Tampilkan postingan dengan label UU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UU. Tampilkan semua postingan
Senin, 29 Juli 2013
UU POKOK AGRARIA
23.51
UU PA |
Negara wajib mencegah monopoli swasta di bidang pertanahan, kata Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice Gunawan.“Kewajiban itu adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945,” kata Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS) Gunawan saat menjadi pembicara seminar tentang Undang-Undang Pokok Agraria dan Sektoralisasi Agraria di Yogyakarta, Rabu.Ia mengatakan berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Tahun 1960, warga negara Indonesia memiliki kedudukan istimewa atas kepemilikan tanah.“Isu kepemilikan tanah kembali mengemukan seiring terjadinya globalisasi ekonomi yang ekspansif terhadap penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional,” katanya.Oleh karena itu negara harus memastikan bahwa perusahaan asing tidak memiliki hak kepemilikan tanah dan larangan hak penggunaaannya untuk penanaman modal berkurun waktu lama.Artinya negara secara bertahap berkewajiban menciptakan keadilan sosial di bidang pertanahan,” katanya.Pemerintah, kata dia berperan mengatur dan membuat rencana semesta penggunaan tanah dan mengelolanya agar mempertinggi produksi serta kemakmuran rakyat.“Termasuk di dalamnya adalah larangan tanah dijadikan jaminan hutang luar negeri oleh pemerintah,” katanya. Mengacu pada UU PA, kata dia negara juga mengakui hak-hak kolektif dan hak-hak kelompok rentan untuk mendapatkan perlindungan khusus serta jaminan sosial di bidang pertanahan.
Rabu, 22 Mei 2013
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
23.37
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
Komisi X
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
2011
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN 2011
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia;
b. bahwa sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran
strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c. bahwa
untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala
bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya
manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri,
kritis, inovatif,
kreatif, toleran, demokratis, berkarakter
tangguh, serta berani
membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi.
Mengingat : 1. Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan Tinggi adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan manusia untuk mengembangkan peradaban manusia
melalui jenjang pendidikan formal yang mencakup jenis pendidikan vokasional, keahlian, profesional,
dan akademik yang
diselenggarakan dalam suatu program studi secara terstruktur
dan berjenjang pada strata tertentu.
2. Pendidikan Vokasional adalah jenis pendidikan tinggi
yang diarahkan pada pencapaian kompetensi lulusan dalam penguasaan
keterampilan tertentu untuk dapat menyelesaikan
masalah pada bidang pekerjaan yang spesifik, dan diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang dalam strata Diploma Satu, Diploma Dua, dan Diploma Tiga oleh perguruan
tinggi.
3. Pendidikan Keahlian adalah jenis pendidikan tinggi
yang diarahkan pada pencapaian kompetensi inovatif lulusan untuk menghasilkan
teknologi dalam rangka pemanfaatan
ilmu dan teknologi untuk menunjang
profesi tertentu, dan diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang dalam strata Sarjana Terapan, Magister Terapan dan
Doktor Terapan oleh perguruan tinggi.
4. Pendidikan Profesional adalah
jenis pendidikan tinggi yang diarahkan pada
pencapaian kompetensi inovatif lulusan
dengan
memanfaatkan ilmu dan
teknologi untuk
menyelesaikan masalah pada bidang pekerjaan yang spesifik, dan diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang dalam strata Profesi, Spesialis, dan Subspesialis oleh organisasi profesi atau perguruan tinggi yang bekerja sama dengan organisasi
profesi.
5. Pendidikan Akademik adalah jenis pendidikan tinggi
yang diarahkan pada pengembangan kompetensi adaptif dan
inventif lulusan untuk menghasilkan dan
mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni yang
dapat menyelesaikan masalah pada bidang pekerjaan umum, dan diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang dalam strata Sarjana, Magister, dan Doktor oleh perguruan tinggi.
6. Strata Pendidikan
Diploma Satu adalah
peringkat pada jenis pendidikan tinggi vokasional, yang menghasilkan
lulusan yang minimum memiliki pengetahuan praktis
bidang keterampilan tertentu untuk melaksanakan pekerjaan spesifik, dengan menggunakan informasi dan alat berdasarkan
sejumlah pilihan prosedur kerja.
7. Strata Pendidikan
Diploma Dua adalah
peringkat pada jenis pendidikan tinggi vokasio-nal, yang menghasilkan lulusan
yang minimum menguasai pengetahuan praktis
bidang keterampilan
untuk melaksanakan serangkaian pekerjaan spesifik, dengan menganalisis informasi secara terbatas, memilih metode yang
sesuai dari beberapa pilihan metode baku.
8. Strata Pendidikan Diploma Tiga
adalah peringkat pada
jenis pendidikan tinggi vokasional, yang menghasilkan
lulusan yang minimum menguasai pengetahuan praktis bidang keterampilan untuk melaksanakan serangkaian pekerjaan spesifik dan berlingkup
luas, memilih metode yang sesuai dari beberapa pilihan metode yang sudah maupun belum baku, dengan menganalisis data serta
mampu menunjukkan kinerja dengan kualitas dan kuantitas yang terukur.
9. Strata Pendidikan Sarjana Terapan adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi keahlian, yang
menghasilkan lulusan yang minimum mampu memanfaatkan teknologi untuk mendukung suatu profesi melalui riset, hingga menghasilkan karya aplikatif untuk memecahkan masalah melalui pendekatan monodisipliner.
10. Strata Pendidikan Magister Terapan adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi
keahlian, yang menghasilkan lulusan yang minimum mampu mengembangkan teknologi untuk mendukung suatu profesi melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif untuk memecahkan
masalah melalui pendekatan interdisipliner atau multidisipliner.
11. Strata Pendidikan Doktor Terapan adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi
keahlian, yang menghasilkan lulusan yang minimum mampu mengembangkan teknologi baru untuk mendukung suatu profesi melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan/atau inventif untuk memecahkan masalah melalui pendekatan interdisipliner, multidisipliner,
atau transdisipliner.
12. Strata Pendidikan
Profesi adalah
peringkat pada jenis pendidikan tinggi profesional, yang
menghasilkan lulusan yang terampil dan berwenang dalam menangani pekerjaan spesifik dalam lingkup profesi tersebut.
13. Strata Pendidikan
Spesialis adalah
peringkat pada jenis pendidikan tinggi profesional, yang
menghasilkan lulusan yang terampil dan ahli,
serta berwenang dalam menangani pekerjaan spesifik dalam lingkup profesi tersebut.
14. Strata Pendidikan
Subspesialis adalah
peringkat pada jenis pendidikan tinggi profesional, yang menghasilkan
lulusan yang terampil,
memiliki keahlian lebih tinggi dan sangat spesifik, serta berwenang dalam menangani pekerjaan
spesifik dalam lingkup
profesi tersebut.
15. Strata Pendidikan Sarjana adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi akademik, yang
menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu,
teknologi, dan/atau seni secara umum dan mendalam pada
bidang tertentu, serta mampu memanfaatkan ilmu, teknologi, dan/atau seni dalam bidang keilmuannya untuk menyelesaikan pekerjaaannya.
16. Strata Pendidikan Magister adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi akademik, yang
menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan ilmu,
teknologi, dan/atau seni melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif,
serta mampu memecahkan masalah ilmu, teknologi, dan/atau seni dalam
bidang keilmuannya melalui pendekatan interdisipliner atau
multidisipliner.
17. Strata Pendidikan Doktor adalah peringkat pada jenis pendidikan tinggi akademik, yang
menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan ilmu,
teknologi, dan/atau seni baru melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan/atau inventif, serta mampu memecahkan masalah ilmu,
teknologi, dan/atau seni dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan interdisipliner, multidisipliner, atau transdisipliner.
18. Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan tinggi berdasarkan kurikulum dan metoda pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan vokasional, keahlian,
profesional, atau akademik pada satu strata.
19. Perguruan Tinggi adalah satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, didirikan dan
dikelola oleh Kementerian, masyarakat, atau kementerian lain dan Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian.
20. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat
PTN adalah perguruan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh Kementerian.
21.
Perguruan Tinggi Swasta
yang selanjutnya disingkat PTS adalah perguruan tinggi yang didirikan dan
dikelola oleh badan hukum nirlaba yang sah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
22.
Perguruan
Tinggi Kedinasan yang selanjutnya disingkat PTK adalah perguruan tinggi yang
didirikan dan dikelola oleh kementerian lain atau lembaga pemerintah
nonkementerian, untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam rangka memenuhi
kebutuhan kompetensi spesifik pegawai negeri di kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang bersangkutan.
23.
Statuta Perguruan
Tinggi yang selanjutnya disebut Statuta adalah peraturan dasar bagi Perguruan Tinggi yang digunakan sebagai landasan untuk
merencanakan, melaksanakan,
mengendalikan, dan mengembangkan kegiatan akademik dan
nonakademik Perguruan Tinggi.
24.
Organ Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Organ adalah unit organisasi Perguruan Tinggi
yang menjalankan fungsi Perguruan Tinggi, baik sendiri maupun bersama-sama.
25.
Majelis
Pemangku adalah Organ yang menjalankan fungsi penentuan
kebijakan umum.
26.
Pemimpin
adalah pejabat yang memimpin Organ yang menjalankan fungsi pengelolaan
dengan sebutan rektor untuk universitas/institut, ketua untuk
sekolah tinggi, atau direktur untuk politeknik/akademi.
27.
Pimpinan adalah
Pemimpin
bersama sekelompok pejabat di bawahnya yang diangkat dan diberhentikan oleh Pemimpin
berdasarkan Statuta untuk
secara bersama menjalankan fungsi pengelolaan.
28.
Senat Akademik
adalah Organ yang
menjalankan fungsi perencanaan dan pengawasan kebijakan akademik.
29.
Satuan Pengawas adalah Organ yang
menjalankan fungsi pengawasan nonakademik.
30. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pengelolaan
keuangan pola BLU yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
31.
Pemerintah
Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
32.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
33.
Kementerian
adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pendidikan nasional.
34.
Kementerian
lain adalah kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
selain pendidikan nasional.
35.
Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian adalah badan atau lembaga Pemerintah
yang melaksanakan tugas dan fungsi yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi
Kementerian atau kementerian lain.
36.
Menteri
adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan
nasional.
37.
Menteri lain adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang selain pendidikan nasional.
38.
Kepala atau Ketua adalah pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian.
Pasal 2
Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan Tinggi
berdasarkan asas:
a. kebenaran ilmiah;
b. otonomi keilmuan;
c. kebebasan akademik;
d. kejujuran; dan
e. keadilan.
Pasal 4
Pendidikan tinggi bertujuan:
a. menghasilkan lulusan sebagai sumber daya pembangunan nasional yang kompeten dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni
yang dipelajari serta mampu
mengaplikasikan dalam
peningkatan daya saing bangsa;
b. menghasilkan karya
penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi
kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.
Pasal 5
(1) Pendidikan Tinggi berfungsi membentuk dan mengembangkan
ranah kognitif, afektif, psikomotorik, dan kooperatif mahasiswa melalui pelaksanaan:
a. dharma
pendidikan;
b. dharma
penelitian; dan
c. dharma
pengabdian kepada masyarakat.
(2) Ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan ketiga dharma sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan setiap jenis pendidikan vokasional, keahlian, profesional, atau akademik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
ruang lingkup, kedalaman, dan kombinasi pelaksanaan ketiga dharma sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
II
SISTEM PENDIDIKAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1)
Pendidikan Tinggi merupakan
jenjang pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang dilaksanakan oleh Perguruan
Tinggi melalui Program Studi dan berakhir dengan pemberian gelar.
(2)
Jenis Pendidikan Tinggi terdiri atas:
a.
Pendidikan Vokasional;
b.
Pendidikan Keahlian;
c.
Pendidikan Profesional; dan
d.
Pendidikan Akademik.
(3)
Strata Pendidikan Tinggi terdiri atas:
a.
Strata pada jenis Pendidikan Vokasional;
b.
Strata pada jenis Pendidikan Keahlian;
c.
Strata pada jenis Pendidikan Profesional; dan
d.
Strata pada jenis Pendidikan Akademik.
Pasal 7
Strata pada jenis Pendidikan
Vokasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a
terdiri atas:
a.
Strata Diploma Satu;
b.
Strata Diploma Dua;
dan
c.
Strata Diploma Tiga.
Pasal 8
Strata pada jenis Pendidikan Keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b terdiri atas:
a.
Strata Sarjana Terapan;
b.
Strata Magister Terapan; dan
c. Strata Doktor Terapan.
Pasal 9
Strata pada jenis Pendidikan Profesional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c terdiri atas:
a. Strata Profesi;
b. Strata Spesialis; dan
c. Strata Subspesialis.
Pasal 10
Strata pada jenis Pendidikan Akademik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d terdiri atas:
a.
Strata Sarjana;
b.
Strata Magister;
dan
c.
Strata Doktor.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Pasal 11
(1) Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(2) Menteri dapat mendelegasikan
wewenang dan memberikan mandat penyelenggaraan Pendidikan Tinggi pada Perguruan
Tinggi.
(3) Menteri dapat
membentuk unit
yang menjalankan fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di wilayah tertentu di seluruh wilayah
negara
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pemberdayaan, pendanaan, pengawasan, pemantauan, evaluasi, dan
koordinasi kegiatan Pendidikan Tinggi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Pendidikan
Tinggi
Pasal 13
(1) Pelaksanaan Pendidikan Tinggi dilakukan
melalui Program Studi oleh Perguruan Tinggi.
(2) Program Studi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan pada setiap strata pada jenis Pendidikan Tinggi tertentu.
(3) Strata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih Program Studi.
Pasal 14
(1) Program Studi dapat dilaksanakan di
luar domisili Perguruan Tinggi setelah memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Program Studi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui model tatap muka dan/atau jarak jauh
khusus untuk Pendidikan Akademik.
Pasal 15
(1) Pembukaan
dan perubahan Program Studi di Perguruan Tinggi wajib memperoleh izin Menteri.
(2) Menteri
dapat mendelegasikan kewenangan pembukaan, perubahan, dan penutupan Program Studi
kepada Perguruan Tinggi tertentu.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembukaan, perubahan, dan penutupan Program Studi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 16
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 15 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Kebebasan Akademik, Kebebasan
Mimbar Akademik, dan Otonomi
Keilmuan
Pasal 17
(1)
Pada semua jenis, strata, Program Studi,
dan model penyelenggaraan Pendidikan Tinggi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
(2)
Kebebasan akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan
mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni
melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)
Kebebasan mimbar
akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kebebasan dosen untuk menyebarluaskan
hasil pendalaman dan pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat dalam fora perkuliahan,
ujian lisan, seminar, diskusi, simposium, ceramah, publikasi ilmiah,
dan pertemuan ilmiah lain di lingkungan Perguruan
Tinggi.
(4)
Otonomi keilmuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kemandirian suatu cabang ilmu, teknologi, dan/atau seni untuk memiliki kekhasan dalam menemukan, mengembangkan,
mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran menurut kaidah serta metode keilmuannya.
(5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Statuta.
Bagian Kelima
Penerimaan Mahasiswa
Pasal 18
(1) Untuk menjadi
mahasiswa pada strata diploma harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki
ijazah pendidikan 1 (satu) jenjang atau strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara
atas keterampilan yang dimilikinya;
b. lulus seleksi
masuk; dan
c. memenuhi
persyaratan administratif yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(2) Untuk menjadi
mahasiswa pada strata sarjana terapan, strata magister terapan, strata doktor terapan, atau strata
sarjana, strata magister, strata doktor harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki
ijazah pendidikan 1 (satu) strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara
atas pengalaman yang dimilikinya;
b. lulus seleksi
masuk; dan
c. memenuhi
persyaratan administratif yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(3) Untuk menjadi mahasiswa pada strata profesi, strata spesialis, atau strata subspesialis harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki
ijazah pendidikan 1 (satu) strata di bawahnya atau memperoleh pengakuan setara
atas pengalaman yang dimilikinya;
b. lulus seleksi
masuk; dan
c. memenuhi
persyaratan administratif yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
Pasal 19
(1)
Warga negara
asing dapat menjadi mahasiswa pada Perguruan Tinggi yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2)
Ketentuan mengenai mahasiswa warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Dalam hal penerimaan mahasiswa pada suatu strata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 terjadi perpindahan Program Studi dan/atau jenis
pendidikan, atau membutuhkan pengakuan atas hasil pendidikan nonformal, dapat berlaku
pengakuan
hasil pembelajaran sebelumnya.
(2) Hasil pembelajaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat memperoleh pengakuan yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi penerima mahasiswa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakuan hasil pembelajaran sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Sistem Kredit Semester
Pasal 21
(1)
Program Studi
diselenggarakan dengan menerapkan Sistem Kredit Semester.
(2)
Sistem Kredit Semester sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
untuk mengukur beban
belajar mahasiswa dan
beban mengajar dosen dengan satuan kredit semester.
Pasal
22
(1)
1 (satu) tahun
akademik terdiri atas
2 (dua) semester yaitu semester gasal dan semester genap yang masing-masing
terdiri atas 14 (empat belas) sampai dengan 16 (enam belas) minggu.
(2)
Di antara semester genap dan semester
gasal, dapat diselenggarakan
semester antara untuk pengulangan,
pengayaan, atau percepatan.
(3)
Semester antara
dilaksanakan dengan beban belajar dan mutu pembelajaran yang sama dengan
semester gasal atau semester genap.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
semester antara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kurikulum
Pasal 23
(1) Kurikulum pada setiap Program Studi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
(2) Kurikulum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis kompetensi.
(3) Kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memenuhi unsur:
a. landasan
kepribadian;
b. penguasaan
ilmu, teknologi, dan/atau seni;
c. keahlian dan keterampilan berkarya;
d. sikap dan
perilaku dalam berkarya sesuai dengan tingkat
keahlian dan keterampilan berdasarkan ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dikuasai; dan
e. penguasaan
kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dan keterampilan dalam berkarya.
Bagian Kedelapan
Gelar
Pasal 24
(1) Lulusan Program Studi pada jenis pendidikan vokasional, akademik, atau keahlian berhak
menggunakan gelar vokasional, gelar akademik, gelar keahlian yang
diberikan oleh Perguruan Tinggi.
(2) Lulusan Program Studi pada jenis pendidikan profesional berhak
menggunakan gelar profesional yang diberikan oleh Perguruan Tinggi
atau organisasi profesi yang diakui Menteri.
Pasal 25
Gelar untuk lulusan Program Studi pada jenis Pendidikan Vokasional terdiri atas:
a. ahli pratama
untuk lulusan Strata Diploma Satu, yang dicantumkan di belakang nama yang berhak dengan membubuhkan singkatan A.P. dan diikuti dengan
inisial Program Studi atau bidang keterampilan;
b. ahli muda
untuk lulusan Strata Diploma Dua, yang dicantumkan di belakang nama yang berhak dengan membubuhkan singkatan A.Ma. dan diikuti dengan inisial Program Studi
atau bidang keterampilan;
c. ahli madya untuk lulusan Strata Diploma
Tiga, yang dicantumkan di belakang
nama yang berhak dengan membubuhkan singkatan
A.Md. dan diikuti dengan inisial Program Studi atau bidang keterampilan.
Pasal 26
Gelar untuk
lulusan Program Studi pada jenis Pendidikan
Keahlian terdiri atas:
a. sarjana terapan, yang dicantumkan
di belakang nama yang berhak dengan membubuhkan huruf ST. dan
diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu dan
teknologi;
b. magister terapan, yang dicantumkan di
belakang nama yang berhak dengan mem-bubuhkan huruf MT. dan
diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu dan
teknologi;
dan
c. doktor terapan, yang dicantumkan di depan nama yang berhak
dengan membubuhkan singkatan Dr.(T).
Pasal 27
Gelar untuk lulusan Program Studi pada jenis
Pendidikan
Profesional terdiri atas:
a. profesi, yang dicantumkan di belakang nama yang
berhak dengan membubuhkan singkatan bidang profesi;
b. spesialis, yang dicantumkan di belakang nama yang
berhak dengan membubuhkan huruf Sp. dan diikuti dengan
inisial bidang profesi;
c. subspesialis, yang dicantumkan di belakang nama yang
berhak dengan membubuhkan huruf Ssp. dan diikuti dengan
inisial bidang profesi.
Pasal 28
Gelar untuk
lulusan Program Studi pada jenis Pendidikan
Akademik terdiri atas:
a. sarjana, yang
dicantumkan di belakang nama yang berhak dengan membubuhkan huruf
S. dan diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu, teknologi, atau seni;
b. magister, yang dicantumkan di
belakang nama yang berhak dengan membubuhkan huruf M.
dan diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu, teknologi, atau seni; dan
c. doktor, yang dicantumkan di
depan nama yang berhak dengan membubuhkan singkatan
Dr.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Singkatan dan tata
cara pencantuman gelar lulusan perguruan tinggi asing dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara asal perguruan
tinggi tersebut.
(2) Menteri menetapkan kesetaraan ijazah dan gelar perguruan tinggi asing dengan ijazah dan gelar perguruan tinggi Indonesia.
Pasal 31
(1)
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan Strata Pendidikan Doktor berhak memberikan gelar doktor
kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu,
teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
(2)
Gelar doktor kehormatan dicantumkan di
depan nama yang berhak dengan membubuhkan singkatan
Dr.(HC).
Pasal 32
(1)
Pada Perguruan Tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Sebutan guru
besar atau profesor hanya digunakan selama
yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai dosen di Perguruan Tinggi.
Bagian Kesembilan
Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi
Pasal 33
Menteri menetapkan sistem penjaminan
mutu Pendidikan Tinggi untuk menjamin
mutu Pendidikan Tinggi nasional.
Pasal 34
(1) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi
merupakan siklus kegiatan
sistemik yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.
(2) Siklus kegiatan sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. proses
penetapan standar nasional pendidikan
tinggi;
b. proses pelaksanaan standar nasional pendidikan tinggi;
c. proses pengendalian standar nasional pendidikan tinggi;
dan
d. proses peningkatan standar nasional
pendidikan tinggi.
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan tinggi merupakan bagian dari Standar
Nasional Pendidikan.
(2) Standar
nasional pendidikan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan; dan
h. standar penilaian pendidikan.
(3) Standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus ditingkatkan secara
kualitatif dan kuantitatif, berencana, serta
berkala.
(4) Standar nasional
pendidikan tinggi
digunakan sebagai dasar
pengembangan kurikulum, dosen, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan Pendidikan
Tinggi.
Bagian Kesepuluh
Organisasi Penjaminan
Mutu Pendidikan Tinggi
Pasal 36
(1)
Penjaminan mutu Pendidikan Tinggi dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang bersifat mandiri.
(2) Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
a.
melaksanakan
pengembangan mutu Pendidikan Tinggi untuk memenuhi dan melampaui standar nasional pendidikan tinggi; dan
b.
melaksanakan
pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan tinggi secara nasional.
(3) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
dibentuk:
a. di tingkat nasional; dan
b. di tingkat wilayah.
(4) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi yang dibentuk di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi yang dibentuk di tingkat wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bertanggung jawab
kepada Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang dibentuk di tingkat nasional.
Pasal 37
(1) Anggota
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat nasional terdiri dari unsur:
a. kementerian;
b. dosen;
c. tenaga
kependidikan;
d. organisasi
profesi; dan
e. dunia usaha dan dunia industri.
(2) Anggota Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat nasional berjumlah
paling sedikit 9 (sembilan) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang.
(3) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat nasional
dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris
yang dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Pasal 38
(1) Anggota
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat wilayah terdiri dari unsur:
a. wakil dari unit yang dibentuk Menteri untuk menjalankan
fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di wilayah;
b. dosen;
c. tenaga
kependidikan;
d. organisasi
profesi; dan
e. dunia usaha dan dunia industri.
(2) Anggota Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat wilayah berjumlah
paling sedikit 5 (lima) orang
dan paling banyak 9 (sembilan) orang.
(3) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat wilayah dipimpin
oleh 1 (satu) orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris yang
dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Pasal 39
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat nasional mempunyai tugas dan
wewenang:
a. menyusun
dan mengembangkan standar nasional pendidikan tinggi untuk
diusulkan dan ditetapkan Menteri;
b. mengevaluasi mutu pendidikan
tinggi, baik di tingkat nasional maupun tingkat
Perguruan Tinggi
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian dan
pelampauan Standar
Nasional Pendidikan.
c. melakukan
koordinasi pelaksanaan akreditasi Program Studi pada tingkat Perguruan Tinggi untuk menilai kelayakan Program Studi berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi yang telah ditetapkan.
Pasal 40
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat wilayah mempunyai tugas dan
wewenang:
a. melakukan
koordinasi pelaksanaan Sistem Penjaminan
Mutu Internal Perguruan Tinggi di tingkat wilayah; dan
b. melakukan akreditasi Program Studi
pada Perguruan Tinggi di tingkat wilayah untuk menilai kelayakan Program Studi
berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi yang telah ditetapkan.
Pasal 41
(1) Organ dalam Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat nasional
terdiri atas:
a. Sekretariat;
b. Komisi Standar Nasional Pendidikan
Tinggi;
c. Komisi Sistem Penjaminan Mutu Internal; dan
d. Komisi Akreditasi Perguruan Tinggi.
(2) Organ dalam Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di tingkat wilayah
terdiri atas:
a. Sekretariat;
b. Komisi Sistem Penjaminan Mutu Internal; dan
c. Komisi Akreditasi Perguruan Tinggi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai organ dalam Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesebelas
Penjaminan Mutu Perguruan
Tinggi
Pasal 42
(1) Setiap Perguruan
Tinggi wajib melaksanakan sistem penjaminan mutu pendidikan
tinggi melalui sistem penjaminan mutu
internal perguruan tinggi sebagaimana dikembangkan oleh Komisi Sistem Penjaminan Mutu Internal.
(2) Pelaksanaan sistem
penjaminan
mutu internal pada
masing-masing Perguruan
Tinggi bertujuan:
a. memenuhi dan
melampaui standar nasional pendidikan tinggi agar mampu
mengembangkan mutu pendidikan secara berkelanjutan; dan
b. mengembangkan mutu Program Studi di tingkat Perguruan Tinggi secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk mencapai dan melampaui standar nasional pendidikan tinggi.
(3) Hasil pelaksanaan sistem penjaminan mutu
internal setiap Program Studi pada masing-masing Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan untuk mendapatkan akreditasi Program Studi pada
Komisi Akreditasi Perguruan Tinggi di masing-masing wilayah.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem penjaminan mutu internal
perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
(1) Setiap Perguruan Tinggi wajib menyampaikan hasil pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal setiap Program Studi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat
(2) kepada Komisi Akreditasi Perguruan Tinggi wilayah
untuk dilakukan akreditasi.
(2) Pelaksanaan akreditasi pada setiap Perguruan
Tinggi bertujuan menilai kelayakan Program Studi berdasarkan standar nasional
pendidikan tinggi
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik.
(3) Hasil
akreditasi Program Studi pada
masing-masing Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk
menentukan peringkat akreditasi Program Studi.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai akreditasi Program
Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 44
(1)
Perguruan Tinggi memiliki
kemandirian untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
(2)
Pengelolaan Perguruan Tinggi
berdasarkan prinsip:
a. nirlaba;
b. kemandirian;
c. efektivitas dan efisiensi;
d. transparansi;
e. akuntabilitas; dan
f. penjaminan mutu.
(3)
Pengelolaan Perguruan Tinggi
bertujuan:
a. memajukan Perguruan Tinggi agar mampu mewujudkan Visi Pendidikan
Nasional, sesuai dengan tahapan kemandirian Perguruan Tinggi.
b. mewujudkan kemandirian Perguruan Tinggi sesuai dengan kapasitasnya
agar mampu melakukan:
1. pengembangan
ilmu, teknologi, dan/atau seni yang strategis untuk masa
depan bangsa dan negara;
2. perluasan
akses pada Pendidikan Tinggi secara nasional;
3. peluasan
akses khusus pada Pendidikan Tinggi untuk daerah tertinggal, perbatasan,
konflik, dan bencana;
4. penyelenggaraan
program pada jenjang Pendidikan Tinggi untuk menunjang pemberdayaan daerah dan Pemerintah
Daerah;
5. pengembangan
dan pelestarian ilmu yang menunjang keberlangsungan seni dan budaya bangsa;
6. penyelenggaraan
program untuk menjawab tantangan dan tuntutan global; dan
7. penyelenggaraan
program pembinaan dalam rangka meningkatkan kemandirian Perguruan Tinggi lain.
Bagian Kedua
Kedudukan, Fungsi,
dan Tugas Perguruan Tinggi
Pasal 45
(1)
Perguruan Tinggi berkedudukan
sebagai penyelenggara Pendidikan Tinggi melalui pendelegasian tugas atau
pemberian mandat oleh Menteri.
(2)
Pendelegasian tugas dan pemberian mandat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat meliputi bidang akademik dan/atau nonakademik.
Pasal 46
PTN menerima pendelegasian tugas untuk
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik maupun nonakademik
dari Menteri.
Pasal 47
PTN badan hukum menerima mandat untuk menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik maupun nonakademik dari Menteri.
Pasal 48
(1)
PTS menerima mandat untuk
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik dari Menteri.
(2)
PTS menerima mandat untuk
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi dalam bidang nonakademik dari badan hukum
nirlaba yang mendirikannya.
Pasal 49
(1) PTK menerima pendelegasian tugas untuk menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi dalam bidang akademik dari Menteri.
(2) PTK menerima pendelegasian tugas untuk menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi dalam bidang nonakademik dari menteri lain atau pemimpin
lembaga pemerintah nonkementerian.
Pasal 50
Menteri berwenang mengubah atau mencabut pendelegasian tugas atau
pemberian mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal
47, Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) dengan melakukan perubahan
atau
pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi.
Pasal 51
Perguruan Tinggi berfungsi memberikan pelayanan Pendidikan Tinggi kepada mahasiswa, melakukan
pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni melalui penelitian
ilmiah, yang hasilnya disebarluaskan melalui proses pembelajaran pada Pendidikan
Tinggi serta diabdikan untuk pengembangan masyarakat.
Pasal 52
Perguruan
Tinggi bertugas untuk melaksanakan:
a. Program Studi pada suatu Strata dalam jenis
pendidikan tertentu;
b. pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni
untuk masa depan bangsa dan negara;
c. pelayanan dan pengabdian untuk menyelesaikan
permasalahan dan meningkatkan kemampuan masyarakat; dan
d. pengembangan kapasitas Perguruan Tinggi agar menjadi Perguruan Tinggi yang akuntabel, sehat, dan maju.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian mandat, fungsi, dan
tugas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 sampai dengan Pasal 52 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Bentuk Perguruan Tinggi dan Jenis
Pendidikan
Pasal 54
(1) Perguruan Tinggi dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2) Perguruan Tinggi diberi wewenang
menyelenggarakan jenis pendidikan berdasarkan bentuk Perguruan Tinggi.
Pasal 55
(1)
Universitas dan institut berwenang menyelenggarakan:
a.
jenis pendidikan akademik;
b.
jenis pendidikan keahlian; dan
c.
jenis pendidikan profesional.
(2)
Politeknik berwenang
menyelenggarakan:
a.
jenis pendidikan vokasional; dan
b.
jenis pendidikan keahlian.
(3)
Akademi berwenang menyelenggarakan jenis pendidikan
vokasional.
(4) Sekolah Tinggi berwenang menyelenggarakan jenis pendidikan akademik pada satu rumpun keilmuan yang spesifik.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk Perguruan Tinggi dan jenis
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Tridharma Perguruan Tinggi
Pasal 57
(1)
Universitas, institut, dan sekolah tinggi wajib melaksanakan penelitian
dasar, penelitian terapan, penelitian pengembangan, dan/atau penelitian
industri.
(2)
Politeknik dan akademi dapat melakukan penelitian terapan, dan/atau penelitian
industri.
(3)
Penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk:
a. mencari dan/atau menemukan kebaruan substansi ilmu,
teknologi, dan/atau seni; dan/atau
b. menguji ulang teori, konsep, prinsip, prosedur,
metode, dan/atau model yang telah menjadi substansi ilmu,
teknologi, dan/atau seni.
(4) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan oleh dosen dan/atau
mahasiswa sesuai dengan norma dan etika akademik dalam otonomi
keilmuan.
(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah dalam negeri terakreditasi, atau
terbitan berkala ilmiah internasional yang diakui Kementerian.
(6) Hasil penelitian dosen
harus
diseminarkan dan dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah terakreditasi atau
yang diakui Kementerian.
(7) Hasil penelitian Perguruan Tinggi diakui sebagai
penemuan baru setelah dimuat dalam terbitan berkala ilmiah terakreditasi yang
diakui Kementerian dan/atau mendapatkan hak kekayaan intelektual.
(8) Hasil penelitian Perguruan Tinggi yang dilaksanakan
oleh dosen dimanfaatkan untuk memperkaya materi pembelajaran mata kuliah yang
relevan.
Pasal 58
(1) Perguruan
Tinggi, lembaga penelitian, pusat studi, atau lembaga sejenis dapat menerbitkan
terbitan berkala ilmiah.
(2) Terbitan
berkala ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat artikel hasil
penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa resmi
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(3)
Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan secara tercetak dan secara elektronik melalui jejaring
teknologi informasi dan komunikasi.
(4)
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa hasil penelitian empiris atau
hasil penelitian teoritis.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai terbitan berkala
ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 59
(1) Perguruan Tinggi melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat.
(2) Pelaksanaan pengabdian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh civitas akademika secara
orang perseorangan atau kelompok untuk menerapkan hasil pendidikan
dan/atau hasil penelitian dalam upaya pemberdayaan masyarakat, pengembangan
industri, jasa, dan wilayah.
(3) Hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimanfaatkan untuk pengayaan pembelajaran
dan penelitian.
Bagian Kelima
Kemandirian
Pasal 60
(1) Kemandirian
Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi diberikan sesuai dengan
kapasitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
(2) Kemandirian
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Perguruan
tinggi badan hukum;
b. Perguruan
tinggi mandiri; dan
c. PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian.
Pasal 61
(1) Perguruan Tinggi badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. PTN badan hukum memiliki kemandirian
aspek akademik maupun aspek nonakademik; dan
b. PTS badan hukum oleh badan hukum nirlaba yang
mendirikannya memiliki kemandirian aspek akademik maupun aspek nonakademik.
(2) Perguruan tinggi
mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. PTN mandiri dalam aspek akademik maupun aspek
nonakademik melalui pendelegasian kewenangan dari Menteri; dan
b. PTS mandiri dalam aspek akademik melalui
pendelegasian kewenangan dari Menteri.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemandirian Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pendirian, Perubahan, dan
Penutupan
Pasal 63
(1)
Pendirian Perguruan
Tinggi wajib memperoleh izin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendirian Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
(1) Perubahan
Perguruan Tinggi terdiri atas:
a. perubahan nama dan/atau bentuk dari nama
dan/atau bentuk Perguruan Tinggi tertentu menjadi nama
dan/atau bentuk Perguruan Tinggi yang lain;
b.
penggabungan
2 (dua) atau lebih Perguruan Tinggi menjadi 1 (satu) Perguruan Tinggi baru;
c.
1 (satu)
atau lebih Perguruan Tinggi menggabungkan diri ke Perguruan Tinggi lain;
d.
pemecahan
dari 1 (satu) bentuk Perguruan Tinggi menjadi 2 (dua) atau lebih bentuk Perguruan Tinggi yang lain; atau
e. pengalihan pengelolaan.
(2) Pengalihan
pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri dari:
a. pengalihan PTS menjadi PTN; dan
b. pengalihan PTK menjadi
PTN Kementerian;
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai perubahan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 65
(1) Pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi dilakukan oleh
Menteri dalam hal:
a. Perguruan Tinggi tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan pendirian Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. proses
penyelenggaraan Perguruan Tinggi tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pencabutan izin Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
(1) Penutupan
Perguruan Tinggi wajib dilakukan oleh pendirinya apabila izin pendirian Perguruan Tinggi tersebut dicabut.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penutupan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Statuta
Pasal 67
(1) Setiap Perguruan Tinggi menyusun dan menetapkan Statuta sebagai dasar pelaksanaan kegiatan akademik dan
nonakademik.
(2) Statuta digunakan sebagai peraturan dasar dalam penyusunan
peraturan bidang akademik dan nonakademik, serta prosedur operasional di Perguruan Tinggi.
(3) Statuta paling sedikit memuat:
a.
pembukaan;
b.
ketentuan umum;
c.
visi, misi, dan tujuan;
d.
identitas;
e.
jalur, jenjang, jenis, dan
strata pendidikan, bentuk perguruan tinggi, program pendidikan, serta program
studi;
f.
sistem penjaminan mutu
internal dan eksternal;
g.
kebebasan akademik dan
otonomi keilmuan;
h.
gelar akademik dan
penghargaan;
i.
susunan organisasi;
j.
tata cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan dan anggota Organ;
k.
dosen dan tenaga
kependidikan;
l.
mahasiswa dan alumni;
m.
kerjasama;
n.
sarana dan prasarana;
o.
pendanaan dan pembiayaan;
p.
pengawasan dan akuntabilitas; dan
q.
ketentuan penutup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Statuta
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 68
(1) Statuta PTN badan hukum ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
(2) Statuta PTN mandiri ditetapkan oleh Majelis Pemangku atas
usul Senat Akademik.
Pasal 69
(1)
Statuta PTS
badan hukum disusun oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya dan ditetapkan
dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia.
(2)
Statuta PTS
mandiri ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya.
Pasal 70
Statuta PTN atau PTK sebagai UPT
Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian ditetapkan oleh Menteri atas usul Senat Akademik.
Bagian Kedelapan
Tata Kelola PTN dan PTK
Pasal 71
Ketentuan mengenai fungsi dan Organ pada PTN berdasarkan kemandirian PTN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2).
Pasal 72
PTN badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a memiliki fungsi
dan Organ:
a. fungsi penentuan
kebijakan umum dijalankan
oleh Majelis Pemangku;
b. fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
c. fungsi perencanaan
dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
d. fungsi pengawasan nonakademik dijalankan oleh Satuan Pengawas.
Pasal 73
PTN mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b memiliki fungsi dan Organ:
a. fungsi penentuan
kebijakan umum dijalankan
oleh Majelis Pemangku;
b. fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
c. fungsi perencanaan
dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
d. fungsi pengawasan
nonakademik dijalankan
oleh Satuan Pengawas.
Pasal 74
PTN atau PTK sebagai
unit pelaksana teknis Kementerian, kementerian lain, atau LPNK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf c memiliki fungsi dan Organ:
a. fungsi pengelolaan dijalankan oleh Pimpinan;
b. fungsi perencanaan
dan pengawasan akademik dijalankan oleh Senat Akademik; dan
c. fungsi pengawasan
nonakademik dijalankan
oleh Satuan Pengawas.
Paragraf 1
Majelis Pemangku
Pasal 75
(1) Anggota Majelis Pemangku diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada Majelis
Pemangku.
Pasal 76
Anggota Majelis
Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) terdiri atas:
a.
Menteri atau
yang mewakili;
b. Menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
c. Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau
yang mewakili, bagi yang mengelola PTK;
d. gubernur/bupati/walikota; dan
e. wakil dari masyarakat.
Pasal 77
Majelis Pemangku bertugas dan berwenang:
a. menetapkan statuta dan perubahan statuta atas usul Senat
Akademik;
b. menetapkan rencana pengembangan jangka panjang, rencana
strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan atas usul Pemimpin setelah
mendapat pertimbangan Senat Akademik;
c. menyusun dan menetapkan kebijakan umum atas usul Pemimpin
setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
d. mengesahkan usul Senat Akademik tentang ketua, sekretaris,
dan anggota Senat Akademik;
e. mengangkat dan memberhentikan Pemimpin atas usul Senat
Akademik;
f.
mengangkat dan memberhentikan
ketua serta anggota Satuan Pengawas;
g. melakukan pengawasan umum atas pengelolaan PTN;
h. melakukan evaluasi tahunan atas kinerja Pemimpin; dan
i.
melakukan penilaian laporan
pertanggungjawaban tahunan Pemimpin, Senat Akademik, dan Satuan Pengawas.
Pasal 78
(1) Majelis Pemangku dipimpin
oleh 1 (satu) orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris yang
dipilih dari dan oleh anggota.
(2) Ketua, sekretaris, dan
anggota Majelis Pemangku berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Masa jabatan ketua,
sekretaris, dan anggota Majelis Pemangku adalah 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengusulan ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Pemangku diatur
dalam Statuta.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara
pengangkatan dan pemberhentian ketua, sekretaris, dan anggota diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 79
(1) Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 huruf b, mendelegasikan tugas dan
wewenangnya di bidang keuangan PTN badan hukum
dan PTN mandiri kepada Majelis Pemangku.
(2) Majelis Pemangku di bidang keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan tarif layanan dan biaya
satuan;
b.
menetapkan rencana alternatif
perolehan dana;
c.
menetapkan sistem dan besaran
remunerasi;
d.
melakukan pinjaman dana jangka
pendek dan jangka panjang;
e.
melakukan investasi jangka panjang
melalui pendirian badan usaha dan/atau portofolio; dan
f. melaporkan keuangan PTN badan hukum dan PTN mandiri sesuai standar akuntansi kepada
Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan.
Pasal 80
(1) Pengambilan keputusan Majelis Pemangku dalam penentuan
kebijakan umum dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mencapai mufakat, pengambilan keputusan dilakukan melalui
pemungutan suara.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) keputusan diatur dalam Statuta.
Paragraf 2
Pemimpin
Pasal 81
(1) Pimpinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf b, Pasal 73 huruf b, dan Pasal 74 huruf a terdiri atas 1 (satu) orang Pemimpin dan paling
sedikit 2 (dua) orang Wakil Pemimpin.
(2) Wakil Pemimpin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Wakil Pemimpin bidang akademik; dan
b. Wakil Pemimpin bidang nonakademik.
Pasal 82
(1) Pemimpin pada PTN badan hukum dan PTN
mandiri diangkat dan
diberhentikan oleh Majelis Pemangku atas usul Senat Akademik.
(2) Masa jabatan Pemimpin pada PTN badan hukum dan PTN mandiri selama 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin pada PTN badan hukum dan PTN mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Statuta.
Pasal 83
(1) Pemimpin
pada PTN atau PTK sebagai
unit pelaksana teknis Kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah non kementerian diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul Senat Akademik.
(2) Masa jabatan Pemimpin pada PTN atau PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin pada PTN atau PTK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Statuta.
Pasal 84
(1) Pemimpin pada PTN atau PTK bertindak ke luar untuk dan atas
nama PTN atau PTK berdasarkan Statuta.
(2) Pemimpin pada PTN atau PTK tidak berwenang bertindak untuk dan atas
nama PTN atau PTK dalam hal:
a. terjadi perkara di depan pengadilan antara PTN atau PTK dengan Pemimpin PTN
atau PTK; atau
b. pemimpin
PTN atau PTK mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan PTN atau PTK menurut pertimbangan Senat Akademik.
Pasal 85
Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2), Senat Akademik harus menunjuk
seseorang yang berasal dari salah satu organ PTN atau PTK bertindak untuk dan atas nama PTN atau PTK.
Pasal 86
(1) Pemimpin PTN atau PTK dan wakilnya dilarang merangkap:
a. jabatan pada Perguruan Tinggi lain;
b.
jabatan pada lembaga pemerintah
pusat atau daerah; atau
c. jabatan lain yang ditetapkan oleh Senat Akademik.
(2) Pemimpin pada PTN atau PTK dan wakilnya yang mempunyai jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberhentikan dari jabatannya.
Pasal 87
Pemimpin pada PTN atau PTK bertugas dan berwenang:
a. menyusun rencana
pengembangan jangka panjang 25 tahun, rencana strategis 5 tahun, rencana kerja
dan anggaran tahunan untuk diusulkan
kepada Majelis Pemangku atau Menteri setelah mendapat pertimbangan Senat
Akademik;
b. menyusun kebijakan umum untuk diusulkan kepada Majelis Pemangku atau Menteri
setelah mendapat pertimbangan Senat Akademik;
c. menyusun dan menetapkan kebijakan dan peraturan akademik setelah
mendapatkan persetujuan Senat Akademik;
d. menyusun dan menetapkan kebijakan, manual,
standar, dan formulir sistem penjaminan mutu internal setelah mendapatkan
persetujuan Senat Akademik;
e. mengelola Pendidikan Tinggi sesuai dengan
rencana kerja dan anggaran tahunan yang telah ditetapkan;
f. mengelola penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
sesuai dengan rencana kerja dan anggaran tahunan yang telah ditetapkan;
g. mengangkat dan memberhentikan wakil rektor/ketua/direktur, dosen, dan tenaga kependidikan berdasarkan Statuta;
h. menjatuhkan sanksi kepada civitas akademika yang
melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan/atau peraturan akademik
berdasarkan rekomendasi Senat Akademik;
i. menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga
kependidikan yang melakukan pelanggaran, berdasarkan Statuta; dan
j. membina
dan mengembangkan hubungan baik PTN atau PTK dengan lingkungan dan masyarakat pada
umumnya.
Paragraf 3
Senat Akademik
Pasal 88
Anggota Senat
Akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf c, Pasal 73 huruf c, Pasal 74 huruf b terdiri atas:
a.
wakil dari dosen berjabatan akademik profesor setiap jurusan atau nama lain
yang sejenis;
b.
wakil dari
dosen berjabatan
akademik bukan profesor setiap
jurusan atau nama lain yang sejenis; dan
c. kepala perpustakaan.
Pasal 89
(1) Anggota Senat Akademik dipilih dari dan oleh setiap jurusan
atau nama lain yang sejenis, dan disahkan oleh Majelis Pemangku atau Menteri.
(2) Anggota Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari:
a. wakil dosen guru besar atau profesor; dan
b. wakil dosen bukan guru besar atau bukan profesor.
(3) Perimbangan jumlah wakil anggota Senat Akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), proporsional antarjurusan dengan jumlah dosen yang
diwakilinya.
Pasal 90
(1) Senat Akademik dipimpin oleh 1 (satu)
orang ketua dan dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari dan
oleh anggota.
(2) Masa jabatan ketua, sekretaris, dan anggota Senat
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat
dipilih kembali paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan,
pengangkatan, dan pemberhentian ketua, sekretaris, dan anggota Senat Akademik
diatur dalam Statuta.
Pasal 91
(1) Pengambilan keputusan
dalam Senat Akademik dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal pengambilan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai mufakat, pengambilan
keputusan dilakukan melalui pemungutan suara.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan
keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Statuta.
Pasal 92
Senat Akademik bertugas dan berwenang:
a.
memberikan pertimbangan atas rencana pengembangan
jangka panjang, rencana strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan yang
diusulkan Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
b.
memberikan pertimbangan atas kebijakan umum yang
diusulkan Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
c.
memberikan
persetujuan atas kebijakan dan peraturan akademik yang disusun Pemimpin;
d.
memberikan
persetujuan atas kebijakan, manual, standar, dan formulir sistem penjaminan
mutu internal yang disusun Pemimpin;
e.
mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Pemimpin kepada Majelis Pemangku atau Menteri;
f.
memberikan pertimbangan kepada Majelis Pemangku
tentang kinerja bidang akademik Pemimpin;
g.
memberikan
pertimbangan kepada Pemimpin dalam pengusulan guru besar atau profesor;
h.
memberikan rekomendasi
atas usul sanksi kepada civitas akademika yang melakukan pelanggaran terhadap
norma, etika, dan/atau peraturan akademik;
i.
menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan kode etik civitas akademika;
j.
mengawasi
pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan;
k. memutuskan pemberian atau pencabutan
sebutan, gelar akademik, dan penghargaan akademik; dan
j. mengusulkan perubahan Statuta.
Paragraf 4
Satuan Pengawas
Pasal 93
Satuan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf d, Pasal 73 huruf d, Pasal 74 huruf c paling
sedikit terdiri atas:
a. ahli keuangan;
b. ahli manajemen organisasi;
c.
ahli hukum;
dan
d.
ahli
manajemen aset.
Pasal 94
(1)
Satuan Pengawas melakukan
pengawasan bidang nonakademik tata kelola PTN atau PTK.
(2)
Satuan Pengawas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ketua dan anggota.
(3)
Masa jabatan
ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan
dapat dipilih kembali paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan,
pengangkatan, dan pemberhentian Satuan Pengawas diatur dalam Statuta.
Pasal 95
Satuan Pengawas bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan audit internal dan eksternal PTN atau PTK dalam bidang nonakademik;
b.
mengevaluasi hasil audit internal
dan eksternal PTN atau PTK;
c.
mengambil kesimpulan atas hasil
audit internal dan eksternal PTN atau PTK; dan
d.
mengajukan saran dan/atau
pertimbangan tentang perbaikan pengelolaan kegiatan nonakademik PTN atau PTK kepada Majelis Pemangku atau Menteri atas dasar hasil audit
internal dan/atau eksternal.
Pasal 96
Nama Satuan Pengawas dapat
menggunakan nama lain yang ditetapkan dalam Statuta.
Paragraf 5
Dosen dan Tenaga
Kependidikan
Pasal 97
(1) Sumber daya manusia PTN atau PTK terdiri
atas dosen dan tenaga kependidikan.
(2) Dosen dan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berstatus pegawai negeri
sipil dan/atau pegawai tidak tetap.
Pasal 98
(1) Pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan dosen dan tenaga
kependidikan berstatus pegawai negeri sipil ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Pengangkatan dan pemberhentian
dalam jabatan dosen dan tenaga kependidikan berstatus pegawai tidak tetap
ditetapkan dalam Statuta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
Dosen dan tenaga kependidikan yang
berstatus pegawai tidak tetap membuat perjanjian kerja dengan pemimpin PTN atau PTK berdasarkan Statuta.
Pasal 100
Hak dan kewajiban dosen dan tenaga
kependidikan pada PTN atau
PTK ditetapkan dalam Statuta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 101
(1) Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan pada PTN atau PTK, yang berstatus pegawai negeri sipil, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan pada PTN atau PTK, yang berstatus pegawai
tidak tetap, dibebankan pada PTN atau
PTK yang bersangkutan.
Pasal 102
(1)
Pegawai negeri sipil pada PTN badan hukum dan PTN mandiri memperoleh remunerasi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
(2)
Selain
remunerasi dari pemerintah, pegawai
negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memperoleh remunerasi dari PTN badan hukum dan PTN mandiri sesuai dengan ketentuan dalam Statuta.
Pasal 103
(1) Penyelesaian perselisihan yang timbul antara dosen atau
tenaga kependidikan pada PTN
atau PTK dengan
Pimpinan diatur dalam Statuta.
(2) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Pendanaan
Pasal 104
Pendanaan PTN atau PTK merupakan tanggung jawab Pemerintah
yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 105
(1) PTN
dapat memperoleh sumbangan pendidikan dari:
a. mahasiswa;
b. orang tua; dan/atau
c. donatur.
(2) PTN
dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari masyarakat untuk biaya operasional, beasiswa,
dan bantuan biaya pendidikan.
(3) Bantuan
dana dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. pembayaran nazar;
e. sumbangan perusahaan; dan/atau
f. penerimaan lain yang sah.
Pasal 106
(1) Pola pengelolaan dana PTN atau PTK terdiri
atas:
a. pengelolaan dana secara mandiri untuk PTN badan hukum dan PTN mandiri;
b. pengelolaan dana secara mandiri berdasarkan PPK-BLU untuk PTN yang menerapkan PPK-BLU yang khusus
untuk Perguruan Tinggi;
c. pengelolaan dana berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan bidang keuangan negara untuk PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, kementerian lain, dan lembaga pemerintah nonkementrian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola pengelolaan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 107
(1) PTN
badan hukum dapat
menyelenggarakan badan usaha atau portofolio sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dana hasil penyelenggaraan badan usaha atau portofolio
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pengembangan PTN.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan dana hasil penyelenggaraan badan usaha
atau portofolio diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 108
(1) Kekayaan PTN badan
hukum digunakan untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Biaya penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. biaya investasi;
b. biaya operasional;
c. beasiswa; dan
d. bantuan biaya pendidikan.
Pasal 109
(1) PTN wajib menjaring dan menerima calon mahasiswa Warga Negara
Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara
ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa
baru.
(2) PTN wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa
Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi, tetapi memiliki potensi akademik
tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh mahasiswa.
(3) Mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya dan mendapat bantuan
biaya pendidikan.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan biaya pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan biaya pendidikan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 110
(1) PTN
yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
ayat (1) dan ayat (2) akan dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian
sementara pendanaan;
c. pembekuan
kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian; atau
d. pencabutan izin PTN.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 111
Kekayaan PTN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat
(2) dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau
tidak langsung kepada siapapun, kecuali untuk memenuhi biaya penyelenggaraan
kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Paragraf 7
Akuntabilitas dan Pengawasan
Pasal 112
(1) Akuntabilitas publik PTN dan PTK terdiri atas akuntabilitas
akademik dan akuntabilitas nonakademik.
(2)
Akuntabilitas publik PTN dan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diwujudkan melalui keseimbangan jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap jurusan
atau nama lain yang sejenis dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan
tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai akuntabilitas publik PTN dan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 113
(1)
Pengawasan PTN dan PTK dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan.
(2)
Sistem
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Statuta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 114
(1)
Laporan
tahunan PTN dan PTK terdiri atas laporan
bidang akademik dan laporan
bidang nonakademik.
(2)
Laporan bidang akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas laporan penyelenggaraan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)
Laporan bidang nonakademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas laporan manajemen dan laporan keuangan.
Pasal 115
(1)
Pemimpin pada
PTN badan hukum dan PTN mandiri menyusun dan menyampaikan laporan
tahunan PTN secara tertulis kepada Majelis Pemangku
untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan.
(2)
Pemimpin pada
PTN atau PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan
lembaga pemerintah nonkementerian menyusun dan
menyampaikan laporan tahunan secara tertulis kepada Menteri, dan Menteri Lain, serta pemimpin lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai kewenangan masing-masing untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan.
Pasal 116
(1) Majelis Pemangku mengevaluasi laporan
tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri dalam rapat pleno Majelis Pemangku.
(2) Hasil evaluasi rapat pleno Majelis
Pemangku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Majelis Pemangku
dalam memberikan persetujuan dan pengesahan laporan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri.
(3) Majelis Pemangku memberitahukan secara
tertulis laporan PTN badan hukum dan PTN mandiri dan
hasil evaluasi rapat pleno Majelis Pemangku kepada Menteri.
Pasal 117
(1) Laporan keuangan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi.
(2) Laporan keuangan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri
diaudit oleh akuntan publik.
(3) Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektorat
Jenderal Kementerian terkait, atau badan pengawasan daerah sesuai kewenangan
masing-masing melakukan audit terhadap laporan keuangan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri,
terbatas pada bagian penerimaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(4) Laporan keuangan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri harus diumumkan kepada masyarakat melalui surat kabar berbahasa Indonesia
yang beredar secara nasional dan papan pengumuman PTN badan hukum dan PTN mandiri.
(5) Administrasi dan laporan
keuangan tahunan PTN badan hukum dan PTN mandiri merupakan tanggung jawab Pemimpin pada
PTN badan hukum dan PTN mandiri.
Pasal 118
Ketentuan lebih lanjut mengenai akuntabilitas dan
pengawasan PTN badan hukum dan PTN mandiri
diatur dalam Statuta.
Bagian Kesembilan
Tata Kelola PTS
Pasal 119
(1) PTS menyelenggarakan aspek akademik
berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian.
(2) PTS menyelenggarakan aspek nonakademik berdasarkan Statuta yang ditetapkan oleh badan hukum nirlaba yang mendirikannya.
(3) Penyelenggaraan aspek nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a.
penetapan fungsi dan
pembentukan Organ;
b. pengaturan dosen dan tenaga
kependidikan;
c. pendanaan dan pembiayaan;
dan
d. akuntabilitas dan
pengawasan.
(4) Senat Akademik yang berfungsi merencanakan dan mengawasi kebijakan akademik
Perguruan Tinggi wajib dibentuk pada tata kelola PTS.
(5) Statuta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat disusun dengan berpedoman dalam Pasal 67 ayat (3).
Pasal 120
(1) PTS
menerima bantuan biaya investasi dan biaya operasional apabila mendapat penugasan khusus Kementerian untuk melaksanakan program
tertentu dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah; dan/atau
c. instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.
(2)
PTS dapat menerima bantuan dosen
yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil yang
dipekerjakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Mahasiswa PTS yang memenuhi
syarat berhak memperoleh beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah; dan/atau
c. instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.
(4)
Ketentuan mengenai persyaratan
bantuan biaya investasi dan biaya operasional, bantuan dosen, serta perolehan beasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 121
(1)
PTS yang mendapatkan bantuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 120 ayat (1) huruf a harus membuat
laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan independen.
(2)
PTS yang mempunyai mahasiswa penerima beasiswa atau bantuan pendidikan
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat
(3) huruf a
harus membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan
independen.
(3)
PTS yang mendapatkan bantuan biaya investasi, biaya
operasional, beasiswa, atau bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) huruf b dan Pasal 120 ayat
(3) huruf b harus
membuat laporan keuangan yang diperiksa oleh lembaga pemeriksa keuangan
independen.
Pasal 122
PTS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikenakan
sanksi administratif oleh Menteri berupa:
a.
teguran lisan;
b.
teguran tertulis;
c.
penghentian bantuan pendanaan;
d.
penutupan sementara PTS; atau
e.
pencabutan izin PTS.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 123
(1) Masyarakat dapat berperan
serta dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(2) Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara:
a.
ikut mendanai Pendidikan
Tinggi;
b.
mengawasi penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
melalui organisasi profesi
atau lembaga swadaya masyarakat;
c.
mendirikan PTS;
dan/atau
d.
berpartisipasi dalam lembaga semi
Pemerintah yang dibentuk oleh Menteri.
(3) Lembaga semi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan lembaga yang melibatkan wakil dari Perguruan Tinggi, organisasi
profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan dunia industri, serta anggota
masyarakat lain.
(4) Lembaga semi Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas membantu Menteri
dalam:
a. perumusan arah kebijakan
pengembangan ilmu, teknologi, dan/atau seni, serta kebijakan pengelolaan Pendidikan
Tinggi;
b. perumusan norma, standard,
pedoman, dan manual penyelenggaraan Pendidikan Tinggi;
c. penjaminan mutu Pendidikan Tinggi;
d. perumusan kebijakan pendanaan Pendidikan Tinggi; dan
e. pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi Pendidikan Tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai lembaga semi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 124
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi tanpa
memperoleh izin pendirian dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Pendiri Perguruan Tinggi yang tidak menutup perguruan
tingginya setelah izin pendiriannya dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 125
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengalihkan kepemilikan kekayaan PTN berupa
uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang secara langsung
atau tidak langsung kepada siapapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 126
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, izin pendirian Perguruan
Tinggi yang sudah diterbitkan dinyatakan tetap berlaku.
(2) PTN atau PTK harus menyesuaikan aspek akademik maupun nonakademik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(3) PTS yang
sudah menyelenggarakan Pendidikan Tinggi harus
menyesuaikan aspek akademik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 127
(1)
Semua peraturan perundang-undangan
yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2)
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Bagian Keempat Pasal 19 sampai dengan Pasal 25, dan Penjelasan Pasal
15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
(3) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 128
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR...
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ....
NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PENDIDIKAN
TINGGI
I.
UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki tujuan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
“…melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial..” berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut Pasal
31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa yang diatur dalam
undang-undang.
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang
jelas bagi Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai
amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di
samping itu, dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang semakin
mengutamakan basis ilmu pengetahuan, maka pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan
peran
strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa
Indonesia demi peradaban manusia.
Pada tataran praksis bangsa Indonesia juga tidak
terlepas dari persaingan antar bangsa di satu pihak dan kemitraan dengan bangsa
lain di lain pihak. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan daya saing bangsa dan daya mitra bangsa dalam era globalisasi, diperlukan sistem pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan dharma pendidikan yaitu menghasilkan
sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri,
kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta
berani membela
kebenaran demi kepentingan
bangsa dan umat manusia.
Sedangkan dalam rangka mewujudkan dharma penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, diperlukan sistem pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, atau seni yang dapat diabdikan bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat
manusia.
Perguruan tinggi sebagai pelaksana sistem pendidikan tinggi yang mengemban
amanat di atas perlu difasilitasi dengan tata kelola yang secara optimal mampu
memenuhi tuntutan amanat tersebut, yaitu
tata kelola perguruan tinggi yang memiliki kemandirian dalam mengelola aspek
akademik dengan dukungan aspek nonakademik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa perguruan
tinggi memiliki kemandirian untuk
mengelola sendiri lembaganya
sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi juga menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
di lembaganya.
Pengaturan lebih lanjut tentang sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakan
oleh perguruan tinggi yang memiliki kemandirian, perlu dituangkan
dalam sebuah undang-undang yang
mencakup pendidikan tinggi beserta perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan
formal yang melaksanakan pendidikan
tinggi.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kebenaran ilmiah"
adalah bahwa dalam mencari,
menemukan, mendiseminasikan serta mengembangkan ilmu, teknologi dan seni yang
merupakan kegiatan inti dari perguruan tinggi, dipertemukan antara kebenaran
koheren yang menghasilkan hipotesis untuk diverifikasi dengan empiri yang diperoleh
melalui kebenaran koresponden.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas otonomi keilmuan” adalah kemandirian
suatu cabang ilmu, teknologi, dan/atau seni
untuk memiliki kekhasan dalam
menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran
menurut kaidah serta metode keilmuannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“asas kebebasan
akademik” adalah kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mendalami dan
mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni
melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kejujuran” adalah moral akademik dosen dan mahasiswa untuk senantiasa mengemukakan
data dan informasi dalam ilmu, teknologi, atau seni sebagaimana adanya tanpa
direkayasa, disembunyikan, atau ditutupi demi melindungi kepentingan individu
atau kelompok.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
"asas keadilan" adalah bahwa perguruan
tinggi wajib menyediakan akses kepada calon mahasiswa dan memberikan layanan
pendidikan tinggi kepada mahasiswa, tanpa memandang latar belakang agama, ras,
etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Menurut UNESCO,
ranah kognitif disebut learning to know, ranah
afektif disebut learning to be, ranah
psikomotorik
disebut learning to do, dan ranah
kooperatif disebut learning to live
together.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud unit yang menjalankan fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah unit yang
dibentuk oleh Menteri di wilayah tertentu di seluruh wilayah Negara Indonesia,
untuk membantu pelaksanaan tugas Menteri dalam penyelenggaraan pendidikan
tinggi di Indonesia.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 12
Ayat
(1)
Kegiatan pengaturan
meliputi penyusunan peraturan yang antara lain dapat berisi kebijakan
pengembangan, kebijakan pengelolaan, standard, pedoman, manual, serta rencana
jangka panjang, menengah, dan tahunan pendidikan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Sistem Kredit Semester disingkat dengan huruf kapital SKS
yang berarti sistem pembelajaran dengan menggunakan takaran beban belajar dan
beban mengajar yang dinyatakan dengan satuan kredit semester.
Ayat (2)
Satuan kredit semester disingkat dengan huruf kecil sks
yang berarti takaran beban belajar mahasiswa dan beban mengajar dosen.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup
jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat
(1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai guru dan dosen.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat
(1)
Siklus dalam penjaminan mutu perguruan tinggi adalah
rentang waktu pelaksanaan suatu kegiatan pendidikan tinggi yang akan dijamin
mutunya, misalnya harian, mingguan, bulanan, semesteran, tahunan, dan/atau
tahap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Standar Nasional
Pendidikan termasuk standar nasional pendidikan tinggi merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan tinggi
di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu,
kegiatan penjaminan mutu pendidikan tinggi selain harus memenuhi kriteria
minimal tersebut juga harus melampaui kriteria minimal tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “wilayah” adalah daerah tempat perguruan tinggi diselenggarakan
yang dalam hal ini dapat sama dengan wilayah provinsi atau gabungan
beberapa wilayah provinsi. Di wilayah tersebut Menteri akan membentuk unit yang
menjalankan fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang merupakan
aparat Kementerian di wilayah tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup
jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup
jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup
jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup
jelas.
Pasal 65
Ayat
(1)
Huruf a
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional.
Huruf b
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Penutupan Perguruan Tinggi dilakukan oleh pendirinya apabila izin
pendirian Perguruan Tinggi tersebut dicabut karena Pemerintah hanya berwenang memberikan, mengubah,
atau mencabut izin tetapi tidak berwenang membuka atau menutup perguruan
tinggi, khususnya PTS. Oleh karena itu, apabila izin pendirian PTS dicabut,
maka yang berwenang menutup PTS tersebut adalah badan huikum nirlaba yang
mendirikannya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup
jelas.
Pasal 75
Cukup
jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup
jelas
Pasal 79
Cukup
jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup
jelas.
Pasal 82
Cukup
jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup
jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup
jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup
jelas.
Pasal 97
Cukup
jelas.
Pasal 98
Ayat
(1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai guru dan dosen, dan mengenai kepegawaian.
Ayat (2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai guru dan dosen, dan mengenai
ketenagakerjaan.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai kepegawaian yang berlaku bagi pegawai
negeri sipil.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat
(1)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai ....
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 103
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Bagi PTN badan hukum yang akan mendirikan badan usaha, agar
aset dan kekayaan PTN badan hukum tersebut tidak menjadi jaminan bagi hutang
badan usaha yang didirikan apabila badan usaha tersebut dinyatakan pailit, maka
sebaiknya dipilih badan usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah
secara hukum dengan aset dan kekayaan PTN badan hukum yang mendirikannya. Badan
usaha yang memiliki aset dan kekayaan yang terpisah secara hukum dengan aset
dan kekayaan PTN badan hukum adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas.
Yang dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan
investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri.
Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud antara
lain peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Kemampuan mahasiswa, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai studinya ditetapkan
dengan cara menghitung dengan ramuan
antara penghasilan
tetap (gaji dan tunjangan lainnya), taksasi, dan musyawarah, dengan tujuan memberikan subsidi dari
yang mampu kepada yang tidak mampu, sehingga meringankan beban mahasiswa yang tidak mampu
membiayai pendidikannya.
Selain itu, perguruan tinggi diharapkan membuat strata
pembayaran biaya studi berdasarkan kemampuan mahasiswa, orang tua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai studinya.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup
jelas.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain mengenai pertanggungjawaban
keuangan negara.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Pemerintah
berwenang mewajibkan PTS membentuk Senat Akademik yang berfungsi merencanakan
dan mengawasi kebijakan akademik Perguruan Tinggi karena aspek akademik
merupakan wewenang Menteri. Selain itu, karena kegiatan utama dari perguruan
tinggi adalah kegiatan akademik, maka penentuan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, serta peningkatannya harus dilakukan oleh organ yang
memiliki kapasitas dalam bidang akademik tersebut. Organ yang dimaksud adalah
organ senat akademik.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian yang
berlaku bagi pegawai negeri sipil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup
jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ….
Langganan:
Postingan (Atom)