Diplomasi Munafik ala Yahudi
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel
Paul
Findley
Buku
ini akan mengajak anda merasakan suatu pengalaman yang menggelisahkan dalam
menyingkap perilaku ekspansionis dan diskriminatif Israel. Paul Findley, mantan
anggota Kongres AS, mencatat pernyataan tokoh-tokoh terkemuka AS dan Israel
--seperti Golda Meir, Shimon Peres, Yitzhak Rabin, Henry Kissinger, Al Gore--
serta deklarasi dokumen-dokumen resmi dan berbagai organisasi Zionis dunia,
untuk kemudian menelaah dan membuktikan kebohongannya berdasarkan bukti-bukti
yang sebagian besar berasal dari sumber-sumber Israel sendiri.
Melalui
karyanya ini Paul Findley mengungkap fakta-fakta dibaik kolusi AS dengan Israel
dalam melanggar hak-hak asasi manusia di Palestina dan praktek standar ganda
pemerintah AS dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan
dengan masalah Timur Tengah. Berbagai pernyataan yang anda dengar dan baca di
media massa tentang Perang 1948, Krisis Suez 1956, Perang 1967, Perang Atrisi,
Invasi Lebanon, bahkan peristiwa terakhir --pemulangan 413 pengungsi Palestina
dan pemindahan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem Timur-- akan mendapat perspektif
baru yang mengejutkan melalui fakta-fakta yang diuraikan Findley.
SATU
KLAIM-KLAIM ISRAEL ATAS PALESTINA
Israel mendasarkan klaim-klaimnya untuk mendirikan
sebuah negara di Palestina atas tiga sumber utama: warisan Perjanjian Lama dari
Kitab Injil,1 Deklarasi
Balfour yang diumumkan Inggris Raya pada 1917, dan pembagian Palestina menjadi
negara Arab dan negara Yahudi yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada
1947.
OMONG KOSONG
"Atas dasar hak alamiah dan hak kesejarahan
kita... dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di
Tanah Israel-Negara Israel." --Deklarasi Kemerdekaan Israel, 19482
FAKTA
Menurut sejarah, bangsa Yahudi bukanlah penduduk
pertama Palestina, pun mereka tidak memerintah di sana selama masa pemerintahan
bangsa-bangsa lain. Para ahli arkeologi modern kini secara umum sepakat bahwa
bangsa Mesir dan bangsa Kanaan telah mendiami Palestina sejak masa-masa paling
kuno yang dapat dicatat, sekitar 3000 SM hingga sekitar 1700 SM.3 Selanjutnya
datanglah penguasa-penguasa lain seperti bangsa-bangsa Hyokos, Hittit, dan
Filistin. Periode pemerintahan Yahudi baru dimulai pada 1020 SM dan berlangsung
hingga 587 SM. Orang-orang Israel kemudian diserbu oleh bangsa-bangsa Assyria,
Babylonia, Yunani, Mesir, dan Syria hingga Hebrew Maccabeans meraih kembali
sebagian kendali pemerintahan pada 164 SM. Tetapi, pada 63 SM Kekaisaran Romawi
menaklukkan Jerusalem dan pada 70 M menghancurkan Kuil Kedua dan menyebarkan
orang-orang Yahudi ke negeri-negeri lain. Ringkasnya, bangsa Yahudi kuno
menguasai Palestina atau sebagian besar darinya selama kurang dari enam ratus
tahun dalam kurun waktu lima ribu tahun sejarah Palestina yang dapat dicatat
--lebih singkat dibanding bangsa-bangsa Kanaan, Mesir, Muslim, atau Romawi.4 Komisi
King-Crane AS menyimpulkan pada 1919 bahwa suatu klaim "yang didasarkan
atas pendudukan pada masa dua ribu tahun yang lalu tidak dapat dipertimbangkan
secara serius."5
Pada 14 Mei 1948, sekitar tiga puluh tujuh orang
menghadiri pertemuan Tel Aviv di mana kemerdekaan Israel dinyatakan sebagai
"hak alamiah dan historis." Namun para kritikus menuduh bahwa aksi
mereka tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dalam hukum internasional sebab
mereka tidak mewakili mayoritas penduduk pada waktu itu. Sesungguhnya, hanya satu
orang di antara mereka yang dilahirkan di Palestina; tiga puluh lima orang
berasal dari Eropa dan seorang dari Yaman. Tegas sarjana Palestina Issa
Nakhleh: "Minoritas Yahudi tidak berhak untuk menyatakan kemerdekaan suatu
negara di atas wilayah yang dimiliki oleh bangsa Arab Palestina."6
OMONG KOSONG
"'Sertifikat kelahiran' internasional Israel
disahkan oleh janji dalam Kitab Injil." --AIPAC,*) 19927
FAKTA
Klaim-klaim tentang dukungan ilahiah atas
ambisi-ambisi kesukuan maupun kebangsaan sangat lazim ditemukan di masa kuno.
Bangsa-bangsa Sumeria, Mesir, Yunani, dan Romawi semuanya menyitir wahyu-wahyu
ilahi untuk penaklukan-penaklukan mereka. Sebagaimana dicatat oleh ahli sejarah
Frank Epp: "Setiap fenomena dan proses kehidupan dianggap sebagai hasil
campur tangan dewa atau dewa-dewa... bahwa sebuah negeri yang baik telah
dijanjikan kepada bangsa yang lebih baik oleh dewa-dewa yang lebih
tinggi."8 Tidak ada
pengadilan atau badan dunia di masa sekarang ini yang akan menganggap sah suatu
hak pemilikan yang didasarkan atas klaim yang dinyatakan berasal dari Tuhan.9 Bahkan bagi
mereka yang mengartikan restu Injil secara harfiah sebagai restu dari Tuhan,
para ahli Injil seperti Dr. Dewey Beegle dari Wesley Theological Seminary
menyatakan bahwa bangsa Yahudi kuno tidak berhasil mematuhi perintah-perintah
Tuhan dan karenanya kehilangan janji itu.10
OMONG KOSONG
"Hak [bangsa Yahudi untuk melakukan restorasi
nasional di Palestina] diakui oleh Deklarasi Balfour." --Deklarasi
Kemerdekaan Israel, 194811
FAKTA
Deklarasi Balfour secara sengaja tidak mendukung
pendirian suatu bangsa Yahudi. Deklarasi itu termuat dalam sebuah surat yang
dikirimkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Lord
Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris, pada 2 November 1917. Deklarasi
itu telah disetujui oleh kabinet Inggris dan dikatakan: "Pemerintah
menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan
berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini, setelah
dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat merugikan
hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina,
atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh bangsa Yahudi di setiap
negeri lain."12 Pada 1939
British White Paper secara khusus menyatakan bahwa Inggris "tidak
bermaksud mengubah Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi yang bertentangan
dengan kehendak penduduk Arab di negeri itu."13
OMONG KOSONG
"[Palestina adalah] tanah air tanpa rakyat
bagi rakyat [Yahudi) yang tidak bertanah air." --Israel Zangwill,
Zionis senior, c. 189714
FAKTA
Ketika Deklarasi Balfour diumumkan pada 1917 ada
kira-kira 600.000 orang Arab di Palestina dan kira-kira 60.000 orang Yahudi.15 Lebih dari
tiga puluh tahun selanjutnya rasio itu menyempit ketika imigrasi Yahudi
bertambah, terutama akibat adanya kebijaksanaan anti-Semit Adolf Hitler. Namun,
menjelang akhir 1947 ketika PBB berencana untuk membagi Palestina, bangsa Arab
masih merupakan penduduk mayoritas, dengan jumlah orang Yahudi mencapai hanya
sepertiganya --608.225 orang Yahudi berbanding 1.237.332 orang Arab.16 Ketika Max
Nordau, seorang Zionis senior dan sahabat Zangwill, mengetahui pada 1897 bahwa
ada penduduk asli Arab di Palestina, dia berseru: "Aku tidak tahu itu!
Kita tengah melakukan suatu kezaliman!"17
Penduduk Palestina bukan hanya sudah ada di sana,
mereka bahkan telah menjadi masyarakat mapan yang diakui oleh bangsa-bangsa
Arab lainnya sebagai "bangsa Palestina." Bangsa itu terdiri atas
golongan-golongan intelektual dan profesional terhormat, organisasi-organisasi
politik, dengan ekonomi agraria yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi cikal
bakal industri modern.18 Kata ilmuwan
John Quigley: "Penduduk Arab telah mapan selama beratus-ratus tahun. Tidak
ada migrasi masuk yang berarti dalam abad kesembilan belas."19
OMONG KOSONG
"Atas dasar... resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah
Negara Yahudi di Tanah Israel --Negara Israel." --Deklarasi
Kemerdekaan Israel, 194820
FAKTA
Hanya karena tekanan kuat dari pemerintahan Truman
sajalah maka Rencana Pembagian PBB diluluskan oleh Majelis Umum pada 29
November 1947, dengan perolehan suara 33 lawan 13 dan dengan 10 abstain dan 1
absen. Di antara bangsa-bangsa yang mengalah pada tekanan AS adalah Prancis,
Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksemburg, Paraguay, dan Filipina.21 Mantan Wakil
Menteri Luar Negeri Sumner Welles menulis: "Melalui perintah langsung dari
Gedung Putih setiap bentuk tekanan, langsung maupun tak langsung, dibawa untuk
disampaikan oleh para pejabat Amerika kepada negara-negara di luar dunia Muslim
yang diketahui belum menentukan sikap atau menentang pembagian itu. Para wakil
dan perantara dikerahkan oleh Gedung Putih untuk memastikan bahwa suara
mayoritas akan terus dipertahankan."22
Rencana pembagian, yang dinamakan Resolusi 181,
membagi Palestina antara "negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan
Rezim Internasional Istimewa untuk Kota Jerusalem."23 Calon Menteri
Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengatakan bahwa resolusi itu mempunyai
"kekuatan mengikat," dan Deklarasi Kemerdekaan Israel mengutipnya
tiga kali sebagai dasar kebenaran yang sah bagi berdirinya negara itu.24 Namun Majelis
Umum, tidak seperti Dewan Keamanan, tidak mempunyai kuasa lebih dari membuat
rekomendasi. Ia tidak dapat mendesakkan rekomendasi-rekomendasinya, pun
rekomendasi-rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum kecuali untuk
masalah-masalah internal PBB.25
Bangsa Palestina, yang memang berhak, menolak rencana
pembagian itu sebab rencana tersebut memberikan pada bangsa Yahudi lebih dari
separuh Palestina, meskipun dalam kenyataannya mereka itu hanyalah sepertiga
penduduk dan hanya memiliki 6,59 persen tanah.26 Di samping
itu, bangsa Palestina berkeras bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mempunyai
hak yang sah untuk merekomendasikan pembagian jika mayoritas penduduk Palestina
menantangnya. Sekalipun demikian, dengan menolak pembagian tidak berarti bangsa
Palestina menolak klaim mereka sendiri sebagai suatu bangsa merdeka. Yang
mereka tentang adalah negara Yahudi yang didirikan di atas tanah Palestina,
bukan hak orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion menasihati para
koleganya untuk menerima pembagian itu sebab, katanya pada mereka, "dalam
sejarah tidak pernah ada suatu persetujuan final --baik yang berkaitan dengan
rezim, dengan perbatasan-perbatasan, dan dengan persetujuan-persetujuan
internasional."27
Salah seorang perintis Zionis besar, Nahum Goldmann,
mengungkapkan sikap pragmatis dengan cara berbeda: "Tidak ada harapan bagi
sebuah negara Yahudi yang harus menghadapi 50 tahun lagi untuk berjuang melawan
musuh-musuh Arab."28
OMONG KOSONG
"Aslinya Palestina mencakup Yordania."
Ariel Sharon, Menteri Perdagangan Israel, 198929
FAKTA
Dalam sejarah panjang Imperium Islam/Usmaniah,
Palestina tidak pernah berdiri sebagai suatu unit geopolitik atau administratif
yang terpisah. Ketika daerah di Laut Tengah bagian timur antara Lebanon dan
Mesir diambil alih oleh Inggris Raya dari Turki pada akhir Perang Dunia I,
bagian-bagian tertentu dari apa yang disebut Palestina berada di bawah wilayah
administrasi Beirut sementara Jerusalem menjadi sanjak, sebuah distrik otonom.30 Daerah di
sebelah timur sungai Yordan --Transyordan-- adalah, dalam kata-kata sarjana
Universitas Tel Aviv Aaron Klieman, "sesungguhnya merupakan terra nullius
di bawah kekuasaan bangsa Turki dan dibiarkan tanpa kepastian dalam pembagian
Imperium Usmaniah."31
Dalam memulai mandat di Palestina atas nama Liga
Bangsa-bangsa pada 1922, Inggris mendapatkan Palestina dan Transyordan ke arah
timur hingga Mesopotamia, yang menjadi Irak. Sekarang wilayah yang sama berarti
mencakup Israel, Yordania, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem. Pada Desember
1922, Inggris menyatakan pengakuannya atas "eksistensi suatu Pemerintahan
konstitusional yang merdeka di Transyordan." Dan pada 1928 dinyatakan secara
khusus bahwa Palestina adalah daerah di sebelah barat sungai Yordan.32 Hanya di
Palestina sajalah Inggris beranggapan bahwa janjinya dalam Deklarasi Balfour
dapat diterapkan untuk membantu mendirikan suatu tanah air Yahudi.
Catatan kaki:
1 Lihat, misalnya,
Kitab Kejadian 15:18, 'Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim
melalui firman, 'Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari sungai Mesir
hingga sungai besar, sungai Efrat.'"
2 Ben-Gurion, Israel,
80. Teks deklarasi itu dicetak kembali di hlm. 79-81.
3 Bright, A History of
Israel, 17-18. Lihat juga Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem,
953-70.
4 Epp, Whose land is
Palestine?, 39-40. Juga lihat The New Oxford Annotated Bible, 1549-50; Beatty,
Arab and Jew in the Land of Canaan, 85.
5 Grose, Israel in the
Mind of America, 88-89. Kutipan-kutipan dari laporan Komisi King-Crane terdapat
dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 213-18, dan Laqueur dan Rubin, The
Israel-Arab Reader, 34-42.
6 Nakhleh,
Encyclopedia of the Palestine Problem, 4.
*) AIPAC adalah
American Israel Public Affairs Committe, lobi utama yang mendukung Israel di
Amerika Serikat
7 Bard dan Himelfarb,
Myths and Facts, 1.
8 Epp, Whose Land Is
Palestine?, 38, 41.
9 Guillaume, Zionists
and the Bible, 25-30, dicetak ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest.
Lihat juga Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 953-70.
10 Dewey Beegle,
wawancara dengan penulis, 12 Januari 1984.
11 Ben-Gurion, Israel,
80.
12 Sanders, The High
Walls of Jerusalem, 612-13.
13 Sachar, A History
of Israel, 222.
14 Dikutip dalam Elon,
The Israelis, 149.
15 Palestine: Blue
Book, 1937 (Jerusalem: Government Printer, 1937), dikutip dalam Epp, Whose Land
Is Palestine?, 144. Lihat juga Khalidi, From Haven to Conquest, Lampiran 1.
16 Perserikatan
Bangsa-Bangsa, laporan subkomite kepada Komite Khusus untuk Palestina, A/AC
al/32, dicetak ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 675.
17 Sachar, A History
of Israel,163.
18 Said et al.,
"A Profile of the Palestinian People," dalam Said dan Hitchens,
Blaming the Victimis,135-37.
19 Quigley, Palestine
and Israel, 73. Lihat juga Khalidi, Before Their Diaspora; Nakhleh,
Encyclopedia of the Palestine Problem, terutama Bab 1 dan Bab 2.
20 Ben-Gurion, Israel,
80.
21 Sheldon L. Richman,
"'Ancient History': U.S. Conduct in the Middle East since World War II and
the Folly of intervention," pamflet Cato Institute, 16 Agustus 1991.
22 Welles, We Need Not
Fail, dikutip dalam ibid. Lihat juga Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving
Day at Lake Success, November 17, 1947;" Carlos P. Romulo, "The
Philippines Changes Its Vote;" dan Kermit Roosevelt, "The Partition
of Palestine: A Lesson in Pressure Politics," semuanya dalam Khalidi, From
Haven to Conquest, 709-22, 723-26, 727-30, secara berturut- turut.
23 Teks Resolusi 181
(II) terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the
Arab-Israeli Conflict, 1: 4-14.
24 Mallison dan
Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 171.
25 Quigley, Palestine
and Israel, 47.
26 Cattan, Palestine,
the Arabs, and Israel, 29; John Ruedy, "Dinamics of Land Alienation,"
dalam Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 125, 134; Said, The Question of
Palestine, 98.
27 David Ben-Gurion,
War Diaries, dikutip dalam Flapan, The Birth of1srael, 13.
28 Findley, They Dare
to Speak Out, 273.
29 Sharon, Warrior,
246.
30 Ibrahim Abu-Lughod,
"Territorially-based Nationalism and the Politics of Negation" dalam
Said dan Hitchens, Blaming the Victims, 195.
31 Klieman,
Foundations of British Policy in the Arab World, 68.
32 Ibid., 234-35.
Lihat juga Fromkin, A Peace to End All Peace, 560.
DUA
PERANG 1948
Rencana Pembagian PBB tahun 1947 untuk Palestina
merekomendasikan berdirinya negara-negara Yahudi dan Palestina. Pasukan Yahudi
terjun ke lapangan hampir seketika itu juga, dengan cepat mengamankan
wilayah-wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi dan kemudian meluaskannya
ke bagian-bagian Palestina yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Perang itu
berlangsung selama satu tahun, hingga 6 Januari 1949. Bagian pertama ditandai
dengan pasukan regular Yahudi yang melawan pasukan Arab nonregular dan bagian
kedua ditandai dengan peperangan antara unit-unit Yahudi dan lima angkatan
bersenjata Arab yang memasuki Palestina sehari setelah berdirinya Israel pada
14 Mei 1948.1
OMONG KOSONG
"Kami, tentu saja, sama sekali tidak siap
untuk perang." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19752
FAKTA
Rencana-rencana Israel untuk berperang dimulai dengan
bersungguh-sungguh pada hari dikeluarkannya Rencana Pembagian PBB pada 29
November 1947. Semua orang Yahudi yang berumur tujuh belas hingga dua puluh
lima diperintahkan untuk mendaftar pada dinas militer.3 Pada 5
Desember, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memerintahkan "aksi
segera" untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang diserahkan
oleh PBB kepada negara Arab Palestina.4 Menjelang
pertengahan Desember mereka mulai mengorganisasikan aksi militer melawan
orang-orang Arab di Palestina dengan strategi yang diuraikan dalam Rencana
Militer Gimmel. Tujuan Rencana Gimmel adalah mengulur-ulur waktu bagi
mobilisasi kekuatan Yahudi dengan merebut titik-titik strategis yang
dikosongkan oleh Inggris dan untuk meneror penduduk Arab agar menyerah.5 Serangan besar
Yahudi yang pertama berlangsung pada 18 Desember ketika pasukan Palmach ("assault
companies"), pasukan penggempur dari angkatan bersenjata bawah tanah
Yahudi, Haganah, menyerang desa Palestina Khissas di bagian utara Galilee dalam
suatu serangan malam, dan membunuh lima orang dewasa dan lima anak-anak serta
melukai lima lainnya.6
Christopher Sykes, seorang pengamat Inggris masa itu,
mencatat bahwa serangan Khissas mewakili suatu tahap baru dalam perang, dengan
ciri yang berubah dari "serangan acak dan serangan balasan menjadi
serangan dan kekejaman yang lebih diperhitungkan."7 Pada 9
Desember, Ben-Gurion memerintahkan agar pasukan Yahudi menyerang dengan
agresif: "Dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan mematikan
yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk."8 Dengan
demikian pada saat lima pasukan Arab memasuki Palestina pada 5 Mei 1948, kaum
Zionis telah melaju dalam pelaksanaan rencana-rencana perang mereka.
OMONG KOSONG
"Perang total dipaksakan pada bangsa Yahudi."
--Jacob Tzur, Zionism, 19779
FAKTA
Angkatan bersenjata Israel sudah bergerak dalam waktu
beberapa minggu setelah Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Aksi militer yang
diorganisasi oleh kaum Zionis dimulai pada pertengahan Desember dengan Rencana
Gimmel.10 Menjelang
awal Maret 1948, orang-orang Yahudi berusaha melaksanakan Rencana Dalet, yang
bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv
yang telah diserahkan melalui Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa
kepada negara Palestina yang diimpikan.11 Dengan
demikian, menjelang 15 Mei ketika lima angkatan bersenjata Arab memasuki
Palestina, Israel telah menaklukkan bagian-bagian penting dari wilayah Palestina
di luar negaranya sendiri yang telah ditetapkan oleh PBB.12
Sebaliknya, baru pada 30 April 1948 untuk pertama
kalinya para kepala staf angkatan bersenjata Arab bertemu untuk membuat rencana
intervensi militer. Bahkan pada waktu yang telah terlambat ini, tambah ahli
sejarah Israel Simha Flapan, "para pemimpin Arab masih berusaha keras
untuk menemukan rumusan penyelamat muka yang dapat membebaskan mereka dari
tuduhan melancarkan aksi militer."13 Pada 13 Mei,
Duta Besar AS untuk Mesir melaporkan mengenai moral orang-orang Arab yang
rendah, sambil menambahkan: "Kalangan yang tahu cenderung setuju bahwa
orang-orang Arab kini akan menerima hampir semua alasan penyelamat muka apa
saja jika itu dapat mencegah perang terbuka."14
Tujuan perang Yordania bukanlah melawan negara Yahudi
atau rencana pembagian --yang diterima dengan syarat--melainkan melawan
usaha-usaha Israel untuk mencaplok bagian-bagian Palestina yang tidak termasuk
milik Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB.
Akibatnya, seperti dicatat oleh ahli sejarah Israel Abraham Sela, "semua
peperangan dengan Legiun Arab [Yordania] dilancarkan di daerah-daerah di luar
wilayah negara Yahudi... termasuk yang dilancarkan di Jerusalem."15
Pada 1 Juni, delegasi PBB Israel mengeluarkan suatu
pernyataan yang melaporkan bahwa dalam dua minggu pertempuran sejak kemerdekaan
Israel, negara baru itu telah menguasai 400 mil persegi di luar
perbatasan-perbatasan yang ditetapkan untuknya melalui rencana pembagian dan
bahwa tidak ada pertempuran yang berlangsung di dalam batas-batas wilayah yang
ditetapkan PBB untuk Israel. Komunike itu menyatakan: "Wilayah Negara
Israel sepenuhnya terbebas dari penyerang."16
OMONG KOSONG
"[Bangsa Arab mempunyai] keunggulan mutlak
dalam persenjataan, dan keunggulan yang luar biasa dalam potensi, sukarelawan,
atau sumber daya manusia dari para wajib militer." --Yigal Allon,
wakil perdana menteri Israel, 197017
FAKTA
Orang-orang Yahudi di Palestina selalu mempunyai
senjata-senjata yang lebih baik dan lebih banyak dibanding orang-orang
Palestina atau orang-orang Arab lainnya di negara-negara tetangga. Sementara
baik Arab maupun Yahudi secara resmi menghadapi embargo pembelian senjata dari
Amerika Serikat dan sebagian besar negara Barat lainnya, orang-orang Yahudi
secara sembunyi-sembunyi menerima pasokan-pasokan besar persenjataan dari
Cekoslowakia sejak awal 1948. Satu kontrak saja bisa mencakup 24.500 pucuk
senapan, 5.000 senjata mesin ringan, 200 senjata mesin medium, 54 juta rentetan
amunisi, dan 25 pesawat perang Messerschmitt.18 Menjelang
dimulainya perang unit-unit terorganisasi pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel
telah mampu menyediakan 800 kendaraan bersenjata melawan 113 milik gabungan
negara-negara Arab, dan 787 mortir dan 4 senjata medan tempur melawan 40 mortir
dan 102 senjata pihak Arab.19
Pada saat yang sama, pasokan senjata utama lainnya
bagi orang-orang Yahudi datang dari para Zionis Amerika di Amerika Serikat yang
melanggar embargo senjata AS. Pasokan-pasokan semacam itu termasuk dari
Institut Sonneborn, sekelompok orang kaya Amerika-Yahudi yang diketuai oleh
Rudolf G. Sonneborn, seorang industrialis-jutawan New York .20 Dua lainnya
adalah joint Distribution Committee and Service Airways, yang diketuai oleh
orang Yahudi-Amerika Adolph ("Al") William Schwimmer, mantan ahli
mesin penerbangan TWA.21 Pemain utama
lainnya adalah seorang kelahiran Austria, Teddy Kollek, yang mengetuai
pembelian-pembelian senjata bawah tanah Israel di New York dan di kemudian hari
menjadi walikota Jerusalem Barat yang masuk wilayah Yahudi.22
Schwimmer dan perusahaan penerbangannya adalah salah
satu dari sedikit kelompok bawah tanah Yahudi yang benar-benar dituntut karena
perdagangan gelap mereka; dia dinyatakan bersalah di pengadilan federal Los
Angeles pada 1950 dan didenda $ 10.000 karena mengekspor pesawat-pesawat udara
dan suku cadang untuk Israel dan negara-negara lain. Schwimmer lalu menjadi
kepala perusahaan pesawat terbang Israel, Israel Aircraft Industries, dan
tampil lagi pada 1985 sebagai seorang pemain utama dalam skandal terburuk
pemerintahan Reagan, skandal Iran-Contra.23
OMONG KOSONG
"Musuh-musuh kami telah gagal mengalahkan kami
melalui kekuatan bersenjata meskipun jumlah mereka jauh melebihi kami, dua
puluh berbanding satu." --Chaim Weizmann, presiden sementara Israel,
194824
FAKTA
Jumlah pasukan bersenjata Yahudi yang telah terlatih
jauh melebihi jumlah seluruh pasukan yang diterjunkan ke medan perang oleh lima
negara Arab pada 15 Mei 1948, dan keadaan demikian terus berlanjut. Di garis
depan, pasukan bersenjata Israel berjumlah 27.400 orang sedangkan dari
negara-negara Arab 13.876 orang yang berasal dari Mesir 2.800 orang; Irak 4.000
orang; Lebanon 700 orang; Syria 1.876 orang; dan Transyordan 4.500 orang.25 Pada waktu
itu, 18 Mei, dinas intelijen angkatan bersenjata AS memperkirakan ada kekuatan
40.000 pasukan Yahudi dan 50.000 milisi melawan 20.000 pasukan Arab dan 13.000
gerilya.26 Ahli sejarah
Israel Simha Flapan menyatakan: "Jumlah pasukan Israel tidak kalah besar.
Meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan mereka, terutama menyangkut jumlah
pasukan Yahudi, banyak pengamat sepakat tentang fakta ini."27
OMONG KOSONG
"[Orang-orang Arab demikian kuatnya pada 1948
sehingga] banyak ahli militer mengira bahwa Israel akan segera terkalahkan."
--Terrence Prittie dan B. Dineen, The Double Exodus, 197628
FAKTA
Israel memiliki banyak kelebihan dalam hal pasukan dan
persenjataan sehingga tidak pernah ada keraguan di kalangan para pengamat bahwa
Israel akan memenangkan perang. Menteri Luar Negeri George Marshall memberitahu
kedutaan-kedutaan besar AS sehari sebelum perang dimulai bahwa angkatan
bersenjata Arab sangat lemah dan bukan tandingan bagi Israel. Kekhawatirannya
yang terbesar adalah bahwa "jika orang-orang Yahudi menuruti nasihat kaum
ekstremis mereka yang lebih menyukai kebijaksanaan yang menghinakan bangsa Arab,
setiap Negara Yahudi yang akan didirikan hanya mampu bertahan dengan bantuan
terus-menerus dari luar negeri."29 Pada 13 Mei,
dua hari sebelum perang, kedutaan besar AS di Mesir melaporkan bahwa pasukan
Arab belum berhasil mendapatkan senjata dari luar negeri dan bahwa moral mereka
sangat rendah, sambil menambahkan: "Angkatan bersenjata Arab dikhawatirkan
akan dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Yahudi."30
Raja Yordania Abdullah telah berulangkali
memperingatkan: "Pasukan Yahudi terlalu kuat --adalah keliru jika kita
ikut berperang."31 Pasha Glubb yang
legendaris dari Inggris Raya, ketua Legiun Arab Yordania, di kemudian hari
mengingatkan: "Saya tidak melewatkan kesempatan untuk memberi informasi
[pada pemerintah Yordania] bahwa Transyordan tidak mempunyai cukup sumber untuk
berperang melawan negara Yahudi."32 Menurut
laporan ahli sejarah Israel Simha Flapan: "Perkiraan Agen Yahudi tentang
tujuan dan kapasitas Arab... melaporkan bahwa para kepala staf Arab telah
memperingatkan pemerintah masing-masing mengenai serangan Palestina dan perang
yang berkepanjangan."33 Ahli sejarah
militer Pakistan Syed Ali el-Edroos menyimpulkan: "Dalam pengertian
militer profesional, sesungguhnya, tidak ada rencana sama sekali."34
Hampir empat puluh tahun kemudian, ahli sejarah Israel
Benny Morris menyimpulkan: "Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina] secara
militer maupun administratif jauh lebih unggul dibanding orang-orang Arab
Palestina."35
OMONG KOSONG
"Kami pun mempunyai kelompok-kelompok teroris
sendiri semasa Perang Kemerdekaan: Stern, Irgun... Namun tidak satu pun di
antara mereka yang menyelubungi diri dengan kekejian sedemikian rupa
sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang Arab terhadap kami."
--Golda Meir, perdana menteri Israel, 197236
FAKTA
Dalam periode 1947-1948 yang mengakibatkan kelahiran
Israel, terorisme marak di Palestina, dilancarkan terutama oleh kaum Zionis.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mencatat dalam
sejarah pribadinya tentang Israel: "Dari 1946 hingga 1947 hampir tidak ada
serangan Arab atas Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina]."37 Ketika perang
menjelang pecah pada 1948, aksi-aksi teror dilancarkan oleh kedua belah pihak,
namun orang-orang Arab bukanlah tandingan bagi kampanye yang terorganisasi dan
sistematis yang dijalankan oleh para teroris Zionis.38 Sebagaimana
dilaporkan seorang Mayor Inggris R.D. Wilson pada 1948, mereka melakukan
"serangan-serangan biadab atas desa-desa Arab, di mana mereka tidak
membedakan antara kaum wanita dan anak-anak yang mereka bunuh setiap ada
kesempatan." 39
Aksi-aksi teror Zionis, yang dilancarkan terutama oleh
anggota-anggota dari dua kelompok utama, Irgun dan Lehi, atau Stern Gang,
termasuk pemboman pada 1946 atas King David Hotel di Jerusalem, yang membunuh
sembilan puluh satu orang empat puluh satu orang Arab, dua puluh delapan orang
Inggris, dan tujuh belas orang Yahudi;40 penggantungan
dua prajurit Inggris pada 1947 dan penjeratan tubuh mereka,41 pemboman pada
1948 atas Semiramis Hotel milik orang Arab di Jerusalem, yang membunuh dua
puluh dua orang Arab, termasuk kaum wanita dan anak-anak,42 pembantaian
pada 1948 atas 254 kaum pria, wanita, dan anak-anak Arab di pedesaan Deir
Yassin,43 pembantaian
atas banyak warga sipil di desa Dawayima pada 1948,44 dan
pembunuhan pada 1948 atas Wakil Khusus PBB Count Folke Bernadotte dari Swedia.45 Menachem
Begin memimpin Irgun, dan Yitzhak Shamir adalah salah seorang pemimpin Stern
Gang. Kedua orang itu di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.
OMONG KOSONG
"Kami tidak bermaksud menyingkirkan
orang-orang Arab, mengambil tanah mereka, atau merampas warisan mereka."
--David Ben-Gurion, sebagai seorang Zionis senior, pertengahan 191546
FAKTA
Setelah penaklukan tanah Arab pada perang 1948,
terjadi perampasan, yang disusul penyitaan kekayaan Palestina oleh orang-orang
Yahudi. "Penjarahan dan perampasan merajalela," tulis ahli sejarah
Israel Tom Segev. Dia mengutip penulis Israel Moshe Smilansky, seorang saksi
mata: "Dorongan untuk merampas menguasai setiap orang. Individu-individu,
kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas, kaum pria, kaum wanita dan
anak-anak, semuanya jatuh di atas barang-barang rampasan." Menteri kabinet
Aharon Cizling mengeluh: "Sungguh memalukan, mereka memasuki sebuah kota
dan dengan paksa mencopot cincin dari jari dan perhiasan dari leher
seseorang... Banyak yang melakukan kejahatan itu."47
Hampir dua pertiga dari jumlah semula 1,2 juta orang
penduduk Palestina terusir, dan terpaksa menjadi pengungsi. 48 Kehilangan
yang sangat besar inilah yang menjadi alasan mengapa perang itu dikenal oleh
bangsa Arab sebagai Nakba, Bencana.49
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick
melaporkan bahwa orang-orang Israel berlari "dengan kecepatan penuh"
untuk menduduki tanah itu, sambil menambahkan: "Jika gelombang masuk itu
terus berlangsung dengan jumlah kira-kira 200.000 orang per tahun maka tidak
lama lagi jumlah para pendatang baru itu akan melebihi jumlah penduduk asli
yang terusir."50
Ketika sarjana Israel, Israel Shahak, melakukan
penelitian pada 1973, dia mendapati bahwa dari 475 desa asli Palestina yang
dimasukkan ke dalam wilayah perbatasan yang dibuat sepihak oleh Israel pada
1949, hanya 90 yang masih ada; 385 sisanya telah dihancurkan.51
Penelitian-penelitian yang dilakukan di kemudian hari menunjukkan bahwa jumlah
seluruhnya lebih dari 400.52
Desa-desa itu, menurut laporan Shahak,
"dihancurkan sama sekali, dengan rumah-rumah, tembok-tembok taman, dan
bahkan kuburan-kuburan serta batu-batu nisannya, sehingga secara harfiah tidak
ada sebuah batu pun yang masih tegak berdiri, dan para pengunjung... diberitahu
bahwa 'itu semua adalah gurun pasir.'"53
OMONG KOSONG
"Bukti terbaik untuk menentang mitos
[ekspansionisme Israel] ini adalah sejarah penarikan mundur Israel dari wilayah
yang direbutnya pada 1948, 1956, 1973 dan 1982." --AIPAC, 199254
FAKTA
Di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir
Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."55 Israel tidak
pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang direbutnya pada 1948
di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan Rencana Pembagian PBB. Rencana
itu membatasi luas negara Yahudi hingga 5.893 mil persegi, sama dengan 56,47 persen
dari seluruh Palestina, namun menjelang akhir perang 1948 Israel menguasai
daerah seluas 8.000 mil persegi, 77,4 persen dari tanah itu.56 Secara
signifikan, Deklarasi Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan,
dan negara Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.57
Israel menguasai daerah Palestina yang mencakup 475
kota kecil dan desa, yang sebagian besar di antaranya kosong atau segera dibuat
demikian. (Ini sebanding dengan 279 pemukiman Yahudi di seluruh Palestina yang
ada pada 29 November 1947, hari diberlakukannya Rencana Pembagian PBB.)58
Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Moshe Dayan
pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu
tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh
penduduk Arab."59
Sesungguhnyalah, orang-orang Israel telah menyita 158.332 unit dari keseluruhan
179.316 unit perumahan, termasuk rumah-rumah dan apartemen-apartemen.60 Orang-orang
Yahudi sedikitnya telah mengambil alih 10.000 toko dan 1.000 gudang.61 Kira-kira 90
persen kebun zaitun Israel direbut dari orang-orang Arab dan juga 50 persen
kebun jeruknya,62 suatu
penyitaan yang begitu besar sehingga pemasukan dari kebun zaitun dan jeruk itu
"sangat menolong untuk meringankan masalah serius dalam keseimbangan
neraca pembayaran Israel dari 1948 hingga 1953," kata Ian Lustick.63
Setelah perang 1967, pasukan militer Israel menguasai
seluruh Palestina, Tepi Barat dan jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik
Syria dan Semenanjung Sinai milik Mesir, suatu rentang wilayah yang luas
seluruhnya adalah 20.870 mil persegi.64
Setelah serangan Operasi Litani oleh Israel atas
Lebanon pada Maret 1978, perbatasan Israel lagi-lagi meluas sehingga mencakup
"sabuk pengaman" yang diklaimnya secara sepihak di Lebanon Selatan,
suatu jalur sepanjang perbatasan yang mendesak masuk antara tiga hingga enam
mil ke wilayah Lebanon.65 "Sabuk
pengaman" itu mendesak masuk lagi hingga dua belas mil setelah serangan
Israel tahun 1982 atas Lebanon .66 "Sabuk
pengaman" itu tetap ada hingga hari ini, membuat Lebanon Selatan menjadi
apa yang disebut oleh sebagian orang Israel sebagai "Tepi Utara" yang
dikuasai Israel.
Meskipun Israel di kemudian hari memang mengembalikan
Semenanjung Sinai sebagai pertukaran bagi perdamaian dengan Mesir, ia terus
menduduki semua wilayah Arab lain yang telah direbutnya lewat kekerasan selama
bertahun-tahun kecuali kota kecil Syria Quneitra, yang dihancurkannya sebelum
penarikan mundur pada 1974 sebagai hasil persetujuan pelepasannya dengan Syria
.67
Catatan kaki:
1 Dupuy, Elusive Victory, 3-19;
Flapan, The Birth of Israel, 192-93.
2 Meir, My Life, 211.
3 Quigley, Palestine and Israel,
39.
4 Palumbo, The Palestinian Catastrophe,
40.
5 Khalidi, From Haven to Conquest,
lxxix. Teks dari rencana itu terdapat dalam rubrik khusus "1948
Palestine" dari Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988, 20-
38.
6 New York Times, 20 Desember
1947. Juga lihat Quigley, Palestine and Israel, 41. Laporan resmi
militer Inggris adalah WO 275/64 (London: Public Record Office), dikutip dalam
Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 153.
7 Sykes, Crossroads to Israel,
337. Lihat juga Green, Taking Sides, 69.
8 Palumbo, The Palestinian Catastrophe,
40.
9 Dikutip dalam Flapan, The Birth of
Israel, 121.
10 Khalidi, From
Haven to Conquest, lxxix.
11 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 63.
12 Ibid., 128;
Quigley, Palestine and Israel, 62.
13 Flapan, The
Birth of Israel, 192. 132-133.
14 Kawat 513 dari
Kairo,13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
15 Dikutip dalam
Flapan, The Birth of Israel, 192. Juga lihat Shlaim, Collusion across
the Jordan, 197.
16 Khalidi, From
Haven to Conquest, lxxxii.
17 Allon, Shield of
David, 187.
18 Khalidi, Before
Their Diaspora, 316. Lihat juga Cockburn, Dangerous Liaison, 20-21;
Peres, David's Sling, 32-33. Sebagai balasan bagi bantuan itu, Israel
menyampaikan beberapa rahasia peralatan militer AS kepada Cekoslowakia, termasuk
sebuah sistem radar bergerak, lihat Green, Living by the Sword, 217-18.
19 Khalidi, From
Haven to Conquest, 861-66.
20 Grose, Israel in
the Minds of America, 210-11.
21 Raviv dan Melman, Every
Spy a Prince, 326-30; Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25.
22 Cockburn, Dangerous
Liaison, 24-25,158.
2 Ibid., 24-25.
24 Dalam sebuah surat
untuk Presiden Truman, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 189.
25 Khalidi, From
Haven to Conquest, 867-71.
26 Green, Taking
Sides, 71.
27 Flapan, The
Birth of Israel, 195. Tekanan ini ada pada tulisan aslinya. Untuk
pembahasan mengenai berbagai perkiraan layak yang mencerminkan semua pihak, lihat
Flapan, 194-97.
28 Dikutip dalam
Flapan, The Birth of Israel,189.
29 Telegram rahasia
"INFOTEL dari Menteri Luar Negeri," 14 Mei 1948, dikutip dalam Green,
Taking Sides, 70-71.
30 Kawat 513 dari
Kairo, 13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
31 Glubb, A Soldier
with the Arabs, 152.
32 Shlaim, Collusion
across Jordan, 271-72.
33 Flapan, The
Birth of Israel, 123.
34 el-Edroos, The
Hashemite Arab Army, 244.
35 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 7.
36 Fallaci, Interview
with History, 100.
37 Ben-Gurion, Israel,
63.
38 Michael C. Hudson,
"The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 A.D." dalam Asali, Jerusalem
in History, 257.
39 Quigley, Palestine
and Israel, 41. Lihat juga Flapan, The Birth of Israel, 90-91.
40 Bethell, The
Palestine Triangle, 263; Sachar, A History of Israel, 267. Untuk
rincian mengenai pemboman dan reaksi para pejabat Inggris, lihat Nakhleh, Encyclopedia
of Palestine Problem, 269-70.
41 Silver, Begin,
78-80.
42 CO 537/3855
(London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the
Palestine Problem, 270-71; Tannous, The Palestinians, 474.
Pemerintah Inggris secara terbuka mengutuk pemboman Semiramis sebagai suatu
"tindak pembunuhan yang pengecut dan keji atas orang-orang tak
bersalah." Ketika Agen Yahudi mengajukan keberatan karena Inggris tidak
mengutuk pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Arab, para
pejabat Inggris menjawab bahwa orang-orang Arab itu tidak melancarkan serangan-serangan
terorganisasi atas bangunan-bangunan yang dihuni oleh kaum wanita dan
anak-anak; lihat Quigley, Palestine and Israel, 43.
43 Khalidi, From
Haven to Conquest, 761-78, memuat penjelasan tangan pertama yang
mengharukan dari Jacques de Reynier, "Deir Yassin;" serta
penjelasan-penjelasan tentang serangan-saerangan atas pusat-pusat Palestina
lainnya. Banyak penulis telah membahas tentang pembantaian itu, barangkali
tidak lebih baik dibanding Silver, Begin, 88-89. Juga lihat
rincian-rinciannya dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem,
271-72.
44 Morris, The
Birth of Palestinian Refugee Problem, 222. Juga lihat Palumbo, The
Palestinian Catastrophe, xii-xiv; Quigley, Palestine and Israel, 85;
Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 272.
45 Persson, Mediation
and Assassination, 204. Juga lihat Kurzman, Genesis 1948, 555-56;
Avishai Margalit, "The Violent Life of Yitzhak Shamir," New York
Review of Books, 14 Mei 1992; Palumbo, The Palestinian Catastrophe,
36.
46 Teveth, David
Ben-Gurion and the Palestinian Arabs, 27.
47 Segev,1949,
69-72.
48 Thomas J. Hamiton, New
York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's
mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB No.
A/6797.
49 Walid Khalidi,
"The Palesfine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies,
Musim Gugur 1991, 9.
50 Anne O'Hare
McCormick, New York Times, 18 Januari 1949. Juga lihat Morris, The Birth of
the Palestinian Refugee Problem, 135-36; Cattan, Jerusalem, 61; Segev, 1949,
95.
51 Israel Shahak,
"Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents
from Israel, 43-54. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian
Refugee Problem, xiv-xviii, yang melakukan penelitian serupa dengan
penelitian Shahak pada 1980-an dan membuat daftar nama, tanggal, dan penyebab
ditinggalkannya 369 desa Arab pada 1948-1949. Nakhleh, Encyclopedia of the
Palestine Problem, menyalin daftar semua kota besar, kota kecil, dan desa
di Palestina pada 1945 sebagaimana yang diterbitkan dalam Palestine Gazette
(295-306) dan juga daftar nasib yang menimpa semua unit politik itu setelah
1948 (315-32).
52 Suatu penelitian
yang diselesaikan pada 1991 oleh sarjana Walid Khalidi melaporkan bahwa 418
desa telah dihancurkan; lihat Khalidi, All That Remains.
53 Israel Shahak,
"Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents
from Israel, 43.
54 Bard dan Himelfarb,
Myths and Facts, 84.
55 Shlaim, Collusion
across the Jordan, 289. Sebuah versi buku sampul tipis yang ringkas dari
karya penting Shlaim diterbitkan pada 1990 oleh Columbia University Press
dengan judul The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists, and
Palestine.
56 Sachar, A
History of Israel, 350; Epp, Whose Land Is Palestine?, 195. Untuk
rincian mengenai rencana-rencana Israel untuk menduduki wilayah Palestina,
lihat Khalidi, From Haven to Conquest, lxxv-lxxxiii, 755-61. Untuk
telaah yang sangat bagus tentang pemilikan tanah Yahudi, lihat Ruedy,
"Dynamics of Land Alienation;" dalam Abu-Lughod, Transformation of
Palestine, 119-38. Juga lihat Davis Mezvinsky, Documents front Israel,
43-54; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 155, 179;
Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 305-45; Nyrop, Israel,
52; Shipler, Arab and Jew, 32-36; Segev, 1949, 69-71.
57 McDowall, Palestine
and Israel, 193. Teks deklarasi itu terdapat dalam Ben-Gurion, Israel,
79-81.
58 Morris, The
Birth of Palestinian Refugee Problem, 155, 179.
59 Dikutip dalam
Nakhleh, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 310, dari Ha'aretz
(Tel Aviv), 4 April 1969.
60 Nakhleh, Encyclopedia
of the Palestine Problem, 369.
61 dan Peretz,
"The Arab Refugee Dilemma;" Foreign Affairs, Oktober 1954.
62 Palumbo, The
Palestinian Catastrophe, 146.
63 Lustick, Arabs
in the Jewish State, 59.
64 Nyrop, Israel, xix;
Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the
Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991.
65 Ahmad Beydoun,
"The South Lebanon Border Zone: A Local Perspective;" Journal of
Palestine Studies, Musim Semi 1992,44.
66 Thomas L. Friedman,
New York Times, 22 September 1986.
67 Israel berusaha
mempertahankan sebidang tanah seluas 250 acre di garis depan pantai Sinai
sebelah selatan Eliat yang bemama Taba. Namun, satu kelompok yang terdiri atas
lima juri menetapkan pada 1988 bahwa tanah itu sah dimiliki oleh Mesir, dan
Israel akhirnya terpaksa melepaskannya sepuluh tahun setelah perjanjian; Edward
Cody, Washington Post, 30 September 1988.
TIGA
PARA PENGUNGSI PALESTINA
Konflik Arab-Israel telah menimbulkan dua gelombang
besar pengungsi Palestina. Gelombang pertama adalah akibat perang 1948 dan
berjumlah 726.000 orang, dua pertiga dari seluruh penduduk Palestina yang 1,2
juta orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967 ketika 323.000 orang
Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, 113.000 di antaranya telah menjadi
pengungsi sejak 1948.1
OMONG KOSONG
"Tidak ada pengungsi... yang ada hanyalah para
pejuang yang berusaha untuk menghancurkan kita, sampai ke akar-akarnya."
--David Ben-Gurion, perdana menteri Israel, 19492
FAKTA
Laporan-laporan dari berbagai sumber yang mandiri dan
dapat dipercaya menunjukkan bahwa sebagian besar pengungsi Palestina adalah
anak-anak, kaum wanita, dan kaum pria yang sudah tua.
Setelah pasukan Israel --di bawah komando calon
perdana menteri Yitzhak Rabin-- merebut kota Arab, Lydda, pada pertengahan 1948
dan mengusir penduduk, komandan militer Inggris dari pasukan Yordania, Pasha
Glubb, melaporkan: "Barangkali tiga puluh ribu orang atau lebih, hampir
seluruhnya kaum wanita dan anak-anak, memungut apa saja yang dapat mereka bawa
dan lari dari rumah-rumah mereka melintasi padang terbuka."3 Pada 16
September, penengah PBB Count Folke Bernadotte mencatat bahwa "hampir
seluruh penduduk Arab lari atau diusir dari daerah pendudukan Yahudi. Banyak di
antara mereka adalah bayi-bayi, anak-anak, kaum wanita yang sedang hamil dan
ibu-ibu yang sedang menyusui. Kondisi mereka sungguh papa."4
Pada 17 Oktober 1948, wakil AS di Israel, James G.
McDonald, melaporkan dengan mendesak dan langsung kepada Presiden Truman bahwa
"tragedi para pengungsi Palestina dengan cepat berubah menjadi bencana dan
harus dianggap sebagai malapetaka. Sumber-sumber pertolongan dan pemukiman
kembali di masa sekarang dan mendatang sama sekali tidak memadai... Dari
kira-kira 400.000 pengungsi yang akan menghadapi musim dingin dengan hujan
deras, diperkirakan, akan terbunuh lebih dari 100.000 pria yang telah tua, kaum
wanita dan anak-anak yang tidak mempunyai tempat berlindung dan hanya menyimpan
sedikit atau bahkan tidak menyimpan makanan sama sekali."5
Pada Februari 1949 angka kematian di kalangan para
pengungsi Palestina di Jalur Gaza saja dilaporkan 230 orang tiap hari.6 William L.
Gower, delegasi untuk Palang Merah Amerika, melaporkan: "Delapan puluh
hingga 85 persen dari orang-orang yang terusir terdiri atas anak-anak,
wanita-wanita tua, wanita-wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui."7
Pada pertengahan Maret 1949, sebuah laporan dari
Kementerian Luar Negeri berbunyi: "Dana Darurat Anak-anak Internasional
menganggap 425.000 atau 58 persen dari pengungsi patut diberi bantuan dalam
programnya: kelompok ini terdiri atas bayi-bayi, anak-anak kecil, kaum wanita
yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui. Kira-kira 15 persen pengungsi sudah
berusia lanjut, sakit, dan lemah. Akan terlihat bahwa kaum pria dan wanita yang
berbadan sehat jumlahnya paling banyak 25 persen dari keseluruhan, atau 180.000
orang."8
Reaksi di Amerika Serikat terutama adalah tidak
peduli. Media berita Amerika pada umumnya mengabaikan keadaan para pengungsi
Palestina. Laporan rahasia Kementerian Luar Negeri Maret 1949 menyatakan bahwa
publik Amerika Serikat "secara umum tidak menyadari masalah pengungsi
Palestina, sebab hal itu tidak diberi tekanan oleh pers atau radio."9
OMONG KOSONG
"Jumlah seluruh pengungsi Arab yang
meninggalkan Israel adalah sekitar 590.000 orang." --AIPAC,198910
FAKTA
Angka AIPAC itu terlalu rendah setidak-tidaknya
150.000. Setelah banyak usaha dilakukan oleh berbagai negara dan agen
internasional untuk memperkirakan jumlah keseluruhan pengungsi Palestina,
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pada akhir 1949 bahwa 726.000 orang
dari 1,2 juta rakyat Palestina telah terusir dari rumah-rumah mereka dan
menjadi pengungsi akibat perang 1948. 25.000 orang lainnya tercatat sebagai
pengungsi kasus perbatasan namun tidak dimasukkan dalam jumlah keseluruhan.11 Ini merupakan
angka resmi PBB, yang secara umum diterima di luar Timur Tengah.
Orang-orang Arab berkeras bahwa jumlah yang
sesungguhnya mendekati 1 juta, sementara Israel secara resmi menyatakan bahwa
angkanya adalah antara 520.000 dan 530.000.12 Tetapi
dokumen-dokumen internal menunjukkan bahwa para pejabat sejak awal mengetahui
bahwa angkanya jauh lebih tinggi daripada yang mereka kemukakan di muka umum.
Ahli sejarah Israel Benny Morris telah mendokumentasikan pengetahuan awal
Israel tentang jumlah yang sesungguhnya itu dari catatan-catatan dalam arsip
Israel. Satu dokumen menunjukkan bahwa Direktur Jenderal Kementerian Luar
Negeri, Rafael Eytan, melaporkan bahwa "jumlah yang sesungguhnya adalah
mendekati 800.000." Namun secara resmi Israel tetap mengemukakan angka
yang rendah sebab, seperti kata-kata yang diucapkan oleh seorang pejabat
Kementerian Luar Negeri lainnya, "Tampaknya... kita perlu meminimalkan
jumlah itu."13
Jumlah pengungsi itu menggelembung dalam perang 1967
ketika 323.000 orang Palestina lagi diusir keluar dari rumah-rumah mereka. Dari
semua ini, 113.000 adalah pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang
telah menjadi tunawisma akibat perang 1948.14 Di samping
orang-orang yang terusir akibat perang, Israel juga secara sengaja mengusir
beribu-ribu orang lainnya dari rumah-rumah mereka --4.000 orang Palestina dari
wilayah Yahudi dan Mughrabi di Kota Lama Jerusalem; 10.000 penduduk desa-desa
Imwas, Yalu, dan Beit Nalu di Latrun Salient, bahkan tidak memperbolehkan
mereka membawa barang-barang milik mereka sendiri; dan 6.000 hingga 20.000
orang Badui dari rumah-rumah mereka di daerah Rafah, Jalur Gaza, di dekat
Semenanjung Sinai.15
OMONG KOSONG
"Sering kali para pemimpin Yahudi mendesak
orang-orang Arab agar tetap tinggal di Palestina dan menjadi warga negara
Israel." --AIPAC,199216
FAKTA
Sasaran utama para pemimpin Israel adalah membebaskan
diri dari orang-orang Palestina, bukan mendorong mereka agar tetap tinggal di
negara Yahudi.17
Ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan:
"Ben-Gurion jelas-jelas menginginkan sesedikit mungkin orang Arab tinggal
di Negara Yahudi. Dia ingin melihat mereka lari. Demikian yang dikatakannya
pada para kolega dan ajudannya dalam pertemuan-pertemuan di bulan Agustus,
September dan Oktober (1948)"18.
Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri pada 1949
mencatat bahwa meskipun telah membuat janji-janji di masa sebelumnya, para pejabat
Israel "dengan sangat jelas menunjukkan" bahwa mereka kini tidak akan
membiarkan "lebih dari sejumlah kecil pengungsi" untuk kembali ke
rumah-rumah mereka.19
Dalam diskusi-diskusi internal mereka, sejumlah
pejabat Israel menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan adanya orang-orang
non-Yahudi di dalam negara mereka yang baru. Anggota Knesset Eliahu Carmeli
berkata: "Saya tidak rela untuk menerima bahkan satu orang Arab pun, satu
orang goy [non-Yahudi] pun. Saya menginginkan negara Yahudi seluruhnya
untuk bangsa Yahudi." Ayah Moshe Dayan, Shmuel, yang juga seorang anggota
Knesset, mengatakan bahwa dia menentang setiap usaha untuk kembali "bahkan
jika dipertukarkan dengan perdamaian. Apa yang akan diberikan oleh perdamaian
resmi itu pada kita?"20
Pada awal Maret 1948, komando militer Israel telah
menghasilkan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan
antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB
untuk negara Palestina. Dalam kata-kata ahli sejarah Morris: "Rencana
Dalet bertujuan untuk menaklukkan dan menduduki secara permanen, atau meratakan
dengan tanah, desa-desa dan kota-kota kecil Arab. Di situ diinstruksikan
bahwa... jika terjadi perlawanan, pasukan bersenjata [Arab] di desa-desa itu
harus dihancurkan dan para penduduk harus diusir dari Negara."21
Ahli sejarah Israel Simha Flapan mencatat bahwa
"rencana itu mengemukakan secara rinci upaya 'pengusiran penduduk Arab
setempat ke luar perbatasan'... Jika ditengok kembali, dapat dilihat bahwa
tujuan dari rencana itu adalah pencaplokan --penghancuran desa-desa Arab harus
diikuti dengan didirikannya desa-desa Yahudi untuk menggantikannya."22 Flapan
menyimpulkan: "Beratus-ratus ribu [orang Palestina], yang diintimidasi dan
diteror, lari dengan panik, dan yang lain-lainnya diusir oleh angkatan
bersenjata Yahudi, yang, di bawah kepemimpinan [David] Ben-Gurion, merencanakan
dan melaksanakan pengusiran itu segera setelah adanya Rencana Pembagian PBB."23
Satu operasi untuk merebut Galilee dinamakan Matateh
(Sapu), dan komandan Yahudi Yigal Allon berbicara secara terbuka tentang
perlunya "membersihkan Galilee Atas."24 Ben-Gurion
meyakinkan para koleganya bahwa serangan atas Galilee akan mengakibatkan
wilayah itu menjadi "bersih" dari orang-orang Arab.25 Sebagaimana
dikatakannya: "Tanah dengan orang-orang Arab di atasnya dan tanah tanpa
orang-orang Arab di atasnya adalah dua jenis tanah yang berbeda."26
Flapan menulis: "Bahwa tujuan utama Ben-Gurion
adalah mengevakuasi sebanyak mungkin penduduk Arab dari negara Yahudi hampir
tidak mungkin diragukan lagi."27
Jelaslah bahwa larinya orang-orang Israel bukanlah,
sebagaimana dikatakan oleh presiden pertama Israel, Chaim Weizman, "suatu
penyederhanaan yang ajaib" dari masalah demografi Israel.28 Sebaliknya,
itu adalah pembuktian yang mengerikan dari ramalan sang pendiri gerakan Zionis,
Theodor Herzl, meskipun yang ada dalam benaknya adalah gambaran yang tidak
begitu kejam: "Kita akan mendorong penduduk miskin [Palestina] agar
melintasi perbatasan dengan menawarkan pekerjaan bagi mereka di negeri-negeri
yang dilintasi, sementara meniadakannya di negeri kita sendiri."29
OMONG KOSONG
"Masalah demografi akan lenyap."
--Ezer Weizman, menteri pertahanan Israel, 198130
FAKTA
Ketidakseimbangan antara penduduk Palestina dan Yahudi
--"masalah demografi"-- telah lama mengganggu para pemimpin Zionisme.
Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk
Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga
karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi.
Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat,
di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan
persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."31
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion
mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah
Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab
tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara
Yahudi.32 Pada 1943,
mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding
orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah
cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas
demografi" mereka.33
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky
menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi
setengah milyar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang
Arab Palestina. Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang
bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan
orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab
Palestina."34
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi
merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina
melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina. Rencana
pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi
mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina.35 (Negara
Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000
penduduk Yahudi.)36
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang
Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri
mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah
mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata
banyak tokoh Zionis. Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk
Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu
hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."37 Ben-Gurion
sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan
orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."38
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi
pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali
--dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah
mereka. Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi
lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan
menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan
menghancurkan desa-desa Palestina.39 Pada 1 Juni
perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk
secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.40
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal
170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel
pada akhir pertempuran pada 1949. Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi
warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu
minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang
akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.41
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah
demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu
yang melahirkan anak yang kesepuluh. Program itu dihentikan satu dasawarsa
kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel
yang berhasil meraih hadiah tersebut. Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel
didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi
masa depan seluruh bangsa Yahudi."42
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama
di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah
penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan
alamiah. Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam
periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena
terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah
penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen. Pada 2005, warga negara
Palestina di Israel diproyeksikan akan berjumlah 1,35 juta. Yang harus
ditambahkan pada angka ini adalah orang-orang Palestina yang hidup di wilayah
pendudukan di Tepi Barat dan jalur Gaza. Jumlah keseluruhannya akan mendekati 2
juta pada awal 1990-an dan diproyeksikan akan mencapai 2,5 juta pada 2002.43
OMONG KOSONG
"[Para pengungsi Palestina] pergi sebagian
karena mematuhi perintah langsung dari para komandan militer dan sebagian
karena kampanye kepanikan yang disebarkan di kalangan orangorang Arab Palestina
oleh para pemimpin negara-negara Arab yang menyerang." --Moshe
Sharett, menteri luar negeri sementara Israel, 194844
FAKTA
Sejak 1961 jurnalis Irlandia Erskine Childers meneliti
catatan Inggris tentang semua siaran radio dari para pemimpin Arab sepanjang
1948 dan menyimpulkan: "Tidak pernah ada satu perintah, seruan, atau saran
mengenai evakuasi Palestina dari stasiun radio Arab mana pun, di dalam atau di
luar Palestina, pada 1948. Malah ada rekaman yang berulang kali terpantau
berupa seruan, bahkan perintah, pemimpin kepada para penduduk sipil Palestina
untuk tetap tinggal."45
Bahkan sebelum Childers, Pasha Glubb, komandan Inggris
dari angkatan bersenjata Yordania, telah menulis: "Kisah yang disuguhkan
pada dunia oleh humas Yahudi, bahwa para pengungsi Arab pergi dengan sukarela,
tidaklah benar. Imigran-imigran sukarela tidak meninggalkan rumah-rumah mereka
hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Orang-orang yang telah memutuskan
untuk pindah rumah tidak akan melakukannya dengan tergesa-gesa sehingga mereka
kehilangan anggota-anggota keluarga lain-suami tidak dapat melihat istrinya,
atau orang tua tidak dapat menemukan anak-anak mereka. Kenyataannya kebanyakan
mereka pergi dalam kepanikan, untuk menghindari pembantaian (setidak-tidaknya,
begitulah pikir mereka). Sesungguhnya mereka memang terdorong untuk pergi
karena pernah terjadi satu dua kali pembantaian. Yang lain-lainnya terdorong
untuk pergi karena adanya serangan-serangan atau aksi-aksi tidak senonoh."46
Sejak itu, banyak sekali dokumentasi bermunculan yang
membuktikan bahwa pasukan-pasukan Israel melancarkan perang psikologis,
ancaman-ancaman, tindak kekerasan, dan pembunuhan- pembunuhan untuk memaksa
banyak orang Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka. Dokumentasi baru ini
terutama berasal dari sumber-sumber Israel.47
Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyimpulkan: "Diterbitkannya
beribu-ribu dokumen dalam arsip negara dan Zionis belakangan ini, serta buku
harian Ben-Gurion, menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang dapat mendukung klaim
Israel [bahwa para pemimpin Arab memerintahkan orang-orang Palestina untuk
lari]. Dalam kenyataannya, informasi itu bertentangan dengan teori 'orde,'
sebab di antara sumber-sumber baru tersebut ada dokumen-dokumen yang
membenarkan adanya usaha-usaha keras dari AHC [Komite Tinggi Arab] dan
negara-negara Arab untuk mencegah pengungsian."48
Begitu pula, ahli sejarah Israel Benny Morris
melaporkan: "Saya tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa AHC
mengeluarkan perintah umum, lewat radio atau lain-lainnya, pada orang-orang
Arab Palestina agar mengungsi."49
Namun pernyataan bohong tetap bersikeras bahwa para
pemimpin Arablah yang memerintahkan pengungsian. Jurnalis Christopher Hitchens
melihat sebuah iklan pro Israel dalam New Republic pada akhir 1980-an
yang berbunyi: "Pada 1948, pada hari proklamasi kemerdekaan Israel, lima
angkatan bersenjata Arab menyerang negeri baru itu dari segala sudut. Dalam
siaran radio yang menakutkan, mereka mendesak orang-orang Arab yang tinggal di
sana agar mengungsi, agar pasukan penyerang dapat bergerak tanpa
penghalang." Hitchens menanyakan dukungan bukti bagi siaran-siaran
"yang menakutkan" itu, namun tidak pernah mendapat jawaban.50
Pada 27 Mei 1991, Near East Report, laporan
berkala AIPAC, menegaskan bahwa "pada 1948 para pemimpin Arab telah
berulang kali mendesak orang-orang Palestina untuk mengungsi agar angkatan
bersenjata Arab bisa menemukan waktu yang lebih longgar untuk menghancurkan
negara Yahudi yang baru lahir itu."51 Pada waktu
itu, karya Benny Morris yang didukung bukti kuat The Birth of the Palestinian
Refugee Problem telah beredar selama tiga tahun, melaporkan bahwa tidak ada
bukti yang menunjukkan orang-orang Palestina diperintah untuk mengungsi.52
OMONG KOSONG
"Dapatkah kita meragukan bahwa
pemerintah-pemerintah Arab telah memutuskan agar para pengungsi tetap mengungsi?"
--Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 195553
FAKTA
Meskipun Majelis Umum PBB memerintahkan Israel sejak
Desember 1948 untuk membiarkan para pengungsi Palestina kembali ke rumah-rumah
mereka, Israel menolak.54 Israel
berkeras bahwa para pengungsi adalah tanggung jawab negara-negara Arab, yang
dituduhnya tidak mempedulikan nasib para pengungsi tersebut.55
Tetapi, sebuah telaah rahasia dari Kementerian Luar
Negeri pada awal 1949 mencatat bahwa negara-negara Arab sangat prihatin dengan
masalah pengungsi: kedutaan besar di Kairo melaporkan bahwa jika para pengungsi
didesak masuk ke Mesir "akibatnya akan menimbulkan bencana bagi keuangan
Mesir." Kedutaan besar Yordania melaporkan bahwa para pengungsi itu
merupakan saluran penyedot yang sangat mengganggu "sumber-sumber yang
hampir kering" dan bahwa "uang, pekerjaan, dan kesempatan-kesempatan
lain [sangat] langka." Kedutaan besar di Lebanon melaporkan bahwa para
pengungsi menjadi "beban tak tertanggungkan" bagi pemerintahan itu
sementara Syria "praktis telah membiarkan pengeluaran-pengeluaran untuk
pertolongan sebagai saluran penyedot anggaran yang tidak ada
pendukungnya."
Telaah itu menyimpulkan bahwa bantuan untuk para
pengungsi oleh pemerintah-pemerintah Arab telah mencapai $11 juta dalam bentuk
tunai atau barang selama sembilan bulan terakhir tahun 1948, suatu jumlah yang
"relatif besar" jika "dipandang dari anggaran yang sangat
ramping dari kebanyakan pemerintah negara-negara tersebut."
"Keseluruhan bantuan langsung dari Israel... hingga saat itu terdiri atas
500 peti jeruk."56
Alasan utama Israel tidak mau menerima kembalinya para
pengungsi ke rumah-rumah mereka adalah karena kebanyakan dari rumah-rumah itu
telah diambil alih oleh orang-orang Yahudi atau telah dihancurkan untuk diganti
dengan perumahan baru bagi orang-orang Yahudi.57
Sebuah laporan penting dari Kementerian Luar Negeri
pada 1949 mencatat bahwa "sebagian besar pengungsi ingin kembali ke
rumah-rumah mereka." Namun kepulangan mereka itu tidak realistis sebab
"penguasa Israel telah melancarkan suatu program sistematis untuk
menghancurkan rumah-rumah Arab di kota-kota besar seperti Haifa dan di
lingkungan komunitas-komunitas pedesaan guna membangun kembali wilayah
pemukiman modern untuk menampung gelombang masuk imigran Yahudi dari kamp-kamp
DP [displaced persons (orang-orang terlantar)] di Eropa [yang diperkirakan
berjumlah 25.000 orang per bulan]. Karena itu, dalam banyak kasus, secara
harfiah tidak ada rumah tempat kembali para pengungsi. Dalam kasus-kasus lain,
imigran-imigran Yahudi yang berdatangan telah menduduki tempat-tempat tinggal
bangsa Arab dan jelas mereka tidak bersedia melepaskannya kepada para
pengungsi. Maka jelaslah bahwa sebagian besar orang-orang yang malang itu akan
berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke
rumah-rumah mereka."58
Koresponden New York Times Anne O'Hare
McCormick melaporkan pada 17 Januari 1949 bahwa orang-orang Israel
"berlari dengan kecepatan penuh untuk mendiami kembali tanah yang
ditinggalkan akibat perpindahan besar-besaran bangsa Arab .... Ini jelas
berarti bahwa sangat sedikit di antara 750.000 pengungsi yang tersebar wilayah
Palestina Arab dan negeri-negeri tetangga yang dapat kembali ke rumah-rumah
mereka sebelumnya di wilayah Israel. Tempat mereka telah diambil oleh para
pemukim Yahudi yang kini berdatangan untuk pertama kalinya dalam jumlah tak
terbatas secepat alat transportasi dapat mengangkut mereka."59
Meskipun demikian, Israel telah melancarkan kampanye
propaganda yang tak putus-putusnya untuk menimpakan kesalahan pada
negara-negara Arab. Seberapa berhasilnya usaha itu dapat dilihat dari program
Partai Demokrat 1960 yang menegaskan: "Kami akan mendorong
dilangsungkannya perundingan-perundingan perdamaian Arab-Israel, pemukiman
kembali para pengungsi Arab di tanah-tanah di mana tersedia ruang dan
kesempatan bagi mereka, suatu akhir bagi boikot-boikot dan blokade-blokade, dan
pemanfaatan tak terbatas Terusan Suez oleh semua bangsa." AIPAC hingga
hari ini masih terus menyalahkan orang-orang Arab karena tidak mau menerima
para pengungsi. Myths and Facts yang terbit pada 1992 membandingkan
keadaan bangsa Palestina dengan para pengungsi Turki di Bulgaria pada 1950,
dengan mengemukakan bahwa meskipun menghadapi berbagai kesulitan pemerintah
Turki memulangkan 150.000 pengungsi. Buku itu menambahkan: "Jika
negara-negara Arab ingin meringankan penderitaan para pengungsi, mereka dengan
mudah dapat mengambil sikap yang sama dengan yang diambil Turki."60
Catatan kaki:
1 "Report of the
Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept.
1967," Laporan PBB no. A/6797.
2 Ben-Gurion, Diaries,
29 Mei 1959, dikutip dalam Segev, 1949, 35.
3 Glubb, A Soldier
with the Arabs, 162.
4 Depertemen Luar
Negeri AS, A Decade of American Foreign Policy: 1940-1949, 850-51. Untuk
kisah pribadi yang menyentuh hati tentang keadaan para pengungsi, lihat Turki, The
Disinherited.
5 "The Special
Representative of the United States in Israel (McDonald) to President
Truman," 17 Oktober 1948, pukul 16.00, Foreign Relations of the United
States 1948 (untuk selanjutnya disebut sebagai FRUS), 5: 1486.
6 New York Times,
17 Februari 1949.
7 ibid. Lihat juga
Beryl Cheal, "Refugees in the Gaza Strip, Desember 1948-Mei 1950," Journal
of Palestine Studies, Musim Gugur 1988,138-57.
8 FRUS 1949,
"Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 828-42.
9 Ibid.
10 Davis, Myths and
Facts (7989), hal. 114.
11 Thomas J. Hamilton,
New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special
Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967,"
laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Janet Abu Lughod, "The Demographic
Transformation of Palestine;" dalam Abu Lughod, Transformation of
Palestine, 139-64. Perkiraan Kementerian Luar Negeri, yang jelas tidak
diumumkan pada waktu itu, adalah sekitar 820.000; lihat FRUS 1949,
"Editorial Note;" 6: 688.
12 Morris, The
Birth of the Palestinian Problem, 297.
13 Ibid., 297.
14 "Report on the
Mission of the Special Representative to the Occupied Territories,"
laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warrior
for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan jumlah pengungsi dua-kali itu adalah
145.000.
15 Aronson, CreatingFacts,
19. Untuk penuturan saksi mata yang menyedihkan tentang kehancuran desa-desa
Latrun, lihat artikel yang ditulis oleh wartawan Israel Amos Kenen,
"Report on the Razing of Villages and the Expulsion of Refugees,"
dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 148-51. Juga lihat
Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 400-401.
16 Bard dan Himelfarb,
Myths and Facts, 121.
17 Para sarjana Israel
telah secara cermat mendokumentasikan sebab-sebab perginya para pengungsi;
lihat terutama Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth
of the Palestinian Refugee Problem, 58; Segev, 1949, 25-29. Juga lihat
Ball, The Passionate Attachment, 29-30, 35-36. Masalah itu juga mendapat
perhatian serius dalam edisi ulang tahun keempat puluh dari apa yang dinamakan
"Palestine 1948" yang diterbitkan oleh Journal of Palestine
Studies, Musim Gugur 1988; lihat terutama Lampiran D, "Maps: Arab
Villages Emptied and Jewish Settlements Established in Palestine,
1948-49;" 38-50; Donald Neff, "U.S. Policy and the Palestinian
Refugees," 96-111; Nur-eldeen Masalha, "On Recent Hebrew and Israeli
Sources for the Palestinian Exodus, 1947-49," 120-37.
18 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 292.
19 FRUS 1949,
"Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 831, 837.
20 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 281.
21 Ibid., 63.
22 Flapan, The
Birth of Israel, 42.
23 Ibid., 89.
24 Palumbo, The
Palestinian Catastrophe, 18, 115.
25 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 218. Juga lihat Alexander
Cockburn, "Beat the Devil," The Nation, 31 Agustus-7 September
1992,198.
26 Segev, 1949,
28.
27 Flapan, The
Birth of Israel, 90.
28 MacDonald, My
Mission in Israel, 176.
29 Patai, The
Complete Diaries of Theodor Herzl, 88.
30 Aronson, Creating
Facts, 18.
31 MacDowall, Palestine
and Israel, 164- 69.
32 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949, 24-26.
33 MacDowall, Palestine
and Israel, 165.
34 Yossi Melman dan
Dan Raviv, "Expelling Palestinians;" Washington Post, rubrik
Outlook, 7 Februari 1988. Para penulis itu adalah wartawan-wartawan Israel yang
menulis buku berbahasa Ibrani A Hostile Partnership: Israelis, Jordanians
and Palestinians.
35 Angka-angka itu
tidak mencakup Jerusalem, yang harus mempunyai penduduk Yahudi 100.000 orang di
samping 105.000 orang Arab; lihat Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving
Day at Lake Success," dalam Khalidi, From Haven to Conquest,
714.
36 Epp, Whose Land
Is Palestine?, 185.
37 Morris, The
Birth of Palestinian Refugee Problem, 136.
38 Ben-Gurion, Israel,
150.
39 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36.
40 Ibid., 140.
41 Ben-Gurion, Israel,
361.
42 MacDowall, Palestine
and Israel, 165.
43 Ibid., 124, 221.
44 Dikutip dalam
Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xv.
45 Erskine B.
Childers, "The Other Exodus," dalam Khalidi, From Haven to
Conquest.
46 Glubb, A Soldier
with the Arabs, 251.
47 Flapan, The
Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Problem,
58; Segev, 1949, 25-29.
48 Flapan, The
Birth of Israel, 85.
49 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
50 Christopher
Hitchens, "Broadcasts," dalam Said dan Hitchens, Blaming the
Victims.
51 Joel Himelfarb,
"And You Thought Peter Jennings Was Bad;" Near East Report, 27
Mei 1991.
52 Morris, The
Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
53 Pidato di
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19 November 1955; teks ini terdapat dalam Medzini,
Israel's Foreign Relations, 1: 405.
54 Resolusi 194 (II1).
Teks ini terdapat dalam New York Times, 12 Desember 1948; Kementerian
Luar Negeri A.S., A Decade of American Foreign Policy 1940-1949, 851-53;
Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict,
1: 15-16; Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 116-18. Majelis Umum
mengulangi seruannya mengenai hak-hak rakyat Palestina untuk kembali atau
menerima kompensasi sebanyak sembilan belas kali dalam resolusi-resolusi yang
dikeluarkan antara 1950 hingga 1973: 394, 818, 916, 1018, 1191, 1215,1465,
1604,1725, 1865, 2052, 2154, 2341, 2452, 2535, 2672, 2792, 2963, dan 3089.
Kementerian Luar Negeri secara terbuka menegaskan kembali dukungan AS bagi
rumusan kembali-atau-kompensasi dalam sebuah resolusi pada 1992, namun juru
bicara Margaret Tutwiler menambahkan bahwa masalah itu harus dirundingkan
secara langsung antara Israel dan orangorang Palestina; lihat Washington
Times, 14 Mei 1992.
55 Lihat Medzini,
"The Arab Refugees," dalam Israel's Foreign Relations, 1:
365-467.
56FRUS,1949,
"Editorial Note," 6: 688.
57 Quigley, Palestine
and Israel, 105.
58 FRUS 1949,
"Palestinian Refugee," 6:836-37. Angka imigrasi DP terdapat di
halaman 831.
59 Anne O'Hare
McCormick, New York Times, 18 Januari 1949.
60 Bard and Himelfarb,
Myths and Facts, 143.
EMPAT
KRISIS SUEZ 1956
Dalam Krisis Suez 1956, Israel, Inggris, dan
Perancis bersekongkol secara rahasia untuk melanggar hukum internasional dengan
menyerang Mesir dengan tujuan menjatuhkan sang pemimpin muda, Gamal Abdel
Nasser.1 Meskipun
ketiga negara itu bersahabat dengan Amerika Serikat, mereka menyembunyikan
rencana mereka dari Washington. Ketika Presiden Dwight D. Eisenhower akhirnya
mengetahui niat mereka, dia melancarkan tekanan diplomatik yang sangat keras
sehingga mereka menghentikan serangan dan menyerahkan wilayah Mesir yang telah
mereka rebut. Aksi militer itu dimulai pada 29 Oktober dan berakhir pada 7
November 1956.
OMONG KOSONG
"Bukan Israel yang berusaha untuk mengurung
Mesir dengan sebuah cincin baja." --Pernyataan Perdana Menteri Israel,
19562
FAKTA
Pasukan Israel bergerak menuju Semenanjung Sinai pada
29 Oktober 1955, untuk memulai serangan terhadap Mesir yang direncanakan bersama
secara rahasia dengan Inggris dan Perancis. Untuk menyembunyikan niatnya dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Israel memerintahkan duta besarnya di Washington,
Abba Eban, untuk meyakinkan para pejabat AS bahwa digerakkannya pasukan Israel
adalah "akibat 'masalah-masalah keamanan' dan menekankan bahwa tidak ada
kaitan antara apa yang tengah mereka kerjakan dengan konflik antara
kekuatan-kekuatan lain [Inggris dan Perancis] dengan Mesir."3
Pada saat yang sama pasukan Israel sedang menyerang
Sinai. Ketika Presiden Eisenhower mendengar kebenaran serangan pengecut Israel,
dia berkata pada menteri luar negerinya, John Foster Dulles: "Foster, kau
bilang pada mereka... kita akan menerapkan sanksi-sanksi, kita akan menghadap
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kita akan melakukan apa saja yang dapat kita
lakukan untuk menghentikannya." Di kemudian hari Eisenhower mengenang:
"Kami hanya mengatakan pada orang-orang Israel bahwa jika mereka mengharapkan
dukungan kami di Timur Tengah dan mempertahankan posisi mereka, mereka harus
berkelakuan baik... Kami langsung menuju sasaran dan mulai menekan
mereka."4
Krisis Suez meledak tepat ketika kampanye pemilihan
kembali Eisenhower usai. Pada malam serangan Israel, sekelompok tokoh terkemuka
Partai Republik menemuinya, khawatir bahwa Eisenhower mungkin akan tergoda
untuk menggunakan pasukan AS untuk mengusir Israel keluar sebab mereka telah "melakukan
serangan yang tidak dapat dimaafkan."5 Para politisi
itu khawatir bahwa reaksi bagi oposisi Eisenhower di kalangan para partisan
Israel di Amerika Serikat akan menjadi sangat besar sehingga dia akan kalah
dalam pemilihan. Komentar Eisenhower: "Saya pikir emosi telah menyelubungi
penilaian baik mereka."6 Hari
berikutnya Eisenhower memerintahkan diusulkannya sebuah resolusi pada Dewan
Keamanan PBB untuk mengadakan gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel.
Minggu berikutnya, dia berhasil menekan Inggris, Perancis, dan Israel untuk
menghentikan serangan-serangan mereka terhadap Mesir, dan dengan mudah memenangkan
pemilihan.
OMONG KOSONG
"Ketentuan-ketentuan gencatan senjata antara
Israel dan Mesir tidak lagi mengandung keabsahan." --David Ben-Gurion,
perdana menteri Israel, 19567
FAKTA
Pasukan Israel telah menyapu hampir tanpa rintangan
seluruh Semenanjung Sinai hingga Terusan Suez dan ke selatan hingga Sharm
el-Sheikh, dan merampungkan penaklukan mereka atas wilayah Mesir dalam waktu
kurang dari seminggu, sementara Mesir menghadapi serangan-serangan serentak
dari Inggris dan Perancis. Pada 7 November pemimpin Israel David Ben-Gurion
menyatakan: "Persetujuan gencatan senjata dengan Mesir telah mati dan
terkubur dan tidak dapat dihidupkan kembali."8
Pernyataan.Ben-Gurion bahwa gencatan senjata 1949 dengan Mesir telah batal
memberi isyarat pada Presiden Eisenhower bahwa Israel berusaha mempertahankan
wilayah yang telah direbutnya dengan paksa dari Mesir.
Eisenhower segera menulis pesan pribadi kepada Ben
Gurion untuk mengungkapkan "keprihatinannya yang mendalam" dan
memperingatkan: "Setiap keputusan [untuk menduduki Sinai] hanya akan
mengundang kecaman atas Israel sebagai pelanggar prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa."9 Untuk memberi
tekanan pada pesan Eisenhower, Wakil Menteri Luar Negeri Herbert Hoover Jr.,
memanggil wakil Israel di Washington dan memperingatkan bahwa Amerika Serikat
siap untuk melancarkan aksi serius melawan Israel, termasuk "penghentian
semua bantuan swasta dan pemerintah Amerika Serikat, sanksi-sanksi Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan pengeluaran dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya
berbicara dengan sangat serius dan mendesak."10
Pada hari yang sama, 7 November, Majelis Umum PBB,
dalam pemungutan suara 65 berbanding satu, menuntut agar pasukan asing
meninggalkan Sinai.11 Israel tidak
mendapatkan suara, namun tetap menolak untuk menarik pasukannya, bahkan setelah
Majelis Umum mengeluarkan resolusi lain pada Februari 1957 "yang
menyesalkan" penolakan Israel untuk mundur.12
Kesabaran Eisenhower mulai menipis pada 11 Februari.
Dia mengirim pesan lain kepada Ben-Gurion, menuntut penarikan mundur pasukan
Israel "dengan segera dan tanpa syarat" dari Gaza. Lagi-lagi
Ben-Gurion menolak.13
Pada 20 Februari, Eisenhower sudah tidak tahan lagi.
Dia mengirim sebuah pesan keras kepada Ben-Gurion yang berisi peringatan bahwa
Amerika Serikat akan mendukung sanksi-sanksi terhadap Israel dan bahwa
sanksi-sanksi semacam itu akan mencakup bukan hanya pelarangan bantuan
pemerintah tetapi juga sumbangan-sumbangan pribadi yang diberikan oleh
individu-individu. Pada malam yang sama dia tampil di layar televisi nasional
untuk mengemukakan kasusnya melawan Israel: "Saya yakin bahwa demi
perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mempunyai pilihan lain kecuali
melancarkan tekanan pada Israel agar mematuhi resolusi-resolusi penarikan
mundur itu."14
Ben-Gurion menyebut tuntutan-tuntutan Eisenhower
"keadilan yang sesat."15 Namun di
bawah pengaruh ancaman-ancaman seperti itu akhirnya pasukan Israel ditarik dan
krisis Suez segera berakhir. Israel telah dipaksa oleh Amerika Serikat untuk
menyerahkan wilayah yang dicaploknya.
OMONG KOSONG
"Tindakan Amerika Serikat dalam Krisis Suez
1956 patut disesalkan." --Henry Kissinger, menteri luar negeri,197916
FAKTA
Meskipun mendapat kecaman dari Israel dan para
pendukungnya, Eisenhower dan Amerika Serikat tampil dalam Krisis Suez dengan
otoritas moral dan gengsi tinggi di mata dunia. Penulis biografi Eisenhower,
Stephen E. Ambrose, mencatat: "Desakan Eisenhower tentang keutamaan PBB,
kewajiban-kewajiban dalam perjanjian, dan hak-hak semua bangsa memberikan pada
Amerika Serikat nilai tinggi dalam opini dunia yang belum pernah dicapainya
sebelumnya... Diusulkannya resolusi [gencatan senjata] Amerika pada PBB,
sesungguhnya, merupakan salah satu momen paling besar dalam sejarah PBB."17
Melesatnya gengsi Amerika di Perserikatan
Bangsa-bangsa segera menjadi nyata. Duta besar AS untuk PBB, Henry Cabot Lodge,
menelepon presiden dan melaporkan: "Belum pernah terjadi sebelumnya
gemuruh tepuk tangan diberikan bagi kebijaksanaan presiden. Sungguh sangat
spektakuler." Dari Kairo, Duta Besar Raymond Hare mengirim kawat: "AS
tiba-tiba tampil sebagai pahlawan hak-hak asasi yang sejati."18 Hampir empat
dasawarsa kemudian, para ahli sejarah menganggap penanganan Eisenhower atas
krisis itu sebagai nilai tinggi dalam masa kepresidenannya. Hal itu mendukung
otoritas dan pendirian moral Perserikatan Bangsa-Bangsa dan cita-cita Amerika
Serikat.
Catatan kaki:
1 Neff, Warriors at Suez, 342-46. Juga
lihat entri buku harian Ben-Gurion dalam S.I. Troen dan M. Shemesh, peny., The
Suez-Sinai Crisis: Retrospective and Reappraisal (London: Frank Cass,
1990), 305-15.
2 Neff, Warriors at Suez, 364.
3 Ibid. 4 Love, Suez, 503. 5 Eiwnhower,
Waging Peace, 74
6 Ibid.
7 Eban, An Outobiography, 229.
8 Ibid.
9 Love, Suez, 639.
10 Neff, Warriors
at Suez, 416.
11 Resolusi 1002
(ES-1); teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on
Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 34.
12 Resolusi 1124 (XI);
teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and
the Arab-Israeli Conflict, 1: 39.
13 Neff, Warriors at Suez, 416.
14 Love, Suez,
666.
15 Ibid.
16 Kissinger, White
House Years, 347.
17 Ambrose, Eisenhower,
361.
18 Neff, Warriors
at Suez, 417.
LIMA
PERANG 1967
Perang 1967 adalah yang ketiga dalam konflik
Arab-Israel, dan yang paling sukses bagi Israel. Israel meraih semua sasaran
perangnya, dan yang paling penting di antaranya adalah didudukinya seluruh
tanah Palestina, termasuk Jerusalem Timur yang milik Arab, Semenanjung Sinai
milik Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Tidak seperti krisis Suez
1956, ketika tentangan dari Washington berhasil memaksa Israel untuk menarik
diri dari wilayah yang telah direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap
hati-hati sekali dalam menanamkan pengertian para pejabat AS tentang posisi
mereka.1 Akibatnya
Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS untuk menyerahkan hasil-hasil yang
telah dicapainya. Pertempuran dimulai pada 5 Juni dan berakhir pada 10 Juni.
OMONG KOSONG
"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa ...
pemerintah negara-negara Arab ... secara metodis mempersiapkan dan melancarkan
suatu serangan agresif yang dirancang untuk menimbulkan kehancuran segera dan
menyeluruh atas Israel." --Abba Eban, duta besar Israel untuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19672
FAKTA
Seperti dalam perang 1956, Israel memulai pertempuran
pada 1967 dengan suatu serangan mendadak atas Mesir. Sekali lagi, seperti pada
1956, orang-orang Israel memperdaya Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Abba
Eban secara pribadi meyakinkan Duta Besar AS untuk Israel Walworth Barbour
bahwa Mesirlah yang pertama kali menyerang.3 Namun sejak
perang berkobar, para pemimpin Israel --tidak seperti banyak pendukungnya di
Amerika Serikat4-- secara
terbuka telah mengakui bahwa yang menyerang adalah Israel dan, lebih-lebih
lagi, bahwa Israel tidak menghadapi ancaman langsung bagi eksistensinya.
Menachem Begin, perdana menteri pada 1982, mengatakan
bahwa perang 1967 adalah salah satu "pilihan," bahwa "kami
putuskan untuk menyerangnya [Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser]." Ezer
Weizman, bapak angkatan udara Israel dan di kemudian hari menjadi menteri
pertahanan, mengatakan pada 1972 bahwa "tidak ada ancaman kehancuran"
dari orang-orang Arab. Jenderal Mattityahu Peled, mantan anggota staf umum yang
kemudian menjadi penyokong perdamaian, berkata pada 1972: "Menyatakan
bahwa angkatan bersenjata Mesir yang terkumpul di perbatasan-perbatasan kita
akan dapat mengancam eksistensi Israel bukan hanya merupakan hinaan bagi
pikiran waras setiap orang yang mampu menganalisis situasi semacam ini,
melainkan juga hinaan bagi Zahal [angkatan bersenjata Israel]." Dan Kepala
Staf Yitzhak Rabin berkata pada 1968: "Saya tidak percaya bahwa Nasser
menginginkan perang. Dua divisi yang dikirimnya ke Sinai pada 14 Mei tidak akan
memadai untuk melepaskan serangan melawan Israel. Dia tahu itu dan kami pun
tahu."5
David Ben-Gurion berkata dia "sangat meragukan
apakah Nasser ingin berperang."6 Lagi pula
dinas rahasia Amerika Serikat telah menyimpulkan sesaat sebelum perang bahwa
Israel tidak menghadapi ancaman dekat dan bahwa jika diserang Israel dapat
dengan cepat mengalahkan setiap negara Arab atau gabungan negara-negara Arab.7
Anggota kabinet Israel Mordecai Bentov mengungkapkan
pada 1972 bahwa "seluruh cerita" Israel tentang "bahaya
pembasmian" itu "hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan untuk
membenarkan pencaplokan wilayah-wilayah Arab yang baru."8
OMONG KOSONG
"GOI [Pemerintah Israel] tidak, kami ulangi
lagi: tidak, mempunyai niat untuk mengambil keuntungan dari situasi itu untuk
memperluas wilayahnya." --Walworth Barbour, duta besar AS untuk
Israel, 19679
FAKTA
Dalam dua hari sejak dimulainya perang, pasukan Israel
berhasil merebut Kota Tua Jerusalem dari Yordania. Para pemimpin Israel dengan
segera menyatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan kota itu. Shlomo Goren,
rabbi kepala Ashkenazi dari Pasukan Pertahanan Israel, tiba di Tembok Ratapan
dalam waktu setengah jam dan menyatakan: "Saya, Jenderal Shlomo Goren,
rabbi kepala dari Pasukan Pertahanan Israel, telah datang ke tempat ini dan
tidak akan pernah meninggalkannya lagi."10 Menteri
Pertahanan Moshe Dayan juga tiba, dan berkata: "Kita telah menyatukan
Jerusalem, ibukota Israel yang terbagi. Kita telah kembali ke tempat paling
suci dari tempat-tempat suci kita, dan tidak akan pernah berpisah lagi
dengannya."11 Menjelang
berakhirnya pertempuran dalam waktu enam hari, pasukan Israel telah membanjiri
seluruh Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan
milik Syria. Wilayah yang direbut meningkatkan kontrol Israel atas tanah dari
semula 5.900 mil persegi yang diserahkan padanya dalam Rencana Pembagian PBB
tahun 1947 menjadi 20.870 mil persegi.12 Meskipun pada
awalnya Israel berjanji bahwa ia tidak berusaha untuk meluaskan wilayah, dengan
segera ia bertindak dengan mengusir orang-orang Palestina dan mendirikan pemukiman
Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur Arab.13
OMONG KOSONG
"Jangan lupa bahwa kami netral dalam
kata-kata, pikiran, dan perbuatan." --Eugene Rostow, wakil menteri
luar negeri, 196714
FAKTA
Pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut
dengan senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat tidak
pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967. Pemerintahan Johnson
sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian ketika juru bicara Kementerian Luar
Negeri Robert McCloskey mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow
menyangkut kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para wartawan
tidak ada yang percaya. Penegasan semacam itu, jika ditanggapi secara serius,
merupakan suatu berita besar dan Associated Press dengan segera mengirim sebuah
buletin khusus lewat kawat.15
Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan
orang-orang Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato presiden John
Roche begitu marah sehingga dia mengirim sebuah memo langsung kepada presiden
untuk mengajukan protes, "Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada
suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab... Konsekuensi dari usaha
untuk 'berbicara manis' dengan orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak
pada kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat menjadi
asing."16
Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam
pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari pertama perang
itu.17 Dalam laporan
ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari pertama pertempuran itu, penasihat
kemanan nasional Walt Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis
dalam sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan penjelasan,
dengan sebuah peta, tentang serangan hari pertama."18
Dalam kenyataannnya, hubungan antara Amerika Serikat
di bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan
yang diambil sering kali dikoordinasikan dengan Israel dengan mengorbankan
orang-orang Arab. McGeorge Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus
presiden, menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah
memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang ketika dia menyarankan
agar presiden menyampaikan pidato untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk
memastikan kekuatan Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan
kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut. Inilah doktrin Lyndon B.
Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan karenanya juga merupakan doktrin yang
baik untuk diumumkan."19
Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan
kecurigaan bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah memberikan
"lampu hijau" pada keinginan Israel untuk melancarkan perang.
Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa AS berkeinginan, bersama Israel, untuk
menjatuhkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan
pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di Washington, di mana
perang yang semakin hebat berkecarnuk di Vietnam menyedot seluruh perhatian.
Lebih-lebih, tidak tampak adanya kolusi.
Tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson
setidak-tidaknya memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk
berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya dengan semacam
rencana kolusif. Ahli Timur Tengah William Quandt, mantan anggota Dewan
Keamanan Nasional di bawah Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada
sepanjang seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyirnpulkan dalam
sebuah telaah pada 1992: "Dengan adanya semua informasi ini, sekarang
menjadi mungkin untuk memutuskan perdebatan lampu merah versus lampu hijau.
Kedua pandangan itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting."
Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk menghalangi Israel
agar tidak melancarkan perang pada bulan Mei --"lampu merah"-- namun
kemudian menyadari bahwa Amerika Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel
yang sudah berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya sendiri.
Pada tahap ini pemerintah memberikan pada Israel "lampu kuning," yang
berarti, dalam kata-kata Quandt, "Presiden menyetujui tanpa bantahan
keputusan Israel untuk memulai perang lebih dulu." Tambah Quandt:
"Pendeknya, pada hari-hari yang menentukan sebelum Israel mengambil
keputusan untuk berperang, lampu dari Washington beralih dari merah ke kuning.
Lampu itu tidak pernah berubah menjadi hijau, tetapi kuning sudah cukup bagi
orang-orang Israel untuk mengetahui bahwa mereka dapat beraksi tanpa
mengkhawatirkan reaksi Washington."20
Sebuah contoh jelas tentang bagaimana para pejabat AS
dan Israel bekerja sama selama perang itu terjadi di Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Duta Besar Israel untuk PBB, Gideon Rafael, ingat bahwa Duta
Besar AS Arthur Goldberg "sangat khawatir tentang Israel dan ekuasi militernya."
Goldberg memanggil Rafael dan bertanya: "Gideon, apa yang kau ingin
kulakukan?"21 Rafael
berkata bahwa yang dibutuhkan Israel adalah waktu untuk menghindar agar Dewan
Keamanan tidak mengeluarkan resolusi gencatan senjata sementara pasukan Israel
tengah mencatat kemenangan dramatis pada hari-hari pertama perang. Untuk
mencapai tujuan ini, dia ingin Goldberg menghindari pertemuan dengan rekannya
dari Soviet, Nikolai Federenko. Rafael mengatakan pada Goldberg: "Kau
tidak boleh terlalu mudah ditemui selama beberapa hari mendatang." Dan
Goldberg menurut.22
OMONG KOSONG
"Dapat disimpulkan secara jelas dan tanpa sangsi
dari bukti-bukti dan dari perbandingan antara catatan-cacatan harian perang
bahwa serangan atas USS Liberty bukanlah suatu kejahatan; tidak ada kealpaan
kriminal dan serangan itu dilakukan semata-mata karena kesalahan yang tidak
disengaja." --Pernyataan pemerintah Israel, 196723
FAKTA
Pada suatu Siang yang cerah tanggal 8 Juni, tanpa
adanya pertempuran yang berlangsung di dekatnya, pesawat-pesawat perang dan
perahu-perahu torpedo Israel berulang kali menyerang kapal intelijen AS Liberty
di pantai Sinai, membunuh 34 awak kapalnya dan mencederai 171 orang. Dalam
serangan itu digunakan napalm, roket-roket, senjata-senjata mesin, dan torpedo.
Serangan itu sebelumnya didahului dengan upaya pengintaian oleh pesawat-pesawat
Israel selama setidak-tidaknya lima setengah jam, pada waktu kapal itu
mengibarkan bendera baru yang melambai bebas diterpa angin sepoi.24
Meskipun selama tahun-tahun itu Israel tetap berkeras
bahwa kasus tersebut merupakan suatu kekeliruan identitas dan suatu kecelakaan,
banyak bukti yang dengan kuat mendukung tuduhan bahwa Israel sengaja menyerang
kapal intelijen itu, sebab ia khawatir Liberty akan memonitor
persiapan-persiapan Israel untuk menyerang Dataran Tinggi Golan pada hari
berikutnya. Pemerintahan Johnson menerima pernyataan Israel bahwa serangan itu
adalah akibat identifikasi yang keliru. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Johnson
selalu mengelak untuk membicarakan kejadian itu, dengan menyatakan dalam
memoarnya bahwa hanya ada sepuluh orang yang meninggal dalam serangan tersebut.25 Itu adalah
indikasi jelas bagaimana Johnson berkolusi dengan Israel.
Hingga 1991, orang-orang yang selamat dalam serangan
itu menuduh pemerintah AS masih selalu menutup-nutupi peran Israel. Tulis James
Ennes, seorang letnan yang berjaga di atas anjungan pada hari terjadinya
serangan itu: "Selubung resmi yang dipasang untuk menutupi cerita ini
masih sama kuatnya dengan yang digunakan pertama kali dulu." Dan tetap
demikian meskipun dalam kenyataannya para mantan pejabat seperti Menteri Luar
Negeri Dean Rusk dan Pemimpin Gabungan Kepala Staf Laksamana Thomas Moore telah
menulis catatan yang menyalahkan Israel karena menyerang Liberty secara
sengaja.
Kata-kata Rusk dalam memoarnya: "Saya tidak
pernah puas dengan penjelasan Israel... Saya tidak percaya pada mereka waktu
itu, dan saya tidak mempercayai mereka hingga hari ini. Serangan itu sungguh
kotor." Simpul Ennes: "Namun, meskipun ada pendapat-pendapat kuat
dari para pemimpin, tidak ada satu pejabat pun yang masih duduk dalam
pemerintahan pernah melakukan usaha yang nyata untuk meluruskan catatan itu."26
Baru pada 8 Juni 1991 orang-orang yang selamat itu
akhirnya mendapatkan tanda penghargaan dari presiden yang ditandatangani oleh
Johnson pada 1967 namun baru diserahkan pada waktu itu.27 Lalu pada 6
November 1991, kolumnis Rowland Evans dan Robert Novak akhirnya mengetahui
bahwa kedutaan besar AS di Beirut telah menangkap saluran radio Israel di mana
pilot Israel melaporkan: "Itu sebuah kapal Amerika." Komando Israel
mengabaikan laporan itu dan memerintahkan pilot untuk melancarkan serangan.
Evans dan Novak menyimpulkan bahwa Israel menyerang "sebab Liberty akan
dapat mendengar setiap kata dalam komunikasi antara markas besar IDF dan
unit-unit Israel yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Syria." Serangan
Israel ke Dataran Tinggi Golan berlangsung pada hari berikutnya setelah Israel
membungkam Liberty. Laporan itu dikonfirmasi oleh Dwight Porter, yang menjadi
duta besar Amerika untuk Lebanon pada waktu itu.28 Dengan
demikian, setelah dua puluh empat tahun, kebenaran akhirnya muncul.
Catatan kaki:
1 Cockburn, Dangerous Liaison,
145.
2 Eban, "Statement to the General
Assembly by Foreign Minister Eban,19 June 1967," dikutip dalam Medzini, Israel's
Foreign Relations, 2: 803.
3 William B. Quandt, "Lyndon Johnson
and the June 1967 War: What Color Was the Light?" The Middle East
Journal, Musim Semi 1992.
4 John Law, "A New Improved
Myth;" Middle East International, 12 Juli 1991.
5 Semua kutipan dalam paragraf ini
berasal dari Cockburn, Dangerous Liaison, 153-54. Juga lihat Richard B.
Parker, "The June War: Whose Conspiracy?" Journal of Palestine
Studies, Musim Panas 1992; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine
Problem, 897.
6 Rabin, Rabin Memoirs, 75. Juga
lihat Sheldon L. Richman, "'Ancient History:' U.S. Conduct in the Middle
East since World War II and the Folly of Intervention;' pamflet Cato Institute,
16 Agustus 1991, 20.
7 Neff, Warriors for Jerusalem,
140.
8 Quigley, Palestine and Israel,
170.
9 Kedutaan besar Tel Aviv untuk
Kementerian Luar Negeri, telegram 3928 (rahasia), 5 Juni 1967 (diungkapkan pada
13 Desember 1982), dikutip dalam Green, Taking Sides, 218-19.
10 Moskin, Among
Lions, 308.
11 Neff, Warriors
for Jerusalem, 233.
12 Nyrop, Israel,
xix. Juga lihat Epp, Whose Land Is Palestine? 185; Foundation for Middle
East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories,
Juli 1991.
13 Halabi, The West
Bank Story, 35-36. Juga lihat Hirst, "Rush to Annexation: Israel in
Jerusalem," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1974; Neff, Warriors
for Jerusalem, 289-90.
14 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213; Bar-Zohar, Embassies in Crisis, 220.
15 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213.
16 Roche pada
Presiden, "EYES ONLY memorandum," 6 Juni 1967, Johnson Library,
dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 222.
17 Neff, Warriors
for Jerusalem, 213.
18 Rostow untuk
Presiden, 5 Juni 1967 (rahasia).
19 Bundy kepada
Presiden, memorandum, "The 6: 30 Meeting," jam 6: 15 pagi, 9 Juni
1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 273.
20 Quandt,
"Lyndon Johnson and the June 1967 War."
21 Moskin, Among
Lions, 117-19.
22 Ibid., 119.
23 Ennes, Assault
on the Liberty, 156-57.
24 Ibid., 52-53.
25 Johnson, The
Vantage Point, 300.
26 James M. Ennes,
Jr., "Victims of 1967 Attack Honored, Israeli Motives Still
Uninvestigated," Washington Report on Middle East Affairs, Mei/Juni
1991.
27 Bill McAllister, Washington
Post, 15 Juni 1991.
28 Rowland Evans dan
Robert Novak, Washington Post, 6 November 1991.
ENAM
RESOLUSI PBB 242
Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB
pada 22 November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik
Arab-Israel.1 Resolusi itu
menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang"
dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian --tanah
bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya pasukan dari wilayah Mesir, Yordania,
dan Syria yang direbut dalam perang 1967, Israel diberi janji perdamaian oleh
negara-negara Arab. Resolusi itu menjadi landasan bagi penyelenggaraan
pembicaraan-pembicaraan damai antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai
di Madrid, Spanyol, pada 1991.
OMONG KOSONG
"Baik dokumen internasional ini [gencatan
senjata 1949 antara Israel dan Yordania] maupun Resolusi 242 tidak menjadi
penghalang bagi klaim dasar Rakyat Yahudi bahwa Tanah Israel secara sah
dimiliki oleh Rakyat Yahudi." --Menachem Begin, perdana menteri
Israel, 19772
FAKTA
Konfrontasi besar mengenai penafsiran tentang Resolusi
242 Dewan Keamanan PBB pecah antara Amerika Serikat dan Israel setelah Menachem
Begin berkuasa pada 1977. Meskipun pemerintahan Israel sebelumnya menerima
dapat diterapkannya resolusi itu pada semua wilayah --Sinai, Tepi Barat,
termasuk Jerusalem Timur milik Arab, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan-- Begin
berargumen bahwa resolusi itu tidak mencakup Tepi Barat milik Yordania, atau
Judea dan Samaria, sebagaimana dia selalu menyebutnya. Ketika Begin
pertama-tama menyatakan secara terbuka bahwa Resolusi 242 tidak membatalkan
klaim Israel atas Tepi Barat, Kementerian Luar Negeri AS segera menanggapi
dengan pernyataan terbuka: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti
penarikan mundur pada ketiga garis depan dalam pertikaian Timur Tengah... Ini
berarti bahwa tidak ada wilayah termasuk Tepi Barat yang secara otomatis
dilepaskan dari pokok-pokok yang harus dirundingkan."3
Sebuah telaah Kementerian Luar Negeri pada 1978
mengenai masalah itu, yang dibuat setelah Begin tetap mempertahankan penafsiran
uniknya, menyimpulkan: "Kami telah meriset catatan-catatan mengenai
perundingan-perundingan terbuka dan tertutup yang menyebabkan diterimanya
Resolusi 242, dan penjelasan-penjelasan tentang pemungutan suara dalam
penerimaannya, dan kami berkesimpulan bahwa tidak ada keraguan sama sekali
bahwa para anggota Dewan, dan Israel... mempunyai inti pemahaman yang sama
bahwa prinsip penarikan itu berlaku untuk ketiga garis depan."4
Pendapat ini di kemudian hari didukung secara
otoritatif oleh pengarang resolusi, Lord Caradon dari Inggris, yang menulis:
"Resolusi ini memerintahkan penarikan mundur dari wilayah-wilayah
pendudukan. Persoalannya adalah wilayah-wilayah mana yang diduduki. Sama sekali
tidak ada keraguan dalam persoalan ini. Adalah suatu kenyataan yang sangat
jelas bahwa Jerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Golan, dan Sinai diduduki dalam
konflik tahun 1967; penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan itulah yang
ditetapkan dalam Resolusi itu."5
Para pejabat AS telah berkali-kali mengulangi
pernyataan ini secara terbuka. Pada Juni 1977, pemerintahan Carter mengeluarkan
pernyataan tentang pandangan-pandangannya mengenai unsur-unsur dari suatu
perdamaian komprehensif. Pernyataan itu secara jelas menyatakan bahwa Israel,
"dalam ketentuan Resolusi 242, untuk mengembalikan... perdamaian, jelas
harus menarik diri dari wilayah-wilayah yang diduduki. Kami berpendapat
resolusi itu berarti penarikan dari ketiga garis depan yaitu, Sinai, Golan,
Tepi Barat-Gaza... Tidak ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis
tidak termasuk pokok-pokok yang akan dirundingkan."6 Lebih dari
satu dasawarsa kemudian, Menteri Luar Negeri George Shultz berkata:
"Ketetapan-ketetapan Resolusi 242 berlaku untuk semua garis depan."7
OMONG KOSONG
"[Resolusi PBB 242] berbicara tentang
penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan tanpa mendefinisikan ruang lingkupnya."
--Arthur Goldberg, duta besarAS untuk PBB, 19738
FAKTA
Terdapat makna ganda yang disengaja dalam Resolusi
242. Yakni dalam frasa yang mengatakan "dari wilayah-wilayah" dan
bukannya "semua" wilayah. Tujuan dari frasa itu adalah memungkinkan
dibuatnya penyesuaian-penyesuaian perbatasan yang akan meralat jalur-jalur zigzag
yang ditinggalkan menjelang akhir pertempuran pada 1948. Jerusalem Timur milik
Arab tidak secara spesifik disebutkan dalam resolusi melainkan dianggap oleh
semua negara kecuali Israel sebagai yang termasuk dalam paragraf pembukaan yang
menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui
perang."9
Meskipun terdapat makna ganda, Raja Hussein dari
Yordania berulang kali meyakinkan para pejabat tinggi AS pada hari-hari sebelum
dikeluarkannya resolusi itu bahwa yang diharapkan hanyalah perubahan-perubahan
kecil dalam wilayah itu dan bahwa setiap perubahan akan berlaku timbal balik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri Dean Rusk kepada Hussein pada 6
November, enam hari sebelum dikeluarkannya resolusi: "Amerika Serikat siap
mendukung dikembalikannya sebagian besar dari Tepi Barat kepada Yordania dengan
penyesuaian-penyesuaian perbatasan, dan akan menggunakan pengaruhnya untuk
mendapatkan kompensasi bagi Yordania atas setiap wilayah yang harus
dilepaskannya." Sebagai ilustrasi, Rusk mengatakan kepada Hussein bahwa
jika Yordania melepaskan sedikit wilayah antara Jerusalem dan Tel Aviv yang
dikenal sebagai Latrun Salient, "Amerika Serikat akan menggunakan pengaruh
diplomatik dan politiknya untuk mendapatkan akses bagi Yordania ke sebuah
pelabuhan Laut Tengah di Israel sebagai kompensasi." Hussein menerima
jaminan yang sama dari Presiden Johnson dan Duta Besar AS Arthur Goldberg.10
Semua pemerintahan sejak Johnson telah mengulangi
jaminan itu kepada Raja Hussein. Misalnya, pada Januari 1983 menteri luar
negeri pemerintahan Reagan, George Shultz, menulis dalam sebuah surat untuk
Hussein bahwa "sesuai dengan Resolusi 242, Presiden percaya bahwa wilayah
tidak boleh direbut lewat perang. Namun beliau juga percaya bahwa Resolusi 242
memang, memungkinkan perubahan-perubahan dalam perbatasan yang ada sebelum Juni
1967, namun hanya jika perubahan-perubahan semacam itu disetujui oleh kedua
belah pihak." Shultz menambahkan bahwa "Amerika Serikat menganggap
Jerusalem Timur [milik Arab] sebagai bagian dari wilayah pendudukan."11
Baru dalam pemerintahan Bush, Amerika Serikat mulai
menepati janjinya untuk mendukung resolusi dengan tindakan. Pada awal 1992,
Bush menolak memberi Israel $10 milyar dalam bentuk jaminan pinjaman kecuali
jika Israel berjanji akan menghentikan sama sekali seluruh aktivitas pemukiman
di wilayah-wilayah pendudukan dan mau berunding mengenai landasan Resolusi 242.12 Namun, di
tengah kampanye kepresidenan tahun 1992 dan berkuasanya Yitzhak Rabin, Bush
melunak dan menyerahkan jaminan itu, dengan meniadakan hampir semua syarat.
OMONG KOSONG
"[Resolusi PBB 242] memerlukan
perundingan-perundingan antara kedua belah pihak." --Yitzhak Rabin,
perdana menteri Israel, 197913
FAKTA
Tidak ada disebut-sebut tentang
perundingan-perundingan langsung dalam resolusi itu atau perlunya diadakan
perundingan-perundingan sebelum ditariknya pasukan Israel.
Dalam Resolusi itu hanya dinyatakan "meminta
Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang wakil khusus untuk pergi ke Timur
Tengah guna menjalin dan menjaga kontak dengan negara-negara yang
berkepentingan, untuk mencapai persetujuan dan membantu usaha-usaha mencari
penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prinsip dalam resolusi ini."
Para pejabat AS diam-diam setuju dengan Israel bahwa
harus diadakan perundingan-perundingan untuk mengawali penarikan Israel dari
wilayah-wilayah yang direbut dalam perang. Tapi persepsi mereka tentang
perundingan-perundingan itu sangat berbeda dari keyakinan Israel di kemudian
hari.
Para pejabat AS secara naif beranggapan bahwa begitu
resolusi PBB diterima, hanya perundingan-perundingan teknis dan singkat sajalah
yang diperlukan antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya untuk melaksanakan
rincian-rincian dari penarikan Israel. Mereka meyakinkan negara-negara Arab
bahwa demikianlah permasalahannya, dan negara-negara Arab selanjutnya berkeras
bahwa Israel harus menarik diri tanpa syarat. Namun Israel berkeyakinan bahwa
perundingan-perundingan itu harus mencakup semua aspek dari penarikan dan
perdamaian, termasuk penempatan kembali bukan hanya para pengungsi Palestina
melainkan para pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab juga.14
Karena masalah khusus menyangkut
perundingan-perundingan pendahuluan itulah maka Israel mogok melaksanakan
resolusi selama enam tahun. Amerika Serikat berulang kali mendesak Israel untuk
menarik diri tanpa perundingan-perundingan terinci tetapi Israel menolak, dan
mendesak diadakannya perundingan-perundingan langsung. Pada 9 Juni 1970,
Menteri Luar Negeri William Rogers mengecam pendirian Israel dengan mengatakan:
"Israel harus menjelaskan bahwa ia menerima prinsip penarikan sebagaimana
dinyatakan dalam resolusi Dewan Keamanan bulan November 1967 dan bahwa ia tidak
lagi mendesakkan rumusan 'perundingan-perundingan langsung tanpa
prasyarat.'"15 Namun Israel
menolak.
Perang pecah pada 1973 ketika Mesir dan Syria berusaha
mendobrak kemacetan diplomatik dengan serangan militer atas wilayah Arab yang
dikuasai Israel. Masalah perundingan-perundingan awal akhirnya terselesaikan
pada akhir perang 1973 dengan keluarnya Resolusi PBB 338, yang menyatakan bahwa
"perundingan-perundingan akan dimulai oleh kedua belah pihak yang
berkepentingan dengan dukungan selayaknya demi tercapainya perdamaian yang adil
dan abadi di Timur Tengah."16 Tetapi,
setelah memenangkan soal itu, Israel lantas mulai berkeras bahwa penarikan
tidak berarti dari semua garis depan. Ia tetap mempertahankan penafsiran unik
atas Resolusi 242 itu hingga hari ini.
Catatan kaki:
1 Teks resolusi itu
terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions, 1:143. Juga lihat
Rafael, Destination Peace, 198; Brecher, Decisions in Israel's Foreign
Policy, 487-90.
2 Medzini, Israel's
Foreign Relations, 4:14. Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri AS
menyatakan tentang komentar Begin: "Dalam sebuah wawancara televisi Israel
pada 23 Juni [1977], Begin menyatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara
desakan Israel atas haknya untuk mempertahankan Tepi Barat secara permanen dan
Resolusi 242." Noring dan Smith, "The Withdrawal Clause in UN
Security Council Resolution 242 of 1967" (Februari 1978): 47. Telaah
Noring dan Smith tetap digolongkan rahasia/NODIS ("no distribution")
namun banyak sekali dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, Bab 25,
"Passage of U.N. Resolution 242." Teks itu terdapat dalam Medzini, Israel's
Foreign Relations, 4:15-16.
3 Noring dan Smith,
"The Withdrawal Clause," 47.
4 Ibid., 53-54.
5 Lord Caradon et al.,
UN Security Council Resolution 242 (Washington, D.C.,: Georgetown
University, 1981), 9.
6 Teks ini terdapat dalam
Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 617-18,
dan New York Times, 28 Juni 1977. Juga lihat Quandt, Camp David,
73.
7 Boudrealt et al,
U.S. Official Statements Regarding UN Resolution 242 (Washington, D.C.:
The Institute for Palestine Studies, 1992), 129.
8 Bard dan Himelfarb, Myths
and Facts, 67.
9 Lihat Mallison, The
Palestinian Problem in International Law and World Order, 220.
10 Noring dan Smith,
"The Withdrawal Clause," 12-13, dikutip dalam Neff, Warriors for
Jerusalem, 342.
11 Neff, Warriors
for Jerusalem, 349.
12 New York Times,
25 Februari 1992.
13 Rabin, The Rabin
Memoirs, 137.
14 Lihat
"Saunders to W.W. Rostow, memorandum rahasia, 'Eshkol's Knesset Speech
Yesterday,' 31 Oktober 1967," dan dokumen-dokumen lain yang dikutip dalam
Neff, Warriors for Jerusalem, 338-39.
15 Boudrealt et al., U.S.
Official Statements Regarding UN Resolution 242,122.
16 Teks itu terdapat
dalam Tomeh, United Nations Resolutions, 1: 151.
Diplomasi Munafik ala Yahudi -
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel oleh Paul Findley
Judul Asli: Deliberate Deceptions:
Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship by Paul Findley
Terbitan Lawrence Hill Brooks, Brooklyn, New York 1993
Penterjemah: Rahmani Astuti, Penyunting: Yuliani L.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Dzulhijjah 1415/Mei 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
Tidak ada komentar:
Posting Komentar