PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Senin, 03 Juni 2013

Diplomasi Munafik ala Yahudi Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel



Diplomasi Munafik ala Yahudi
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel
Paul Findley


Buku ini akan mengajak anda merasakan suatu pengalaman yang menggelisahkan dalam menyingkap perilaku ekspansionis dan diskriminatif Israel. Paul Findley, mantan anggota Kongres AS, mencatat pernyataan tokoh-tokoh terkemuka AS dan Israel --seperti Golda Meir, Shimon Peres, Yitzhak Rabin, Henry Kissinger, Al Gore-- serta deklarasi dokumen-dokumen resmi dan berbagai organisasi Zionis dunia, untuk kemudian menelaah dan membuktikan kebohongannya berdasarkan bukti-bukti yang sebagian besar berasal dari sumber-sumber Israel sendiri.
Melalui karyanya ini Paul Findley mengungkap fakta-fakta dibaik kolusi AS dengan Israel dalam melanggar hak-hak asasi manusia di Palestina dan praktek standar ganda pemerintah AS dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah Timur Tengah. Berbagai pernyataan yang anda dengar dan baca di media massa tentang Perang 1948, Krisis Suez 1956, Perang 1967, Perang Atrisi, Invasi Lebanon, bahkan peristiwa terakhir --pemulangan 413 pengungsi Palestina dan pemindahan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem Timur-- akan mendapat perspektif baru yang mengejutkan melalui fakta-fakta yang diuraikan Findley.



SATU
KLAIM-KLAIM ISRAEL ATAS PALESTINA
Israel mendasarkan klaim-klaimnya untuk mendirikan sebuah negara di Palestina atas tiga sumber utama: warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil,1 Deklarasi Balfour yang diumumkan Inggris Raya pada 1917, dan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1947.

OMONG KOSONG
"Atas dasar hak alamiah dan hak kesejarahan kita... dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah Israel-Negara Israel." --Deklarasi Kemerdekaan Israel, 19482

FAKTA
Menurut sejarah, bangsa Yahudi bukanlah penduduk pertama Palestina, pun mereka tidak memerintah di sana selama masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Para ahli arkeologi modern kini secara umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan bangsa Kanaan telah mendiami Palestina sejak masa-masa paling kuno yang dapat dicatat, sekitar 3000 SM hingga sekitar 1700 SM.3 Selanjutnya datanglah penguasa-penguasa lain seperti bangsa-bangsa Hyokos, Hittit, dan Filistin. Periode pemerintahan Yahudi baru dimulai pada 1020 SM dan berlangsung hingga 587 SM. Orang-orang Israel kemudian diserbu oleh bangsa-bangsa Assyria, Babylonia, Yunani, Mesir, dan Syria hingga Hebrew Maccabeans meraih kembali sebagian kendali pemerintahan pada 164 SM. Tetapi, pada 63 SM Kekaisaran Romawi menaklukkan Jerusalem dan pada 70 M menghancurkan Kuil Kedua dan menyebarkan orang-orang Yahudi ke negeri-negeri lain. Ringkasnya, bangsa Yahudi kuno menguasai Palestina atau sebagian besar darinya selama kurang dari enam ratus tahun dalam kurun waktu lima ribu tahun sejarah Palestina yang dapat dicatat --lebih singkat dibanding bangsa-bangsa Kanaan, Mesir, Muslim, atau Romawi.4 Komisi King-Crane AS menyimpulkan pada 1919 bahwa suatu klaim "yang didasarkan atas pendudukan pada masa dua ribu tahun yang lalu tidak dapat dipertimbangkan secara serius."5
Pada 14 Mei 1948, sekitar tiga puluh tujuh orang menghadiri pertemuan Tel Aviv di mana kemerdekaan Israel dinyatakan sebagai "hak alamiah dan historis." Namun para kritikus menuduh bahwa aksi mereka tidak mempunyai kekuatan yang mengikat dalam hukum internasional sebab mereka tidak mewakili mayoritas penduduk pada waktu itu. Sesungguhnya, hanya satu orang di antara mereka yang dilahirkan di Palestina; tiga puluh lima orang berasal dari Eropa dan seorang dari Yaman. Tegas sarjana Palestina Issa Nakhleh: "Minoritas Yahudi tidak berhak untuk menyatakan kemerdekaan suatu negara di atas wilayah yang dimiliki oleh bangsa Arab Palestina."6

OMONG KOSONG
"'Sertifikat kelahiran' internasional Israel disahkan oleh janji dalam Kitab Injil." --AIPAC,*) 19927

FAKTA
Klaim-klaim tentang dukungan ilahiah atas ambisi-ambisi kesukuan maupun kebangsaan sangat lazim ditemukan di masa kuno. Bangsa-bangsa Sumeria, Mesir, Yunani, dan Romawi semuanya menyitir wahyu-wahyu ilahi untuk penaklukan-penaklukan mereka. Sebagaimana dicatat oleh ahli sejarah Frank Epp: "Setiap fenomena dan proses kehidupan dianggap sebagai hasil campur tangan dewa atau dewa-dewa... bahwa sebuah negeri yang baik telah dijanjikan kepada bangsa yang lebih baik oleh dewa-dewa yang lebih tinggi."8 Tidak ada pengadilan atau badan dunia di masa sekarang ini yang akan menganggap sah suatu hak pemilikan yang didasarkan atas klaim yang dinyatakan berasal dari Tuhan.9 Bahkan bagi mereka yang mengartikan restu Injil secara harfiah sebagai restu dari Tuhan, para ahli Injil seperti Dr. Dewey Beegle dari Wesley Theological Seminary menyatakan bahwa bangsa Yahudi kuno tidak berhasil mematuhi perintah-perintah Tuhan dan karenanya kehilangan janji itu.10

OMONG KOSONG
"Hak [bangsa Yahudi untuk melakukan restorasi nasional di Palestina] diakui oleh Deklarasi Balfour." --Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194811

FAKTA
Deklarasi Balfour secara sengaja tidak mendukung pendirian suatu bangsa Yahudi. Deklarasi itu termuat dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris, pada 2 November 1917. Deklarasi itu telah disetujui oleh kabinet Inggris dan dikatakan: "Pemerintah menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini, setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat merugikan hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh bangsa Yahudi di setiap negeri lain."12 Pada 1939 British White Paper secara khusus menyatakan bahwa Inggris "tidak bermaksud mengubah Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi yang bertentangan dengan kehendak penduduk Arab di negeri itu."13

OMONG KOSONG
"[Palestina adalah] tanah air tanpa rakyat bagi rakyat [Yahudi) yang tidak bertanah air." --Israel Zangwill, Zionis senior, c. 189714
FAKTA
Ketika Deklarasi Balfour diumumkan pada 1917 ada kira-kira 600.000 orang Arab di Palestina dan kira-kira 60.000 orang Yahudi.15 Lebih dari tiga puluh tahun selanjutnya rasio itu menyempit ketika imigrasi Yahudi bertambah, terutama akibat adanya kebijaksanaan anti-Semit Adolf Hitler. Namun, menjelang akhir 1947 ketika PBB berencana untuk membagi Palestina, bangsa Arab masih merupakan penduduk mayoritas, dengan jumlah orang Yahudi mencapai hanya sepertiganya --608.225 orang Yahudi berbanding 1.237.332 orang Arab.16 Ketika Max Nordau, seorang Zionis senior dan sahabat Zangwill, mengetahui pada 1897 bahwa ada penduduk asli Arab di Palestina, dia berseru: "Aku tidak tahu itu! Kita tengah melakukan suatu kezaliman!"17
Penduduk Palestina bukan hanya sudah ada di sana, mereka bahkan telah menjadi masyarakat mapan yang diakui oleh bangsa-bangsa Arab lainnya sebagai "bangsa Palestina." Bangsa itu terdiri atas golongan-golongan intelektual dan profesional terhormat, organisasi-organisasi politik, dengan ekonomi agraria yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi cikal bakal industri modern.18 Kata ilmuwan John Quigley: "Penduduk Arab telah mapan selama beratus-ratus tahun. Tidak ada migrasi masuk yang berarti dalam abad kesembilan belas."19

OMONG KOSONG
"Atas dasar... resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah Israel --Negara Israel." --Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194820
FAKTA
Hanya karena tekanan kuat dari pemerintahan Truman sajalah maka Rencana Pembagian PBB diluluskan oleh Majelis Umum pada 29 November 1947, dengan perolehan suara 33 lawan 13 dan dengan 10 abstain dan 1 absen. Di antara bangsa-bangsa yang mengalah pada tekanan AS adalah Prancis, Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksemburg, Paraguay, dan Filipina.21 Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Sumner Welles menulis: "Melalui perintah langsung dari Gedung Putih setiap bentuk tekanan, langsung maupun tak langsung, dibawa untuk disampaikan oleh para pejabat Amerika kepada negara-negara di luar dunia Muslim yang diketahui belum menentukan sikap atau menentang pembagian itu. Para wakil dan perantara dikerahkan oleh Gedung Putih untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan terus dipertahankan."22
Rencana pembagian, yang dinamakan Resolusi 181, membagi Palestina antara "negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan Rezim Internasional Istimewa untuk Kota Jerusalem."23 Calon Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengatakan bahwa resolusi itu mempunyai "kekuatan mengikat," dan Deklarasi Kemerdekaan Israel mengutipnya tiga kali sebagai dasar kebenaran yang sah bagi berdirinya negara itu.24 Namun Majelis Umum, tidak seperti Dewan Keamanan, tidak mempunyai kuasa lebih dari membuat rekomendasi. Ia tidak dapat mendesakkan rekomendasi-rekomendasinya, pun rekomendasi-rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum kecuali untuk masalah-masalah internal PBB.25
Bangsa Palestina, yang memang berhak, menolak rencana pembagian itu sebab rencana tersebut memberikan pada bangsa Yahudi lebih dari separuh Palestina, meskipun dalam kenyataannya mereka itu hanyalah sepertiga penduduk dan hanya memiliki 6,59 persen tanah.26 Di samping itu, bangsa Palestina berkeras bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mempunyai hak yang sah untuk merekomendasikan pembagian jika mayoritas penduduk Palestina menantangnya. Sekalipun demikian, dengan menolak pembagian tidak berarti bangsa Palestina menolak klaim mereka sendiri sebagai suatu bangsa merdeka. Yang mereka tentang adalah negara Yahudi yang didirikan di atas tanah Palestina, bukan hak orang-orang Yahudi sebagai suatu bangsa.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion menasihati para koleganya untuk menerima pembagian itu sebab, katanya pada mereka, "dalam sejarah tidak pernah ada suatu persetujuan final --baik yang berkaitan dengan rezim, dengan perbatasan-perbatasan, dan dengan persetujuan-persetujuan internasional."27
Salah seorang perintis Zionis besar, Nahum Goldmann, mengungkapkan sikap pragmatis dengan cara berbeda: "Tidak ada harapan bagi sebuah negara Yahudi yang harus menghadapi 50 tahun lagi untuk berjuang melawan musuh-musuh Arab."28

OMONG KOSONG
"Aslinya Palestina mencakup Yordania." Ariel Sharon, Menteri Perdagangan Israel, 198929
FAKTA
Dalam sejarah panjang Imperium Islam/Usmaniah, Palestina tidak pernah berdiri sebagai suatu unit geopolitik atau administratif yang terpisah. Ketika daerah di Laut Tengah bagian timur antara Lebanon dan Mesir diambil alih oleh Inggris Raya dari Turki pada akhir Perang Dunia I, bagian-bagian tertentu dari apa yang disebut Palestina berada di bawah wilayah administrasi Beirut sementara Jerusalem menjadi sanjak, sebuah distrik otonom.30 Daerah di sebelah timur sungai Yordan --Transyordan-- adalah, dalam kata-kata sarjana Universitas Tel Aviv Aaron Klieman, "sesungguhnya merupakan terra nullius di bawah kekuasaan bangsa Turki dan dibiarkan tanpa kepastian dalam pembagian Imperium Usmaniah."31
Dalam memulai mandat di Palestina atas nama Liga Bangsa-bangsa pada 1922, Inggris mendapatkan Palestina dan Transyordan ke arah timur hingga Mesopotamia, yang menjadi Irak. Sekarang wilayah yang sama berarti mencakup Israel, Yordania, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem. Pada Desember 1922, Inggris menyatakan pengakuannya atas "eksistensi suatu Pemerintahan konstitusional yang merdeka di Transyordan." Dan pada 1928 dinyatakan secara khusus bahwa Palestina adalah daerah di sebelah barat sungai Yordan.32 Hanya di Palestina sajalah Inggris beranggapan bahwa janjinya dalam Deklarasi Balfour dapat diterapkan untuk membantu mendirikan suatu tanah air Yahudi.
Catatan kaki:
1 Lihat, misalnya, Kitab Kejadian 15:18, 'Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman, 'Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai besar, sungai Efrat.'"
2 Ben-Gurion, Israel, 80. Teks deklarasi itu dicetak kembali di hlm. 79-81.
3 Bright, A History of Israel, 17-18. Lihat juga Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 953-70.
4 Epp, Whose land is Palestine?, 39-40. Juga lihat The New Oxford Annotated Bible, 1549-50; Beatty, Arab and Jew in the Land of Canaan, 85.
5 Grose, Israel in the Mind of America, 88-89. Kutipan-kutipan dari laporan Komisi King-Crane terdapat dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 213-18, dan Laqueur dan Rubin, The Israel-Arab Reader, 34-42.
6 Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 4.
*) AIPAC adalah American Israel Public Affairs Committe, lobi utama yang mendukung Israel di Amerika Serikat
7 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 1.
8 Epp, Whose Land Is Palestine?, 38, 41.
9 Guillaume, Zionists and the Bible, 25-30, dicetak ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest. Lihat juga Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 953-70.
10 Dewey Beegle, wawancara dengan penulis, 12 Januari 1984.
11 Ben-Gurion, Israel, 80.
12 Sanders, The High Walls of Jerusalem, 612-13.
13 Sachar, A History of Israel, 222.
14 Dikutip dalam Elon, The Israelis, 149.
15 Palestine: Blue Book, 1937 (Jerusalem: Government Printer, 1937), dikutip dalam Epp, Whose Land Is Palestine?, 144. Lihat juga Khalidi, From Haven to Conquest, Lampiran 1.
16 Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan subkomite kepada Komite Khusus untuk Palestina, A/AC al/32, dicetak ulang dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 675.
17 Sachar, A History of Israel,163.
18 Said et al., "A Profile of the Palestinian People," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victimis,135-37.
19 Quigley, Palestine and Israel, 73. Lihat juga Khalidi, Before Their Diaspora; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, terutama Bab 1 dan Bab 2.
20 Ben-Gurion, Israel, 80.
21 Sheldon L. Richman, "'Ancient History': U.S. Conduct in the Middle East since World War II and the Folly of intervention," pamflet Cato Institute, 16 Agustus 1991.
22 Welles, We Need Not Fail, dikutip dalam ibid. Lihat juga Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving Day at Lake Success, November 17, 1947;" Carlos P. Romulo, "The Philippines Changes Its Vote;" dan Kermit Roosevelt, "The Partition of Palestine: A Lesson in Pressure Politics," semuanya dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 709-22, 723-26, 727-30, secara berturut- turut.
23 Teks Resolusi 181 (II) terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 4-14.
24 Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 171.
25 Quigley, Palestine and Israel, 47.
26 Cattan, Palestine, the Arabs, and Israel, 29; John Ruedy, "Dinamics of Land Alienation," dalam Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 125, 134; Said, The Question of Palestine, 98.
27 David Ben-Gurion, War Diaries, dikutip dalam Flapan, The Birth of1srael, 13.
28 Findley, They Dare to Speak Out, 273.
29 Sharon, Warrior, 246.
30 Ibrahim Abu-Lughod, "Territorially-based Nationalism and the Politics of Negation" dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims, 195.
31 Klieman, Foundations of British Policy in the Arab World, 68.
32 Ibid., 234-35. Lihat juga Fromkin, A Peace to End All Peace, 560.


DUA
PERANG 1948

Rencana Pembagian PBB tahun 1947 untuk Palestina merekomendasikan berdirinya negara-negara Yahudi dan Palestina. Pasukan Yahudi terjun ke lapangan hampir seketika itu juga, dengan cepat mengamankan wilayah-wilayah yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi dan kemudian meluaskannya ke bagian-bagian Palestina yang diperuntukkan bagi bangsa Palestina. Perang itu berlangsung selama satu tahun, hingga 6 Januari 1949. Bagian pertama ditandai dengan pasukan regular Yahudi yang melawan pasukan Arab nonregular dan bagian kedua ditandai dengan peperangan antara unit-unit Yahudi dan lima angkatan bersenjata Arab yang memasuki Palestina sehari setelah berdirinya Israel pada 14 Mei 1948.1

OMONG KOSONG
"Kami, tentu saja, sama sekali tidak siap untuk perang." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 19752
FAKTA
Rencana-rencana Israel untuk berperang dimulai dengan bersungguh-sungguh pada hari dikeluarkannya Rencana Pembagian PBB pada 29 November 1947. Semua orang Yahudi yang berumur tujuh belas hingga dua puluh lima diperintahkan untuk mendaftar pada dinas militer.3 Pada 5 Desember, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memerintahkan "aksi segera" untuk memperluas pemukiman Yahudi di tiga daerah yang diserahkan oleh PBB kepada negara Arab Palestina.4 Menjelang pertengahan Desember mereka mulai mengorganisasikan aksi militer melawan orang-orang Arab di Palestina dengan strategi yang diuraikan dalam Rencana Militer Gimmel. Tujuan Rencana Gimmel adalah mengulur-ulur waktu bagi mobilisasi kekuatan Yahudi dengan merebut titik-titik strategis yang dikosongkan oleh Inggris dan untuk meneror penduduk Arab agar menyerah.5 Serangan besar Yahudi yang pertama berlangsung pada 18 Desember ketika pasukan Palmach ("assault companies"), pasukan penggempur dari angkatan bersenjata bawah tanah Yahudi, Haganah, menyerang desa Palestina Khissas di bagian utara Galilee dalam suatu serangan malam, dan membunuh lima orang dewasa dan lima anak-anak serta melukai lima lainnya.6
Christopher Sykes, seorang pengamat Inggris masa itu, mencatat bahwa serangan Khissas mewakili suatu tahap baru dalam perang, dengan ciri yang berubah dari "serangan acak dan serangan balasan menjadi serangan dan kekejaman yang lebih diperhitungkan."7 Pada 9 Desember, Ben-Gurion memerintahkan agar pasukan Yahudi menyerang dengan agresif: "Dalam setiap serangan harus dilancarkan sebuah pukulan mematikan yang mengakibatkan hancurnya rumah-rumah dan terusirnya penduduk."8 Dengan demikian pada saat lima pasukan Arab memasuki Palestina pada 5 Mei 1948, kaum Zionis telah melaju dalam pelaksanaan rencana-rencana perang mereka.

OMONG KOSONG
"Perang total dipaksakan pada bangsa Yahudi." --Jacob Tzur, Zionism, 19779
FAKTA
Angkatan bersenjata Israel sudah bergerak dalam waktu beberapa minggu setelah Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Aksi militer yang diorganisasi oleh kaum Zionis dimulai pada pertengahan Desember dengan Rencana Gimmel.10 Menjelang awal Maret 1948, orang-orang Yahudi berusaha melaksanakan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah diserahkan melalui Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada negara Palestina yang diimpikan.11 Dengan demikian, menjelang 15 Mei ketika lima angkatan bersenjata Arab memasuki Palestina, Israel telah menaklukkan bagian-bagian penting dari wilayah Palestina di luar negaranya sendiri yang telah ditetapkan oleh PBB.12
Sebaliknya, baru pada 30 April 1948 untuk pertama kalinya para kepala staf angkatan bersenjata Arab bertemu untuk membuat rencana intervensi militer. Bahkan pada waktu yang telah terlambat ini, tambah ahli sejarah Israel Simha Flapan, "para pemimpin Arab masih berusaha keras untuk menemukan rumusan penyelamat muka yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan melancarkan aksi militer."13 Pada 13 Mei, Duta Besar AS untuk Mesir melaporkan mengenai moral orang-orang Arab yang rendah, sambil menambahkan: "Kalangan yang tahu cenderung setuju bahwa orang-orang Arab kini akan menerima hampir semua alasan penyelamat muka apa saja jika itu dapat mencegah perang terbuka."14
Tujuan perang Yordania bukanlah melawan negara Yahudi atau rencana pembagian --yang diterima dengan syarat--melainkan melawan usaha-usaha Israel untuk mencaplok bagian-bagian Palestina yang tidak termasuk milik Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB. Akibatnya, seperti dicatat oleh ahli sejarah Israel Abraham Sela, "semua peperangan dengan Legiun Arab [Yordania] dilancarkan di daerah-daerah di luar wilayah negara Yahudi... termasuk yang dilancarkan di Jerusalem."15
Pada 1 Juni, delegasi PBB Israel mengeluarkan suatu pernyataan yang melaporkan bahwa dalam dua minggu pertempuran sejak kemerdekaan Israel, negara baru itu telah menguasai 400 mil persegi di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan untuknya melalui rencana pembagian dan bahwa tidak ada pertempuran yang berlangsung di dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan PBB untuk Israel. Komunike itu menyatakan: "Wilayah Negara Israel sepenuhnya terbebas dari penyerang."16

OMONG KOSONG
"[Bangsa Arab mempunyai] keunggulan mutlak dalam persenjataan, dan keunggulan yang luar biasa dalam potensi, sukarelawan, atau sumber daya manusia dari para wajib militer." --Yigal Allon, wakil perdana menteri Israel, 197017
FAKTA
Orang-orang Yahudi di Palestina selalu mempunyai senjata-senjata yang lebih baik dan lebih banyak dibanding orang-orang Palestina atau orang-orang Arab lainnya di negara-negara tetangga. Sementara baik Arab maupun Yahudi secara resmi menghadapi embargo pembelian senjata dari Amerika Serikat dan sebagian besar negara Barat lainnya, orang-orang Yahudi secara sembunyi-sembunyi menerima pasokan-pasokan besar persenjataan dari Cekoslowakia sejak awal 1948. Satu kontrak saja bisa mencakup 24.500 pucuk senapan, 5.000 senjata mesin ringan, 200 senjata mesin medium, 54 juta rentetan amunisi, dan 25 pesawat perang Messerschmitt.18 Menjelang dimulainya perang unit-unit terorganisasi pada 15 Mei 1948, orang-orang Israel telah mampu menyediakan 800 kendaraan bersenjata melawan 113 milik gabungan negara-negara Arab, dan 787 mortir dan 4 senjata medan tempur melawan 40 mortir dan 102 senjata pihak Arab.19
Pada saat yang sama, pasokan senjata utama lainnya bagi orang-orang Yahudi datang dari para Zionis Amerika di Amerika Serikat yang melanggar embargo senjata AS. Pasokan-pasokan semacam itu termasuk dari Institut Sonneborn, sekelompok orang kaya Amerika-Yahudi yang diketuai oleh Rudolf G. Sonneborn, seorang industrialis-jutawan New York .20 Dua lainnya adalah joint Distribution Committee and Service Airways, yang diketuai oleh orang Yahudi-Amerika Adolph ("Al") William Schwimmer, mantan ahli mesin penerbangan TWA.21 Pemain utama lainnya adalah seorang kelahiran Austria, Teddy Kollek, yang mengetuai pembelian-pembelian senjata bawah tanah Israel di New York dan di kemudian hari menjadi walikota Jerusalem Barat yang masuk wilayah Yahudi.22
Schwimmer dan perusahaan penerbangannya adalah salah satu dari sedikit kelompok bawah tanah Yahudi yang benar-benar dituntut karena perdagangan gelap mereka; dia dinyatakan bersalah di pengadilan federal Los Angeles pada 1950 dan didenda $ 10.000 karena mengekspor pesawat-pesawat udara dan suku cadang untuk Israel dan negara-negara lain. Schwimmer lalu menjadi kepala perusahaan pesawat terbang Israel, Israel Aircraft Industries, dan tampil lagi pada 1985 sebagai seorang pemain utama dalam skandal terburuk pemerintahan Reagan, skandal Iran-Contra.23

OMONG KOSONG
"Musuh-musuh kami telah gagal mengalahkan kami melalui kekuatan bersenjata meskipun jumlah mereka jauh melebihi kami, dua puluh berbanding satu." --Chaim Weizmann, presiden sementara Israel, 194824
FAKTA
Jumlah pasukan bersenjata Yahudi yang telah terlatih jauh melebihi jumlah seluruh pasukan yang diterjunkan ke medan perang oleh lima negara Arab pada 15 Mei 1948, dan keadaan demikian terus berlanjut. Di garis depan, pasukan bersenjata Israel berjumlah 27.400 orang sedangkan dari negara-negara Arab 13.876 orang yang berasal dari Mesir 2.800 orang; Irak 4.000 orang; Lebanon 700 orang; Syria 1.876 orang; dan Transyordan 4.500 orang.25 Pada waktu itu, 18 Mei, dinas intelijen angkatan bersenjata AS memperkirakan ada kekuatan 40.000 pasukan Yahudi dan 50.000 milisi melawan 20.000 pasukan Arab dan 13.000 gerilya.26 Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyatakan: "Jumlah pasukan Israel tidak kalah besar. Meskipun terdapat perbedaan dalam perkiraan mereka, terutama menyangkut jumlah pasukan Yahudi, banyak pengamat sepakat tentang fakta ini."27

OMONG KOSONG
"[Orang-orang Arab demikian kuatnya pada 1948 sehingga] banyak ahli militer mengira bahwa Israel akan segera terkalahkan." --Terrence Prittie dan B. Dineen, The Double Exodus, 197628
FAKTA
Israel memiliki banyak kelebihan dalam hal pasukan dan persenjataan sehingga tidak pernah ada keraguan di kalangan para pengamat bahwa Israel akan memenangkan perang. Menteri Luar Negeri George Marshall memberitahu kedutaan-kedutaan besar AS sehari sebelum perang dimulai bahwa angkatan bersenjata Arab sangat lemah dan bukan tandingan bagi Israel. Kekhawatirannya yang terbesar adalah bahwa "jika orang-orang Yahudi menuruti nasihat kaum ekstremis mereka yang lebih menyukai kebijaksanaan yang menghinakan bangsa Arab, setiap Negara Yahudi yang akan didirikan hanya mampu bertahan dengan bantuan terus-menerus dari luar negeri."29 Pada 13 Mei, dua hari sebelum perang, kedutaan besar AS di Mesir melaporkan bahwa pasukan Arab belum berhasil mendapatkan senjata dari luar negeri dan bahwa moral mereka sangat rendah, sambil menambahkan: "Angkatan bersenjata Arab dikhawatirkan akan dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Yahudi."30
Raja Yordania Abdullah telah berulangkali memperingatkan: "Pasukan Yahudi terlalu kuat --adalah keliru jika kita ikut berperang."31 Pasha Glubb yang legendaris dari Inggris Raya, ketua Legiun Arab Yordania, di kemudian hari mengingatkan: "Saya tidak melewatkan kesempatan untuk memberi informasi [pada pemerintah Yordania] bahwa Transyordan tidak mempunyai cukup sumber untuk berperang melawan negara Yahudi."32 Menurut laporan ahli sejarah Israel Simha Flapan: "Perkiraan Agen Yahudi tentang tujuan dan kapasitas Arab... melaporkan bahwa para kepala staf Arab telah memperingatkan pemerintah masing-masing mengenai serangan Palestina dan perang yang berkepanjangan."33 Ahli sejarah militer Pakistan Syed Ali el-Edroos menyimpulkan: "Dalam pengertian militer profesional, sesungguhnya, tidak ada rencana sama sekali."34
Hampir empat puluh tahun kemudian, ahli sejarah Israel Benny Morris menyimpulkan: "Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina] secara militer maupun administratif jauh lebih unggul dibanding orang-orang Arab Palestina."35

OMONG KOSONG
"Kami pun mempunyai kelompok-kelompok teroris sendiri semasa Perang Kemerdekaan: Stern, Irgun... Namun tidak satu pun di antara mereka yang menyelubungi diri dengan kekejian sedemikian rupa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang Arab terhadap kami." --Golda Meir, perdana menteri Israel, 197236
FAKTA
Dalam periode 1947-1948 yang mengakibatkan kelahiran Israel, terorisme marak di Palestina, dilancarkan terutama oleh kaum Zionis.
Pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mencatat dalam sejarah pribadinya tentang Israel: "Dari 1946 hingga 1947 hampir tidak ada serangan Arab atas Yishuv [komunitas Yahudi di Palestina]."37 Ketika perang menjelang pecah pada 1948, aksi-aksi teror dilancarkan oleh kedua belah pihak, namun orang-orang Arab bukanlah tandingan bagi kampanye yang terorganisasi dan sistematis yang dijalankan oleh para teroris Zionis.38 Sebagaimana dilaporkan seorang Mayor Inggris R.D. Wilson pada 1948, mereka melakukan "serangan-serangan biadab atas desa-desa Arab, di mana mereka tidak membedakan antara kaum wanita dan anak-anak yang mereka bunuh setiap ada kesempatan." 39
Aksi-aksi teror Zionis, yang dilancarkan terutama oleh anggota-anggota dari dua kelompok utama, Irgun dan Lehi, atau Stern Gang, termasuk pemboman pada 1946 atas King David Hotel di Jerusalem, yang membunuh sembilan puluh satu orang empat puluh satu orang Arab, dua puluh delapan orang Inggris, dan tujuh belas orang Yahudi;40 penggantungan dua prajurit Inggris pada 1947 dan penjeratan tubuh mereka,41 pemboman pada 1948 atas Semiramis Hotel milik orang Arab di Jerusalem, yang membunuh dua puluh dua orang Arab, termasuk kaum wanita dan anak-anak,42 pembantaian pada 1948 atas 254 kaum pria, wanita, dan anak-anak Arab di pedesaan Deir Yassin,43 pembantaian atas banyak warga sipil di desa Dawayima pada 1948,44 dan pembunuhan pada 1948 atas Wakil Khusus PBB Count Folke Bernadotte dari Swedia.45 Menachem Begin memimpin Irgun, dan Yitzhak Shamir adalah salah seorang pemimpin Stern Gang. Kedua orang itu di kemudian hari menjadi perdana menteri Israel.

OMONG KOSONG
"Kami tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang Arab, mengambil tanah mereka, atau merampas warisan mereka." --David Ben-Gurion, sebagai seorang Zionis senior, pertengahan 191546
FAKTA
Setelah penaklukan tanah Arab pada perang 1948, terjadi perampasan, yang disusul penyitaan kekayaan Palestina oleh orang-orang Yahudi. "Penjarahan dan perampasan merajalela," tulis ahli sejarah Israel Tom Segev. Dia mengutip penulis Israel Moshe Smilansky, seorang saksi mata: "Dorongan untuk merampas menguasai setiap orang. Individu-individu, kelompok-kelompok, dan komunitas-komunitas, kaum pria, kaum wanita dan anak-anak, semuanya jatuh di atas barang-barang rampasan." Menteri kabinet Aharon Cizling mengeluh: "Sungguh memalukan, mereka memasuki sebuah kota dan dengan paksa mencopot cincin dari jari dan perhiasan dari leher seseorang... Banyak yang melakukan kejahatan itu."47
Hampir dua pertiga dari jumlah semula 1,2 juta orang penduduk Palestina terusir, dan terpaksa menjadi pengungsi. 48 Kehilangan yang sangat besar inilah yang menjadi alasan mengapa perang itu dikenal oleh bangsa Arab sebagai Nakba, Bencana.49
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan bahwa orang-orang Israel berlari "dengan kecepatan penuh" untuk menduduki tanah itu, sambil menambahkan: "Jika gelombang masuk itu terus berlangsung dengan jumlah kira-kira 200.000 orang per tahun maka tidak lama lagi jumlah para pendatang baru itu akan melebihi jumlah penduduk asli yang terusir."50
Ketika sarjana Israel, Israel Shahak, melakukan penelitian pada 1973, dia mendapati bahwa dari 475 desa asli Palestina yang dimasukkan ke dalam wilayah perbatasan yang dibuat sepihak oleh Israel pada 1949, hanya 90 yang masih ada; 385 sisanya telah dihancurkan.51 Penelitian-penelitian yang dilakukan di kemudian hari menunjukkan bahwa jumlah seluruhnya lebih dari 400.52
Desa-desa itu, menurut laporan Shahak, "dihancurkan sama sekali, dengan rumah-rumah, tembok-tembok taman, dan bahkan kuburan-kuburan serta batu-batu nisannya, sehingga secara harfiah tidak ada sebuah batu pun yang masih tegak berdiri, dan para pengunjung... diberitahu bahwa 'itu semua adalah gurun pasir.'"53

OMONG KOSONG
"Bukti terbaik untuk menentang mitos [ekspansionisme Israel] ini adalah sejarah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya pada 1948, 1956, 1973 dan 1982." --AIPAC, 199254
FAKTA
Di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."55 Israel tidak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga 5.893 mil persegi, sama dengan 56,47 persen dari seluruh Palestina, namun menjelang akhir perang 1948 Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi, 77,4 persen dari tanah itu.56 Secara signifikan, Deklarasi Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.57
Israel menguasai daerah Palestina yang mencakup 475 kota kecil dan desa, yang sebagian besar di antaranya kosong atau segera dibuat demikian. (Ini sebanding dengan 279 pemukiman Yahudi di seluruh Palestina yang ada pada 29 November 1947, hari diberlakukannya Rencana Pembagian PBB.)58
Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."59 Sesungguhnyalah, orang-orang Israel telah menyita 158.332 unit dari keseluruhan 179.316 unit perumahan, termasuk rumah-rumah dan apartemen-apartemen.60 Orang-orang Yahudi sedikitnya telah mengambil alih 10.000 toko dan 1.000 gudang.61 Kira-kira 90 persen kebun zaitun Israel direbut dari orang-orang Arab dan juga 50 persen kebun jeruknya,62 suatu penyitaan yang begitu besar sehingga pemasukan dari kebun zaitun dan jeruk itu "sangat menolong untuk meringankan masalah serius dalam keseimbangan neraca pembayaran Israel dari 1948 hingga 1953," kata Ian Lustick.63
Setelah perang 1967, pasukan militer Israel menguasai seluruh Palestina, Tepi Barat dan jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Syria dan Semenanjung Sinai milik Mesir, suatu rentang wilayah yang luas seluruhnya adalah 20.870 mil persegi.64
Setelah serangan Operasi Litani oleh Israel atas Lebanon pada Maret 1978, perbatasan Israel lagi-lagi meluas sehingga mencakup "sabuk pengaman" yang diklaimnya secara sepihak di Lebanon Selatan, suatu jalur sepanjang perbatasan yang mendesak masuk antara tiga hingga enam mil ke wilayah Lebanon.65 "Sabuk pengaman" itu mendesak masuk lagi hingga dua belas mil setelah serangan Israel tahun 1982 atas Lebanon .66 "Sabuk pengaman" itu tetap ada hingga hari ini, membuat Lebanon Selatan menjadi apa yang disebut oleh sebagian orang Israel sebagai "Tepi Utara" yang dikuasai Israel.
Meskipun Israel di kemudian hari memang mengembalikan Semenanjung Sinai sebagai pertukaran bagi perdamaian dengan Mesir, ia terus menduduki semua wilayah Arab lain yang telah direbutnya lewat kekerasan selama bertahun-tahun kecuali kota kecil Syria Quneitra, yang dihancurkannya sebelum penarikan mundur pada 1974 sebagai hasil persetujuan pelepasannya dengan Syria .67
Catatan kaki:
1 Dupuy, Elusive Victory, 3-19; Flapan, The Birth of Israel, 192-93.
2 Meir, My Life, 211.
3 Quigley, Palestine and Israel, 39.
4 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
5 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix. Teks dari rencana itu terdapat dalam rubrik khusus "1948 Palestine" dari Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988, 20- 38.
6 New York Times, 20 Desember 1947. Juga lihat Quigley, Palestine and Israel, 41. Laporan resmi militer Inggris adalah WO 275/64 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 153.
7 Sykes, Crossroads to Israel, 337. Lihat juga Green, Taking Sides, 69.
8 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 40.
9 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 121.
10 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxix.
11 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 63.
12 Ibid., 128; Quigley, Palestine and Israel, 62.
13 Flapan, The Birth of Israel, 192. 132-133.
14 Kawat 513 dari Kairo,13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
15 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192. Juga lihat Shlaim, Collusion across the Jordan, 197.
16 Khalidi, From Haven to Conquest, lxxxii.
17 Allon, Shield of David, 187.
18 Khalidi, Before Their Diaspora, 316. Lihat juga Cockburn, Dangerous Liaison, 20-21; Peres, David's Sling, 32-33. Sebagai balasan bagi bantuan itu, Israel menyampaikan beberapa rahasia peralatan militer AS kepada Cekoslowakia, termasuk sebuah sistem radar bergerak, lihat Green, Living by the Sword, 217-18.
19 Khalidi, From Haven to Conquest, 861-66.
20 Grose, Israel in the Minds of America, 210-11.
21 Raviv dan Melman, Every Spy a Prince, 326-30; Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25.
22 Cockburn, Dangerous Liaison, 24-25,158.
2 Ibid., 24-25.
24 Dalam sebuah surat untuk Presiden Truman, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 189.
25 Khalidi, From Haven to Conquest, 867-71.
26 Green, Taking Sides, 71.
27 Flapan, The Birth of Israel, 195. Tekanan ini ada pada tulisan aslinya. Untuk pembahasan mengenai berbagai perkiraan layak yang mencerminkan semua pihak, lihat Flapan, 194-97.
28 Dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel,189.
29 Telegram rahasia "INFOTEL dari Menteri Luar Negeri," 14 Mei 1948, dikutip dalam Green, Taking Sides, 70-71.
30 Kawat 513 dari Kairo, 13 Mei 1948, dikutip dalam Flapan, The Birth of Israel, 192.
31 Glubb, A Soldier with the Arabs, 152.
32 Shlaim, Collusion across Jordan, 271-72.
33 Flapan, The Birth of Israel, 123.
34 el-Edroos, The Hashemite Arab Army, 244.
35 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 7.
36 Fallaci, Interview with History, 100.
37 Ben-Gurion, Israel, 63.
38 Michael C. Hudson, "The Transformation of Jerusalem: 1917-1987 A.D." dalam Asali, Jerusalem in History, 257.
39 Quigley, Palestine and Israel, 41. Lihat juga Flapan, The Birth of Israel, 90-91.
40 Bethell, The Palestine Triangle, 263; Sachar, A History of Israel, 267. Untuk rincian mengenai pemboman dan reaksi para pejabat Inggris, lihat Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 269-70.
41 Silver, Begin, 78-80.
42 CO 537/3855 (London: Public Record Office), dikutip dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 270-71; Tannous, The Palestinians, 474. Pemerintah Inggris secara terbuka mengutuk pemboman Semiramis sebagai suatu "tindak pembunuhan yang pengecut dan keji atas orang-orang tak bersalah." Ketika Agen Yahudi mengajukan keberatan karena Inggris tidak mengutuk pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Arab, para pejabat Inggris menjawab bahwa orang-orang Arab itu tidak melancarkan serangan-serangan terorganisasi atas bangunan-bangunan yang dihuni oleh kaum wanita dan anak-anak; lihat Quigley, Palestine and Israel, 43.
43 Khalidi, From Haven to Conquest, 761-78, memuat penjelasan tangan pertama yang mengharukan dari Jacques de Reynier, "Deir Yassin;" serta penjelasan-penjelasan tentang serangan-saerangan atas pusat-pusat Palestina lainnya. Banyak penulis telah membahas tentang pembantaian itu, barangkali tidak lebih baik dibanding Silver, Begin, 88-89. Juga lihat rincian-rinciannya dalam Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 271-72.
44 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 222. Juga lihat Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xii-xiv; Quigley, Palestine and Israel, 85; Nakhleh, Encyclopedia of Palestine Problem, 272.
45 Persson, Mediation and Assassination, 204. Juga lihat Kurzman, Genesis 1948, 555-56; Avishai Margalit, "The Violent Life of Yitzhak Shamir," New York Review of Books, 14 Mei 1992; Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 36.
46 Teveth, David Ben-Gurion and the Palestinian Arabs, 27.
47 Segev,1949, 69-72.
48 Thomas J. Hamiton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB No. A/6797.
49 Walid Khalidi, "The Palesfine Problem: An Overview," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1991, 9.
50 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36; Cattan, Jerusalem, 61; Segev, 1949, 95.
51 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43-54. Juga lihat Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, xiv-xviii, yang melakukan penelitian serupa dengan penelitian Shahak pada 1980-an dan membuat daftar nama, tanggal, dan penyebab ditinggalkannya 369 desa Arab pada 1948-1949. Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, menyalin daftar semua kota besar, kota kecil, dan desa di Palestina pada 1945 sebagaimana yang diterbitkan dalam Palestine Gazette (295-306) dan juga daftar nasib yang menimpa semua unit politik itu setelah 1948 (315-32).
52 Suatu penelitian yang diselesaikan pada 1991 oleh sarjana Walid Khalidi melaporkan bahwa 418 desa telah dihancurkan; lihat Khalidi, All That Remains.
53 Israel Shahak, "Arab Villages Destroyed in Israel," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 43.
54 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 84.
55 Shlaim, Collusion across the Jordan, 289. Sebuah versi buku sampul tipis yang ringkas dari karya penting Shlaim diterbitkan pada 1990 oleh Columbia University Press dengan judul The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists, and Palestine.
56 Sachar, A History of Israel, 350; Epp, Whose Land Is Palestine?, 195. Untuk rincian mengenai rencana-rencana Israel untuk menduduki wilayah Palestina, lihat Khalidi, From Haven to Conquest, lxxv-lxxxiii, 755-61. Untuk telaah yang sangat bagus tentang pemilikan tanah Yahudi, lihat Ruedy, "Dynamics of Land Alienation;" dalam Abu-Lughod, Transformation of Palestine, 119-38. Juga lihat Davis Mezvinsky, Documents front Israel, 43-54; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 155, 179; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 305-45; Nyrop, Israel, 52; Shipler, Arab and Jew, 32-36; Segev, 1949, 69-71.
57 McDowall, Palestine and Israel, 193. Teks deklarasi itu terdapat dalam Ben-Gurion, Israel, 79-81.
58 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 155, 179.
59 Dikutip dalam Nakhleh, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 310, dari Ha'aretz (Tel Aviv), 4 April 1969.
60 Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 369.
61 dan Peretz, "The Arab Refugee Dilemma;" Foreign Affairs, Oktober 1954.
62 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 146.
63 Lustick, Arabs in the Jewish State, 59.
64 Nyrop, Israel, xix; Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Laporan Khusus, Juli 1991.
65 Ahmad Beydoun, "The South Lebanon Border Zone: A Local Perspective;" Journal of Palestine Studies, Musim Semi 1992,44.
66 Thomas L. Friedman, New York Times, 22 September 1986.
67 Israel berusaha mempertahankan sebidang tanah seluas 250 acre di garis depan pantai Sinai sebelah selatan Eliat yang bemama Taba. Namun, satu kelompok yang terdiri atas lima juri menetapkan pada 1988 bahwa tanah itu sah dimiliki oleh Mesir, dan Israel akhirnya terpaksa melepaskannya sepuluh tahun setelah perjanjian; Edward Cody, Washington Post, 30 September 1988.


TIGA
PARA PENGUNGSI PALESTINA
 
Konflik Arab-Israel telah menimbulkan dua gelombang besar pengungsi Palestina. Gelombang pertama adalah akibat perang 1948 dan berjumlah 726.000 orang, dua pertiga dari seluruh penduduk Palestina yang 1,2 juta orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, 113.000 di antaranya telah menjadi pengungsi sejak 1948.1

OMONG KOSONG
"Tidak ada pengungsi... yang ada hanyalah para pejuang yang berusaha untuk menghancurkan kita, sampai ke akar-akarnya." --David Ben-Gurion, perdana menteri Israel, 19492
FAKTA
Laporan-laporan dari berbagai sumber yang mandiri dan dapat dipercaya menunjukkan bahwa sebagian besar pengungsi Palestina adalah anak-anak, kaum wanita, dan kaum pria yang sudah tua.
Setelah pasukan Israel --di bawah komando calon perdana menteri Yitzhak Rabin-- merebut kota Arab, Lydda, pada pertengahan 1948 dan mengusir penduduk, komandan militer Inggris dari pasukan Yordania, Pasha Glubb, melaporkan: "Barangkali tiga puluh ribu orang atau lebih, hampir seluruhnya kaum wanita dan anak-anak, memungut apa saja yang dapat mereka bawa dan lari dari rumah-rumah mereka melintasi padang terbuka."3 Pada 16 September, penengah PBB Count Folke Bernadotte mencatat bahwa "hampir seluruh penduduk Arab lari atau diusir dari daerah pendudukan Yahudi. Banyak di antara mereka adalah bayi-bayi, anak-anak, kaum wanita yang sedang hamil dan ibu-ibu yang sedang menyusui. Kondisi mereka sungguh papa."4
Pada 17 Oktober 1948, wakil AS di Israel, James G. McDonald, melaporkan dengan mendesak dan langsung kepada Presiden Truman bahwa "tragedi para pengungsi Palestina dengan cepat berubah menjadi bencana dan harus dianggap sebagai malapetaka. Sumber-sumber pertolongan dan pemukiman kembali di masa sekarang dan mendatang sama sekali tidak memadai... Dari kira-kira 400.000 pengungsi yang akan menghadapi musim dingin dengan hujan deras, diperkirakan, akan terbunuh lebih dari 100.000 pria yang telah tua, kaum wanita dan anak-anak yang tidak mempunyai tempat berlindung dan hanya menyimpan sedikit atau bahkan tidak menyimpan makanan sama sekali."5
Pada Februari 1949 angka kematian di kalangan para pengungsi Palestina di Jalur Gaza saja dilaporkan 230 orang tiap hari.6 William L. Gower, delegasi untuk Palang Merah Amerika, melaporkan: "Delapan puluh hingga 85 persen dari orang-orang yang terusir terdiri atas anak-anak, wanita-wanita tua, wanita-wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui."7
Pada pertengahan Maret 1949, sebuah laporan dari Kementerian Luar Negeri berbunyi: "Dana Darurat Anak-anak Internasional menganggap 425.000 atau 58 persen dari pengungsi patut diberi bantuan dalam programnya: kelompok ini terdiri atas bayi-bayi, anak-anak kecil, kaum wanita yang sedang hamil, dan ibu-ibu menyusui. Kira-kira 15 persen pengungsi sudah berusia lanjut, sakit, dan lemah. Akan terlihat bahwa kaum pria dan wanita yang berbadan sehat jumlahnya paling banyak 25 persen dari keseluruhan, atau 180.000 orang."8
Reaksi di Amerika Serikat terutama adalah tidak peduli. Media berita Amerika pada umumnya mengabaikan keadaan para pengungsi Palestina. Laporan rahasia Kementerian Luar Negeri Maret 1949 menyatakan bahwa publik Amerika Serikat "secara umum tidak menyadari masalah pengungsi Palestina, sebab hal itu tidak diberi tekanan oleh pers atau radio."9

OMONG KOSONG
"Jumlah seluruh pengungsi Arab yang meninggalkan Israel adalah sekitar 590.000 orang." --AIPAC,198910
FAKTA
Angka AIPAC itu terlalu rendah setidak-tidaknya 150.000. Setelah banyak usaha dilakukan oleh berbagai negara dan agen internasional untuk memperkirakan jumlah keseluruhan pengungsi Palestina, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pada akhir 1949 bahwa 726.000 orang dari 1,2 juta rakyat Palestina telah terusir dari rumah-rumah mereka dan menjadi pengungsi akibat perang 1948. 25.000 orang lainnya tercatat sebagai pengungsi kasus perbatasan namun tidak dimasukkan dalam jumlah keseluruhan.11 Ini merupakan angka resmi PBB, yang secara umum diterima di luar Timur Tengah.
Orang-orang Arab berkeras bahwa jumlah yang sesungguhnya mendekati 1 juta, sementara Israel secara resmi menyatakan bahwa angkanya adalah antara 520.000 dan 530.000.12 Tetapi dokumen-dokumen internal menunjukkan bahwa para pejabat sejak awal mengetahui bahwa angkanya jauh lebih tinggi daripada yang mereka kemukakan di muka umum. Ahli sejarah Israel Benny Morris telah mendokumentasikan pengetahuan awal Israel tentang jumlah yang sesungguhnya itu dari catatan-catatan dalam arsip Israel. Satu dokumen menunjukkan bahwa Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri, Rafael Eytan, melaporkan bahwa "jumlah yang sesungguhnya adalah mendekati 800.000." Namun secara resmi Israel tetap mengemukakan angka yang rendah sebab, seperti kata-kata yang diucapkan oleh seorang pejabat Kementerian Luar Negeri lainnya, "Tampaknya... kita perlu meminimalkan jumlah itu."13
Jumlah pengungsi itu menggelembung dalam perang 1967 ketika 323.000 orang Palestina lagi diusir keluar dari rumah-rumah mereka. Dari semua ini, 113.000 adalah pengungsi untuk kedua kalinya dari 726.000 orang yang telah menjadi tunawisma akibat perang 1948.14 Di samping orang-orang yang terusir akibat perang, Israel juga secara sengaja mengusir beribu-ribu orang lainnya dari rumah-rumah mereka --4.000 orang Palestina dari wilayah Yahudi dan Mughrabi di Kota Lama Jerusalem; 10.000 penduduk desa-desa Imwas, Yalu, dan Beit Nalu di Latrun Salient, bahkan tidak memperbolehkan mereka membawa barang-barang milik mereka sendiri; dan 6.000 hingga 20.000 orang Badui dari rumah-rumah mereka di daerah Rafah, Jalur Gaza, di dekat Semenanjung Sinai.15

OMONG KOSONG
"Sering kali para pemimpin Yahudi mendesak orang-orang Arab agar tetap tinggal di Palestina dan menjadi warga negara Israel." --AIPAC,199216
FAKTA
Sasaran utama para pemimpin Israel adalah membebaskan diri dari orang-orang Palestina, bukan mendorong mereka agar tetap tinggal di negara Yahudi.17
Ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Ben-Gurion jelas-jelas menginginkan sesedikit mungkin orang Arab tinggal di Negara Yahudi. Dia ingin melihat mereka lari. Demikian yang dikatakannya pada para kolega dan ajudannya dalam pertemuan-pertemuan di bulan Agustus, September dan Oktober (1948)"18.
Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa meskipun telah membuat janji-janji di masa sebelumnya, para pejabat Israel "dengan sangat jelas menunjukkan" bahwa mereka kini tidak akan membiarkan "lebih dari sejumlah kecil pengungsi" untuk kembali ke rumah-rumah mereka.19
Dalam diskusi-diskusi internal mereka, sejumlah pejabat Israel menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan adanya orang-orang non-Yahudi di dalam negara mereka yang baru. Anggota Knesset Eliahu Carmeli berkata: "Saya tidak rela untuk menerima bahkan satu orang Arab pun, satu orang goy [non-Yahudi] pun. Saya menginginkan negara Yahudi seluruhnya untuk bangsa Yahudi." Ayah Moshe Dayan, Shmuel, yang juga seorang anggota Knesset, mengatakan bahwa dia menentang setiap usaha untuk kembali "bahkan jika dipertukarkan dengan perdamaian. Apa yang akan diberikan oleh perdamaian resmi itu pada kita?"20
Pada awal Maret 1948, komando militer Israel telah menghasilkan Rencana Dalet, yang bertujuan merebut daerah-daerah di Galilee dan antara Jerusalem dan Tel Aviv yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembagian PBB untuk negara Palestina. Dalam kata-kata ahli sejarah Morris: "Rencana Dalet bertujuan untuk menaklukkan dan menduduki secara permanen, atau meratakan dengan tanah, desa-desa dan kota-kota kecil Arab. Di situ diinstruksikan bahwa... jika terjadi perlawanan, pasukan bersenjata [Arab] di desa-desa itu harus dihancurkan dan para penduduk harus diusir dari Negara."21
Ahli sejarah Israel Simha Flapan mencatat bahwa "rencana itu mengemukakan secara rinci upaya 'pengusiran penduduk Arab setempat ke luar perbatasan'... Jika ditengok kembali, dapat dilihat bahwa tujuan dari rencana itu adalah pencaplokan --penghancuran desa-desa Arab harus diikuti dengan didirikannya desa-desa Yahudi untuk menggantikannya."22 Flapan menyimpulkan: "Beratus-ratus ribu [orang Palestina], yang diintimidasi dan diteror, lari dengan panik, dan yang lain-lainnya diusir oleh angkatan bersenjata Yahudi, yang, di bawah kepemimpinan [David] Ben-Gurion, merencanakan dan melaksanakan pengusiran itu segera setelah adanya Rencana Pembagian PBB."23
Satu operasi untuk merebut Galilee dinamakan Matateh (Sapu), dan komandan Yahudi Yigal Allon berbicara secara terbuka tentang perlunya "membersihkan Galilee Atas."24 Ben-Gurion meyakinkan para koleganya bahwa serangan atas Galilee akan mengakibatkan wilayah itu menjadi "bersih" dari orang-orang Arab.25 Sebagaimana dikatakannya: "Tanah dengan orang-orang Arab di atasnya dan tanah tanpa orang-orang Arab di atasnya adalah dua jenis tanah yang berbeda."26
Flapan menulis: "Bahwa tujuan utama Ben-Gurion adalah mengevakuasi sebanyak mungkin penduduk Arab dari negara Yahudi hampir tidak mungkin diragukan lagi."27
Jelaslah bahwa larinya orang-orang Israel bukanlah, sebagaimana dikatakan oleh presiden pertama Israel, Chaim Weizman, "suatu penyederhanaan yang ajaib" dari masalah demografi Israel.28 Sebaliknya, itu adalah pembuktian yang mengerikan dari ramalan sang pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, meskipun yang ada dalam benaknya adalah gambaran yang tidak begitu kejam: "Kita akan mendorong penduduk miskin [Palestina] agar melintasi perbatasan dengan menawarkan pekerjaan bagi mereka di negeri-negeri yang dilintasi, sementara meniadakannya di negeri kita sendiri."29

OMONG KOSONG
"Masalah demografi akan lenyap." --Ezer Weizman, menteri pertahanan Israel, 198130
FAKTA
Ketidakseimbangan antara penduduk Palestina dan Yahudi --"masalah demografi"-- telah lama mengganggu para pemimpin Zionisme. Kaum Zionis telah menyadari bahwa orang-orang Yahudi berselisih dengan penduduk Palestina bukan hanya karena penduduk Palestina adalah mayoritas melainkan juga karena angka kelahiran mereka lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi. Meskipun itu adalah masalah yang tidak begitu diperhatikan di Amerika Serikat, di Israel masalah kelompok etnis mana yang menjadi mayoritas merupakan persoalan serius dan diakui sebagai "bom waktu demografi."31
Sudah sejak 1938, pemimpin Yahudi David Ben-Gurion mengatakan pada para koleganya bahwa "titik awal pemecahan masalah Arab" adalah dicapainya suatu persetujuan dengan negara-negara Arab tetangga untuk mengadakan transfer damai orang-orang Palestina dari negara Yahudi.32 Pada 1943, mengingat angka kelahiran orang-orang Arab yang lebih tinggi dibanding orang-orang Yahudi, dia menandaskan bahwa 2,2 anak dalam tiap keluarga tidaklah cukup dan para orang tua Yahudi didorong agar melaksanakan "tugas demografi" mereka.33
Tahun berikutnya, pemimpin revisionis Zeev Jabotinsky menulis: "Kita mesti memerintahkan kaum Yahudi Amerika untuk memobilisasi setengah milyar dollar agar Irak dan Saudi Arabia bersedia menyerap orang-orang Arab Palestina. Tidak ada pilihan lain: orang-orang Arab harus memberi ruang bagi orang-orang Yahudi di Eretz Israel. Jika ada kemungkinan untuk memindahkan orang-orang Baltik, ada kemungkinan pula untuk memindahkan orang-orang Arab Palestina."34
Pada waktu pembagian PBB tahun 1947 masalah demografi merupakan masalah terbesar bagi kaum Zionis sebab jumlah orang Palestina melebihi jumlah orang-orang Yahudi, dua dibanding satu, di Palestina. Rencana pembagian menetapkan bahwa di negara Yahudi orang Yahudi harus menjadi mayoritas: 498.000 orang Yahudi dan 435.000 orang Palestina.35 (Negara Palestina yang diusulkan akan mempunyai 725.000 penduduk Arab dan 10.000 penduduk Yahudi.)36
Dengan angka mayoritas yang begitu tipis, orang-orang Yahudi tidak bisa yakin bahwa mereka dapat terus menjadi mayoritas di negeri mereka sendiri. Karena itu memburu orang-orang Palestina agar lari dari tanah mereka dan menjadikan mereka pengungsi merupakan pemecahan praktis di mata banyak tokoh Zionis. Sebagaimana dikemukakan dalam suatu memorandum resmi untuk Ben-Gurion pada pertengahan 1948: "Pengusiran orang-orang Arab itu hendaknya dianggap sebagai pemecahan bagi masalah orang Arab di negara Israel."37 Ben-Gurion sadar benar akan kenyataan itu dan bertitah: "Kita tidak boleh membiarkan orang-orang Arab kembali ke tempat-tempat yang mereka tinggalkan."38
Kebijaksanaan Israel dengan segera mengeras menjadi pendirian resmi bahwa para pengungsi Palestina harus dilarang untuk kembali --dan hampir tak seorang pun yang berhasil menempati kembali rumah-rumah mereka. Menjelang akhir Mei 1948 suatu "komite pemindahan" tak resmi lahir dengan tujuan khusus mencegah kembalinya para pengungsi Arab dengan jalan menempatkan orang-orang Yahudi di rumah-rumah yang ditinggalkan dan menghancurkan desa-desa Palestina.39 Pada 1 Juni perintah-perintah langsung dikeluarkan pada unit-unit militer Israel untuk secara paksa mencegah kembalinya para pengungsi.40
Akibat pengusiran orang-orang Palestina, hanya tinggal 170.000 orang di antara mereka yang berada di tanah yang dikuasai oleh Israel pada akhir pertempuran pada 1949. Para pria, wanita, dan anak-anak ini rnenjadi warga negara Israel dan merupakan 15 persen dari jumlah penduduk, suatu minoritas yang jauh lebih bisa diterima dibanding 40 persen atau lebih yang akan mereka wakili seandainya tidak terjadi pengungsian besar-besaran.41
Ben-Gurion masih tetap prihatin mengenai masalah demografi sehingga pada 1949 dia memprakarsai pemberian hadiah bagi para ibu yang melahirkan anak yang kesepuluh. Program itu dihentikan satu dasawarsa kemudian dikarenakan banyaknya jumlah ibu-ibu Palestina warga negara Israel yang berhasil meraih hadiah tersebut. Pada 1967, sebuah pusat demografi Israel didirikan sebab "penambahan angka kelahiran di Israel sangat penting bagi masa depan seluruh bangsa Yahudi."42
Kini masalah demografi tetap merupakan pemikiran utama di Israel. Dari masa perang 1967 hingga dimulainya intifadhah pada 1987, jumlah penduduk Palestina berlipat ganda, hampir seluruhnya akibat peningkatan alamiah. Proporsi orang Palestina di negara Israel meningkat 18 persen. Dalam periode yang sama, jumlah penduduk Yahudi naik 50 persen, terutama karena terjadinya imigrasi. Tanpa adanya para pendatang baru, peningkatan jumlah penduduk Yahudi hanya akan mencapai 29 persen. Pada 2005, warga negara Palestina di Israel diproyeksikan akan berjumlah 1,35 juta. Yang harus ditambahkan pada angka ini adalah orang-orang Palestina yang hidup di wilayah pendudukan di Tepi Barat dan jalur Gaza. Jumlah keseluruhannya akan mendekati 2 juta pada awal 1990-an dan diproyeksikan akan mencapai 2,5 juta pada 2002.43

OMONG KOSONG
"[Para pengungsi Palestina] pergi sebagian karena mematuhi perintah langsung dari para komandan militer dan sebagian karena kampanye kepanikan yang disebarkan di kalangan orangorang Arab Palestina oleh para pemimpin negara-negara Arab yang menyerang." --Moshe Sharett, menteri luar negeri sementara Israel, 194844
FAKTA
Sejak 1961 jurnalis Irlandia Erskine Childers meneliti catatan Inggris tentang semua siaran radio dari para pemimpin Arab sepanjang 1948 dan menyimpulkan: "Tidak pernah ada satu perintah, seruan, atau saran mengenai evakuasi Palestina dari stasiun radio Arab mana pun, di dalam atau di luar Palestina, pada 1948. Malah ada rekaman yang berulang kali terpantau berupa seruan, bahkan perintah, pemimpin kepada para penduduk sipil Palestina untuk tetap tinggal."45
Bahkan sebelum Childers, Pasha Glubb, komandan Inggris dari angkatan bersenjata Yordania, telah menulis: "Kisah yang disuguhkan pada dunia oleh humas Yahudi, bahwa para pengungsi Arab pergi dengan sukarela, tidaklah benar. Imigran-imigran sukarela tidak meninggalkan rumah-rumah mereka hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Orang-orang yang telah memutuskan untuk pindah rumah tidak akan melakukannya dengan tergesa-gesa sehingga mereka kehilangan anggota-anggota keluarga lain-suami tidak dapat melihat istrinya, atau orang tua tidak dapat menemukan anak-anak mereka. Kenyataannya kebanyakan mereka pergi dalam kepanikan, untuk menghindari pembantaian (setidak-tidaknya, begitulah pikir mereka). Sesungguhnya mereka memang terdorong untuk pergi karena pernah terjadi satu dua kali pembantaian. Yang lain-lainnya terdorong untuk pergi karena adanya serangan-serangan atau aksi-aksi tidak senonoh."46
Sejak itu, banyak sekali dokumentasi bermunculan yang membuktikan bahwa pasukan-pasukan Israel melancarkan perang psikologis, ancaman-ancaman, tindak kekerasan, dan pembunuhan- pembunuhan untuk memaksa banyak orang Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka. Dokumentasi baru ini terutama berasal dari sumber-sumber Israel.47
Ahli sejarah Israel Simha Flapan menyimpulkan: "Diterbitkannya beribu-ribu dokumen dalam arsip negara dan Zionis belakangan ini, serta buku harian Ben-Gurion, menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang dapat mendukung klaim Israel [bahwa para pemimpin Arab memerintahkan orang-orang Palestina untuk lari]. Dalam kenyataannya, informasi itu bertentangan dengan teori 'orde,' sebab di antara sumber-sumber baru tersebut ada dokumen-dokumen yang membenarkan adanya usaha-usaha keras dari AHC [Komite Tinggi Arab] dan negara-negara Arab untuk mencegah pengungsian."48
Begitu pula, ahli sejarah Israel Benny Morris melaporkan: "Saya tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa AHC mengeluarkan perintah umum, lewat radio atau lain-lainnya, pada orang-orang Arab Palestina agar mengungsi."49
Namun pernyataan bohong tetap bersikeras bahwa para pemimpin Arablah yang memerintahkan pengungsian. Jurnalis Christopher Hitchens melihat sebuah iklan pro Israel dalam New Republic pada akhir 1980-an yang berbunyi: "Pada 1948, pada hari proklamasi kemerdekaan Israel, lima angkatan bersenjata Arab menyerang negeri baru itu dari segala sudut. Dalam siaran radio yang menakutkan, mereka mendesak orang-orang Arab yang tinggal di sana agar mengungsi, agar pasukan penyerang dapat bergerak tanpa penghalang." Hitchens menanyakan dukungan bukti bagi siaran-siaran "yang menakutkan" itu, namun tidak pernah mendapat jawaban.50
Pada 27 Mei 1991, Near East Report, laporan berkala AIPAC, menegaskan bahwa "pada 1948 para pemimpin Arab telah berulang kali mendesak orang-orang Palestina untuk mengungsi agar angkatan bersenjata Arab bisa menemukan waktu yang lebih longgar untuk menghancurkan negara Yahudi yang baru lahir itu."51 Pada waktu itu, karya Benny Morris yang didukung bukti kuat The Birth of the Palestinian Refugee Problem telah beredar selama tiga tahun, melaporkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan orang-orang Palestina diperintah untuk mengungsi.52

OMONG KOSONG
"Dapatkah kita meragukan bahwa pemerintah-pemerintah Arab telah memutuskan agar para pengungsi tetap mengungsi?" --Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 195553
FAKTA
Meskipun Majelis Umum PBB memerintahkan Israel sejak Desember 1948 untuk membiarkan para pengungsi Palestina kembali ke rumah-rumah mereka, Israel menolak.54 Israel berkeras bahwa para pengungsi adalah tanggung jawab negara-negara Arab, yang dituduhnya tidak mempedulikan nasib para pengungsi tersebut.55
Tetapi, sebuah telaah rahasia dari Kementerian Luar Negeri pada awal 1949 mencatat bahwa negara-negara Arab sangat prihatin dengan masalah pengungsi: kedutaan besar di Kairo melaporkan bahwa jika para pengungsi didesak masuk ke Mesir "akibatnya akan menimbulkan bencana bagi keuangan Mesir." Kedutaan besar Yordania melaporkan bahwa para pengungsi itu merupakan saluran penyedot yang sangat mengganggu "sumber-sumber yang hampir kering" dan bahwa "uang, pekerjaan, dan kesempatan-kesempatan lain [sangat] langka." Kedutaan besar di Lebanon melaporkan bahwa para pengungsi menjadi "beban tak tertanggungkan" bagi pemerintahan itu sementara Syria "praktis telah membiarkan pengeluaran-pengeluaran untuk pertolongan sebagai saluran penyedot anggaran yang tidak ada pendukungnya."
Telaah itu menyimpulkan bahwa bantuan untuk para pengungsi oleh pemerintah-pemerintah Arab telah mencapai $11 juta dalam bentuk tunai atau barang selama sembilan bulan terakhir tahun 1948, suatu jumlah yang "relatif besar" jika "dipandang dari anggaran yang sangat ramping dari kebanyakan pemerintah negara-negara tersebut." "Keseluruhan bantuan langsung dari Israel... hingga saat itu terdiri atas 500 peti jeruk."56
Alasan utama Israel tidak mau menerima kembalinya para pengungsi ke rumah-rumah mereka adalah karena kebanyakan dari rumah-rumah itu telah diambil alih oleh orang-orang Yahudi atau telah dihancurkan untuk diganti dengan perumahan baru bagi orang-orang Yahudi.57
Sebuah laporan penting dari Kementerian Luar Negeri pada 1949 mencatat bahwa "sebagian besar pengungsi ingin kembali ke rumah-rumah mereka." Namun kepulangan mereka itu tidak realistis sebab "penguasa Israel telah melancarkan suatu program sistematis untuk menghancurkan rumah-rumah Arab di kota-kota besar seperti Haifa dan di lingkungan komunitas-komunitas pedesaan guna membangun kembali wilayah pemukiman modern untuk menampung gelombang masuk imigran Yahudi dari kamp-kamp DP [displaced persons (orang-orang terlantar)] di Eropa [yang diperkirakan berjumlah 25.000 orang per bulan]. Karena itu, dalam banyak kasus, secara harfiah tidak ada rumah tempat kembali para pengungsi. Dalam kasus-kasus lain, imigran-imigran Yahudi yang berdatangan telah menduduki tempat-tempat tinggal bangsa Arab dan jelas mereka tidak bersedia melepaskannya kepada para pengungsi. Maka jelaslah bahwa sebagian besar orang-orang yang malang itu akan berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat kembali ke rumah-rumah mereka."58
Koresponden New York Times Anne O'Hare McCormick melaporkan pada 17 Januari 1949 bahwa orang-orang Israel "berlari dengan kecepatan penuh untuk mendiami kembali tanah yang ditinggalkan akibat perpindahan besar-besaran bangsa Arab .... Ini jelas berarti bahwa sangat sedikit di antara 750.000 pengungsi yang tersebar wilayah Palestina Arab dan negeri-negeri tetangga yang dapat kembali ke rumah-rumah mereka sebelumnya di wilayah Israel. Tempat mereka telah diambil oleh para pemukim Yahudi yang kini berdatangan untuk pertama kalinya dalam jumlah tak terbatas secepat alat transportasi dapat mengangkut mereka."59
Meskipun demikian, Israel telah melancarkan kampanye propaganda yang tak putus-putusnya untuk menimpakan kesalahan pada negara-negara Arab. Seberapa berhasilnya usaha itu dapat dilihat dari program Partai Demokrat 1960 yang menegaskan: "Kami akan mendorong dilangsungkannya perundingan-perundingan perdamaian Arab-Israel, pemukiman kembali para pengungsi Arab di tanah-tanah di mana tersedia ruang dan kesempatan bagi mereka, suatu akhir bagi boikot-boikot dan blokade-blokade, dan pemanfaatan tak terbatas Terusan Suez oleh semua bangsa." AIPAC hingga hari ini masih terus menyalahkan orang-orang Arab karena tidak mau menerima para pengungsi. Myths and Facts yang terbit pada 1992 membandingkan keadaan bangsa Palestina dengan para pengungsi Turki di Bulgaria pada 1950, dengan mengemukakan bahwa meskipun menghadapi berbagai kesulitan pemerintah Turki memulangkan 150.000 pengungsi. Buku itu menambahkan: "Jika negara-negara Arab ingin meringankan penderitaan para pengungsi, mereka dengan mudah dapat mengambil sikap yang sama dengan yang diambil Turki."60
Catatan kaki:
1 "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," Laporan PBB no. A/6797.
2 Ben-Gurion, Diaries, 29 Mei 1959, dikutip dalam Segev, 1949, 35.
3 Glubb, A Soldier with the Arabs, 162.
4 Depertemen Luar Negeri AS, A Decade of American Foreign Policy: 1940-1949, 850-51. Untuk kisah pribadi yang menyentuh hati tentang keadaan para pengungsi, lihat Turki, The Disinherited.
5 "The Special Representative of the United States in Israel (McDonald) to President Truman," 17 Oktober 1948, pukul 16.00, Foreign Relations of the United States 1948 (untuk selanjutnya disebut sebagai FRUS), 5: 1486.
6 New York Times, 17 Februari 1949.
7 ibid. Lihat juga Beryl Cheal, "Refugees in the Gaza Strip, Desember 1948-Mei 1950," Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988,138-57.
8 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 828-42.
9 Ibid.
10 Davis, Myths and Facts (7989), hal. 114.
11 Thomas J. Hamilton, New York Times, 19 November 1949; "Report of the Special Representative's Mission to the Occupied Territories, 15 Sept. 1967," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Janet Abu Lughod, "The Demographic Transformation of Palestine;" dalam Abu Lughod, Transformation of Palestine, 139-64. Perkiraan Kementerian Luar Negeri, yang jelas tidak diumumkan pada waktu itu, adalah sekitar 820.000; lihat FRUS 1949, "Editorial Note;" 6: 688.
12 Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 297.
13 Ibid., 297.
14 "Report on the Mission of the Special Representative to the Occupied Territories," laporan PBB no. A/6797*. Juga lihat Davis, The Evasive Peace, 69; Neff, Warrior for Jerusalem, 320. Davis mengemukakan jumlah pengungsi dua-kali itu adalah 145.000.
15 Aronson, CreatingFacts, 19. Untuk penuturan saksi mata yang menyedihkan tentang kehancuran desa-desa Latrun, lihat artikel yang ditulis oleh wartawan Israel Amos Kenen, "Report on the Razing of Villages and the Expulsion of Refugees," dalam Davis dan Mezvinsky, Documents from Israel, 148-51. Juga lihat Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 400-401.
16 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 121.
17 Para sarjana Israel telah secara cermat mendokumentasikan sebab-sebab perginya para pengungsi; lihat terutama Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 58; Segev, 1949, 25-29. Juga lihat Ball, The Passionate Attachment, 29-30, 35-36. Masalah itu juga mendapat perhatian serius dalam edisi ulang tahun keempat puluh dari apa yang dinamakan "Palestine 1948" yang diterbitkan oleh Journal of Palestine Studies, Musim Gugur 1988; lihat terutama Lampiran D, "Maps: Arab Villages Emptied and Jewish Settlements Established in Palestine, 1948-49;" 38-50; Donald Neff, "U.S. Policy and the Palestinian Refugees," 96-111; Nur-eldeen Masalha, "On Recent Hebrew and Israeli Sources for the Palestinian Exodus, 1947-49," 120-37.
18 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 292.
19 FRUS 1949, "Palestine Refugees" (rahasia), 15 Maret 1949, 6: 831, 837.
20 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 281.
21 Ibid., 63.
22 Flapan, The Birth of Israel, 42.
23 Ibid., 89.
24 Palumbo, The Palestinian Catastrophe, 18, 115.
25 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 218. Juga lihat Alexander Cockburn, "Beat the Devil," The Nation, 31 Agustus-7 September 1992,198.
26 Segev, 1949, 28.
27 Flapan, The Birth of Israel, 90.
28 MacDonald, My Mission in Israel, 176.
29 Patai, The Complete Diaries of Theodor Herzl, 88.
30 Aronson, Creating Facts, 18.
31 MacDowall, Palestine and Israel, 164- 69.
32 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949, 24-26.
33 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
34 Yossi Melman dan Dan Raviv, "Expelling Palestinians;" Washington Post, rubrik Outlook, 7 Februari 1988. Para penulis itu adalah wartawan-wartawan Israel yang menulis buku berbahasa Ibrani A Hostile Partnership: Israelis, Jordanians and Palestinians.
35 Angka-angka itu tidak mencakup Jerusalem, yang harus mempunyai penduduk Yahudi 100.000 orang di samping 105.000 orang Arab; lihat Muhammad Zafrulla Khan, "Thanksgiving Day at Lake Success," dalam Khalidi, From Haven to Conquest, 714.
36 Epp, Whose Land Is Palestine?, 185.
37 Morris, The Birth of Palestinian Refugee Problem, 136.
38 Ben-Gurion, Israel, 150.
39 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 135-36.
40 Ibid., 140.
41 Ben-Gurion, Israel, 361.
42 MacDowall, Palestine and Israel, 165.
43 Ibid., 124, 221.
44 Dikutip dalam Palumbo, The Palestinian Catastrophe, xv.
45 Erskine B. Childers, "The Other Exodus," dalam Khalidi, From Haven to Conquest.
46 Glubb, A Soldier with the Arabs, 251.
47 Flapan, The Birth of Israel, 84-87; Morris, The Birth of the Palestinian Problem, 58; Segev, 1949, 25-29.
48 Flapan, The Birth of Israel, 85.
49 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
50 Christopher Hitchens, "Broadcasts," dalam Said dan Hitchens, Blaming the Victims.
51 Joel Himelfarb, "And You Thought Peter Jennings Was Bad;" Near East Report, 27 Mei 1991.
52 Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 290.
53 Pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19 November 1955; teks ini terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 405.
54 Resolusi 194 (II1). Teks ini terdapat dalam New York Times, 12 Desember 1948; Kementerian Luar Negeri A.S., A Decade of American Foreign Policy 1940-1949, 851-53; Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 15-16; Medzini, Israel's Foreign Relations, 1: 116-18. Majelis Umum mengulangi seruannya mengenai hak-hak rakyat Palestina untuk kembali atau menerima kompensasi sebanyak sembilan belas kali dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkan antara 1950 hingga 1973: 394, 818, 916, 1018, 1191, 1215,1465, 1604,1725, 1865, 2052, 2154, 2341, 2452, 2535, 2672, 2792, 2963, dan 3089. Kementerian Luar Negeri secara terbuka menegaskan kembali dukungan AS bagi rumusan kembali-atau-kompensasi dalam sebuah resolusi pada 1992, namun juru bicara Margaret Tutwiler menambahkan bahwa masalah itu harus dirundingkan secara langsung antara Israel dan orangorang Palestina; lihat Washington Times, 14 Mei 1992.
55 Lihat Medzini, "The Arab Refugees," dalam Israel's Foreign Relations, 1: 365-467.
56FRUS,1949, "Editorial Note," 6: 688.
57 Quigley, Palestine and Israel, 105.
58 FRUS 1949, "Palestinian Refugee," 6:836-37. Angka imigrasi DP terdapat di halaman 831.
59 Anne O'Hare McCormick, New York Times, 18 Januari 1949.
60 Bard and Himelfarb, Myths and Facts, 143.


EMPAT
KRISIS SUEZ 1956
 Dalam Krisis Suez 1956, Israel, Inggris, dan Perancis bersekongkol secara rahasia untuk melanggar hukum internasional dengan menyerang Mesir dengan tujuan menjatuhkan sang pemimpin muda, Gamal Abdel Nasser.1 Meskipun ketiga negara itu bersahabat dengan Amerika Serikat, mereka menyembunyikan rencana mereka dari Washington. Ketika Presiden Dwight D. Eisenhower akhirnya mengetahui niat mereka, dia melancarkan tekanan diplomatik yang sangat keras sehingga mereka menghentikan serangan dan menyerahkan wilayah Mesir yang telah mereka rebut. Aksi militer itu dimulai pada 29 Oktober dan berakhir pada 7 November 1956.

OMONG KOSONG
"Bukan Israel yang berusaha untuk mengurung Mesir dengan sebuah cincin baja." --Pernyataan Perdana Menteri Israel, 19562
FAKTA
Pasukan Israel bergerak menuju Semenanjung Sinai pada 29 Oktober 1955, untuk memulai serangan terhadap Mesir yang direncanakan bersama secara rahasia dengan Inggris dan Perancis. Untuk menyembunyikan niatnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Israel memerintahkan duta besarnya di Washington, Abba Eban, untuk meyakinkan para pejabat AS bahwa digerakkannya pasukan Israel adalah "akibat 'masalah-masalah keamanan' dan menekankan bahwa tidak ada kaitan antara apa yang tengah mereka kerjakan dengan konflik antara kekuatan-kekuatan lain [Inggris dan Perancis] dengan Mesir."3
Pada saat yang sama pasukan Israel sedang menyerang Sinai. Ketika Presiden Eisenhower mendengar kebenaran serangan pengecut Israel, dia berkata pada menteri luar negerinya, John Foster Dulles: "Foster, kau bilang pada mereka... kita akan menerapkan sanksi-sanksi, kita akan menghadap Perserikatan Bangsa-Bangsa, kita akan melakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk menghentikannya." Di kemudian hari Eisenhower mengenang: "Kami hanya mengatakan pada orang-orang Israel bahwa jika mereka mengharapkan dukungan kami di Timur Tengah dan mempertahankan posisi mereka, mereka harus berkelakuan baik... Kami langsung menuju sasaran dan mulai menekan mereka."4
Krisis Suez meledak tepat ketika kampanye pemilihan kembali Eisenhower usai. Pada malam serangan Israel, sekelompok tokoh terkemuka Partai Republik menemuinya, khawatir bahwa Eisenhower mungkin akan tergoda untuk menggunakan pasukan AS untuk mengusir Israel keluar sebab mereka telah "melakukan serangan yang tidak dapat dimaafkan."5 Para politisi itu khawatir bahwa reaksi bagi oposisi Eisenhower di kalangan para partisan Israel di Amerika Serikat akan menjadi sangat besar sehingga dia akan kalah dalam pemilihan. Komentar Eisenhower: "Saya pikir emosi telah menyelubungi penilaian baik mereka."6 Hari berikutnya Eisenhower memerintahkan diusulkannya sebuah resolusi pada Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel. Minggu berikutnya, dia berhasil menekan Inggris, Perancis, dan Israel untuk menghentikan serangan-serangan mereka terhadap Mesir, dan dengan mudah memenangkan pemilihan.

OMONG KOSONG
"Ketentuan-ketentuan gencatan senjata antara Israel dan Mesir tidak lagi mengandung keabsahan." --David Ben-Gurion, perdana menteri Israel, 19567
FAKTA
Pasukan Israel telah menyapu hampir tanpa rintangan seluruh Semenanjung Sinai hingga Terusan Suez dan ke selatan hingga Sharm el-Sheikh, dan merampungkan penaklukan mereka atas wilayah Mesir dalam waktu kurang dari seminggu, sementara Mesir menghadapi serangan-serangan serentak dari Inggris dan Perancis. Pada 7 November pemimpin Israel David Ben-Gurion menyatakan: "Persetujuan gencatan senjata dengan Mesir telah mati dan terkubur dan tidak dapat dihidupkan kembali."8 Pernyataan.Ben-Gurion bahwa gencatan senjata 1949 dengan Mesir telah batal memberi isyarat pada Presiden Eisenhower bahwa Israel berusaha mempertahankan wilayah yang telah direbutnya dengan paksa dari Mesir.
Eisenhower segera menulis pesan pribadi kepada Ben Gurion untuk mengungkapkan "keprihatinannya yang mendalam" dan memperingatkan: "Setiap keputusan [untuk menduduki Sinai] hanya akan mengundang kecaman atas Israel sebagai pelanggar prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa."9 Untuk memberi tekanan pada pesan Eisenhower, Wakil Menteri Luar Negeri Herbert Hoover Jr., memanggil wakil Israel di Washington dan memperingatkan bahwa Amerika Serikat siap untuk melancarkan aksi serius melawan Israel, termasuk "penghentian semua bantuan swasta dan pemerintah Amerika Serikat, sanksi-sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pengeluaran dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya berbicara dengan sangat serius dan mendesak."10
Pada hari yang sama, 7 November, Majelis Umum PBB, dalam pemungutan suara 65 berbanding satu, menuntut agar pasukan asing meninggalkan Sinai.11 Israel tidak mendapatkan suara, namun tetap menolak untuk menarik pasukannya, bahkan setelah Majelis Umum mengeluarkan resolusi lain pada Februari 1957 "yang menyesalkan" penolakan Israel untuk mundur.12
Kesabaran Eisenhower mulai menipis pada 11 Februari. Dia mengirim pesan lain kepada Ben-Gurion, menuntut penarikan mundur pasukan Israel "dengan segera dan tanpa syarat" dari Gaza. Lagi-lagi Ben-Gurion menolak.13
Pada 20 Februari, Eisenhower sudah tidak tahan lagi. Dia mengirim sebuah pesan keras kepada Ben-Gurion yang berisi peringatan bahwa Amerika Serikat akan mendukung sanksi-sanksi terhadap Israel dan bahwa sanksi-sanksi semacam itu akan mencakup bukan hanya pelarangan bantuan pemerintah tetapi juga sumbangan-sumbangan pribadi yang diberikan oleh individu-individu. Pada malam yang sama dia tampil di layar televisi nasional untuk mengemukakan kasusnya melawan Israel: "Saya yakin bahwa demi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak mempunyai pilihan lain kecuali melancarkan tekanan pada Israel agar mematuhi resolusi-resolusi penarikan mundur itu."14
Ben-Gurion menyebut tuntutan-tuntutan Eisenhower "keadilan yang sesat."15 Namun di bawah pengaruh ancaman-ancaman seperti itu akhirnya pasukan Israel ditarik dan krisis Suez segera berakhir. Israel telah dipaksa oleh Amerika Serikat untuk menyerahkan wilayah yang dicaploknya.

OMONG KOSONG
"Tindakan Amerika Serikat dalam Krisis Suez 1956 patut disesalkan." --Henry Kissinger, menteri luar negeri,197916
FAKTA
Meskipun mendapat kecaman dari Israel dan para pendukungnya, Eisenhower dan Amerika Serikat tampil dalam Krisis Suez dengan otoritas moral dan gengsi tinggi di mata dunia. Penulis biografi Eisenhower, Stephen E. Ambrose, mencatat: "Desakan Eisenhower tentang keutamaan PBB, kewajiban-kewajiban dalam perjanjian, dan hak-hak semua bangsa memberikan pada Amerika Serikat nilai tinggi dalam opini dunia yang belum pernah dicapainya sebelumnya... Diusulkannya resolusi [gencatan senjata] Amerika pada PBB, sesungguhnya, merupakan salah satu momen paling besar dalam sejarah PBB."17
Melesatnya gengsi Amerika di Perserikatan Bangsa-bangsa segera menjadi nyata. Duta besar AS untuk PBB, Henry Cabot Lodge, menelepon presiden dan melaporkan: "Belum pernah terjadi sebelumnya gemuruh tepuk tangan diberikan bagi kebijaksanaan presiden. Sungguh sangat spektakuler." Dari Kairo, Duta Besar Raymond Hare mengirim kawat: "AS tiba-tiba tampil sebagai pahlawan hak-hak asasi yang sejati."18 Hampir empat dasawarsa kemudian, para ahli sejarah menganggap penanganan Eisenhower atas krisis itu sebagai nilai tinggi dalam masa kepresidenannya. Hal itu mendukung otoritas dan pendirian moral Perserikatan Bangsa-Bangsa dan cita-cita Amerika Serikat.
Catatan kaki:
1 Neff, Warriors at Suez, 342-46. Juga lihat entri buku harian Ben-Gurion dalam S.I. Troen dan M. Shemesh, peny., The Suez-Sinai Crisis: Retrospective and Reappraisal (London: Frank Cass, 1990), 305-15.
2 Neff, Warriors at Suez, 364.
3 Ibid. 4 Love, Suez, 503. 5 Eiwnhower, Waging Peace, 74
6 Ibid.
7 Eban, An Outobiography, 229.
8 Ibid.
9 Love, Suez, 639.
10 Neff, Warriors at Suez, 416.
11 Resolusi 1002 (ES-1); teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 34.
12 Resolusi 1124 (XI); teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 1: 39.
13 Neff, Warriors at Suez, 416.
14 Love, Suez, 666.
15 Ibid.
16 Kissinger, White House Years, 347.
17 Ambrose, Eisenhower, 361.
18 Neff, Warriors at Suez, 417.


LIMA
PERANG 1967

Perang 1967 adalah yang ketiga dalam konflik Arab-Israel, dan yang paling sukses bagi Israel. Israel meraih semua sasaran perangnya, dan yang paling penting di antaranya adalah didudukinya seluruh tanah Palestina, termasuk Jerusalem Timur yang milik Arab, Semenanjung Sinai milik Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Tidak seperti krisis Suez 1956, ketika tentangan dari Washington berhasil memaksa Israel untuk menarik diri dari wilayah yang telah direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap hati-hati sekali dalam menanamkan pengertian para pejabat AS tentang posisi mereka.1 Akibatnya Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS untuk menyerahkan hasil-hasil yang telah dicapainya. Pertempuran dimulai pada 5 Juni dan berakhir pada 10 Juni.

OMONG KOSONG
"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa ... pemerintah negara-negara Arab ... secara metodis mempersiapkan dan melancarkan suatu serangan agresif yang dirancang untuk menimbulkan kehancuran segera dan menyeluruh atas Israel." --Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, 19672
FAKTA
Seperti dalam perang 1956, Israel memulai pertempuran pada 1967 dengan suatu serangan mendadak atas Mesir. Sekali lagi, seperti pada 1956, orang-orang Israel memperdaya Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Abba Eban secara pribadi meyakinkan Duta Besar AS untuk Israel Walworth Barbour bahwa Mesirlah yang pertama kali menyerang.3 Namun sejak perang berkobar, para pemimpin Israel --tidak seperti banyak pendukungnya di Amerika Serikat4-- secara terbuka telah mengakui bahwa yang menyerang adalah Israel dan, lebih-lebih lagi, bahwa Israel tidak menghadapi ancaman langsung bagi eksistensinya.
Menachem Begin, perdana menteri pada 1982, mengatakan bahwa perang 1967 adalah salah satu "pilihan," bahwa "kami putuskan untuk menyerangnya [Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser]." Ezer Weizman, bapak angkatan udara Israel dan di kemudian hari menjadi menteri pertahanan, mengatakan pada 1972 bahwa "tidak ada ancaman kehancuran" dari orang-orang Arab. Jenderal Mattityahu Peled, mantan anggota staf umum yang kemudian menjadi penyokong perdamaian, berkata pada 1972: "Menyatakan bahwa angkatan bersenjata Mesir yang terkumpul di perbatasan-perbatasan kita akan dapat mengancam eksistensi Israel bukan hanya merupakan hinaan bagi pikiran waras setiap orang yang mampu menganalisis situasi semacam ini, melainkan juga hinaan bagi Zahal [angkatan bersenjata Israel]." Dan Kepala Staf Yitzhak Rabin berkata pada 1968: "Saya tidak percaya bahwa Nasser menginginkan perang. Dua divisi yang dikirimnya ke Sinai pada 14 Mei tidak akan memadai untuk melepaskan serangan melawan Israel. Dia tahu itu dan kami pun tahu."5
David Ben-Gurion berkata dia "sangat meragukan apakah Nasser ingin berperang."6 Lagi pula dinas rahasia Amerika Serikat telah menyimpulkan sesaat sebelum perang bahwa Israel tidak menghadapi ancaman dekat dan bahwa jika diserang Israel dapat dengan cepat mengalahkan setiap negara Arab atau gabungan negara-negara Arab.7
Anggota kabinet Israel Mordecai Bentov mengungkapkan pada 1972 bahwa "seluruh cerita" Israel tentang "bahaya pembasmian" itu "hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan untuk membenarkan pencaplokan wilayah-wilayah Arab yang baru."8

OMONG KOSONG
"GOI [Pemerintah Israel] tidak, kami ulangi lagi: tidak, mempunyai niat untuk mengambil keuntungan dari situasi itu untuk memperluas wilayahnya." --Walworth Barbour, duta besar AS untuk Israel, 19679
FAKTA
Dalam dua hari sejak dimulainya perang, pasukan Israel berhasil merebut Kota Tua Jerusalem dari Yordania. Para pemimpin Israel dengan segera menyatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan kota itu. Shlomo Goren, rabbi kepala Ashkenazi dari Pasukan Pertahanan Israel, tiba di Tembok Ratapan dalam waktu setengah jam dan menyatakan: "Saya, Jenderal Shlomo Goren, rabbi kepala dari Pasukan Pertahanan Israel, telah datang ke tempat ini dan tidak akan pernah meninggalkannya lagi."10 Menteri Pertahanan Moshe Dayan juga tiba, dan berkata: "Kita telah menyatukan Jerusalem, ibukota Israel yang terbagi. Kita telah kembali ke tempat paling suci dari tempat-tempat suci kita, dan tidak akan pernah berpisah lagi dengannya."11 Menjelang berakhirnya pertempuran dalam waktu enam hari, pasukan Israel telah membanjiri seluruh Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan milik Syria. Wilayah yang direbut meningkatkan kontrol Israel atas tanah dari semula 5.900 mil persegi yang diserahkan padanya dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menjadi 20.870 mil persegi.12 Meskipun pada awalnya Israel berjanji bahwa ia tidak berusaha untuk meluaskan wilayah, dengan segera ia bertindak dengan mengusir orang-orang Palestina dan mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan, termasuk Jerusalem Timur Arab.13

OMONG KOSONG
"Jangan lupa bahwa kami netral dalam kata-kata, pikiran, dan perbuatan." --Eugene Rostow, wakil menteri luar negeri, 196714
FAKTA
Pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut dengan senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat tidak pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967. Pemerintahan Johnson sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Robert McCloskey mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow menyangkut kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para wartawan tidak ada yang percaya. Penegasan semacam itu, jika ditanggapi secara serius, merupakan suatu berita besar dan Associated Press dengan segera mengirim sebuah buletin khusus lewat kawat.15
Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan orang-orang Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato presiden John Roche begitu marah sehingga dia mengirim sebuah memo langsung kepada presiden untuk mengajukan protes, "Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab... Konsekuensi dari usaha untuk 'berbicara manis' dengan orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak pada kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat menjadi asing."16
Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari pertama perang itu.17 Dalam laporan ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari pertama pertempuran itu, penasihat kemanan nasional Walt Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis dalam sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan penjelasan, dengan sebuah peta, tentang serangan hari pertama."18
Dalam kenyataannnya, hubungan antara Amerika Serikat di bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan yang diambil sering kali dikoordinasikan dengan Israel dengan mengorbankan orang-orang Arab. McGeorge Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus presiden, menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang ketika dia menyarankan agar presiden menyampaikan pidato untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk memastikan kekuatan Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut. Inilah doktrin Lyndon B. Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan karenanya juga merupakan doktrin yang baik untuk diumumkan."19
Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan kecurigaan bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah memberikan "lampu hijau" pada keinginan Israel untuk melancarkan perang. Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa AS berkeinginan, bersama Israel, untuk menjatuhkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di Washington, di mana perang yang semakin hebat berkecarnuk di Vietnam menyedot seluruh perhatian. Lebih-lebih, tidak tampak adanya kolusi.
Tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson setidak-tidaknya memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya dengan semacam rencana kolusif. Ahli Timur Tengah William Quandt, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional di bawah Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada sepanjang seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyirnpulkan dalam sebuah telaah pada 1992: "Dengan adanya semua informasi ini, sekarang menjadi mungkin untuk memutuskan perdebatan lampu merah versus lampu hijau. Kedua pandangan itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting." Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk menghalangi Israel agar tidak melancarkan perang pada bulan Mei --"lampu merah"-- namun kemudian menyadari bahwa Amerika Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel yang sudah berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya sendiri. Pada tahap ini pemerintah memberikan pada Israel "lampu kuning," yang berarti, dalam kata-kata Quandt, "Presiden menyetujui tanpa bantahan keputusan Israel untuk memulai perang lebih dulu." Tambah Quandt: "Pendeknya, pada hari-hari yang menentukan sebelum Israel mengambil keputusan untuk berperang, lampu dari Washington beralih dari merah ke kuning. Lampu itu tidak pernah berubah menjadi hijau, tetapi kuning sudah cukup bagi orang-orang Israel untuk mengetahui bahwa mereka dapat beraksi tanpa mengkhawatirkan reaksi Washington."20
Sebuah contoh jelas tentang bagaimana para pejabat AS dan Israel bekerja sama selama perang itu terjadi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Duta Besar Israel untuk PBB, Gideon Rafael, ingat bahwa Duta Besar AS Arthur Goldberg "sangat khawatir tentang Israel dan ekuasi militernya." Goldberg memanggil Rafael dan bertanya: "Gideon, apa yang kau ingin kulakukan?"21 Rafael berkata bahwa yang dibutuhkan Israel adalah waktu untuk menghindar agar Dewan Keamanan tidak mengeluarkan resolusi gencatan senjata sementara pasukan Israel tengah mencatat kemenangan dramatis pada hari-hari pertama perang. Untuk mencapai tujuan ini, dia ingin Goldberg menghindari pertemuan dengan rekannya dari Soviet, Nikolai Federenko. Rafael mengatakan pada Goldberg: "Kau tidak boleh terlalu mudah ditemui selama beberapa hari mendatang." Dan Goldberg menurut.22

OMONG KOSONG
"Dapat disimpulkan secara jelas dan tanpa sangsi dari bukti-bukti dan dari perbandingan antara catatan-cacatan harian perang bahwa serangan atas USS Liberty bukanlah suatu kejahatan; tidak ada kealpaan kriminal dan serangan itu dilakukan semata-mata karena kesalahan yang tidak disengaja." --Pernyataan pemerintah Israel, 196723
FAKTA
Pada suatu Siang yang cerah tanggal 8 Juni, tanpa adanya pertempuran yang berlangsung di dekatnya, pesawat-pesawat perang dan perahu-perahu torpedo Israel berulang kali menyerang kapal intelijen AS Liberty di pantai Sinai, membunuh 34 awak kapalnya dan mencederai 171 orang. Dalam serangan itu digunakan napalm, roket-roket, senjata-senjata mesin, dan torpedo. Serangan itu sebelumnya didahului dengan upaya pengintaian oleh pesawat-pesawat Israel selama setidak-tidaknya lima setengah jam, pada waktu kapal itu mengibarkan bendera baru yang melambai bebas diterpa angin sepoi.24
Meskipun selama tahun-tahun itu Israel tetap berkeras bahwa kasus tersebut merupakan suatu kekeliruan identitas dan suatu kecelakaan, banyak bukti yang dengan kuat mendukung tuduhan bahwa Israel sengaja menyerang kapal intelijen itu, sebab ia khawatir Liberty akan memonitor persiapan-persiapan Israel untuk menyerang Dataran Tinggi Golan pada hari berikutnya. Pemerintahan Johnson menerima pernyataan Israel bahwa serangan itu adalah akibat identifikasi yang keliru. Bahkan bertahun-tahun kemudian, Johnson selalu mengelak untuk membicarakan kejadian itu, dengan menyatakan dalam memoarnya bahwa hanya ada sepuluh orang yang meninggal dalam serangan tersebut.25 Itu adalah indikasi jelas bagaimana Johnson berkolusi dengan Israel.
Hingga 1991, orang-orang yang selamat dalam serangan itu menuduh pemerintah AS masih selalu menutup-nutupi peran Israel. Tulis James Ennes, seorang letnan yang berjaga di atas anjungan pada hari terjadinya serangan itu: "Selubung resmi yang dipasang untuk menutupi cerita ini masih sama kuatnya dengan yang digunakan pertama kali dulu." Dan tetap demikian meskipun dalam kenyataannya para mantan pejabat seperti Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan Pemimpin Gabungan Kepala Staf Laksamana Thomas Moore telah menulis catatan yang menyalahkan Israel karena menyerang Liberty secara sengaja.
Kata-kata Rusk dalam memoarnya: "Saya tidak pernah puas dengan penjelasan Israel... Saya tidak percaya pada mereka waktu itu, dan saya tidak mempercayai mereka hingga hari ini. Serangan itu sungguh kotor." Simpul Ennes: "Namun, meskipun ada pendapat-pendapat kuat dari para pemimpin, tidak ada satu pejabat pun yang masih duduk dalam pemerintahan pernah melakukan usaha yang nyata untuk meluruskan catatan itu."26
Baru pada 8 Juni 1991 orang-orang yang selamat itu akhirnya mendapatkan tanda penghargaan dari presiden yang ditandatangani oleh Johnson pada 1967 namun baru diserahkan pada waktu itu.27 Lalu pada 6 November 1991, kolumnis Rowland Evans dan Robert Novak akhirnya mengetahui bahwa kedutaan besar AS di Beirut telah menangkap saluran radio Israel di mana pilot Israel melaporkan: "Itu sebuah kapal Amerika." Komando Israel mengabaikan laporan itu dan memerintahkan pilot untuk melancarkan serangan. Evans dan Novak menyimpulkan bahwa Israel menyerang "sebab Liberty akan dapat mendengar setiap kata dalam komunikasi antara markas besar IDF dan unit-unit Israel yang tengah bersiap-siap untuk menyerang Syria." Serangan Israel ke Dataran Tinggi Golan berlangsung pada hari berikutnya setelah Israel membungkam Liberty. Laporan itu dikonfirmasi oleh Dwight Porter, yang menjadi duta besar Amerika untuk Lebanon pada waktu itu.28 Dengan demikian, setelah dua puluh empat tahun, kebenaran akhirnya muncul.
Catatan kaki:
1 Cockburn, Dangerous Liaison, 145.
2 Eban, "Statement to the General Assembly by Foreign Minister Eban,19 June 1967," dikutip dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 2: 803.
3 William B. Quandt, "Lyndon Johnson and the June 1967 War: What Color Was the Light?" The Middle East Journal, Musim Semi 1992.
4 John Law, "A New Improved Myth;" Middle East International, 12 Juli 1991.
5 Semua kutipan dalam paragraf ini berasal dari Cockburn, Dangerous Liaison, 153-54. Juga lihat Richard B. Parker, "The June War: Whose Conspiracy?" Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1992; Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem, 897.
6 Rabin, Rabin Memoirs, 75. Juga lihat Sheldon L. Richman, "'Ancient History:' U.S. Conduct in the Middle East since World War II and the Folly of Intervention;' pamflet Cato Institute, 16 Agustus 1991, 20.
7 Neff, Warriors for Jerusalem, 140.
8 Quigley, Palestine and Israel, 170.
9 Kedutaan besar Tel Aviv untuk Kementerian Luar Negeri, telegram 3928 (rahasia), 5 Juni 1967 (diungkapkan pada 13 Desember 1982), dikutip dalam Green, Taking Sides, 218-19.
10 Moskin, Among Lions, 308.
11 Neff, Warriors for Jerusalem, 233.
12 Nyrop, Israel, xix. Juga lihat Epp, Whose Land Is Palestine? 185; Foundation for Middle East Peace, Report on Israeli Settlement in the Occupied Territories, Juli 1991.
13 Halabi, The West Bank Story, 35-36. Juga lihat Hirst, "Rush to Annexation: Israel in Jerusalem," Journal of Palestine Studies, Musim Panas 1974; Neff, Warriors for Jerusalem, 289-90.
14 Neff, Warriors for Jerusalem, 213; Bar-Zohar, Embassies in Crisis, 220.
15 Neff, Warriors for Jerusalem, 213.
16 Roche pada Presiden, "EYES ONLY memorandum," 6 Juni 1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 222.
17 Neff, Warriors for Jerusalem, 213.
18 Rostow untuk Presiden, 5 Juni 1967 (rahasia).
19 Bundy kepada Presiden, memorandum, "The 6: 30 Meeting," jam 6: 15 pagi, 9 Juni 1967, Johnson Library, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 273.
20 Quandt, "Lyndon Johnson and the June 1967 War."
21 Moskin, Among Lions, 117-19.
22 Ibid., 119.
23 Ennes, Assault on the Liberty, 156-57.
24 Ibid., 52-53.
25 Johnson, The Vantage Point, 300.
26 James M. Ennes, Jr., "Victims of 1967 Attack Honored, Israeli Motives Still Uninvestigated," Washington Report on Middle East Affairs, Mei/Juni 1991.
27 Bill McAllister, Washington Post, 15 Juni 1991.
28 Rowland Evans dan Robert Novak, Washington Post, 6 November 1991.


ENAM
RESOLUSI PBB 242

Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22 November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik Arab-Israel.1 Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian --tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya pasukan dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang 1967, Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab. Resolusi itu menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol, pada 1991.

OMONG KOSONG
"Baik dokumen internasional ini [gencatan senjata 1949 antara Israel dan Yordania] maupun Resolusi 242 tidak menjadi penghalang bagi klaim dasar Rakyat Yahudi bahwa Tanah Israel secara sah dimiliki oleh Rakyat Yahudi." --Menachem Begin, perdana menteri Israel, 19772
FAKTA
Konfrontasi besar mengenai penafsiran tentang Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB pecah antara Amerika Serikat dan Israel setelah Menachem Begin berkuasa pada 1977. Meskipun pemerintahan Israel sebelumnya menerima dapat diterapkannya resolusi itu pada semua wilayah --Sinai, Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur milik Arab, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan-- Begin berargumen bahwa resolusi itu tidak mencakup Tepi Barat milik Yordania, atau Judea dan Samaria, sebagaimana dia selalu menyebutnya. Ketika Begin pertama-tama menyatakan secara terbuka bahwa Resolusi 242 tidak membatalkan klaim Israel atas Tepi Barat, Kementerian Luar Negeri AS segera menanggapi dengan pernyataan terbuka: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti penarikan mundur pada ketiga garis depan dalam pertikaian Timur Tengah... Ini berarti bahwa tidak ada wilayah termasuk Tepi Barat yang secara otomatis dilepaskan dari pokok-pokok yang harus dirundingkan."3
Sebuah telaah Kementerian Luar Negeri pada 1978 mengenai masalah itu, yang dibuat setelah Begin tetap mempertahankan penafsiran uniknya, menyimpulkan: "Kami telah meriset catatan-catatan mengenai perundingan-perundingan terbuka dan tertutup yang menyebabkan diterimanya Resolusi 242, dan penjelasan-penjelasan tentang pemungutan suara dalam penerimaannya, dan kami berkesimpulan bahwa tidak ada keraguan sama sekali bahwa para anggota Dewan, dan Israel... mempunyai inti pemahaman yang sama bahwa prinsip penarikan itu berlaku untuk ketiga garis depan."4
Pendapat ini di kemudian hari didukung secara otoritatif oleh pengarang resolusi, Lord Caradon dari Inggris, yang menulis: "Resolusi ini memerintahkan penarikan mundur dari wilayah-wilayah pendudukan. Persoalannya adalah wilayah-wilayah mana yang diduduki. Sama sekali tidak ada keraguan dalam persoalan ini. Adalah suatu kenyataan yang sangat jelas bahwa Jerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Golan, dan Sinai diduduki dalam konflik tahun 1967; penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan itulah yang ditetapkan dalam Resolusi itu."5
Para pejabat AS telah berkali-kali mengulangi pernyataan ini secara terbuka. Pada Juni 1977, pemerintahan Carter mengeluarkan pernyataan tentang pandangan-pandangannya mengenai unsur-unsur dari suatu perdamaian komprehensif. Pernyataan itu secara jelas menyatakan bahwa Israel, "dalam ketentuan Resolusi 242, untuk mengembalikan... perdamaian, jelas harus menarik diri dari wilayah-wilayah yang diduduki. Kami berpendapat resolusi itu berarti penarikan dari ketiga garis depan yaitu, Sinai, Golan, Tepi Barat-Gaza... Tidak ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis tidak termasuk pokok-pokok yang akan dirundingkan."6 Lebih dari satu dasawarsa kemudian, Menteri Luar Negeri George Shultz berkata: "Ketetapan-ketetapan Resolusi 242 berlaku untuk semua garis depan."7

OMONG KOSONG
"[Resolusi PBB 242] berbicara tentang penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan tanpa mendefinisikan ruang lingkupnya." --Arthur Goldberg, duta besarAS untuk PBB, 19738
FAKTA
Terdapat makna ganda yang disengaja dalam Resolusi 242. Yakni dalam frasa yang mengatakan "dari wilayah-wilayah" dan bukannya "semua" wilayah. Tujuan dari frasa itu adalah memungkinkan dibuatnya penyesuaian-penyesuaian perbatasan yang akan meralat jalur-jalur zigzag yang ditinggalkan menjelang akhir pertempuran pada 1948. Jerusalem Timur milik Arab tidak secara spesifik disebutkan dalam resolusi melainkan dianggap oleh semua negara kecuali Israel sebagai yang termasuk dalam paragraf pembukaan yang menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang."9
Meskipun terdapat makna ganda, Raja Hussein dari Yordania berulang kali meyakinkan para pejabat tinggi AS pada hari-hari sebelum dikeluarkannya resolusi itu bahwa yang diharapkan hanyalah perubahan-perubahan kecil dalam wilayah itu dan bahwa setiap perubahan akan berlaku timbal balik. Sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri Dean Rusk kepada Hussein pada 6 November, enam hari sebelum dikeluarkannya resolusi: "Amerika Serikat siap mendukung dikembalikannya sebagian besar dari Tepi Barat kepada Yordania dengan penyesuaian-penyesuaian perbatasan, dan akan menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan kompensasi bagi Yordania atas setiap wilayah yang harus dilepaskannya." Sebagai ilustrasi, Rusk mengatakan kepada Hussein bahwa jika Yordania melepaskan sedikit wilayah antara Jerusalem dan Tel Aviv yang dikenal sebagai Latrun Salient, "Amerika Serikat akan menggunakan pengaruh diplomatik dan politiknya untuk mendapatkan akses bagi Yordania ke sebuah pelabuhan Laut Tengah di Israel sebagai kompensasi." Hussein menerima jaminan yang sama dari Presiden Johnson dan Duta Besar AS Arthur Goldberg.10
Semua pemerintahan sejak Johnson telah mengulangi jaminan itu kepada Raja Hussein. Misalnya, pada Januari 1983 menteri luar negeri pemerintahan Reagan, George Shultz, menulis dalam sebuah surat untuk Hussein bahwa "sesuai dengan Resolusi 242, Presiden percaya bahwa wilayah tidak boleh direbut lewat perang. Namun beliau juga percaya bahwa Resolusi 242 memang, memungkinkan perubahan-perubahan dalam perbatasan yang ada sebelum Juni 1967, namun hanya jika perubahan-perubahan semacam itu disetujui oleh kedua belah pihak." Shultz menambahkan bahwa "Amerika Serikat menganggap Jerusalem Timur [milik Arab] sebagai bagian dari wilayah pendudukan."11
Baru dalam pemerintahan Bush, Amerika Serikat mulai menepati janjinya untuk mendukung resolusi dengan tindakan. Pada awal 1992, Bush menolak memberi Israel $10 milyar dalam bentuk jaminan pinjaman kecuali jika Israel berjanji akan menghentikan sama sekali seluruh aktivitas pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan dan mau berunding mengenai landasan Resolusi 242.12 Namun, di tengah kampanye kepresidenan tahun 1992 dan berkuasanya Yitzhak Rabin, Bush melunak dan menyerahkan jaminan itu, dengan meniadakan hampir semua syarat.

OMONG KOSONG
"[Resolusi PBB 242] memerlukan perundingan-perundingan antara kedua belah pihak." --Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, 197913
FAKTA
Tidak ada disebut-sebut tentang perundingan-perundingan langsung dalam resolusi itu atau perlunya diadakan perundingan-perundingan sebelum ditariknya pasukan Israel.
Dalam Resolusi itu hanya dinyatakan "meminta Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang wakil khusus untuk pergi ke Timur Tengah guna menjalin dan menjaga kontak dengan negara-negara yang berkepentingan, untuk mencapai persetujuan dan membantu usaha-usaha mencari penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam resolusi ini."
Para pejabat AS diam-diam setuju dengan Israel bahwa harus diadakan perundingan-perundingan untuk mengawali penarikan Israel dari wilayah-wilayah yang direbut dalam perang. Tapi persepsi mereka tentang perundingan-perundingan itu sangat berbeda dari keyakinan Israel di kemudian hari.
Para pejabat AS secara naif beranggapan bahwa begitu resolusi PBB diterima, hanya perundingan-perundingan teknis dan singkat sajalah yang diperlukan antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya untuk melaksanakan rincian-rincian dari penarikan Israel. Mereka meyakinkan negara-negara Arab bahwa demikianlah permasalahannya, dan negara-negara Arab selanjutnya berkeras bahwa Israel harus menarik diri tanpa syarat. Namun Israel berkeyakinan bahwa perundingan-perundingan itu harus mencakup semua aspek dari penarikan dan perdamaian, termasuk penempatan kembali bukan hanya para pengungsi Palestina melainkan para pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab juga.14
Karena masalah khusus menyangkut perundingan-perundingan pendahuluan itulah maka Israel mogok melaksanakan resolusi selama enam tahun. Amerika Serikat berulang kali mendesak Israel untuk menarik diri tanpa perundingan-perundingan terinci tetapi Israel menolak, dan mendesak diadakannya perundingan-perundingan langsung. Pada 9 Juni 1970, Menteri Luar Negeri William Rogers mengecam pendirian Israel dengan mengatakan: "Israel harus menjelaskan bahwa ia menerima prinsip penarikan sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Dewan Keamanan bulan November 1967 dan bahwa ia tidak lagi mendesakkan rumusan 'perundingan-perundingan langsung tanpa prasyarat.'"15 Namun Israel menolak.
Perang pecah pada 1973 ketika Mesir dan Syria berusaha mendobrak kemacetan diplomatik dengan serangan militer atas wilayah Arab yang dikuasai Israel. Masalah perundingan-perundingan awal akhirnya terselesaikan pada akhir perang 1973 dengan keluarnya Resolusi PBB 338, yang menyatakan bahwa "perundingan-perundingan akan dimulai oleh kedua belah pihak yang berkepentingan dengan dukungan selayaknya demi tercapainya perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah."16 Tetapi, setelah memenangkan soal itu, Israel lantas mulai berkeras bahwa penarikan tidak berarti dari semua garis depan. Ia tetap mempertahankan penafsiran unik atas Resolusi 242 itu hingga hari ini.
Catatan kaki:
1 Teks resolusi itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions, 1:143. Juga lihat Rafael, Destination Peace, 198; Brecher, Decisions in Israel's Foreign Policy, 487-90.
2 Medzini, Israel's Foreign Relations, 4:14. Sebuah telaah dari Kementerian Luar Negeri AS menyatakan tentang komentar Begin: "Dalam sebuah wawancara televisi Israel pada 23 Juni [1977], Begin menyatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara desakan Israel atas haknya untuk mempertahankan Tepi Barat secara permanen dan Resolusi 242." Noring dan Smith, "The Withdrawal Clause in UN Security Council Resolution 242 of 1967" (Februari 1978): 47. Telaah Noring dan Smith tetap digolongkan rahasia/NODIS ("no distribution") namun banyak sekali dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, Bab 25, "Passage of U.N. Resolution 242." Teks itu terdapat dalam Medzini, Israel's Foreign Relations, 4:15-16.
3 Noring dan Smith, "The Withdrawal Clause," 47.
4 Ibid., 53-54.
5 Lord Caradon et al., UN Security Council Resolution 242 (Washington, D.C.,: Georgetown University, 1981), 9.
6 Teks ini terdapat dalam Kementerian Luar Negeri AS, American Foreign Policy 1977-1980, 617-18, dan New York Times, 28 Juni 1977. Juga lihat Quandt, Camp David, 73.
7 Boudrealt et al, U.S. Official Statements Regarding UN Resolution 242 (Washington, D.C.: The Institute for Palestine Studies, 1992), 129.
8 Bard dan Himelfarb, Myths and Facts, 67.
9 Lihat Mallison, The Palestinian Problem in International Law and World Order, 220.
10 Noring dan Smith, "The Withdrawal Clause," 12-13, dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 342.
11 Neff, Warriors for Jerusalem, 349.
12 New York Times, 25 Februari 1992.
13 Rabin, The Rabin Memoirs, 137.
14 Lihat "Saunders to W.W. Rostow, memorandum rahasia, 'Eshkol's Knesset Speech Yesterday,' 31 Oktober 1967," dan dokumen-dokumen lain yang dikutip dalam Neff, Warriors for Jerusalem, 338-39.
15 Boudrealt et al., U.S. Official Statements Regarding UN Resolution 242,122.
16 Teks itu terdapat dalam Tomeh, United Nations Resolutions, 1: 151.


Diplomasi Munafik ala Yahudi -
Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel oleh Paul Findley
Judul Asli: Deliberate Deceptions:
Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship by Paul Findley
Terbitan Lawrence Hill Brooks, Brooklyn, New York 1993
Penterjemah: Rahmani Astuti, Penyunting: Yuliani L.
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Dzulhijjah 1415/Mei 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038

Tidak ada komentar:

Posting Komentar