Kurikulum Pendidikan

PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 November 2013

Harry Tjan Silalahi Member, Board of Trustee

23.28
                                                                      Harry Tjan Silalahi
                                                                    Member, Board of Trustee


Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.

Senin, 03 Juni 2013

DI BALIK KELEMBUTAN SUARAMU

20.53


DI BALIK KELEMBUTAN SUARAMU

Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah

Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.

Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).

Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)

Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)

Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.

Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).

Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.

Suara wanita di radio
dan telepon

Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”

Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.

Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.

Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)

Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya

Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?

(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).

Rabu, 29 Mei 2013

AYAHKU DALAM CERITA ROHANI

18.04

Ayah.., Dengarkanlah!

Di antara hal yang tidak diragukan lagi karena memang terjadi adalah bahwa setiap ayah mendambakan anak sebagai buah hati bisa sukses dan berhasil dalam pendidikan dan sekolahnya serta kehidupannya. Karenanya, ayah senantiasa berdo'a kepada Allah agar memberikan kemudahan dan keteguhan bagi anak tercinta. Ayah menjanjikan hadiah dan mengabulkan keinginan si buah hati jika lulus dalam ujian dan memberikan ancaman serta marah jika sampai gagal dalam ujian. Perasaan seperti ini memang merupakan fitrah manusia dan memang terjadi di antara kita.  
Akan tetapi wahai Ayah yang penyayang, apakah perhatianmu kepada si buah hati berupa perhatian penuh terhadap sekolah, pendidikan, masa depan dan urusan dunianya itu -karena memang engkau sadar itu adalah kewajibanmu- sama seperti perhatianmu terhadap akhirat mereka? Apakah engkau benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan nasib mereka setelah mati seperti halnya perhatianmu akan kenyamanan dan kebahagiaan hidup mereka sewaktu di dunia? Inilah tanggung jawabmu wahai Ayah. Engkau curahkan semuanya untuk dunia yang fana sementara engkau abaikan akhirat yang kekal selamanya. Engkau sibuk memikirkan kehidupan mereka tapi engkau lupakan keadaan setelah matinya. Engkau bangun bagi mereka rumah dari tanah, batu dan bata di dunia tapi engkau haramkan mereka untuk mendapatkan rumah di akhirat yang indah bertatahkan intan permata.  
Itulah keinginanmu! Itulah angan-anganmu! Semuanya tidak lebih dari agar anak-anakmu bisa jadi dokter, insinyur, pilot ataupun tentara. Ya Allah! Semuanya itu hanya cita-cita dunia…..! Engkau berusaha, bekerja membanting tulang dan bersungguh-sungguh hanya untuk dunianya… Mana usahamu untuk akhiratnya wahai Ayah……?
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan mayoritas manusia demikian adanya. Mereka begitu serius berusaha mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendidikan fisik anak-anaknya. Tetapi mereka menelantarkan pendidikan hatinya yang padahal dengannyalah anak-anaknya bisa hidup dan bahagia atau sebaliknya binasa dan sengsara. Inilah kenyataan!  
Ayah! Mungkin engkau mengira bahwa ini hanyalah perkataan yang tiada beralasan. Tapi jika engkau ingin bukti maka simaklah wahai Ayah yang penyayang!   Bayangkan atau anggap anakmu terlambat mengikuti ujian di sekolahnya. Apakah yang engkau rasakan wahai Ayah? Bukankah engkau akan berlomba dengan waktu mengantarkan anakmu agar bisa mengikuti ujian meskipun terlambat? Bahkan sebelumnya, bukankah engkau akan rela untuk tidur setengah mata agar bisa membangunkan si buah hati supaya tidak terlambat? Bukankah engkau akan melakukan segalanya agar anak tercinta yang menjadi kebanggaanmu bisa ikut ujian tepat waktu? Saya yakin jawabannya adalah Ya. Bukankah engkau melakukan semua itu wahai Ayah? Akuilah!!   Sekarang, apakah perasaanmu itu sama atau akan muncul juga ketika anakmu terlambat shalat Shubuh? Apakah engkau akan berusaha agar anakmu shalat Shubuh tepat waktu? Saya hanya berprasangka baik bahwa engkau memang shalat Shubuh tepat waktu. Karena jika tidak, bagaimana mungkin engkau akan membangunkan anak-anakmu sementara engkau sendiri terlambat untuk itu?   Kemudian, bukankah engkau setiap hari senantiasa bertanya kepada anakmu tentang sekolahnya? Apa yang dipelajari, apa yang dilakukan, jawaban apa yang diberikan ketika ujian dan berharap jawaban itu benar? Tetapi, apakah setiap hari engkau bertanya juga tentang urusan agamanya? Apakah engkau bertanya sudahkah dia shalat? Dengan siapa dia duduk dan bergaul? Tidakkah engkau bertanya apa yang dia lakukan ketika tidak di rumah, ta'at atau maksiat?   Ayah, bukankah dadamu terasa sesak ketika tahu bahwa si buah hati salah dalam menjawab ujian? Bukankah engkau merasa terhimpit ketika tahu bahwa nilainya jauh di bawah sempurna bahkan rata-rata? Bukankah engkau merasa terpukul ketika tahu bahwa dia gagal dalam ujiannya? Akan tetapi, apakah dadamu juga terasa sesak, dadamu juga terasa terhimpit ketika tahu bahwa anakmu sangat minim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya terlebih sunah-sunahnya? Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa engkau lebih dan hanya memperhatikan dunianya dan mengabaikan akhiratnya?   Ayah, engkau mengira apabila anakmu tidak lulus ujian berarti kandas sudah cita-cita dan harapan yang ada. Engkau menyangka bahwa dalam hal itu tidak ada kesempatan kedua terlebih ketiga.


Ketahuilah wahai Ayah…, bahwa kegagalan yang hakiki…, kegagalan yang memang tidak ada lagi kesempatan kedua atau ketiga untuk memperbaiki, adalah masuknya mereka ke dalam neraka dengan api yang panas menyala-nyala. Tahukah engkau bahwa kegagalan yang hakiki adalah penyesalan dan kerugian yang disertai adzab yang pedih lagi menghinakan? Setelah ini akankah engkau masih beralasan bahwa kita sekarang hidup di dunia sehinga harus fokus memikirkannya?
Kalau begitu kapankah engkau akan fokus memikirkan akhirat padahal di akhirat nanti tidak ada lagi amalan yang ada hanyalah pembalasan?   Sungguh wahai Ayah jikalau demikian adanya -kita berlindung kepada Allah darinya- maka tidaklah bermanfaat kesuksesan yang diraih di dunia. Tidaklah bermanfaat ijazah, harta, istana yang megah, kedudukan dan kekuasaan kalau ternyata catatan amal perbuatan diberikan dari arah kirinya. Kemudian mereka akan berteriak: 
"Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-sekali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaannku dariku." (Al-Haqqah: 25-29)
Ah…sungguh tidak bermanfaat kekuasaanku, ilmu duniaku, serta ijazahku. Semuanya telah hilang, semuanya lenyap…yang ada hanyalah kerugian dan kegagalan.   Tahukah engkau apakah kerugian itu? Tahukah engkau apakah kegagalan itu? Ya, di dunia kerugian dan kegagalan itu adalah jika anakmu tidak bisa menjadi dokter, atau insinyur atau pilot dan guru. Akan tetapi di akherat, yang ada hanyalah kebahagiaan atau kesengsaraan. Yang satu berarti surga yang lainnya berarti neraka. Akankah engkau rela membiarkan mereka mengalami kerugian dan kegagalan dalam arti kesengsaraan di dalam neraka?   Saya tidak katakan tinggalkan anak-anakmu! Saya tidak katakan biarkan mereka jangan diajari masalah dunia! Tidak, demi Allah, saya tidak katakan demikian. Saya hanya katakan bahwa akherat lebih utama dan ditekankan untuk diperhatikan, lebih serius untuk diusahakan dan lebih bersunguh-sungguh untuk beramal meraih kebahagiaannya.  
Wahai Ayah…! Siapakah di antaramu yang begitu bersemangat bersungguh-sungguh mendatangkan seorang pendidik untuk mengajarkan kepada anaknya Al-Qur'an dan menerangkan As-Sunnah? Sungguh sedikit sekali yang telah berbuat demikian. Alangkah baik kiranya kalau mereka tidak memfasilitasi anak-anaknya dengan sarana kerusakan. Akan tetapi kita lihat justru mereka dengan jeleknya pemikiran dan kurangnya perhitungan malah mendatangkan kejelekan bagi anak-anaknya dengan memfasilitasi dengan kendaraan-kendaraan, sopir pribadi, pembantu (pelayan) serta memenuhi rumahnya dengan barang-barang dan hal-hal yang diharamkan yang melalaikan dari dzikrullah dan ta'at kepada-Nya.  
Siapakah di antara kalian wahai Ayah yang memberikan hadiah pada anaknya apabila hafal satu juz dari Al-Qur'anul Karim atau beberapa hadits dari hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ? Sungguh sangat sedikit sekali yang demikian ini. Kita mohon kepada Allah agar memberkahi yang sedikit ini. Kita lihat sebagian manusia, mereka menjanjikan pada anaknya apabila lulus ujian akan diajak pesiar menyusuri pantai yang indah atau wisata ke mancanegara, apakah Eropa atau Amerika, serta mereka menjanjikan dibelikan mobil agar bebas mengukur jalan. Namun adakah di antara meraka yang menjanjikannya untuk diajak umrah atau haji dan mengunjungi masjid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam?  
Setelah semua itu, tahukah engkau wahai Ayah apakah buah dari hasil pendidikan seperti itu? Tahukah engkau apakah hasil dari pendidikan yang mengabaikan masalah akhirat tersebut? Hasilnya adalah Al-Qur'an berganti menjadi majalah, siwak berganti menjadi rokok dan lebih parah lagi mereka akan hidup tidak ubahnya binatang ternak. Tahukah engkau apa di antara yang membedakan kita dari binatang ternak? Kita diberikan fasilitas untuk mengerti bahwa dunia hanyalah sementara. Kita mengetahui bahwa ada kehidupan yang kekal selamanya. Maka selayaknyalah kita untuk berusaha menggapai kebahagiaan di sana. Tetapi apabila tidak demikian maka tidaklah beda dengan binatang bahkan lebih sesat karena kita diberi fasilitas sedangkan mereka tidak.
"Mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai." (Al-A'raf: 179)  
Di samping memperhatikan pekembangan fisik anak, kita juga harus memperhatikan pendidikan akal dan hati mereka. Kita harus memikirkan nasib mereka setelah matinya.   Langkah pertama untuk itu adalah kita perbaiki terlebih dahulu diri kita, karena dengan baiknya diri kita maka mereka akan ada di atas keteguhan dan kekokohan serta ada di dalam penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:
"Ayah mereka berdua adalah orang yang shalih" (Al-Kahfi: 82)  

Kedua, kita jadikan bimbingan dan pengajaran Islam sebagai tujuan. Tidak ada halangan untuk belajar dan mempelajari ilmu-ilmu dunia akan tetapi tidak sebesar perhatiannya terhadap akhirat. Allah berfirman:
"Dan carilah apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan nasib (bagian)mu dari (keni'matan) dunia." (Al-Qashash: 77)  
Wahai Ayah! Maka takutlah engkau kepada Allah pada apa yang menjadi tanggunganmu karena engkau akan diminta pertanggujawabannya di hadapan Allah. Takutlah engkau kepada Allah bahwasanya Allah telah memberikan anak sebagai amanat kepadamu tapi engkau justru membukakan pintu-pintu kejelekan bagi mereka. Allah mengamanatimu tapi engkau malah menyibukkan mereka dengan film-film, sinetron-sinetron, perangkat-perangkat kekejian, majalah-majalah porno dan semisal dengan itu. Jika demikian adanya berarti engkau telah mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadamu dan engkau telah menipu mereka yang menjadi tanggunganmu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah seseorang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya (tanggungannya) kemudian dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah haramkan baginya surga." (Bukhari Muslim)  
Ayah….! Jika engkau memang sayang pada buah hatimu, tidak ingin menipu mereka dan juga tidak ingin mengkhianati amanat yang dipikulkan di pundakmu, maka kemarilah! Kemarilah untuk sama-sama menyimak wasiat Luqman kepada anaknya. Wasiat seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya dan menebusnya dengan sangat mahal dan berharga. Tahukan engkau apakah dia mewasiatinya dengan dunia? Apakah dia mewasiatinya dengan intan permata dan segala perhiasan kemewahan lainnya? Tidak, bahkan dia mewasiati anaknya dengan apa yang akan menjadikannya ada dalam kehidupan yang baik. Kehidupan yang akan menyelamatkannya dari adzab Allah yang pedih. Sungguh Allah telah mengabadikannya dalam Al-Qur'an. Pernahkah engkau mendapatinya? Tahukah engkau apakah wasiatnya itu?   Adalah Luqman Al-Hakim dengan kasih sayang yang begitu besar kepada anaknya, dia berwasiat agar jangan berbuat syirik, yakni menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, waktu dia memberikan nasihat kepadanya: 'Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah sebesar-besar kezhaliman." (Luqman: 13)
Ya… adakah kezhaliman yang lebih besar dari syirik? Itulah apa yang dikhawatirkan Luqman pada anaknya sehingga mewasiati agar jangan sampai terjatuh ke dalamnya. Adakah engkau pernah menyampaikan ini pada anakmu?   Kemudian, beliau dengan segenap kasih sayangnya menunjukkan pada anaknya apa yang akan menyelamatkan anaknya dari adzab Allah yaitu dengan menghadap kepada-Nya melalui shalat, memerintahkan yang ma'ruf serta mencegah dari yang munkar. Adakah engkau demikian wahai ayah? Saya berharap engkau sudah memenuhi semuanya sehingga hanya tinggal menyampaikannya kepada anakmu. Karena jika tenyata engkaupun belum demikian…maka ini adalah mushibah dari sebenar-benar mushibah, dan kita berlindung darinya.  
Setelah itu, Luqman mewasiati anaknya agar berhias dengan akhlaq yang mulia yang akan mengangkat jiwanya dan akan tinggi derajatnya. Janganlah sombong dan menghina sesama. Sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suara dalam pembicaraan.
"Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (Luqman: 19)  
Inilah wahai Ayah, sejumlah wasiat dari ayah yang begitu sangat menyayangi dan mendambakan kebahagian bagi si buah hati. Pernahkah engkau menyampaikannya pada anakmu, sebagiannya atau bahkan seluruhnya..?!   Ada fenomena yang sangat kita sesali dan kita keluhkan semuanya kepada Allah, yakni sebagian ayah berusaha mematahkan semangat anaknya dan menghalangi kesungguhannya ketika melihat bahwa Allah telah memberikan hidayah kepadanya untuk mendalami dan mengamalkan ilmu agama. Bahkan di antara mereka ada yang sampai menghasut dan menakut-nakuti serta menebar was-was. Mereka mengatakan bahwa belajar agama hanya akan mengikat kebebasan jiwa. Mereka juga mencela dan juga memperolok-oloknya, sehingga tidak tahu lagi apakah yang dicela itu adalah orangnya atau agama yang dibawanya. Ketika didapati anaknya memanjangkan janggut maka dikatakan seperti kambing. Ketika anaknya berusaha mengenakan pakaian di atas mata kaki maka dikatakan takut cacing dan lain sebagainya. Maka apakah ini perlakuannmu terhadap apa yang menjadi amanatmu? Apakah ini yang engkau nasihatkan kepada mereka?   Takutlah engkau kepada Allah! Takutlah bahwasanya Allah sentiasa mengawasi bagaimana engkau mendidik mereka. Ajarilah mereka apa yang bermanfaat baginya dari urusan agama dan dunianya.
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya!"(Al-An'am:32)  
Ayah….! Engkau telah menyiapkan anakmu untuk menghadapi ujian dunia. Maka takutlah kepada Allah dan ketahuilah olehmu serta beritahukanlah kepada anak-anakmu bahwa barang dagangan Allah (surga) jauh lebih berharga dan lebih mahal dari perhiasan dunia. Dan ajarkanlah serta beritahukanlah mereka bahwa kesuksesan yang hakiki ada pada membatasi diri pada apa yang Allah ridhai. Beritahukanlah kepada mereka dan ketahui olehmu juga bahwa kebahagiaan yang hakiki ada pada taqwa dan ta'at kepada Allah.
Serta ketahuilah olehmu bahwa kaki seorang hamba tidak akan bergeser sejengkalpun dari posisinya pada hari kiamat dan akan diadukan kezhalimannya oleh orang yang pernah dizhaliminya. Anak akan senang bisa mendapatkan ayahnya untuk mengadukan kezhaliman yang pernah dilakukannya, demikian juga istrinya. Pada hari kiamat nanti anak-anak akan membantah dan menyalahkan ayah-ayah mereka dengan berkata:
"Wahai Rabb kami, ambil lah hak kami pada ayah kami yang zhalim ini. Dia telah menyebabkan kami tidak melakukan apa yang Engkau ridhai. Dialah yang telah mendidik kami tidak ubahnya binatang ternak. Dialah yang mendatangkan berbagai hal yang membinasakan dan tidaklah ada satu kerusakan melainkan didatangkannya ke hadapan kami." Maka apakah yang nanti akan engkau katakan untuk menjawab semuanya itu wahai Ayah yang penyayang, yang begitu "sayang"nya sehingga menjerumuskan anaknya pada kebinasaan? Bahkan pada akhirnya nanti sama-sama ada dalam kebinasaan.  "Yaitu pada hari dimana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'araa': 88-89)  
Maka di manakah hartamu? Di manakah anak yang engkau banggakan itu? Mereka justru menyalahkanmu dan menyeretmu untuk ikut merasakan panas neraka karena engkaulah yang punya andil besar untuk itu.  Kita berlindung kepada Allah dari semua itu dan memohon agar Allah menunjukkan kita kepada kebaikan dan memberikan kekuatan dan kemudahan untuk menempuhnya serta dimatikan di atasnya, serta kita memohon kepada-Nya agar menyelamatkan kita, keluarga serta anak keturunan kita dari adzab-Nya yang pedih. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  
Terakhir wahai Ayah! Bertaqwalah engkau kepada Allah. Takutlah Engkau kepada-Nya pada apa yang engkau lakukan untuk anakmu. Perbaikilah pendidikan mereka! Jagalah mereka dari segala kerusakan dan kealpaan dalam segala kebaikan. Lakukanlah sejak sekarang selama mereka masih ada di hadapan kalian. Selama kalian masih bisa bersungguh-sungguh mengusahakan. Lakukanlah segera sebelum kalian hanya bisa melakukan celaan dan penyesalan yaitu pada hari dimana tidak akan bermanfaat lagi celaan dan penyesalan. Dan Allah lah tempat kita meminta perlidungan dan pertolongan.  
"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah lah pahala yang besar." (At-Thagaabun: 15)  
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At-Tahrim: 6)   
*Ditulis oleh salah seorang ikhwan -semoga Allah membalasnya dengan surga Firdaus-

Manusia yang beruntung memiliki kriteria

01.34


Manusia yang beruntung memiliki kriteria

Manusia yang beruntung memiliki empat kriteria; sabar, melipatgandakan kesabaran, murabathah (tetap siap siaga), dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (QS Ali Imran [3]: 200). Menurut mufassirin, makna murabathahdalam ayat tersebut adalah menjaga benteng dari serangan musuh untuk melindungi umat.
Ketika umat Islam di suatu negeri tidak menghadapi serangan bersenjata, tetapi serangan pemikiran maka konotasi murabathah adalah menjaga benteng untuk melindungi umat Islam dalam semua aspek kehidupan, seperti akidah, ekonomi, dan politik.
Para dai yang berusaha membentengi akidah umat adalah murabith (penjaga benteng). Demikian juga para guru, pendidik yang membina kader Muslim, politisi, dan ekonom yang membela ekonomi umat, termasuk dalam penjaga benteng.
Kita sekarang sangat membutuhkan penjaga benteng yang melindungi akidah, ekonomi, budaya, dan seluruh bidang kehidupan Muslim.
Rasulullah memberikan berbagai keutamaan murabathah ini. Pertama, siap siaga sehari lebih baik dari dunia dan isinya. (HR Bukhari). Kedua, siap siaga sehari semalam lebih baik dari puasa dan qiyam sebulan penuh pada bulan Ramadhan.
Abu Darda’ meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siap siaga satu bulan lebih baik dari puasa satu tahun. Barang siapa meninggal dalam keadaan siaga di jalan Allah, akan aman dari fitnah kiamat dan dia mendapatkan rezekinya dari surga dan terus ditulis amal seorang penjaga benteng sampai dibangkitkan hari kiamat.” (HR Thabrani)
Ketiga, semua amalan seseorang terputus saat mati kecuali murabith. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap mayit dipungkasi amalnya kecuali murabith di jalan Allah. Amalnya ditumbuhkan sampai hari kiamat dan akan aman dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, Turmudzi, dan Al Hakim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Empat kelompok yang amalnya tetap mengalir setelah meninggalnya: penjaga benteng fi sabilillah, perbuatan seseorang yang diamalkan orang lain, seseorang yang sedekahnya masih tetap bermanfaat, dan seorang yang meninggalkan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Ahmad dari Abu Umamah).
Keempat, penjaga benteng di jalan Allah bila meninggal akan dibangkitkan dalam keadaan aman dari fitnah hari kiamat. “Menjaga benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari puasa dan qiyam selama Ramadhan, barang siapa yang meninggal saat menjaga benteng maka pahala amalnya terus ditulis (sampai kiamat), dan diberi balasan rezekinya di surga dan aman dari fitnah kubur (pertanyaan Munkar dan Nakir).” (HR Muslim).
Kelima, penjaga benteng bila meninggal akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai syahid. (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Keenam, penjaga benteng fi sabilillah akan mendapatkan pahala dari orang-orang yang hidup setelahnya.
Ketujuh, menjaga benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari seribu hari dari derajat amalan lainnya. (HR Turmudzi, Nasai dan Ibnu Abi Syaibah)