Kurikulum Pendidikan

PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah inspiratif. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Mei 2013

Perasaan Kebanggaan: Siapa Yang Lebih Baik

01.20


Perasaan Kebanggaan: Siapa Yang Lebih Baik

Pesan ini aku sampaikan dari kedalaman hati, dari bilik-bilik kontemplasi. Cobalah tengok ke dalam hati, adakah tersimpan perasaan kebanggaan? Adakah terselip kebesaran perasaan karena mencapai keberhasilan? Bangga itu wajar, manusiawi. Tapi, hati-hati dengan perasaan yang satu ini.
Dalam kehidupan dakwah, sisi-sisi perasaan kemanusiaan selalu hadir membersamai para aktivis. Di antaranya adalah perasaan bangga yang menyelinap muncul tatkala menghadapai suatu situasi positif yang sesuai harapan atau bahkan sangat diharapkan. Misalnya seorang aktivis mampu menyelesaikan tugas-tugas dakwah dengan sukses, atau telah melaksanakan program kerja kelembagaan dengan tingkat keberhasilan di atas sembilan puluh persen, atau mendapatkan apresiasi lebih dari para pemimpin lembaga dakwah. Banyak hal yang bisa memunculkan perasaan bangga di hati para aktivis.
Perasaan bangga ini tentu saja sangat manusiawi, mengingat karakter kemanusiaan yang menghajatkan pengakuan akan keberhasilan yang telah diraih, atau prestasi yang telah dicapai, atau target yang telah terlampaui, atau kenyamanan kondisi yang dinikmati. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah, jangan sampai perasaan bangga yang dirasakan menyebabkan memandang remeh orang lain, atau menganggap tidak ada bandingannya dengan pihak lain. Apalagi apabila sampai menyebabkan perasaan angkuh, karena menganggap bahwa semua kebrhasilan itu adalah karena kehebatan dirinya.
“Saya memang luar biasa. Kalau tidak ada saya, tentulah kondisinya tidak bisa sebaik ini”, ungkapan ini sangat mungkin benar sesuai kenyataan. Akan tetapi bisa menjadi negatif apabila berkembang menjadi perasaan takjub dan membesar-besarkan peran dirinya dengan mengabaikan peran atau keterlibatan pihak-pihak lain. Kondisi ini bisa disebut angkuh atau sombong, padahal bangga tidak sama dengan sombong dan angkuh.
Untuk itulah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat memperhatikan, agar kebanggaan tidak berkembang menjadi kesombongan atau keangkuhan. Perhatikan pengakuan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu ini:
“Rasulullah menghadapkan wajah dan pembicaraan kepadaku, sehingga aku menduga bahwa aku adalah sebaik-baik kaum (manusia). Lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku atau Abu Bakar yang lebih baik?”Jawab Rasul, “Abu Bakar!” Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apakah aku atau Umar yang lebih baik?’ Jawab Rasul, “’Umar!” Lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku atau ‘Utsman yang lebih baik?”, Beliau menjawab, “’Utsman!”  Mungkin bila aku tak bertanya kepada Rasulullah beliau akan membenarkan aku. Maka timbullah (penyesalan dalam hatiku), seharusnya aku tak bertanya lagi kepadanya.” (Riwayat Tirmidzi).
Semua sahabat tahu, bahkan Rasulullah juga tahu bahwa Amr bin Ash adalah seorang prajurit Islam yang tangguh. Kesetiaan dan loyalitasnya telah teruji di berbagai medan penugasan. Namun Rasulullah tak ingin ada kesombongan yang dapat muncul di dalam hati Amr bin Ash, sehingga pertanyaan yang ditujukan kepada beliau telah dijawab secara tegas, dan menutup peluang ke arah ”penyimpangan perasaan”.
Bukankah Rasulullah sebenarnya bisa menjawab, bahwa beliau mencintainya lebih dari yang lain? Seandainya Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan Amr bin Ash lebih baik dari Abu Bakar, hal itu tak akan mengurangi kemuliaan dan kewibawaan Abu Bakar di hadapan para sahabat yang lain. Demikian pula jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan Amr bin Ash lebih baik dari Umar, sekali-kali keutamaan Umar tak akan pudar di hadapan sahabat lainnya. Namun perasaan apakah yang sekiranya muncul pada diri Amr bin Ash, jika jawaban beliau seperti itu?
Jika anda mengalami peristiwa getir dalam organisasi dakwah, bagaimanakah kiranya perasaan anda? Qiyadah yang diharapkan memberikan apresiasi atas keberhasilan anda dalam menunaikan amanah dakwah, ternyata tidak seperti yang anda harapkan. Bagaimana pula seandainya kondisinya lebih buruk dari itu? Anda telah bekerja keras tanpa kenal lelah di medan dakwah, alih-alih mendapat pujian, ternyata yang anda jumpai justru kritikan dan cemoohan. Atau, bahkan anda divonis sebagai bersalah….
Anda merasa bangga telah menyelesaikan aktivitas sesuai program, target terpenuhi seratus persen. Berharap pimpinan anda memberikan tahniah, menjabat erat tangan anda bahkan memeluk, sambil menepuk-nepuk bahu dan mengatakan, ”Luar biasa prestasi kerjamu. Kamu layak menjadi juara!.” Lalu sang pemimpin menyampaikan di forum, menyebut nama dan keberhasilan anda, dan tepuk tanganpun bergemuruh di seluruh ruangan memberikan aplaus kepada anda……
Ternyata tidak seperti itu kejadiannya. Pemimpin anda tidak menjabat tangan anda, bahkan tidak membaca laporan dan progress yang telah anda susun berpayah-payah. Pemimpin anda bahkan tidak tahu kalau pencapaian target bidang anda seratus persen. Di forum, pemimpin anda bahkan menyebut nama orang lain yang anda tahu dia tidak berhasil mencapai target. Di depan forum, pemimpin anda justru melontarkan kritik kepada bidang anda yang dianggap kurang mampu bersinergi dengan bidang lain. Sisi kekurangan anda diungkap, tanpa menyebut sedikitpun keberhasilan anda. Padahal anda merasa sangat berhasil.
Bagaimana perasaan anda saat mengalami peristiwa itu? Tidak, anda tidak harus mengalaminya…….
Dalam hal jenjang pengkaderan, dijumpai adanya kenaikan level kader seiring lamanya interaksi, prestasi dan kontribusi yang dimiliki setiap kader dalam dakwah. Ada kalanya kita merasa lebih baik –astaghfirullahal ’azhim—dari orang lain yang ternyata jenjang kekaderannya lebih tinggi. Kita merasa tertinggal dari segi jenjang atau level, padahal jika dibandingkan, rasanya kita tidak kalah dibanding orang lain yang level kekaderannya lebih tinggi daripada kita.
Lebih-lebih lagi jika kita menyaksikan ada kader yang baru saja bergabung, namun posisi kekaderan dan amanahnya demikian melejit meninggalkan kita. Terkadang muncul kecemburuan dan sejumlah pertanyaan. Mengapa dia demikian cepat meningkat jenjang kekaderannya? Mengapa ia sedemikian cepat mendapatkan amanah dakwah yang berada dalam posisi hebat? Kadang kita merasa tersisihkan, atau bahkan disisihkan.
”Masak kader kayak begitu sudah naik jenjang? Saya yang sudah lama terlibat tidak naik-naik jenjang….”
”Aneh banget ada kader seperti itu di jenjang yang tinggi… Siapa sih yang menilai dan menaikkan jenjangnya?”
”Lucu rasanya organisasi ini. Orang kayak begitu dapat posisi strategis. Apa kelebihannya? Kinerjanya sangat payah, jauh di bawah saya….”
Bolak-balik kita bertanya: Siapa sebenarnya yang lebih baik?
Benar-benar ini ujian dalam perjalanan jenjang pengkaderan. Apakah perasaan ini juga yang dialami oleh masyarakat Bani Israil, saat harus menerima realitas Thalut menjadi pemimpin mereka? Coba perhatikan kisahnya.
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?.” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 246).
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?.” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 247).
Bukankah pemuka Bani Israil sendiri yang meminta agar diutus seseorang untuk menjadi pemimpin mereka? Setelah yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah Thalut, ternyata mereka tidak bisa menerima. “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Jika organisasi dakwah dipimpin oleh seseorang yang –menurut ukuran kita—tidak memiliki kelebihan apapun dibanding kita, apakah cukup tersedia ruangan dalam diri kita untuk mendengar dan taat kepadanya? “Bagaimana ia memerintah kami, padahal kami lebih berhak memimpin  daripadanya, sedang diapun tidak memiliki kelebihan yang berarti?”

Saya doktor, alumnus luar negeri, bagaimana bisa dipimpin seorang anak lulusan SMA dalam negeri? Saya ustadz, memiliki kafa’ah syar’i, berpendidikan tinggi, mengapa harus dipimpin oleh seorang awam yang kemarin sore baru belajar mengaji? Saya keturunan bangShalallahu ‘Alaihi wa Sallaman, ningrat, berdarah biru, bagaimana akan dipimpin oleh kader yang orang biasa saja?
Maka, kitapun mempertanyakan keputusan syura… “Masak, musyawarah menghasilkan keputusan yang sangat naif  seperti ini? Bagaimana kita bisa taat?”

Hikmah Memaafkan

00.58


Hikmah Memaafkan

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah hendak membunuh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Segala sesuatu telah ia persiapkan secara matang, sebilah pedang tajam sudah disandangnya, dan ia pun masuk ke kota suci Madinah tempat Rasulullah bermukim.
Dengan semangat meluap-luap ia mendatangi majelis Rasulullah, untuk melaksanakan niatnya. Umar bin Khattab yang melihat gelagat buruk itu, langsung menghadang Tsumamah. Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!” Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung meringkusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya, kemudian ia dibawa ke masjid.
Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid, Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik yang terlihat kelelahan dan ketakutan. Kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”
Para shahabat Rasul tentu saja kaget dengan pertanyaan Rasulullah. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang Andamaksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!”
Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”. Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah.
Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah (Tiada ilah selain Allah).” Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!” Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah: Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”
Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akanmengucapkannya!” Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang kenegerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah dan berseri ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.”
Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karenamengharap keridhaan Allah Robbil Alamin.”
Pada suatu kesempatan, Tsumamah berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih ku cintai selain Muhammad Rasulullah”
Dulu, Umar bin Khathab terkenal sebagai seorang Jahiliyah yang kejam, ia tega membunuh anaknya sendiri. Juga terkenal sebagai orang yang memusuhi Islam.
Namun dengan arif dan bijaksana, Nabi melupakan semua masa lalu yang kelabu itu, lalu memaafkan semua kesalahan Umar. Sikap Nabi tersebut menimbulkan simpati yang mendalam bagi Umar. Dari sikap memusuhi, Umar berbalik menjadi bersimpati. Umar lalu menjadi pengikut Nabi, menjadi panglima perang dan menjadi khalifah yang terkenal bijaksana setelah Nabi wafat.
Khalid bin Walid sebelumnya juga terkenal bengis dan merupakan musuh utama Nabi dan para sahabat. Ia telah membunuh 70 orang sahabat-sahabat terbaik Nabi dalam perang Uhud.
Namun Nabi berhasil menaklukkan Khalid, tidak dengan kekerasan, tetapi dengan sikap bijaksana dan memaafkan semua kesalahan Khalid. Ia pun lalu berbalik menjadi pengikut Nabi dan tercatat sebagai panglima perang terbaik dan gagah berani sepanjang sejarah Islam.
Memang tidak selamanya kekerasan bisa diselesaikan dengan kekerasan, keburukandibalas dengan keburukan, perbuatan jahat dibalas dengan kejahatan pula. Hal itu sering tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya justru menimbulkan dendam dan sakit hati berkepanjangan.
Kita tentu pernah membuktikan sendiri bahwa memaafkan memiliki kekuatan dan hikmah yang luar biasa. Memaafkan secara luar biasa bisa merubah antipati menjadi simpati serta meluruhkan dendam yang menggerogoti dan selalu meracuni hati kita. Mari saling memaafkan dengan bersungguh-sungguh.

Agar Waktu Tak Menguap Percuma

00.49


Agar Waktu Tak Menguap Percuma

” Time is Money.” (Waktu adalah uang)
“Al waqtu kas saif illam taqtha’hu qatha’aka.” (Waktu ibarat pedang, jika kamu tidak memotongnya, niscaya pedang itu yang akan memotongmu).
“Al Waqtu huwal hayaah.” (waktu itu adalah kehidupan itu sendiri). Karenanya ada ungkapan lain senada: “Al waqtu ‘amaar au damaar.” (waktu adalah keceriaan atau kebinasaan).
Betapa banyak ungkapan ungkapan senada yang mengindikasikan keberhargaan dan ketinggian nilai waktu bagi kehidupan.
Penting dan berharganya waktu ditunjukkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Ia bersumpah dengan masa (baca: waktu) dalam firman-Nya, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar berada dalam kerugian, Kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran” (Al ‘Ashr: 1 3).
Demikian juga dalam ayat ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala. bersumpah dengan beragam waktu dalam sehari semalam, “Wallaili idzaa yaghsya” (demi waktu malam saat kelam), “wadh dhuhaa” (demi waktu dhuha), “wal fajri” (demi waktu fajar) dan seterusnya.
Secara kontekstual, ayat ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala. di atas mengisyaratkan dengan jelas tentang kemuliaan dan ketinggian nilai waktu. Sebagaimana ia juga mengisyaratkan bahwa manusia sangat akrab dengan keburukan dan malapetaka, karena terlena dari kejapan masa. Juga memberikan pengertian bahwa tidak ada yang lebih mahal harganya daripada umur yang dikaruniakan pada manusia.
Penting dan mahalnya harga waktu, juga dijelaskan dalam teks teks hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai sumber kedua setelah Al Qur’an, antara lain:
“Dua nikmat yang banyak orang rugi di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang” (al hadits).
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari Kiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara, yaitu: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia lewatkan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan, dan tentang ilmunya untuk apa ia gunakan” (HR Al Bazzar dan Ath Thabrani).
“Pergunakan lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tua, kekayaanmu sebelum kemiskinan, kesehatanmu sebelum sakit, masa hidup sebelum engkau mati.” (Al Hadits).
Kesadaran akan penting dan berharganya waktu tersebut, juga dimiliki para salafuna shalih (pendahulu kita). Mereka mengungkapkan kesadaran itu dengan kata kata indah, antara lain:
“Orang mukmin tidak bergerak melangkah kecuali untuk tiga perkara, yaitu: membekali diri untuk akhirat, atau mencari nafkah untuk hidup, atau sekedar menikmati hal hal yang tidak diharamkan.”
“Saya (Umar bin Khathab ra.) benci melihat orang punya waktu luang tanpa diisi dengan aktivitas berdimensi ukhrawi, tak pula kegiatan duniawi.”
“Kewajiban lebih banyak dari pada waktu yang tersedia.”
“Peluang adalah emas, kesibukan adalah keberkahan, tidak dapat mengatur waktu adalah bencana.”
“Malam dan siang adalah modal kekayaan orang mukmin. Keuntungannya adalah sorga, sedangkan kerugiannya adalah neraka.”
Sehingga, kita pun dapat meneladani mereka dengan ungkapan nurani: “Tiada waktu tanpa tilawah dengan Al Qur’an”, “Tiada saat saat, tanpa aktivitas yang diridhai Nya”, “Tiada peluang kecuali bermanfaat”. Itulah ungkapan nurani yang bermuara pada firman Sang Pencipta nurani: “Maka jika engkau berpeluang (waktu kosong) hendaknya diisi (dengan yang bermanfaat).” (Al Insyirah: 7).
Waktu….. oh waktu……, demikian berharga engkau. Masa…. Oh masa, tiada berguna penyesalan atas masa lalu.
Ramadhan merupakan salah satu masa dan waktu bagi kehidupan kita. Bahkan, Islam memandang Ramadhan adalah waktu dan peluang investasi kebajikan untuk kehidupan akhirat, saat Allah meminta pertanggungjawaban setiap waktu dan masa yang digunakan manusia. Tak terkecuali.
Investasi yang ditawarkan bukan sekedar sesuatu yang mendatangkan keuntungan duniawi belaka. Keuntungannya pun tidak sekedar keuntungan, tetapi keuntungan yang berlipat ganda, untung dunia dan akhirat.
Sebagai ilustrasi, jika ada seseorang kaya raya menawarkan kepada Anda modal besar untuk diinvestasikan dalam sebuah bisnis mulia. Bahkan orang kaya itu memberikan hibah pemberian kepada Anda dan bukan pinjaman modal. Apa sikap Anda dan bagaimana selayaknya Anda lakukan terhadap modal besar tersebut?
Karena harta modal itu pemberian untuk anda, Anda bebas bersikap dan memperlakukannya. Tetapi pantaskah Anda berfoya foya dengan harta itu? Layakkah Anda mensia siakan hartanya? Bijakkah Anda ketika Anda hanya berucap “syukron” (terima kasih), tanpa ada upaya bagaimana agar Anda bisa hidup wajar dan penuh keceriaan?

Selaku orang bijak dan pandai berterima kasih, tentunya Anda harus memanfaatkan pemberian orang kaya itu dengan sebaik baiknya, yang manfaatnya tidak hanya untuk Anda, kemungkinan besar untuk orang banyak, juga bermanfaat untuk kehidupan yang berdimensi ukhrawi. Selaku orang beriman dan beragama, tentunya Anda harus membuat sebuah planning yang tepat guna, sehingga pemberian orang yang banyak itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Demikian juga halnya di dalam bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala. dengan syariat Nya memberikan banyak hadiah berlipat ganda, selama Anda menjalankan syariat syariat Nya di bulan suci ini. Hadiah itu bermuara kepada ‘bonus’ Allah berupa kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat, karena tercapainya diri yang fitrah, bersih dari segala noda, salah, dan dosa.
Karenanya, sangat pantas dan wajar jika kita mampu memanfaatkan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. selama bulan Ramadhan dengan sebaik baiknya. Sehingga, waktu waktu kita pun selama itu tidak terbuang percuma dan lewat tanpa buah manis bagi kehidupan kita.
Caranya….? Buatlah perencanaan yang matang jauh sebelum Anda memasuki bulan suci Ramadhan kali ini. Ada baiknya, jika Anda juga melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap waktu waktu Anda pada bulan Ramadhan tahun lalu. Setelah itu, baru Anda buat planning Ramadhan tahun ini.
Dalam planning, tentunya diperhatikan hal hal yang terkait dengan planning, seperti tujuan, aspek aspek aktifitas yang mengacu pada dimensi tujuan yang ditentukan. Kemudian dibuat sistematika pelaksanaan dan evaluasi berkala, lalu buatlah program yang dapat menunjang capaian tujuan yang ditentukan.
Tujuan: Tujuan akhir dari aktivitas Ramadhan adalah meningkatnya kepribadian muslim. Acuan kepribadian muslim tersebut adalah mukmin multazim (komitmen) dengan Islam baik dalam aspek akidah, ibadah, dan muamalah (baca: orang muttaqin).
Hal hal yang termasuk dalam aspek akidah seperti: keyakinan wajibnya shaum, keikhlasan niat dan motivasi, bergembira dan berdo’a, kesiapan meraih tujuan shaum. Pada aspek ibadah, tujuan antaranya seperti: memahami hukum hukum ibadah, memahami etika shaum dan amalan utama serta hikmah shaum. Sedangkan aspek muamalah diarahkan kepada aktivitas bernuansa moralitas bergaul, seperti: silaturahim, saling memaafkan, berlapang dada, kebersamaan dan lainnya.
Dari tujuan akhir dan tujuan antara serta bentuk bentuk aktivitas tersebut, kita dapat menentukan berbagai kegiatan dengan beragam aspeknya (ruhiah, fikriah dan jasadiah). Kegiatan kegiatan dalam aspek ruhiah, contohnya: ibadah wajib, nawafil (ibadah sunnah), i’tikaf, tarawih atau qiyamullail, tilawah Al Qur’an 1 juz perhari dan lainnya.

Dari aspek fikriah, seperti: mengikuti kegiatan kuliah shubuh, menentukan bacaan Islam tertentu, mendatangi ustadz atau orang orang yang dipercayai kompeten dalam berkonsultasi dalam bidang bidang tertentu. Juga menghadiri acara acara ilmiah, serta jangan lupa hindari debat dengan orang lain.
Sedangkan aspek jasadiah, kita dapat membuat program program yang terukur, seperti: tidak isrof (berlebihan) dan segala hal, makan sahur yang cukup, makanan halal dan bergizi, senam ringan 15 menit sehari dan aktifitas positif lainnya.
Keberhasilan Anda dalam planning merupakan sebagian dari keberhasilan Anda dalam mencapai cita cita dan tujuan mulia. Awali usaha Anda dengan tekad, kemauan kuat. Kemudian, bersihkan hati, ikhlaskan niat. Mulai pembuatan rencana dengan ungkapan verbal sikap ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Bismillahir Rahmanir Rahim.”
Secara umum ada 6 tahap mengelola waktu secara efektif dan efesien:
Selalu kembali pada misi hidup: mengerjakan sesuatu dengan penuh semangat dan menolak mengerjakan hal hal yang tidak penting, tidak terkait dengan tujuan hidup.
Perhatikan peran kita: harus ada keseimbangan dalam mengerjakan peran sebagai individu, ibu (istri), ayah (suami), pendidik, pekerja.
Tetapkan tujuan apa yang ingin kita capai tiap pekan: membantu agar kita tetap fokus untuk mengerjakan hal yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup.
Perencanaan pekanan: membantu kita untuk membuat prioritas, sekaligus melakukan hal lain (sediakan waktu untuk persiapan dan perencanaan. Perbaharui jadwal harian dan pekanan).
Lakukan dengan integritas: jika sesuatu terjadi di luar rencana kita, mana yang harus didahulukan? Berpikir sejenak sebelum memberikan reaksi, selalu kembali pada tujuan hidup.
Evaluasi terus belajar untuk mengatur waktu
Jangan lupa senantiasa budayakan bermusyawarah dalam perencanaan. Benar…, Anda punya kebebasan untuk mewujudkan kepentingan Anda, tetapi sangat benar orang lain mempunyai kebebasan untuk meraih cita cita hidup demi kepentingan dirinya. Karenanya, musyawarah dengan orang di sekitar Anda merupakan jalan terbaik untuk mewujudkan cita dan impian Anda.