Harry Tjan Silalahi
Member, Board of Trustee
Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.
Kisah inspiratif
Member, Board of Trustee
Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar