PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Kamis, 07 November 2013

MAKALAH TENTANG AIDS

BAB I
PENDAHULUAN


Terjadi atau tidak terjadi perilaku seks pranikah sangat tergantung pada wawasan mereka tentang perilaku tersebut. Remaja mampu mempunyai wawasan dan berkepribadian yang mantap sangan dipengaruhi oleh pola asuh atau cara pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Anak yang dididik dengan cara yang baik akan melahirkan remaja dengan moral yang baik pula.

Bagi seorang individu moral merupakan landasan dalam perilaku. Tinggi rendahnya orientasi moral seseorang berpengaruh terhadap perilakunya, termasuk perilaku seksnya. Berperilaku seks yang tidak sesuai dengan moral akan menimbulkan perasaan bersalah pada diri si pelaku.

Di samping itu, meningkatnya kasus perilaku reproduksi di kalangan remaja, karena mereka tidak mengerti kalau perilaku tersebut merupakan perilaku yang melanggar norma adat. Hal ini terjadi karena sosialisasi tentang norma dengan maslah perilaku reproduksi sangant kurang. Kecenderungan seperti ini banyak ditemukan di daerah perkotaan. Keadaan tersebut adalah salah satu faktor yang mungkin menyebabkan remaja mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan seks pranikah di rumah mereka sendiri. Peranan anggota keluarga lain seperti paman, bibi, kakek, nenek, saudara sepupu dan sebagainya dalam suatu keluarga, tidak hanyadapat menjadi tempat mengadu bagi anak-anak bermasalah, tetapi juga dapat menjadi pengawas dalam suatu keluarga. Keberadaan mereka dapat mengontrol perilaku remaja. Dengan kata lain remaja yang tinggal dalam keluarga batih mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk melakukan hubungan seks pranikah, terlebih bila kedua orang tuanya berkerja.

Ketika teknologi di bidang komunikasi dan informasi berkembang sarana hiburan film, baik yang ditonton di bioskop maupun yang ditayangkan televisi disinyalir sebagai salah satu faktor yang mendorong perilaku reproduksi tidak sehat di kalangan remaja, selain gambar dan film porno. tempat hiburan ( diskotik, karaoke, bar, pub, dan cafe). Pusat pertokoan seperti Matahari dan McDonal di Kuta merupakan alternatif baru yang dipilih ABG ( remaja ) sebagai tempat “nongkrong”. Selain itu pusat pertokoan juga merupakan tempat yang menjadi pilihan remaja untuk berkumpul, mencari kemungkinan mendapatkan pasangan, tempat berjanji bertemu pasangan, atau kemungkinan untuk melakukan transaksi seks.

BAB II
KEWASPADAAN TERHADAP PENYAKIT KELAMIN

Badan kesehatan sedunia atau WHO berpendapat bahwa penularan AIDS hanya dapat dicegah bila semua negara didunia ikut serta secara aktif melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap AIDS. Pada tanggal 1 Pebruari 1987 dibentuk suatu wadah dengan nama SPA atau special programme on AIDS, yang kemudian diubah namanya menjadi GPA atau Global programme on AIDS, yang artinya suatu program mencakup semua negara didunia. Wadah ini disahkan berdirinya oleh sidang WHA ( World Health Assembly ) ke-40 pada bulan Mei 1987 dan disahkan pula oleh sidang UNGA ( United Nation General Assembly ) ke-42 pada bulan Oktober 1987 di Jenewa ( Swiss ).

A. Ada beberapa dasar pertimbangan pembentukan wadah ini, adalah :
1. AIDS Telah menjadi masalah Internasional, penyebaranya telah menyeluruh ( pandemi ), dan telah dianggap sebagai kedaruratan seluruh dunia ( atau “ Worlwide global emergency” ).
2. Pandemi ini dapat dihentikan dan penularanya dapat dicegah, walapun obat maupun vaksin antinya sampai saat ini belum ditemukan.
3. Penyuluhan kesehatan kepada petugas kesehatan maupun masyarakat umum, dan golongan resiko tinggi, masih merupakan upaya penting dalam pencegahan dan pemberantasan AIDS.
4. Pencegahan dan pemberantasan AIDS memerlukan upaya dan keterlibatan (“Commitment” ) jangka panjang dan berkesinambungan.
5. Pencegahan dan pemberantasan AIDS perlu diintegrasikan melalui primary Health Care
(Pelayanan kesehatan tingkat awal) dalam sistem pelayanan kesehatan yang ada (baik Puskesmas, poliklinik, pos kesehatan, unit pelayanan kesehatan terdepan).

B. Tujuan dari progran ini adalah :
1.Mencegah penularan HIV
2.Pemberian nasehat ( Counseling ) kepada mereka penghidap HIV.
3.Mempersatukan upaya nasional dan internasional dalam pencegahan dan pemberantasan AIDS.

C. Komponen utama GPA ( = Global Programme on AIDS ) adalah :
1. bantuan teknis dan keuangan program nasional pencegahan dan pemberantasan AIDS.
2. Kerjasama dan pertukaran informasi mengenai IADS di bawa koordinasi dan pimpinan GPA Internasional.

D. Beberapa pandangan (Perspektif) megenai masalah AIDS :
1. Besar masalah sebenarnya belum pesti. (Jumlah penderita maupun angka kematian AIDS).
2. Penularan HIV di masyarakat akan terus berlangsung dan tak dapat dielakkan.
3. Dimensi akhir akibat AIDS Belum diketahui
4. Diperkirakan dalam 5 Tahun mendatang, obat atau vaksin anti AIDS belum diketemukan.
5. Tidak ada satu negara didunia ini yang bebas dari AIDS atau infeksi HIV, hanya khususnya tidak dilaporkan.

BAB III.
GAMBAR KLINIK AIDS 

1.  Tumor.
Dapat berupa sarkoma kaposi pada AIDS yang sifatnya :

Multipel, progresif, dapat terjadi pada semua bagian kulit dan organ tubuh, pendarahan paru-paru, dan pendarahan dalam perut ( Intra abdoninal ). Penyebabnya belum jelas, prognese ditentukan oleh penyakit dasar, dan dijumpai pada : 36-50 % kasus AIDS kelompok homoseksual. Jarang dijumpai pada heteroseksual. 4,3 % pada penyalah-guna narkotika suntik. 0-2 % pada hemofilia, atau penerima transfusi darah. Dapat pula berupa limpoma ganas. Sering sesudah sarkoma kaposi. Terdapat pada susunan saraf pusat (otak), sumsum tulang, saluran pencernaan, pelepasan (rectum), jaringan kulit dan selaput lendir,dan pada stasium lanjut, ada : demam, riwayat infeksi dan penyularan berat badan (disebut “B symptoms”). Prognosis kurang baik, walaupun sembuh dengan khemoterapi tinggi, kambuh lagi sesudah 1 tahun.

2. Infeksi oportunistik ( Kesempatan mendapat infeksi ).
a. Manifestasi pada paru-paru dapat berupa infeksi oportunistik, infiksi bukan oportunistik maupun bukan infeksi. 50 % berupa gejala pertama.

Manisfestasi paru-paru ini dapat berupa “ pneumonia “ ( dikenal sebagai paru-paru basah ), PCP = Pneumonia Pneumocystis carinii denagn gejala klinis :
• Sesak nafas sejak lama atau langsung berat, batuk kering, tidak dapat menarik nafas dalam, demam ( tidak tinggi ), 70 % sembuh pada pengobatan pertama, kekambuhan 20 % ; harapan hidup 9 bulan sampai 1 tahun, jarang sampai 2 tahun.
• Dapat pula berupa Cytomegalo Virus ( CMV ), yang hidup diparu-paru secara komensil ( 50 % ) dengan gejala sesak nafas, batuk, biasanya bersama dengan PCP.
• Atau dapat berupa Mycobacteria ( infeksi jamur ) yang sulit di sembuhkan, biasanya muncul pada stadium akhir.

b. Pada saluran pencernahan dan hati ( ;iver ), dengan gejala tidak enak diulu hati dan tidak ada nafsu makan. Dapat pula gejala tidak enak dimulut dan kerongkongan, tidak mau makan, sukar menelan dan rasa nyeri diulu hati. Gejala lain diare ( sering buang air besar, mencret ), gangguan penyerapan makanan dalam usus, pengurangan berat badan, karena diare yang terus-menerus, bertahan, kolik perut ( mulas ), tinja lembek sampai encer, hingga kekurangan cairan.

3. Manifistasi pada saraf, denga infiksi HIV :
10 % manifestasi saraf ; 75 % ada penyakit saraf. Dapat berupa encefalitis ( infeksi otak ), miningitis ( infeksi selaput otak ), infeksi selaput jala mata ( retinitis ), dan gangguan saraf tepi ( neoropati perifer ).

Gejala encepalitisnya dapat berupa :
Kebingugan, lupa ( amnesia ), lamban berpikir, hilang kemampuan konsentrasi, letih, tidak ada nafsu seksual, hilang keseimbangan badan, tungkai lemah, ataxia ( gerakan anggota tubuh tidak terarah ) tulisan kacau, peninggian refleks-refleks ( hyperreflexia ). Gejala mental, antara lain : marah-marah, suka gaduh, respon berbicara lambat, lupa ( ©2004 Digitized by USU digital library 3 kejadian baru ), berlanjut dengan demensia ( bodoh ), berlanjut tergeletak, dan besar ( incontinentia urinae ).

Gejala encefalitisnya dapat berupa :
Kebigungan, lupa ( amnesia ), lamban berfikir hilang kemampuan konsentrasi, litih, tidak nafsu seksual hilang, keseimbangan badan, tungkai lemah, ataxia ( gerakan anggota tubuh tidak berarah ), tulisan kacau, peninggian refleks-refleks ( hyperreflexia ). Gejala mental, antara lain : marah-marah, suka gaduh, respons berbicara lambat, lupa ( kejadian baru ), berlanjut dengan dimensia ( bodoh ), berlanjut tergeletak, dan beser ( incontinentia urinae ). Gejala meningitisnya berupa keletihan, deman, berat badan menurun, sakit kepala, mau muntah, kaku kuduk, dan fotofobia ( tidak tahan melihat cahaya ). Infeksi toxoplasma, jamur, TBC, tomor lain, dengan gejala klinik letih dan bingung, kejang, lumpuh sebagai tubuh, sampai ataxia, disfungsi batang otak dll. 4. Retinitis ( infeksi selaput jala mata = retina ). Gejala klinis dapat berupa : penyempitan lapangan pandang, kabur, nyeri dalam mata, perdarahan dala mata, bisa sampai buta.

BAB IV .
CARA PENULARAN AIDS ( TRANSMISI ).

Untuk penularan diperlukan antara lain :
1. sumber penyakit.
2. alsat embawa agent penyakit (“ vehikulum” ).
3. host ( tuan rumah ) yang rentan.
4. adanya jalan keluar.
5. adanya jaln masuk (“ port d’entrĂ©e” ).

Yang diketahui sampai saat ini sebangai sember penyakit AIDS adalah virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus ). Sebagai pembawa penyakit ( vehikulum ) diketahui adalah : berbagai cairan tubuh, seperti sperma, cairan alat kelamin wanita ( vagina dan cerviks ), dan darah. Selain itu, HIV dapat dijumpai pada penderita yang mengandung HIV dari air susu ibu, air mata, air liur, air ludah, tapi tidak terbukti dapat menularkan.

A 1. Transmisi suksual
1. cara hubungan suksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan resiko tertinggi bagi penularan HIV. Karena mukosa rectum dan anus ( pelapisan ) yang sangat tipis dan mudah luka dan mendapat infeksi HIV.
2. Cara hubungan oro-ginital merupakan resiko tingkat kedua sesedah ano-genital. ( terrmasuk menelan sperma dari mitra seks pengidap HIV ).
3. Tingkat resiko ketiga adalah hubungan genito-genital ( hetero suksual ). Hasil sebuah penelitian membuktikan bahwa resiko penularan suami pengidap HIV kepada istrinya adalah 22 % dan dari isteri pengidap HIV kepada suaminya adalah 8 %.

A 2. Transmisi non- seksual
1. Transmisi perenteral, penggunaan alat suntik atau alat tusuk lainya yang sudah tertular dengan virus HIV. Contoh paling populer adalah : para penyalah guna narkotika dengan suntik, terutama dinegara maju, di Asia terkenal di Thailand. Selain itu juga penggunaan alat suntik oleh para medis untuk banyak orang, atau diperguanakan berkali-kali dan sudah tertular virus HIV. Juga pada penggunaan alat tindik, baik daun teliga, hidung maupun di tempat lain, sedang alatnya sudah tertular virus HIV Resiko tertular dengan alat tusuk seperti ini, sekitar 1 %. Dari data CDC-NIH ( Centers for Disease Control and National Institute for Health ) Amerika Serikat, dari sejumlah 973 orang yang tertusuk dengan jarum suntik yang sudah tertular dengan virus HIV, hanya 4 orang yang tertular dengan virus HIV.

2. Hal yang lain perlu diperhatikan adalah tertular dari darah transfusi, dari donor yang sudah tertular virus HIV. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, diman prevalensi HIV sedemikian tingginya, setiap donor darah sudah harus diskrin bebas virus HIV. Di Indonesia hal ini masih belum diperlulakan, karena relevansi HIV masih rendah. Resiko tertular infeksi HIV melalui transfusi darah adalah lebih dari 90 %.

3. Resiko transplasental, dari ibu hamil kepada anaknya 50 %.

A 3 . Transmisi yang belum terbukti.
Antara lain : walapun HIV telah dapat diisolasikan dari air susu ibu, namun belum terbukti penularanya. Dari air liur ( ludah), dapat diisolasi virus HIV, kemungkinan infeksi terjadi kalau saat berciuman dengan pengidap HIV, luka dibibir atau mukosa mulut.

Transmisi lain ynag belum terbukti adalah :
Transmisi lewat air mata, lewat air seni ( urine ), maupun transmisi sosial , seperti serumah, satu kelas disekolah dll. Transmisi melalui serangga penggigit manusia, antara lain nyamuk, kutui busuk, tidak terbukti.

Walaupun cara-cara yang disebutkan tadi belum terbukti merupakan transmisi infeksi virus HIV, namun dianjurkan agar :
1. Ibu pengidap HIV agar tidak menyusukan anaknya.
2. Mengurangi kontraminasi dengan saliva ( air liur, ludah), baik sewaktu “ resusitasi” ( merangsang jantung sewaktu serangan mogok jantung ), atau dikala berciuman ( sebainya jangan berciuman mulut-mulut dengan pengidap HIV ), dan juga hati-hati pada penderita sakit jiwa yang pengidap HIV yang suka menggigit ( anak penderita sakit jiwa ).
3. untuk dokter ahli mata harus berhati-hati terhadap air mata pasien pengidap HIV.

BAB V.
ASPEK KEJIWAAN PENDERITA AIDS.

Begitu seseorang mengakui ia menderita AIDS ( atas pemberitahuan dokter ), penderita mengalami scock. Bisa putus asa ( karena shock berat ). Penderita mengalami “ depressi berat “. Dengan berkembangnya penyakit, makin lama makin berat, timbul berbagai infeksi opotunistik, penderita makin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, macam penyakit tambah banyak, obat yang di beri harus tambah banyak dan tambah keras, dengan berbagai efek samping, ysng memperparah keadaan penderita. Masyarakat sekitar turut pula memperburuk keadaan kejiwaan penderita, dengan segala macam isu dan ejekan yang dilontarkan.

Adanya rasa takut pada AIDS.
Orang yang melakukan kegiatan yang dinyatakan sebagai resiko tinggi tertular AIDS, sepertii para homoseksual, atau mereka yang suka gonta-ganti pasangan seksualnya, maupun yang propesinya denagn aktivitas seksual dan termasuk resiko tinggi, tentu saja sesudah mendengar informasi tentang AIDS jadi takut..

Orang yang takut ini, menjadi panik, gelisah, susah tidur, merasa sudah tertular AIDS, akibatnya tidak dapat bekerja, lemah, dan menjadi sakit karena dinyatakannya sendiri ia sakit. Padahall sebenarnya ia belum tertular AIDS. Hal seperti ini disebut : “ PSEUDO AIDS “ atau “ AIDO PHOBIA “. Gejala-gejalanya menyerupai AIDS pada fase ringan. Orang ini kawatir dirinya menderita AIDS, malahan percaya bahwa dirinya sudah menderita AIDS, karena apa yang didengarnya tentang gejala AIDS, dirasakanya ada pada dirinya. Oleh sebab itu, yang penting adalah menjauhi semua kegiatan yang tidak normal, berlaku wajar, dan kalua memeng merasa telah tertular, sebaiknya memeriksakan diri kepada dokter untuk menyakinkan diri sendiri.

Demikian makalah ini, untuk mempertinggi kewaspadaan kita terhadap AIDS. Semoga setelah mendapat informasi tentang AIDS ini, kita lebih meningkatkan kewaspadaan, lebih terbuka, tetapi tidak menjadi menderita “ PSEUDO AIDS “ atau “ AIDO PHOBIA “
  
DAFTAR KEPUSTAKAAN

BING WIBISONO, Epidemiologi AIDS. Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Kelamin / Frambusia, Direktorat Jenderal PPM & PLP Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 1989.
IDA BAGUS MANTRA, Kebijaksanaan Penyuluhan Kesehatan Dalam Program Aids Di Indonesia. Pusat Penyuluhan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta , 1989.
NAEK L. TOBING, Pendekatan Kejiwaan terhadap Penderita AIDS. Subdirektorat Rehabilitasi Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 1989.
NYOMAN SUESEN, GPA ( Global Programme on AIDS ) dalam kaitanya dengan program nasional pencegahan dan pemberantasan AIDS.

BAB VI
PENUTUP

Alhamdulillah, penulis telah dapat berusaha untuk dapat menyelesaikan tugas Makalah ini. Semoga dengan disusunnya tugas ini akan mendatangkan manfaat bagi semua pihak. terlepas dari pihak-pihak yang memberikan bimbingan, dorongan, petunjuk serta dukungan dan bantuan lainnya kepada penulis.

Dengan penuh harapan penulis mohon saran dan kritik dalam penyusunan tugas ini, agar menjadi suatu pengalaman dalam melakukan penyusunan selanjutnya. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Guru bidang studi Olah Raga Bapak Nana yang telah memberikan tugas ini dengan tujuan untuk menambah pengetahuan terhadap. Dampak Penyalahgunaan Obat-Obatan Terlarang (Narkoba) terhadap : Penyakit Hubungan Kelamin.                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar