Dialog Dengan Para
Sufi
|
|
Sufyan Al-Tsury yang hidup di kota Madinah, datang mengunjungi Imam Ja'far
Shadiq r.a. Dia melihat Imam memakai pakaian yang rapi dan sangat
elok, bagaikan tabir halus yang memisahkan antara kuning telur dengan
putihnya. Sufyan mengkritik, "Anda tidak
selayaknya menceburkan diri
Anda dalam kemewahan duniawi. Dari andalah diharapkan ketaqwaan,
kezuhudan, dan sifat menghindari dunia."
Lalu Imam berkata, "Dengar baik-baik
hai Sufyan. Akan aku katakan sesuatu yang berguna untuk dunia dan akhiratmu. Apabila engkau
keliru dan tidak mengetahui pandangan
agama Islam yang sebenarnya tentang perkara ini, maka ucapanku ini
akan betul-betul berguna. Namun, kalau maksudmu untuk berbuat sesuatu yang
bid'ah dan
menyelewengkan ajaran agama, itu soal lain, dan kata-kataku ini tidak akan
ada gunanya. Mungkin engkau mengamalkan cara hidup Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya yang faqir
dan bersahaja pada zaman dulu, kemudian engkau mengira bahwa itu merupakan
satu jenis taklif (kewajiban) bagi setiap Muslim sampai hari kiamat.
Namun aku katakan kepadamu, bahwa Nabi hidup di suatu masa dan keadaan di
mana kesengsaraan, kemiskinan, dan
kesempitan melanda mereka.
Rata-rata kaum Muslimin
saat itu tidak memiliki bahan
keperluan pokok untuk hidup. Kehidupan Nabi dan
sahabat-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi
yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa di mana
keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan
kita untuk menikmati
pemberian-pemberian Ilahi, maka yang paling
berhak menikmati karunia
dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang-orang saleh dan bertaqwa,
bukan orang-orang fasiq; orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir.
"Aib
apa yang engkau lihat pada diriku? Demi Allah,
meskipun ---sebagaimana yang engkau lihat---
aku menikmati pemberian-pemberian dan nikmat-nikmat Ilahi ini, tapi
sejak masa baligh-ku sampai sekarang, tidak pernah malam dan siang berlalu
tanpa aku menyadari apakah hak orang lain masih ada di tanganku atau tidak.
Kalau ada, segera aku lunasi dan kusampaikan kepadanya."
Sufyan
diam dan tidak bisa menjawab penjelasan Imam Ja'far Ash-Shadiq. Dia
keluar dengan hati yang "kalah". Dia pergi ke tempat
sahabat-sahabat sufinya dan menceritakan apa
yang terjadi antara dia dengan Imam Ja'far. Mereka berembug untuk
menemui Imam Ja'far beramai-ramai dengan mendiskusikan hal tersebut. Setelah
sepakat, mereka datang dan berkata, "Sahabat kami tidak bisa menjawab
Anda dengan dalil yang kuat. Kini kami datang untuk menjelaskan kepada Anda
alasan-alasan kami."
"Katakanlah dalil-dalil kalian,"
kata Imam Ja'far.
"Dalil kami adalah Al-Quran."
"Apakah
ada dalil lain
yang lebih baik
dari Al-Quran? Cobasebutkan, aku bersedia mendengarnya."
"Ada dua ayat dalam Al-Quran yang kami
ambil sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran kami dan ajaran tarekat kami.
Dan ini cukup bagi kami. Allah
swt memuji sekumpulan sahabat
dalam Al-Quran, yakni firman Allah, “Dan orang-orang yang telah menempati
kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang
Muhajirin): dan mereka
mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung..” (QS. 59:9). Dalam ayat lain Allah
berfirman, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan..” (QS. 76:9).
Ketika argumentasi para sufi itu sampai di
sini, seseorang yang hadir berkomentar dari kejauhan, "Sejauh yang aku
ketahui, kalian sendiri tidak mempercayai apa yang kalian ucapkan
itu. Kalian hanya ingin agar
mereka menjauhi harta benda mereka, lalu memberikannya kepada kalian, dan
pada gilirannya kalianlah yang menikmati semua itu. Karena itu, tidak pernah
tampak kalian menghindari makanan-makanan yang lezat!"
"Tidak ada gunanya engkau terburu-buru
mengucapkan kata-kata itu," Imam Ja'far menegur orang yang berkata tadi.
Lalu beliau menghadap para sufi dan
berkata, "Pertama-tama,
apakah kalian bisa membedakan
antara Muhkam dan Mutasyabih,
nash dan mansukh yang ada dalam Al-Quran ketika kalian
berargumentasi dengan ayat-ayat
suci Al-Quran? Kesesatan yang menimpa umat Islam ini adalah karena mereka
berpegang pada suatu ayat, tanpa mengetahui pengertian yang
benar dari Al-Quran."
"Sebenarnya kami hanya tahu secara
garis besar tentang ilmu Al-Quran ini, tidak terlalu sempurna," mereka
menjawab.
"Itulah letak kesalahan kalian.
Hadits-hadits Nabi adalah juga seperti ayat-ayat Al-Quran. Untuknya diperlukan pengetahuan dan pengertian yang
sempurna. Ayat-ayat Al-Quran yang kalian bacakan tadi, bukan merupakan dalil yang
mengharamkan kita
menikmati pemberian-pemberian Ilahi
'Azza Wa Jalla. Ayat itu berkenaan dengan
pengorbanan dan pemberian infaq. Ayat itu memuji suatu kaum pada suatu masa
tertentu, karena mementingkan orang
lain lebih daripada diri mereka sendiri, dan memberikan hartanya yang halal
kepada mereka. Namun kalau mereka tidak melakukan semua
itu, bukan berarti mereka telah berbuat ingkar dan dosa.
Allah tidak mewajibkan
mereka berbuat demikian, dan pada waktu yang sama juga tidak melarang
mereka. Kaum Anshar berkorban dan mementingkan kaum Muhajirin berdasarkan
rasa ihsan dan panggilan hati nurani mereka, karenanya Allah swt akan
memberikan ganjaran kepada mereka. Dengan demikian, ayat itu tidak
membuktikan kebenaran dakwaan kalian, karena kalian melarang dan mencela
orang-orang yang menikmati pemberian-pemberian dan
harta-harta yang Allah telah
anugerahkan kepada mereka..
"Sahabat Nabi pada masa itu terlalu
banyak menginfaqkan dan mengorbankan hak milik mereka, sampai turun wahyu
Allah yang membatasi perbuatan mereka tadi. Wahyu yang datang
kemudian me-mansukhkan amal
perbuatan mereka. Seharusnya kita mengikuti
wahyu yang datang kemudian, bukan mengikuti asal perbuatan mereka
sebelumnya.
"Allah (Swt.), berdasarkan rahmat-Nya
yang tersendiri dan demi kepentingan orang-orang Mukmin, melarang
seseeorang menyengsarakan diri dan keluarganya dengan memberi apa
yang ada di tangannya kepada orang lain, karena
dalam keluarganya terdapat orang-orang yang lemah, anak-anak kecil, dan
orang-orang tua yang tidak dapat memikul
semua itu. Seandainya
aku memiliki beberapa
keping roti, dan
ku-infaq-kan semuanya, sedangkan keluargakulah yang berhak
menerimanya, maka mereka akan mati kelaparan. Karena itulah Rasulullah saw
bersabda, .Jika seseorang mempunyai beberapa biji kurma
atau beberapa kerat
roti, atau beberapa
keping dinar, dan
berniat menginfaqkan, pertama-tama dia harus infaqkan kepada anaknya,
kemudian keluarga dan saudara-saudaranya
yang mukmin, dan terakhir barulah amal-amal kebajikan
dan amal-amal jariyah.. Yang terakhir boleh dilakukan setelah memenuhi tiga
yang pertama..
"Ketika Nabi mendengar seorang Anshar
wafat, meninggalkan anak-anak yang masih kecil, sedangkan hartanya yang tidak
seberapa itu diinfaqkan di jalan Allah, beliau bersabda, 'Kalau sebelum ini
kalian beritahu aku, maka aku tidak akan memperkenankan dia dikebumikan di pekuburan orang-orang
Muslim. Dia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, lalu ia buka
tangannya untuk orang lain.
"Ayahku
Imam Muhammad al-Baqir
meriwayatkan kepadaku sabda Nabi saw, 'Utamakanlah infaq-infaq
kalian mulai dari keluarga
kalian menurut susunan yang terdekat. Mereka yang terdekat denganmu adalah
mereka yang lebih berhak.' Selain itu, nash Al-Quran melarang cara dan
infaq kalian. Allah berfirman, '(Orang-orang Mukmin) adalah orang-orang yang apabila menginfaqkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula)
kikir, dan adalah infaq itu ditengah-tengah antara yaog demikian.'
"Banyak
ayat-ayat Al-Quran yang
melarang berinfaq secara berlebihan sebagaimana melarang
sifat bakhil dan kikir. Al-Quran telah menentukan batas tengah
dan kesederhanaan dalam
amal ini. la
tidak membenarkan seseorang
memberikan setiapyang dimilikinyakepada orang lain, dan membiarkan
dirinya sendiri hidup dalam keadaan
sengsara; kemudian mengangkat tangannya dan berdoa: 'Ya Allah, limpahkanlah
rezekiMu kepada hambaMu ini.' Allah swt tidak akan mengabulkan doa seperti
ini.
"Rasulullah Saw. Bersabda, 'Allah
tidak akan mengabulkan doa beberapa golongan yaitu:
1) Seseorang yang memohon kecelakaan bagi kedua orang tuanya;
2)
Seseorang yang hilang hartanya karena dipinjamkannya kepada orang lain tanpa
mempunyai saksi atau bukti, kemudian dia berdoa kepada Allah agar
ditunjukkan suatu jalan
lain yang dapat mengembalikan hartanya itu. Doa orang seperti ini
tidak akan dikabulkan oleh Allah; karena jalan yang benar telah
diselewengkannya sendiri, yaitu mamberikan hartanya tanpa saksi dan bukti;
3) Seseorang yang memohon dari Allah agar
dijauhkan dari gangguan sang
isteri. Sebabnya adalah, karena
jalan keluarnya ada di tangan sang suami. Yakni, jika dia betul-betul merasa
terganggu si isteri, maka dia
bisa keluar dari suasana
ini dengan menceraikan, misalnya.
4) Seseorang yang berpangku tangan di
rumahnya, lalu berdoa kepada Allah agar dilimpahkan rezeki. Allah akan berkata kepada hamba yang tamak
dan jahil ini, 'Hambaku! Bukankah Aku telah
tunjukkan kepadamu jalan
untuk mendapatkan rezeki, yakni dengan bergerak dan
berusaha? Bukankah telah kuberikan kepadamu anggota badan yang
sehat; tangan, kaki, mata, telinga, dan
akal, semua telah Kuberikan untuk melihat, mendengar,
berpikir, dan bergerak? Setelah itu semua, masihkah kau hanya
berpangku tangan tanpa mau berusaha? Semua itu diciptakan
pasti ada motivasi dan maksud tertentu dibaliknya. Cara yang terbaik dalam mensyukuri semua
nikmat adalah dengan
menggunakannya pada tempatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka
hujjah dan alasan-Ku telah sempurna,
bahwa kau harus
berusaha dalam mencari rezeki,
mematuhi perintah-Ku berkenaan dengan usaha ini dan tidak bergantung kepada
orang lain. Kalau semua itu sejalan
dengan iradah dan kemauan-Ku, maka pasti akan Kuberikan
rezeki untukmu. Tapi kalau
dikarenakan sebab-sebab atau
masalah-masalah kehidupan, lalu kau tidak mendapatkannya, maka kau
telah menjalankan usaha dan
kewajibanmu dengan baik. Dalam hal ini kau akan dimaafkan oleh
Tuhanmu.'
5}
Seseorang yang telah mendapatkan harta yang banyak dari Allah, lalu habis
disebabkan oleh infaq dan pemberiannya yang
berlebih-lebihan, kemudian dia
mengangkat tangannya dan berdoa: 'Ya Allah, limpahkanlah rezeki-Mu
padaku.' Dalam jawabannya
Allah akan berkata: 'Bukankah Aku telah berikan kepadamu rezeki yang
banyak? Kenapa kau tidak bersahaja? Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu
agar bersahaja dalam infaq? Bukankah telah Kularang berinfaq
tanpa perhitungan dan berlebihan?;
6) Seseorang yang berdoa untuk memutuskan tali
silaturahmi.
"Di dalam Al-Quran, Allah swt
mengajarkan cara berinfaq yang benar, khususnya kepada Nabi saw. Suatu hari,
Nabi memegang beberapa keping uang emas. Beliau mau menginfaqkan semuanya
untuk fakir miskin karena tidak mau memilikinya walau untuk waktu satu malam.
Kemudian beliau infaqkan semuanya dan diberikannya ke kanan dan ke kiri dalam
satu hari. Esoknya, ada seseorang datang dan mendesak minta pertolongan
Nabi. Beliau tidak
memiliki apa-apa untuk
diberikan kepada peminta
ini. Karenanya beliau merasa sangat bersedih hati. Lalu turunlah ayat
Al-Quran yang berkenaan dengan cara berinfaq: 'Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya; karena itu kamu
menjadi terce/a dan menyesal.' (QS.17:29).
"Demikianlah Hadis-hadis
Nabi yang akurat, dan didukung
ayat-ayat suci Al-Quran. Seorang yang betul-betul mukmin dan taqwa niscaya
akan beriman dan mengikuti isi kandungannya.
"Ketika Abubakar dalam keadaan hampir
menemui ajalnya, beliau ditanya tentang hartanya; apakah
akan diwasiatkan atau tidak.
Ia menjawab; 'Seperlima
dari hartaku kalian infaqkan,
dan selebihnya adalah
hak waris.' Seperlima
dari semua harta
adalah jumlah yang tidak sedikit. Padahal seorang yang berada dalam
keadaan sakaratul maut berhak berwasiat sampai sepertiga dari
hartanya. Kalau Abubakar tahu bahwa infaq yang berlebihan adalah lebih baik
dan terpuji, maka sebaiknya ia menggunakan haknya, yakni berwasiat sampai
sepertiga dari haknya.
"Kehidupan dan cara berinfaq Salman
Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari ra yang kalian kenal ketaqwaan, kezuhudan,
dan keistimewaan mereka, membuktikan kebenaran kata-kataku ini.
"Ketika Salman menerima saham
tahunannya dari baitul mal, dia menyisihkan bagi taqwa, masih
teringat untuk menyimpan uang
untuk jangka waktu satu
tahun? Bukankah hari ini keperluan perbelanjaannya untuk waktu satu
tahun. Ia ditanya: 'Engkau yang begini zuhud dan atau esok engkau bisa saja
meninggal dan tidak menjumpai akhir tahun ini?'
"Salman menjawab: 'Dan mungkin juga aku
tidak mati! Kenapa kamu
hanya memperhitungkan kemungkinan mati saja tanpa menghiraukan kemungkinan
hidup?! Andainya aku hidup, aku
telah mempunyai perbelanjaan dan bekal. Wahai orang-orang jahil! Kalian telah
lupa pada segi ini, yakni bahwa jiwa manusia akan malas dan enggan utnuk taat
kepada Allah, bahkan akan kehilangan semangat dan energinya pada jalan yang
haq, jika dia tidak memiliki bekal hidup yang cukup. Namun kalau kebutuhannya
terjamin, maka kehidupannya akan terasa tenteram.'_
"Abu Dzar al-Ghifari ra mempunya
beberapa ekor unta dan kambing yang biasa dia perah dan minum susunya.
Kadangkala beliau amat ingin memakannya,
tapi jika beliau kedatangan
tamu, atau ada orang lain yang memerlukan daging, serta merta beliau sembelih
dan gunakan daging tersebut. Bila Abu Dzar ingin memberikan sesuatu kepada
orang lain, maka beliau menyisihkan kadar yang sama untuk dirinya sendiri.
"Manusia mana
yang lebih zuhud dari mereka? Nabi telah bersabda mengenai mereka,
yang tidak syak lagi, telah kalian ketahui semua. Mereka tidak pernah, dengan alasan taqwa dan zuhud, melepaskan seluruh hak
milik mereka. Mereka tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan seperti apa
yang kalian ajarkan, yakni agar setiap Muslim meninggalkan setiap
yang mereka miliki,
dan membiarkan diri
dan keluarganya dalam keadaan sengsara.
"Aku ingin mengingatkan kalian pada
suatu hadis yang diriwayatkan ayahku, beliau meriwayatkan dari ayahnya
sampai kepada Nabi saw, Nabi bersabda, 'Sesuatu yang paling menakjubkan
adalah keteguhan iman seorang Mukmin dalam keadaan yang jika badannya diputus
sepotong-sepotong dengan pisau, maka semua itu merupakan kebaikan dan
kebahagiaan baginya. Dan jika kekuasaan Barat dan Timur diberikan kepadanya,
ini pun merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya.'
"Kebaikan seorang Mukmin tidak
seharusnya ada dalam lingkaran kefakiran dan kemiskinan. Kebaikannya
berangkat dari hakikat iman dan
aqidahnya dalam segala kondisi, apakah jatuh fakir dan miskin, atau kaya dan
berkecukupan. Semua itu
tidak mengubahnya untuk menjalankan
kewajibannya dengan cara yang terbaik. Inilah yang dikatakan sebagai
keadaan paling menakjubkan dari
seorang Mukmin di
mana setiap kejadian, kesusahan
atau kesenangan, baginya adalah baik dan membahagiakan.
"Bagaimana, apakah ini cukup bagi
kalian ataukah perlu
kutambah? Tahukah kalian
sejarah periode pertama datangnya risalah Islam, di mana jumlah kaum Muslimin
masih sedikit? Undang-undang jihad pada masa itu adalah : setiap
satu orang Muslim wajib berdiri menghadapi sepuluh
orang kafir. Siapa yang ingkar terhadap
perintah tersebut adalah berdosa dan melanggar hukum. Namun kemudian
diperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak. Melalui inayah dan
rahmat-Nya, Allah meringankan peraturan itu sehingga menjadi:
setiap Muslim hanya wajib menghadapi dua orang kafir, tidak lebih.
"Aku bertanya kepada kalian tentang
satu perkara yang berkenaan dengan hukum qadha, perundang-undangan dan mahkamah Islam.
Andaikan salah seorang di antara kalian berada di mahkamah, dan didakwa dalam
perkara nafkah terhadap isteri, lalu hakim memutuskan bahwa engkau wajib
memberikan nafkah kepada isterimu, apa yang akan engkau lakukan? Apakah
engkau akan minta maaf dan mengatakan bahwa engkau adalah orang yang zuhud
dan tidak menghiraukan lagi nikmat-nikmat duniawi? Apakah alasanmu itu dapat
dibenarkan? Apakah dalam pandanganmu,
keputusan hakim yang mewajibkan engkau memberikan nafkah kepada isterimu,
merupakan suatu keputusan yang
benar dan adil,
ataukah keputusan yang lalim dan
aniaya? Kalau engkau katakana bahwa keputusan
itu adalah lalim
dan tidak benar,
maka jelas bahwa
engkau telah berdusta dan telah
menganiaya semua Muslim melalu tuduhan
yang ngawur ini. Dan kalau engkau katakan bahwa
keputusan hakim itu adalah benar, maka alasanmulah yang keliru; dan
konsekuensinya adalah bahwa tarekat dan ajaranmu adalah salah.
"Ada
beberapa perkara di
mana kaum Muslim
wajib atau tidak
mengeluarkan infaqnya, seperti zakat atau kaffarah (denda).
Andaikan kita definisikan zuhud sebagai menghindar dari kehidupan dan
keperluan-keperluan hidup, dan andainya semua orang - mengikuti kemauan
kalian - menjadi zuhud dan berpaling dari kehidupannya sehari-hari, maka
bagaimana nasib infaq-infaq wajib seperti zakat dan kaffarah?
Bagaimana pula nasib zakat-zakat wajib seperti emas, perak, kambing, unta,
sapi, kurma, kismis dan lain sebagainya?
Bukankah maksud yang tersirat dari pemberian infaq adalah
agar orang-orang yang tidak mampu bisa hidup lebih baik, dan
mereka bisa menikmati
anugerah-anugerah Ilahi itu? Inilah sebenarnya maksud yang tersirat di
balik penentuan hukum-hukum tersebut.
Kalau motivasi agama adalah menjadi fakir, dan hidup
dalam kesengsaraan adalah puncak tertinggi dari tarbiyah diniyyah (pendidikan agama),
itu berarti bahwa orang-orang
fakir telah berhasil mencapai
puncak tersebut dan mereka tidak boleh diberi apapun agar tetap dapat dalam
keadaan yang baik dan berbahagia. Pada gilirannya mereka pun tidak boleh
menerima setiap pemberian agar tetap dalam suasana mereka yang selalu
berbahagia.
"Kalau
apa yang kalian ucapkan itu benar, maka selayaknya
setiap orang tidak menyimpan harta.
Apa yang ia peroleh harus diinfaqkan. Dengan demikian kewajiban membayar
zakat tidak perlu ada lagi.
"Maka jelas bahwa apa yang kalian anut
dan sebarkan, adalah satu ajaran dan
tarekat yang salah dan berbahaya. Dan ajaran
ini berasal dari
kejahilan dan ketidakpahaman
kalian akan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi
saw. Hadis-hadis yang kupaparkan tadi
tidak diragukan lagi kesahihannya; ayat-ayat suci Al-Quran, juga tidak
tahu membedakan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih
serta amr dan nahi.
"Coba
kalian jawab argumenku berikut
ini mengenai kisah Nabi Sulaiman bin Daud
as. Beliau mohon
suatu kekuasaan dari Allah swt
yang tidak akan diperoleh siapapun sepeninggalnya : 'Dan anugerahkanlah
kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.'
(QS. 38:35). Dan Allah memberikan kepadanya. Nabi Sulaiman tidak menginginkan sesuatu
kecuali yang haq.
Dalam hal ini, baik
Allah swt atau orang-orang mukmin, tidak mencela Nabi
Sulaiman karena memohon kekuasaan yang
begitu besar dari
Allah. Begitu juga halnya dengan Nabi Daud as yang datang sebelumnya. Dalam
kisah Nabi Yusuf, beliau berkata kepada raja: 'Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.' (QS.
12:55). Akhirnya beliau menangani semua urusan negara yang terbentang luas dari Mesir
sampai ke Yaman. Ketika paceklik
menimpa seluruh pelosok negeri, semua
penduduk dari berbagai belahan datang
membeli perbekalan dan bahan-bahan pokok mereka. Ini tidak menyebabkan Yusuf
lupa pada yang haq, dan Allah pun tidak mencelanya di dalam Al-Quran.
"Begitu juga dengan kisah Dzul Qarnain,
seorang hamba yang cinta kepada Allah dan dicintai oleh-Nya. Kepada Dzul
Qarnain, Allah memberikan kemudahan-kemudahan dan kekuasaan dunia, dari Barat
sampai ke Timur.
"Hai
orang-orang sufi! Tinggalkanlah jalan yang tidak benar itu. Tunjukkanlah
adab Islam yang sebenarnya. Jangan melampaui perintah dan larangan Allah, dan
jangan pula mengurangi perintah-perintah-Nya. Jangan kalian ceburkan
diri kalian ke
dalam masalah-masalah yang kalian
tidak ketahui. Tuntutlah
ilmu-ilmu itu dari
ahlinya. Kenalilah
perbedaan antara naskh
dan mansukh, muhkam
dan mutasyabih, serta
halal dan haram. Semua itu akan lebih baik dan mudah bagi kalian,
serta dapat menjauhkan kalian
dari kejahilan. Bebaskan diri kalian dari kejahilan, karena
penyokong-penyokongnya terlalu banyak; sebaliknya, penyokong-penyokong ilmu
pengetahuan sangatlah sedikit."
|
Senin, 03 Juni 2013
Dialog Dengan Para Sufi
asmi
20.30
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar