PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Senin, 03 Juni 2013

Dialog Dengan Para Sufi


Dialog Dengan Para Sufi

Sufyan Al-Tsury yang hidup di kota Madinah,  datang mengunjungi  Imam Ja'far  Shadiq r.a. Dia melihat Imam memakai pakaian yang rapi dan sangat elok, bagaikan tabir halus yang memisahkan antara kuning telur dengan putihnya. Sufyan mengkritik, "Anda tidak  selayaknya  menceburkan  diri  Anda dalam kemewahan duniawi. Dari andalah diharapkan ketaqwaan, kezuhudan, dan sifat menghindari dunia."
Lalu Imam berkata, "Dengar baik-baik hai Sufyan. Akan aku katakan sesuatu yang berguna  untuk dunia dan akhiratmu. Apabila engkau keliru dan tidak mengetahui pandangan  agama Islam yang sebenarnya tentang perkara ini, maka ucapanku ini akan betul-betul berguna. Namun, kalau maksudmu untuk berbuat sesuatu  yang  bid'ah  dan menyelewengkan ajaran agama, itu soal lain, dan kata-kataku ini tidak akan ada gunanya. Mungkin engkau mengamalkan cara hidup Rasulullah  dan  sahabat-sahabatnya  yang faqir dan bersahaja pada zaman dulu, kemudian engkau mengira bahwa itu merupakan satu jenis taklif (kewajiban) bagi setiap Muslim sampai hari kiamat. Namun aku katakan kepadamu, bahwa Nabi hidup di suatu masa dan keadaan di mana  kesengsaraan, kemiskinan,  dan  kesempitan  melanda  mereka.  Rata-rata  kaum  Muslimin  saat  itu  tidak memiliki  bahan  keperluan  pokok  untuk hidup. Kehidupan Nabi dan sahabat-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa di mana keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya  mengizinkan  kita  untuk menikmati pemberian-pemberian Ilahi, maka yang paling  berhak  menikmati  karunia  dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang-orang saleh dan bertaqwa, bukan orang-orang fasiq; orang-orang Muslim, bukan  orang-orang kafir.
"Aib  apa  yang  engkau lihat pada diriku? Demi Allah, meskipun ---sebagaimana yang  engkau  lihat---  aku menikmati pemberian-pemberian dan nikmat-nikmat Ilahi ini, tapi sejak masa baligh-ku sampai sekarang, tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku menyadari apakah hak orang lain masih ada di tanganku atau tidak. Kalau ada, segera aku lunasi dan kusampaikan kepadanya."
Sufyan  diam dan tidak bisa menjawab penjelasan Imam Ja'far Ash-Shadiq. Dia keluar dengan hati yang "kalah". Dia pergi ke  tempat  sahabat-sahabat  sufinya  dan menceritakan  apa  yang terjadi antara dia dengan Imam Ja'far. Mereka berembug untuk menemui Imam Ja'far beramai-ramai dengan mendiskusikan hal tersebut. Setelah sepakat, mereka datang dan berkata, "Sahabat kami tidak bisa menjawab Anda dengan dalil yang kuat. Kini kami datang untuk menjelaskan kepada Anda alasan-alasan kami."
"Katakanlah dalil-dalil kalian," kata Imam Ja'far.
"Dalil kami adalah Al-Quran."
"Apakah  ada  dalil  lain  yang  lebih  baik  dari  Al-Quran?  Cobasebutkan,  aku bersedia mendengarnya."
"Ada dua ayat dalam Al-Quran yang kami ambil sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran kami dan ajaran tarekat kami. Dan ini cukup bagi  kami.  Allah  swt  memuji sekumpulan sahabat dalam Al-Quran, yakni firman Allah, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan  telah  beriman  (Anshar)  sebelum  (kedatangan)  mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin):  dan mereka mengutamakan  (orang-orang Muhajirin)  atas  diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung..” (QS. 59:9). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan..” (QS. 76:9).
Ketika argumentasi para sufi itu sampai di sini, seseorang yang hadir berkomentar dari kejauhan, "Sejauh yang aku ketahui, kalian sendiri tidak mempercayai apa yang kalian  ucapkan  itu.  Kalian hanya ingin agar mereka menjauhi harta benda mereka, lalu memberikannya kepada kalian, dan pada gilirannya kalianlah yang menikmati semua itu. Karena itu, tidak pernah tampak kalian menghindari makanan-makanan yang lezat!"
"Tidak ada gunanya engkau terburu-buru mengucapkan kata-kata itu," Imam Ja'far menegur orang yang berkata tadi. Lalu beliau menghadap para  sufi  dan  berkata, "Pertama-tama,  apakah  kalian bisa membedakan antara Muhkam  dan Mutasyabih, nash  dan mansukh  yang ada dalam Al-Quran ketika  kalian  berargumentasi  dengan ayat-ayat suci Al-Quran? Kesesatan yang menimpa umat Islam ini adalah karena mereka berpegang pada suatu ayat, tanpa mengetahui pengertian  yang  benar  dari  Al-Quran."
"Sebenarnya kami hanya tahu secara garis besar tentang ilmu Al-Quran ini, tidak terlalu sempurna," mereka menjawab.
"Itulah letak kesalahan kalian. Hadits-hadits Nabi adalah juga seperti ayat-ayat Al-Quran. Untuknya  diperlukan pengetahuan dan pengertian yang sempurna. Ayat-ayat Al-Quran yang kalian bacakan tadi, bukan merupakan dalil  yang  mengharamkan  kita menikmati  pemberian-pemberian  Ilahi  'Azza  Wa  Jalla. Ayat itu berkenaan dengan pengorbanan dan pemberian infaq. Ayat itu memuji suatu kaum pada suatu masa tertentu, karena  mementingkan orang lain lebih daripada diri mereka sendiri, dan memberikan hartanya yang halal kepada mereka. Namun kalau mereka tidak melakukan  semua  itu, bukan berarti mereka telah berbuat ingkar dan  dosa.  Allah  tidak  mewajibkan  mereka berbuat demikian, dan pada waktu yang sama juga tidak melarang mereka. Kaum Anshar berkorban dan mementingkan kaum Muhajirin berdasarkan rasa ihsan dan panggilan hati nurani mereka, karenanya Allah swt akan memberikan ganjaran kepada mereka. Dengan demikian, ayat itu tidak membuktikan kebenaran dakwaan kalian, karena kalian melarang dan mencela orang-orang yang menikmati pemberian-pemberian  dan  harta-harta  yang Allah telah anugerahkan kepada mereka..
"Sahabat Nabi pada masa itu terlalu banyak menginfaqkan dan mengorbankan hak milik mereka, sampai turun wahyu Allah yang membatasi perbuatan mereka tadi. Wahyu yang  datang  kemudian  me-mansukhkan amal perbuatan mereka. Seharusnya kita mengikuti  wahyu yang datang kemudian, bukan mengikuti asal perbuatan mereka sebelumnya.
"Allah (Swt.), berdasarkan rahmat-Nya yang tersendiri dan  demi  kepentingan orang-orang Mukmin, melarang seseeorang menyengsarakan diri dan keluarganya dengan memberi  apa  yang  ada  di tangannya kepada orang lain, karena dalam keluarganya terdapat orang-orang yang lemah, anak-anak kecil, dan orang-orang tua yang tidak dapat memikul  semua  itu.  Seandainya  aku  memiliki  beberapa  keping  roti,  dan  ku-infaq-kan semuanya, sedangkan keluargakulah yang berhak menerimanya, maka mereka akan mati kelaparan. Karena itulah Rasulullah saw bersabda, .Jika seseorang mempunyai beberapa biji  kurma  atau  beberapa  kerat  roti,  atau  beberapa  keping  dinar,  dan  berniat menginfaqkan, pertama-tama dia harus infaqkan kepada anaknya, kemudian keluarga dan saudara-saudaranya  yang  mukmin,  dan terakhir barulah amal-amal kebajikan dan amal-amal jariyah.. Yang terakhir boleh dilakukan setelah memenuhi tiga yang pertama..
"Ketika Nabi mendengar seorang Anshar wafat, meninggalkan anak-anak yang masih kecil, sedangkan hartanya yang tidak seberapa itu diinfaqkan di jalan Allah, beliau bersabda, 'Kalau sebelum ini kalian beritahu aku, maka aku tidak akan memperkenankan dia  dikebumikan di pekuburan orang-orang Muslim. Dia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, lalu ia buka tangannya untuk orang lain.
"Ayahku  Imam  Muhammad al-Baqir meriwayatkan kepadaku sabda Nabi saw, 'Utamakanlah  infaq-infaq  kalian  mulai dari keluarga kalian menurut susunan yang terdekat. Mereka yang terdekat denganmu adalah mereka yang lebih berhak.' Selain itu, nash Al-Quran melarang cara dan infaq kalian. Allah berfirman, '(Orang-orang Mukmin) adalah  orang-orang  yang apabila menginfaqkan  (harta),  mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah infaq itu ditengah-tengah antara yaog demikian.'
 "Banyak  ayat-ayat  Al-Quran yang melarang berinfaq secara berlebihan sebagaimana  melarang  sifat bakhil dan kikir. Al-Quran telah menentukan batas tengah dan  kesederhanaan  dalam  amal  ini.  la  tidak  membenarkan  seseorang  memberikan setiapyang dimilikinyakepada orang lain, dan membiarkan dirinya sendiri hidup  dalam keadaan sengsara; kemudian mengangkat tangannya dan berdoa: 'Ya Allah, limpahkanlah rezekiMu kepada hambaMu ini.' Allah swt tidak akan mengabulkan doa seperti ini.
"Rasulullah Saw. Bersabda, 'Allah tidak akan mengabulkan doa beberapa golongan yaitu:
1) Seseorang yang memohon kecelakaan bagi kedua orang tuanya;
2) Seseorang yang hilang hartanya karena dipinjamkannya kepada orang lain tanpa mempunyai saksi atau bukti, kemudian dia berdoa kepada Allah agar ditunjukkan  suatu  jalan  lain yang dapat mengembalikan hartanya itu. Doa orang seperti ini tidak akan dikabulkan oleh Allah; karena jalan yang benar telah diselewengkannya sendiri, yaitu mamberikan hartanya tanpa saksi dan bukti;
3)  Seseorang yang memohon dari Allah agar dijauhkan dari  gangguan   sang  isteri. Sebabnya adalah,  karena jalan keluarnya ada di tangan sang suami. Yakni, jika dia betul-betul merasa terganggu si isteri, maka dia  bisa  keluar dari suasana ini  dengan  menceraikan,  misalnya.
4)  Seseorang yang berpangku tangan di rumahnya, lalu berdoa kepada Allah agar dilimpahkan rezeki.  Allah akan berkata kepada hamba yang tamak dan jahil ini, 'Hambaku! Bukankah Aku telah  tunjukkan  kepadamu    jalan  untuk mendapatkan rezeki, yakni dengan bergerak  dan  berusaha?  Bukankah  telah kuberikan kepadamu anggota badan yang sehat; tangan, kaki, mata, telinga, dan  akal,  semua  telah Kuberikan untuk melihat, mendengar, berpikir, dan bergerak? Setelah itu semua, masihkah kau  hanya  berpangku  tangan  tanpa mau berusaha? Semua itu diciptakan pasti ada motivasi dan maksud tertentu dibaliknya.  Cara yang terbaik dalam mensyukuri semua nikmat adalah dengan  menggunakannya  pada  tempatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka hujjah dan alasan-Ku telah sempurna,  bahwa   kau  harus  berusaha  dalam mencari rezeki, mematuhi perintah-Ku berkenaan dengan usaha ini dan tidak bergantung kepada orang lain. Kalau semua  itu  sejalan  dengan  iradah  dan kemauan-Ku, maka pasti akan Kuberikan rezeki untukmu. Tapi  kalau dikarenakan  sebab-sebab  atau  masalah-masalah kehidupan, lalu kau tidak mendapatkannya, maka kau telah menjalankan  usaha  dan  kewajibanmu dengan baik. Dalam hal ini kau akan dimaafkan oleh Tuhanmu.'
5} Seseorang yang telah mendapatkan harta yang banyak dari Allah, lalu habis disebabkan oleh infaq dan pemberiannya yang  berlebih-lebihan,  kemudian  dia  mengangkat tangannya dan berdoa: 'Ya Allah, limpahkanlah rezeki-Mu padaku.'  Dalam  jawabannya  Allah akan berkata: 'Bukankah Aku telah berikan kepadamu rezeki yang banyak? Kenapa kau tidak bersahaja? Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu agar bersahaja  dalam  infaq? Bukankah telah Kularang berinfaq tanpa perhitungan dan berlebihan?;
6) Seseorang yang berdoa untuk memutuskan tali silaturahmi.

"Di dalam Al-Quran, Allah swt mengajarkan cara berinfaq yang benar, khususnya kepada Nabi saw. Suatu hari, Nabi memegang beberapa keping uang emas. Beliau mau menginfaqkan semuanya untuk fakir miskin karena tidak mau memilikinya walau untuk waktu satu malam. Kemudian beliau infaqkan semuanya dan diberikannya ke kanan dan ke kiri dalam satu hari. Esoknya, ada seseorang datang dan mendesak minta pertolongan Nabi.  Beliau  tidak  memiliki  apa-apa  untuk  diberikan  kepada  peminta  ini.    Karenanya  beliau merasa  sangat bersedih hati. Lalu turunlah ayat Al-Quran yang berkenaan dengan cara berinfaq: 'Dan janganlah kamu jadikan tanganmu  terbelenggu pada lehermu, dan janganlah  kamu  terlalu mengulurkannya; karena itu kamu menjadi terce/a dan menyesal.' (QS.17:29).
"Demikianlah  Hadis-hadis  Nabi  yang akurat, dan didukung ayat-ayat suci Al-Quran. Seorang yang betul-betul mukmin dan taqwa niscaya akan beriman dan mengikuti isi kandungannya.
"Ketika Abubakar dalam keadaan hampir menemui ajalnya, beliau ditanya tentang hartanya;  apakah  akan  diwasiatkan  atau  tidak.  Ia  menjawab;  'Seperlima  dari  hartaku kalian  infaqkan,  dan  selebihnya  adalah  hak  waris.'  Seperlima  dari  semua  harta  adalah jumlah yang tidak sedikit. Padahal seorang yang berada dalam keadaan sakaratul maut berhak berwasiat sampai sepertiga dari hartanya. Kalau Abubakar tahu bahwa infaq yang berlebihan adalah lebih baik dan terpuji, maka sebaiknya ia menggunakan haknya, yakni berwasiat sampai sepertiga dari haknya.
 "Kehidupan dan cara berinfaq Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari ra yang kalian kenal ketaqwaan, kezuhudan, dan keistimewaan mereka, membuktikan kebenaran kata-kataku ini.
"Ketika Salman menerima saham tahunannya dari baitul  mal,  dia menyisihkan bagi taqwa, masih teringat untuk menyimpan uang  untuk  jangka  waktu  satu  tahun? Bukankah hari ini keperluan perbelanjaannya untuk waktu satu tahun. Ia ditanya: 'Engkau yang begini zuhud dan atau esok engkau bisa saja meninggal dan tidak menjumpai akhir tahun ini?' 
"Salman menjawab: 'Dan mungkin juga aku tidak mati!  Kenapa  kamu  hanya memperhitungkan kemungkinan mati saja tanpa menghiraukan  kemungkinan  hidup?! Andainya  aku hidup, aku telah mempunyai perbelanjaan dan bekal. Wahai orang-orang jahil! Kalian telah lupa pada segi ini, yakni bahwa jiwa manusia akan malas dan enggan utnuk taat kepada Allah, bahkan akan kehilangan semangat dan energinya pada jalan yang haq, jika dia tidak memiliki bekal hidup yang cukup. Namun kalau kebutuhannya terjamin, maka kehidupannya akan terasa tenteram.'_
"Abu Dzar al-Ghifari ra mempunya beberapa ekor unta dan kambing yang biasa dia perah dan minum susunya. Kadangkala beliau amat  ingin  memakannya,  tapi  jika beliau kedatangan tamu, atau ada orang lain yang memerlukan daging, serta merta beliau sembelih dan gunakan daging tersebut. Bila Abu Dzar ingin memberikan sesuatu kepada orang lain, maka beliau menyisihkan kadar yang sama untuk dirinya sendiri.
"Manusia  mana  yang lebih zuhud dari mereka? Nabi telah bersabda mengenai mereka, yang tidak syak lagi, telah kalian ketahui semua. Mereka tidak  pernah, dengan alasan  taqwa dan zuhud, melepaskan seluruh hak milik mereka. Mereka tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan seperti apa yang kalian ajarkan, yakni agar setiap Muslim meninggalkan  setiap  yang  mereka  miliki,  dan  membiarkan  diri  dan  keluarganya  dalam keadaan sengsara.
"Aku ingin mengingatkan kalian pada suatu hadis  yang  diriwayatkan  ayahku, beliau meriwayatkan dari ayahnya sampai kepada Nabi saw, Nabi bersabda, 'Sesuatu yang paling menakjubkan adalah keteguhan iman seorang Mukmin dalam keadaan yang jika badannya diputus sepotong-sepotong dengan pisau, maka semua itu merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya. Dan jika kekuasaan Barat dan Timur diberikan kepadanya, ini pun merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya.'
"Kebaikan seorang Mukmin tidak seharusnya ada dalam lingkaran kefakiran dan kemiskinan.  Kebaikannya  berangkat  dari hakikat iman dan aqidahnya dalam segala kondisi, apakah jatuh fakir dan miskin, atau kaya  dan  berkecukupan.  Semua  itu  tidak mengubahnya  untuk  menjalankan  kewajibannya dengan cara yang terbaik. Inilah yang dikatakan sebagai keadaan paling menakjubkan dari  seorang  Mukmin  di  mana  setiap kejadian, kesusahan atau kesenangan, baginya adalah baik dan membahagiakan.
"Bagaimana, apakah ini cukup bagi kalian  ataukah  perlu  kutambah?  Tahukah kalian sejarah periode pertama datangnya risalah Islam, di mana jumlah kaum Muslimin masih sedikit? Undang-undang jihad pada masa itu adalah :  setiap  satu  orang  Muslim wajib berdiri menghadapi sepuluh orang kafir. Siapa yang ingkar terhadap  perintah tersebut adalah berdosa dan melanggar hukum. Namun kemudian diperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak. Melalui inayah  dan  rahmat-Nya,  Allah  meringankan peraturan itu sehingga menjadi: setiap Muslim hanya wajib menghadapi dua orang kafir, tidak lebih.
"Aku bertanya kepada kalian tentang satu perkara yang berkenaan dengan hukum qadha,  perundang-undangan dan mahkamah Islam. Andaikan salah seorang di antara kalian berada di mahkamah, dan didakwa dalam perkara nafkah terhadap  isteri,  lalu hakim memutuskan bahwa engkau wajib memberikan nafkah kepada isterimu, apa yang akan engkau lakukan? Apakah engkau akan minta maaf dan mengatakan bahwa engkau adalah orang yang zuhud dan tidak menghiraukan lagi nikmat-nikmat duniawi? Apakah alasanmu itu dapat dibenarkan? Apakah dalam pandanganmu,  keputusan  hakim  yang mewajibkan  engkau memberikan nafkah kepada isterimu, merupakan suatu keputusan yang  benar  dan  adil,  ataukah keputusan  yang  lalim dan  aniaya? Kalau  engkau  katakana bahwa  keputusan  itu  adalah  lalim  dan  tidak  benar,  maka  jelas  bahwa  engkau  telah berdusta dan telah menganiaya semua Muslim melalu tuduhan  yang  ngawur  ini. Dan kalau engkau katakan bahwa keputusan hakim itu adalah benar, maka alasanmulah yang keliru; dan konsekuensinya adalah bahwa tarekat dan ajaranmu adalah salah.
"Ada  beberapa  perkara  di  mana  kaum  Muslim  wajib  atau  tidak  mengeluarkan infaqnya, seperti zakat atau kaffarah (denda). Andaikan kita definisikan zuhud sebagai menghindar dari kehidupan dan keperluan-keperluan hidup, dan andainya semua orang - mengikuti kemauan kalian - menjadi zuhud dan berpaling dari kehidupannya sehari-hari, maka bagaimana nasib infaq-infaq wajib seperti zakat  dan  kaffarah? Bagaimana pula nasib zakat-zakat wajib seperti emas, perak, kambing, unta, sapi, kurma, kismis dan lain sebagainya?  Bukankah  maksud  yang tersirat dari pemberian infaq adalah agar orang-orang yang tidak mampu bisa hidup lebih baik,  dan  mereka  bisa  menikmati  anugerah-anugerah Ilahi itu? Inilah sebenarnya maksud yang tersirat di balik penentuan  hukum-hukum tersebut. Kalau motivasi agama adalah menjadi fakir, dan  hidup  dalam kesengsaraan adalah puncak tertinggi dari  tarbiyah diniyyah (pendidikan agama), itu berarti  bahwa  orang-orang  fakir  telah berhasil mencapai puncak tersebut dan mereka tidak boleh diberi apapun agar tetap dapat dalam keadaan yang baik dan berbahagia. Pada gilirannya mereka pun tidak boleh menerima setiap pemberian agar tetap dalam suasana mereka yang selalu berbahagia.
"Kalau  apa  yang  kalian ucapkan itu benar, maka selayaknya setiap orang tidak menyimpan  harta. Apa yang ia peroleh harus diinfaqkan. Dengan demikian kewajiban membayar zakat tidak perlu ada lagi.
"Maka jelas bahwa apa yang kalian anut dan sebarkan, adalah satu ajaran  dan tarekat yang salah dan berbahaya. Dan ajaran  ini  berasal  dari  kejahilan  dan ketidakpahaman kalian akan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi  saw.  Hadis-hadis  yang kupaparkan  tadi  tidak diragukan lagi kesahihannya; ayat-ayat suci Al-Quran, juga tidak tahu membedakan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih serta amr dan nahi.
"Coba  kalian  jawab argumenku berikut ini mengenai kisah Nabi Sulaiman bin Daud  as.  Beliau  mohon  suatu  kekuasaan dari Allah swt yang tidak akan diperoleh siapapun sepeninggalnya : 'Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.' (QS. 38:35). Dan Allah memberikan kepadanya. Nabi Sulaiman  tidak menginginkan  sesuatu  kecuali  yang  haq.  Dalam hal  ini,  baik  Allah  swt atau  orang-orang mukmin, tidak mencela Nabi Sulaiman karena memohon kekuasaan yang  begitu  besar  dari  Allah. Begitu juga halnya dengan Nabi Daud as yang datang sebelumnya.  Dalam  kisah Nabi Yusuf, beliau berkata kepada raja: 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai  menjaga lagi berpengetahuan.' (QS. 12:55). Akhirnya beliau menangani semua urusan  negara yang terbentang luas dari Mesir sampai ke Yaman. Ketika  paceklik menimpa  seluruh pelosok negeri, semua penduduk  dari berbagai belahan datang membeli perbekalan dan bahan-bahan pokok mereka. Ini tidak menyebabkan Yusuf lupa pada yang haq, dan Allah pun tidak mencelanya di dalam Al-Quran.
"Begitu juga dengan kisah Dzul Qarnain, seorang hamba yang cinta kepada Allah dan dicintai oleh-Nya. Kepada Dzul Qarnain, Allah memberikan kemudahan-kemudahan dan kekuasaan dunia, dari Barat sampai ke Timur.
"Hai  orang-orang  sufi!  Tinggalkanlah  jalan yang tidak benar itu. Tunjukkanlah adab Islam yang sebenarnya. Jangan melampaui perintah dan larangan Allah, dan jangan pula mengurangi perintah-perintah-Nya. Jangan kalian ceburkan diri  kalian  ke  dalam masalah-masalah  yang  kalian  tidak  ketahui.  Tuntutlah  ilmu-ilmu  itu  dari  ahlinya. Kenalilah  perbedaan  antara  naskh  dan mansukh, muhkam  dan mutasyabih,  serta halal dan haram. Semua itu akan lebih baik dan mudah bagi  kalian,  serta  dapat menjauhkan kalian dari kejahilan. Bebaskan diri kalian dari kejahilan, karena penyokong-penyokongnya terlalu banyak; sebaliknya, penyokong-penyokong ilmu pengetahuan sangatlah sedikit."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar