Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan
Senin, 11 November 2013
Harry Tjan Silalahi Member, Board of Trustee
23.28
Harry Tjan Silalahi
Member, Board of Trustee
Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.
Member, Board of Trustee
Kompas, August 22, 2003
RI, negara bukan-bukan
Presiden Megawati Soekarnoputri menilai, sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini abu-abu. Penilaian ini diucapkan dalam Pidato Kenegaraan di DPR, Jumat 15 Agustus 2003 (Kompas, 16/8/2003). Saya setuju dengan penilaian itu. Setiap orang yang memerhatikan persoalan Undang-Undang Dasar 1945 saya kira akan tiba pada kesimpulan yang obyektif ini-misalnya Syamsuddin Haris, Kompas (16/8).
Yang saya tidak mengerti mengapa AM Fatwa dan Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, dengan penilaiannya itu Presiden Megawati telah bertindak inkonstitusional dan mengaburkan amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945? Bila demikian ancaman konstitusionalnya, jangan heran bila kita akan mempunyai presiden yang pendiam.
Menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres) dan UU tentang Partai Politik (Parpol) yang menganut sistem multipartai serta berdasarkan pluralitas masyarakat, presiden dan wakil presiden akan terpilih dari suatu koalisi kepartaian. Jika demikian, presiden dan wakil presiden terpilih akan bisa menjadi "tawanan" politik DPR. Hasilnya, mungkin sekali suatu pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dinamis, seperti didambakan oleh sistem pemerintahan presidensiil itu.
Bila disimak dengan saksama, sistem pemerintahan parlementer yang pernah kita anut tidaklah terlampau buruk. Sejak 1945/1946 dan tahun 1950-an, yang barangkali "jengkel" adalah Presiden Soekarno (Bung Karno) yang melihat kabinet jatuh bangun dan beliau tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menjadi penonton dan "stempel" (cap); padahal, beliau terpanggil sebagai Bapak Bangsa.
Tentu saja dalam sistem parlementer ini, salah satu syarat adalah tegaknya birokrasi pemerintahan yang handal. Pengalaman selama ini menunjukkan, para birokrat kita sudah cukup memadai. Bila sekarang disebutkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) makin merajalela dan birokrasi lambat, maka kalau ditelusur sebenarnya sumber penyakitnya ada di tangan pejabat yang diangkat secara politis atau yang memperhatikan komitmen politiknya.
Begitu pula, telah ditetapkan, negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa diganggu gugat lagi. Tetapi, dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, maka kabupaten/kota mempunyai otonomi luas dan pemekaran daerah juga dilakukan dengan gencar dan meluas. Selain itu, ada dua provinsi yang mempunyai kekhususan, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Apakah dengan demikian NKRI yang kini telah menjadi "ideologi" tidak perlu ditinjau kembali dan suatu bentuk pemerintahan federal dapat jadi alternatif pemikiran? Janganlah demi tegaknya NKRI sebagai ideologi, banyak korban berjatuhan. Setidaknya desentralisasi yang riil, keadilan sosial dan budaya, harus dapat ditegakkan.
Dengan bentuk federasi yang tertata apik, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dapat berfungsi wajar sebagai kamar kedua dari sistem perwakilan bikameral yang sebenarnya dan tidak tanggung seperti yang sekarang terjadi. Menurut UUD 1945, Indonesia bukan menganut sistem bikameral murni tetapi juga bukan menganut sistem unikameral.
***
Inti dari semua persoalan ini adalah sistem pemerintahan yang tidak tegas terhadap dasar-dasar pengaturannya. Karena itu, pilihan-pilihan yang tegas harus dibuat justru untuk menghindari beragam ketidaktegasan dari sistem pemerintahan yang berlaku sekarang ini. Karena ketidaktegasan itu, pemerintahan kita akan senantiasa terjebak dalam stagnasi berkepanjangan dan karena itu tidak akan menghasilkan capaian-capaian berarti bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perekonomian nasional, misalnya, Indonesia dinilai seorang peneliti sebagai "negara yang hampir-hampir". Pernah pada suatu saat ekonomi Indonesia hampir digolongkan sebagai salah satu "macan Asia" atau digambarkan ekonomi Indonesia hampir take off. Demikian pula, pada kurun waktu yang lain, ketika menghadapi krisis, ekonomi Indonesia hampir berhasil keluar dari krisis. Sayang, semua itu tidak pernah terjadi. Jadi, kita selalu "hampir-hampir" saja.
Demikian juga, sebuah pertanyaan amat relevan diajukan sehubungan dengan substansi negara Indonesia sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila menjadi negara yang "bukan bukan". Sering dinyatakan secara resmi maupun tidak resmi, Negara Pancasila bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Lalu, negara apa? Kita tidak pernah bisa secara tegas dan jelas memberi jawaban atas pertanyaan ini sehingga tidak dapat dibuat pembedaan yang tegas dan jelas antara ranah publik dan ranah privat.
***
Semua persoalan ini menyarankan dengan amat jelas bahwa pilihan-pilihan untuk Indonesia masa depan harus segera dibuat agar Indonesia dan masyarakatnya terhindar dari ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlarut-larut, yang hanya akan menghambat kemajuan-kemajuan dalam politik, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenteraman lahir batin masyarakat Indonesia. Tetapi, jelas bahwa pilihan-pilihan itu tidak dapat lagi ditetapkan secara arbiter oleh satu orang atau satu institusi seperti pada masa-masa lalu. Masa depan Indonesia harus ditentukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, proses menentukan pilihan bagi masa depan Indonesia harus ditempuh secara partisipatoris. Di sinilah arti penting Indonesia memerlukan konsensus baru, suatu kesepakatan bersama yang baru, yang menjawab semua persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Jalan menuju konsensus baru ini dapat dibuka melalui perubahan peran dan fungsi dari Komisi Konstitusi yang segera dibentuk MPR. Janganlah Komisi Konstitusi hanya berperan sebagai komisi "redaksi" atas amandemen UUD 1945, tetapi perlu diberi peran sebagai sebuah komisi yang independen guna membangun kesepakatan-kesepakatan baru masyarakat Indonesia yang dirumuskan dalam sebuah konstitusi baru Indonesia. Komisi Konstitusi ini perlu diberi waktu cukup longgar untuk merumuskannya.
Senin, 03 Juni 2013
DI BALIK KELEMBUTAN SUARAMU
20.53
DI BALIK KELEMBUTAN SUARAMU
Banyak wanita di jaman ini yang
merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi
barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah
Ukhti Muslimah….
Suara empuk dan tawa canda seorang
wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau
lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai
penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah
dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut
memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka
janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan
jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila
ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan
laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat
Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad,
2/36).
Suara merupakan bagian dari
wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin
Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al
Muslimah (1/ 431, 434)
Para wanita diwajibkan untuk
menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia
memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka
seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan
untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam
yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan
ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana
tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Ucapan
tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari
no. 1203 dan Muslim no. 422)
Demikian pula dalam masalah
adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat
menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.
Ketika terpaksa harus berbicara
dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan
memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat
Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang
kata melebihi keperluan semula.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara
dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak
seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
3/491).
Maksud penyakit dalam ayat ini
adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat
dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar
ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.
Suara wanita di radio
dan telepon
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi
sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki
yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita
melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila
seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath
(bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan
seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi
kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam:
“Jangan sekali-kali seorang
laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”
Ikhtilath yang seperti ini
selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja
sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat
memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib
dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun mendengar suara wanita
melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk
berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah
berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang
dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan.
Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu
permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini
diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut,
maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian
ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara
ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi
laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya
seketika ia menyadarinya.
Sedangkan mengajak bicara wanita
secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut
berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah
orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik
ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah
Al Muslimah, 1/433-434).
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman
Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi
wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang
memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat
telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi
kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling
berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan
terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari
kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut
kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435)
Laki-laki berbicara lewat telepon
dengan wanita yang telah dipinangnya
Kenyataan yang ada di sekitar
kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai
hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya
tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah
masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si
wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang
berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya.
Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk
menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi
sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al
Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon
dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang
pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk
saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di
dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka
itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki
dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata
mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang
mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan
keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?
(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan
Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).
Rabu, 29 Mei 2013
AYAHKU DALAM CERITA ROHANI
18.04
Ayah.., Dengarkanlah!
Di antara hal yang tidak diragukan lagi karena memang terjadi
adalah bahwa setiap ayah mendambakan anak sebagai buah hati bisa sukses dan
berhasil dalam pendidikan dan sekolahnya serta kehidupannya. Karenanya, ayah
senantiasa berdo'a kepada Allah agar memberikan kemudahan dan keteguhan bagi
anak tercinta. Ayah menjanjikan hadiah dan mengabulkan keinginan si buah hati
jika lulus dalam ujian dan memberikan ancaman serta marah jika sampai gagal
dalam ujian. Perasaan seperti ini memang merupakan fitrah manusia dan memang
terjadi di antara kita.
Akan tetapi wahai Ayah yang penyayang, apakah perhatianmu
kepada si buah hati berupa perhatian penuh terhadap sekolah, pendidikan, masa
depan dan urusan dunianya itu -karena memang engkau sadar itu adalah
kewajibanmu- sama seperti perhatianmu terhadap akhirat mereka? Apakah engkau
benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan nasib mereka setelah mati seperti
halnya perhatianmu akan kenyamanan dan kebahagiaan hidup mereka sewaktu di
dunia? Inilah tanggung jawabmu wahai Ayah. Engkau curahkan semuanya untuk dunia
yang fana sementara engkau abaikan akhirat yang kekal selamanya. Engkau sibuk
memikirkan kehidupan mereka tapi engkau lupakan keadaan setelah matinya. Engkau
bangun bagi mereka rumah dari tanah, batu dan bata di dunia tapi engkau
haramkan mereka untuk mendapatkan rumah di akhirat yang indah bertatahkan intan
permata.
Itulah keinginanmu! Itulah angan-anganmu! Semuanya tidak
lebih dari agar anak-anakmu bisa jadi dokter, insinyur, pilot ataupun tentara.
Ya Allah! Semuanya itu hanya cita-cita dunia…..! Engkau berusaha, bekerja
membanting tulang dan bersungguh-sungguh hanya untuk dunianya… Mana usahamu
untuk akhiratnya wahai Ayah……?
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan
mayoritas manusia demikian adanya. Mereka begitu serius berusaha mempersiapkan
segala sesuatunya untuk pendidikan fisik anak-anaknya. Tetapi mereka
menelantarkan pendidikan hatinya yang padahal dengannyalah anak-anaknya bisa
hidup dan bahagia atau sebaliknya binasa dan sengsara. Inilah kenyataan!
Ayah! Mungkin engkau mengira bahwa ini hanyalah perkataan
yang tiada beralasan. Tapi jika engkau ingin bukti maka simaklah wahai Ayah
yang penyayang! Bayangkan atau anggap
anakmu terlambat mengikuti ujian di sekolahnya. Apakah yang engkau rasakan
wahai Ayah? Bukankah engkau akan berlomba dengan waktu mengantarkan anakmu agar
bisa mengikuti ujian meskipun terlambat? Bahkan sebelumnya, bukankah engkau
akan rela untuk tidur setengah mata agar bisa membangunkan si buah hati supaya
tidak terlambat? Bukankah engkau akan melakukan segalanya agar anak tercinta
yang menjadi kebanggaanmu bisa ikut ujian tepat waktu? Saya yakin jawabannya
adalah Ya. Bukankah engkau melakukan semua itu wahai Ayah? Akuilah!! Sekarang, apakah perasaanmu itu sama atau
akan muncul juga ketika anakmu terlambat shalat Shubuh? Apakah engkau akan
berusaha agar anakmu shalat Shubuh tepat waktu? Saya hanya berprasangka baik
bahwa engkau memang shalat Shubuh tepat waktu. Karena jika tidak, bagaimana
mungkin engkau akan membangunkan anak-anakmu sementara engkau sendiri terlambat
untuk itu? Kemudian, bukankah engkau
setiap hari senantiasa bertanya kepada anakmu tentang sekolahnya? Apa yang
dipelajari, apa yang dilakukan, jawaban apa yang diberikan ketika ujian dan
berharap jawaban itu benar? Tetapi, apakah setiap hari engkau bertanya juga
tentang urusan agamanya? Apakah engkau bertanya sudahkah dia shalat? Dengan
siapa dia duduk dan bergaul? Tidakkah engkau bertanya apa yang dia lakukan
ketika tidak di rumah, ta'at atau maksiat?
Ayah, bukankah dadamu terasa sesak ketika tahu bahwa si buah hati salah
dalam menjawab ujian? Bukankah engkau merasa terhimpit ketika tahu bahwa
nilainya jauh di bawah sempurna bahkan rata-rata? Bukankah engkau merasa
terpukul ketika tahu bahwa dia gagal dalam ujiannya? Akan tetapi, apakah dadamu
juga terasa sesak, dadamu juga terasa terhimpit ketika tahu bahwa anakmu sangat
minim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya terlebih sunah-sunahnya?
Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa engkau lebih dan hanya memperhatikan
dunianya dan mengabaikan akhiratnya?
Ayah, engkau mengira apabila anakmu tidak lulus ujian berarti kandas
sudah cita-cita dan harapan yang ada. Engkau menyangka bahwa dalam hal itu
tidak ada kesempatan kedua terlebih ketiga.
Ketahuilah wahai Ayah…, bahwa kegagalan yang hakiki…,
kegagalan yang memang tidak ada lagi kesempatan kedua atau ketiga untuk
memperbaiki, adalah masuknya mereka ke dalam neraka dengan api yang panas
menyala-nyala. Tahukah engkau bahwa kegagalan yang hakiki adalah penyesalan dan
kerugian yang disertai adzab yang pedih lagi menghinakan? Setelah ini akankah
engkau masih beralasan bahwa kita sekarang hidup di dunia sehinga harus fokus
memikirkannya?
Kalau begitu kapankah engkau akan fokus memikirkan akhirat
padahal di akhirat nanti tidak ada lagi amalan yang ada hanyalah
pembalasan? Sungguh wahai Ayah jikalau
demikian adanya -kita berlindung kepada Allah darinya- maka tidaklah bermanfaat
kesuksesan yang diraih di dunia. Tidaklah bermanfaat ijazah, harta, istana yang
megah, kedudukan dan kekuasaan kalau ternyata catatan amal perbuatan diberikan
dari arah kirinya. Kemudian mereka akan berteriak:
"Wahai alangkah baiknya kiranya
tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu. Hartaku sekali-sekali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang
kekuasaannku dariku." (Al-Haqqah: 25-29)
Ah…sungguh tidak bermanfaat kekuasaanku, ilmu duniaku, serta
ijazahku. Semuanya telah hilang, semuanya lenyap…yang ada hanyalah kerugian dan
kegagalan. Tahukah engkau apakah
kerugian itu? Tahukah engkau apakah kegagalan itu? Ya, di dunia kerugian dan
kegagalan itu adalah jika anakmu tidak bisa menjadi dokter, atau insinyur atau
pilot dan guru. Akan tetapi di akherat, yang ada hanyalah kebahagiaan atau
kesengsaraan. Yang satu berarti surga yang lainnya berarti neraka. Akankah
engkau rela membiarkan mereka mengalami kerugian dan kegagalan dalam arti
kesengsaraan di dalam neraka? Saya
tidak katakan tinggalkan anak-anakmu! Saya tidak katakan biarkan mereka jangan
diajari masalah dunia! Tidak, demi Allah, saya tidak katakan demikian. Saya
hanya katakan bahwa akherat lebih utama dan ditekankan untuk diperhatikan, lebih
serius untuk diusahakan dan lebih bersunguh-sungguh untuk beramal meraih
kebahagiaannya.
Wahai Ayah…! Siapakah di antaramu yang begitu bersemangat
bersungguh-sungguh mendatangkan seorang pendidik untuk mengajarkan kepada
anaknya Al-Qur'an dan menerangkan As-Sunnah? Sungguh sedikit sekali yang telah
berbuat demikian. Alangkah baik kiranya kalau mereka tidak memfasilitasi
anak-anaknya dengan sarana kerusakan. Akan tetapi kita lihat justru mereka
dengan jeleknya pemikiran dan kurangnya perhitungan malah mendatangkan
kejelekan bagi anak-anaknya dengan memfasilitasi dengan kendaraan-kendaraan,
sopir pribadi, pembantu (pelayan) serta memenuhi rumahnya dengan barang-barang
dan hal-hal yang diharamkan yang melalaikan dari dzikrullah dan ta'at
kepada-Nya.
Siapakah di antara kalian wahai Ayah yang memberikan hadiah
pada anaknya apabila hafal satu juz dari Al-Qur'anul Karim atau beberapa hadits
dari hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ? Sungguh sangat sedikit sekali
yang demikian ini. Kita mohon kepada Allah agar memberkahi yang sedikit ini.
Kita lihat sebagian manusia, mereka menjanjikan pada anaknya apabila lulus
ujian akan diajak pesiar menyusuri pantai yang indah atau wisata ke
mancanegara, apakah Eropa atau Amerika, serta mereka menjanjikan dibelikan
mobil agar bebas mengukur jalan. Namun adakah di antara meraka yang
menjanjikannya untuk diajak umrah atau haji dan mengunjungi masjid Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam?
Setelah semua itu, tahukah engkau wahai Ayah apakah buah dari
hasil pendidikan seperti itu? Tahukah engkau apakah hasil dari pendidikan yang
mengabaikan masalah akhirat tersebut? Hasilnya adalah Al-Qur'an berganti
menjadi majalah, siwak berganti menjadi rokok dan lebih parah lagi mereka akan
hidup tidak ubahnya binatang ternak. Tahukah engkau apa di antara yang
membedakan kita dari binatang ternak? Kita diberikan fasilitas untuk mengerti
bahwa dunia hanyalah sementara. Kita mengetahui bahwa ada kehidupan yang kekal
selamanya. Maka selayaknyalah kita untuk berusaha menggapai kebahagiaan di
sana. Tetapi apabila tidak demikian maka tidaklah beda dengan binatang bahkan
lebih sesat karena kita diberi fasilitas sedangkan mereka tidak.
"Mereka seperti binatang ternak
bahkan lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai." (Al-A'raf:
179)
Di samping memperhatikan pekembangan fisik anak, kita juga
harus memperhatikan pendidikan akal dan hati mereka. Kita harus memikirkan
nasib mereka setelah matinya. Langkah
pertama untuk itu adalah kita perbaiki terlebih dahulu diri kita, karena dengan
baiknya diri kita maka mereka akan ada di atas keteguhan dan kekokohan serta
ada di dalam penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:
"Ayah mereka berdua adalah orang
yang shalih" (Al-Kahfi: 82)
Kedua, kita jadikan bimbingan dan pengajaran Islam sebagai
tujuan. Tidak ada halangan untuk belajar dan mempelajari ilmu-ilmu dunia akan
tetapi tidak sebesar perhatiannya terhadap akhirat. Allah berfirman:
"Dan carilah apa yang telah
dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
lupakan nasib (bagian)mu dari (keni'matan) dunia." (Al-Qashash: 77)
Wahai Ayah! Maka takutlah engkau kepada Allah pada apa yang
menjadi tanggunganmu karena engkau akan diminta pertanggujawabannya di hadapan
Allah. Takutlah engkau kepada Allah bahwasanya Allah telah memberikan anak
sebagai amanat kepadamu tapi engkau justru membukakan pintu-pintu kejelekan
bagi mereka. Allah mengamanatimu tapi engkau malah menyibukkan mereka dengan
film-film, sinetron-sinetron, perangkat-perangkat kekejian, majalah-majalah
porno dan semisal dengan itu. Jika demikian adanya berarti engkau telah
mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadamu dan engkau telah menipu mereka
yang menjadi tanggunganmu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah seseorang diberi
amanat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya (tanggungannya) kemudian dia mati
dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah haramkan baginya surga."
(Bukhari Muslim)
Ayah….! Jika engkau memang sayang pada buah hatimu, tidak
ingin menipu mereka dan juga tidak ingin mengkhianati amanat yang dipikulkan di
pundakmu, maka kemarilah! Kemarilah untuk sama-sama menyimak wasiat Luqman
kepada anaknya. Wasiat seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya dan
menebusnya dengan sangat mahal dan berharga. Tahukan engkau apakah dia
mewasiatinya dengan dunia? Apakah dia mewasiatinya dengan intan permata dan
segala perhiasan kemewahan lainnya? Tidak, bahkan dia mewasiati anaknya dengan
apa yang akan menjadikannya ada dalam kehidupan yang baik. Kehidupan yang akan
menyelamatkannya dari adzab Allah yang pedih. Sungguh Allah telah
mengabadikannya dalam Al-Qur'an. Pernahkah engkau mendapatinya? Tahukah engkau
apakah wasiatnya itu? Adalah Luqman
Al-Hakim dengan kasih sayang yang begitu besar kepada anaknya, dia berwasiat
agar jangan berbuat syirik, yakni menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, waktu dia memberikan nasihat kepadanya: 'Wahai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
sebesar-besar kezhaliman." (Luqman: 13)
Ya… adakah kezhaliman yang lebih besar dari syirik? Itulah
apa yang dikhawatirkan Luqman pada anaknya sehingga mewasiati agar jangan
sampai terjatuh ke dalamnya. Adakah engkau pernah menyampaikan ini pada anakmu? Kemudian, beliau dengan segenap kasih
sayangnya menunjukkan pada anaknya apa yang akan menyelamatkan anaknya dari
adzab Allah yaitu dengan menghadap kepada-Nya melalui shalat, memerintahkan
yang ma'ruf serta mencegah dari yang munkar. Adakah engkau demikian wahai ayah?
Saya berharap engkau sudah memenuhi semuanya sehingga hanya tinggal
menyampaikannya kepada anakmu. Karena jika tenyata engkaupun belum
demikian…maka ini adalah mushibah dari sebenar-benar mushibah, dan kita
berlindung darinya.
Setelah itu, Luqman mewasiati anaknya agar berhias dengan
akhlaq yang mulia yang akan mengangkat jiwanya dan akan tinggi derajatnya.
Janganlah sombong dan menghina sesama. Sederhanalah dalam berjalan dan
lunakkanlah suara dalam pembicaraan.
"Sesungguhnya seburuk-buruk
suara ialah suara keledai." (Luqman: 19)
Inilah wahai Ayah, sejumlah wasiat dari ayah yang begitu
sangat menyayangi dan mendambakan kebahagian bagi si buah hati. Pernahkah
engkau menyampaikannya pada anakmu, sebagiannya atau bahkan seluruhnya..?! Ada fenomena yang sangat kita sesali dan
kita keluhkan semuanya kepada Allah, yakni sebagian ayah berusaha mematahkan
semangat anaknya dan menghalangi kesungguhannya ketika melihat bahwa Allah
telah memberikan hidayah kepadanya untuk mendalami dan mengamalkan ilmu agama.
Bahkan di antara mereka ada yang sampai menghasut dan menakut-nakuti serta
menebar was-was. Mereka mengatakan bahwa belajar agama hanya akan mengikat
kebebasan jiwa. Mereka juga mencela dan juga memperolok-oloknya, sehingga tidak
tahu lagi apakah yang dicela itu adalah orangnya atau agama yang dibawanya.
Ketika didapati anaknya memanjangkan janggut maka dikatakan seperti kambing.
Ketika anaknya berusaha mengenakan pakaian di atas mata kaki maka dikatakan
takut cacing dan lain sebagainya. Maka apakah ini perlakuannmu terhadap apa
yang menjadi amanatmu? Apakah ini yang engkau nasihatkan kepada mereka? Takutlah engkau kepada Allah! Takutlah
bahwasanya Allah sentiasa mengawasi bagaimana engkau mendidik mereka. Ajarilah
mereka apa yang bermanfaat baginya dari urusan agama dan dunianya.
"Dan tiadalah kehidupan dunia
ini selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu
memahaminya!"(Al-An'am:32)
Ayah….! Engkau telah menyiapkan anakmu untuk menghadapi ujian
dunia. Maka takutlah kepada Allah dan ketahuilah olehmu serta beritahukanlah
kepada anak-anakmu bahwa barang dagangan Allah (surga) jauh lebih berharga dan
lebih mahal dari perhiasan dunia. Dan ajarkanlah serta beritahukanlah mereka
bahwa kesuksesan yang hakiki ada pada membatasi diri pada apa yang Allah
ridhai. Beritahukanlah kepada mereka dan ketahui olehmu juga bahwa kebahagiaan
yang hakiki ada pada taqwa dan ta'at kepada Allah.
Serta ketahuilah olehmu bahwa kaki seorang hamba tidak akan
bergeser sejengkalpun dari posisinya pada hari kiamat dan akan diadukan
kezhalimannya oleh orang yang pernah dizhaliminya. Anak akan senang bisa
mendapatkan ayahnya untuk mengadukan kezhaliman yang pernah dilakukannya,
demikian juga istrinya. Pada hari kiamat nanti anak-anak akan membantah dan
menyalahkan ayah-ayah mereka dengan berkata:
"Wahai Rabb kami, ambil lah hak
kami pada ayah kami yang zhalim ini. Dia telah menyebabkan kami tidak melakukan
apa yang Engkau ridhai. Dialah yang telah mendidik kami tidak ubahnya binatang
ternak. Dialah yang mendatangkan berbagai hal yang membinasakan dan tidaklah
ada satu kerusakan melainkan didatangkannya ke hadapan kami." Maka apakah
yang nanti akan engkau katakan untuk menjawab semuanya itu wahai Ayah yang
penyayang, yang begitu "sayang"nya sehingga menjerumuskan anaknya
pada kebinasaan? Bahkan pada akhirnya nanti sama-sama ada dalam
kebinasaan. "Yaitu pada hari dimana
tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'araa': 88-89)
Maka di manakah hartamu? Di manakah anak yang engkau
banggakan itu? Mereka justru menyalahkanmu dan menyeretmu untuk ikut merasakan
panas neraka karena engkaulah yang punya andil besar untuk itu. Kita berlindung kepada Allah dari semua itu
dan memohon agar Allah menunjukkan kita kepada kebaikan dan memberikan kekuatan
dan kemudahan untuk menempuhnya serta dimatikan di atasnya, serta kita memohon
kepada-Nya agar menyelamatkan kita, keluarga serta anak keturunan kita dari
adzab-Nya yang pedih. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Terakhir wahai Ayah! Bertaqwalah engkau kepada Allah.
Takutlah Engkau kepada-Nya pada apa yang engkau lakukan untuk anakmu. Perbaikilah
pendidikan mereka! Jagalah mereka dari segala kerusakan dan kealpaan dalam
segala kebaikan. Lakukanlah sejak sekarang selama mereka masih ada di hadapan
kalian. Selama kalian masih bisa bersungguh-sungguh mengusahakan. Lakukanlah
segera sebelum kalian hanya bisa melakukan celaan dan penyesalan yaitu pada
hari dimana tidak akan bermanfaat lagi celaan dan penyesalan. Dan Allah lah
tempat kita meminta perlidungan dan pertolongan.
"Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah lah pahala yang
besar." (At-Thagaabun: 15)
"Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At-Tahrim: 6)
*Ditulis oleh salah seorang ikhwan -semoga Allah membalasnya
dengan surga Firdaus-
Manusia yang beruntung memiliki kriteria
01.34
Manusia
yang beruntung memiliki kriteria
Manusia yang beruntung
memiliki empat kriteria; sabar, melipatgandakan kesabaran, murabathah (tetap
siap siaga), dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (QS Ali Imran [3]:
200). Menurut mufassirin, makna murabathahdalam ayat tersebut adalah menjaga
benteng dari serangan musuh untuk melindungi umat.
Ketika umat Islam di
suatu negeri tidak menghadapi serangan bersenjata, tetapi serangan pemikiran
maka konotasi murabathah adalah menjaga benteng untuk melindungi umat Islam
dalam semua aspek kehidupan, seperti akidah, ekonomi, dan politik.
Para dai yang berusaha
membentengi akidah umat adalah murabith (penjaga benteng). Demikian juga para guru,
pendidik yang membina kader Muslim, politisi, dan ekonom yang membela ekonomi
umat, termasuk dalam penjaga benteng.
Kita sekarang sangat
membutuhkan penjaga benteng yang melindungi akidah, ekonomi, budaya, dan
seluruh bidang kehidupan Muslim.
Rasulullah memberikan
berbagai keutamaan murabathah ini. Pertama, siap siaga sehari lebih baik dari
dunia dan isinya. (HR Bukhari). Kedua, siap siaga sehari semalam lebih baik
dari puasa dan qiyam sebulan penuh pada bulan Ramadhan.
Abu Darda’
meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siap siaga
satu bulan lebih baik dari puasa satu tahun. Barang siapa meninggal dalam
keadaan siaga di jalan Allah, akan aman dari fitnah kiamat dan dia mendapatkan
rezekinya dari surga dan terus ditulis amal seorang penjaga benteng sampai
dibangkitkan hari kiamat.” (HR Thabrani)
Ketiga, semua amalan
seseorang terputus saat mati kecuali murabith. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda, “Setiap mayit dipungkasi amalnya kecuali murabith di jalan
Allah. Amalnya ditumbuhkan sampai hari kiamat dan akan aman dari fitnah kubur.”
(HR Abu Daud, Turmudzi, dan Al Hakim).
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Empat kelompok yang amalnya tetap mengalir setelah
meninggalnya: penjaga benteng fi sabilillah, perbuatan seseorang yang diamalkan
orang lain, seseorang yang sedekahnya masih tetap bermanfaat, dan seorang yang
meninggalkan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Ahmad dari Abu Umamah).
Keempat, penjaga
benteng di jalan Allah bila meninggal akan dibangkitkan dalam keadaan aman dari
fitnah hari kiamat. “Menjaga benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari
puasa dan qiyam selama Ramadhan, barang siapa yang meninggal saat menjaga
benteng maka pahala amalnya terus ditulis (sampai kiamat), dan diberi balasan
rezekinya di surga dan aman dari fitnah kubur (pertanyaan Munkar dan Nakir).”
(HR Muslim).
Kelima, penjaga benteng
bila meninggal akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai syahid. (HR Ibnu
Majah dari Abu Hurairah).
Keenam, penjaga benteng
fi sabilillah akan mendapatkan pahala dari orang-orang yang hidup setelahnya.
Ketujuh, menjaga
benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari seribu hari dari derajat
amalan lainnya. (HR Turmudzi, Nasai dan Ibnu Abi Syaibah)
Langganan:
Postingan (Atom)