dari rasa takwa, mereka akan menjalankan amanah kepemimpinan ini
dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Selain itu harus berada di tangan orang-orang beriman
yang memiliki sifat adil. Di mana kekuasaan akan dijalankan untuk melaksanakan
dan menegakkan hukum Allah, bukan melaksanakan hawa nafus manusia meski itu
mengatasnamakan aspirasi rakyat atau hak asasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar