Makna
Kunjungan SBY ke China
Oleh:
Eddy Maszudi
DARI 27-30 Juli 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melakukan kunjungan kenegaraan ke China. Kunjungan tersebut sempat tertunda
karena kelangkaan BBM. China sebagai negeri dengan 1,3 miliar penduduk adalah
pemain utama di era abad Asia atau abad-21. Indonesia sebagai salah satu
pemimpin ASEAN harus merangkul RRC bila ingin menikmati era kemajuan ekonomi,
teknologi dan kemakmuran dalam era abad Asia.
Menurut staf khusus presiden RI
ke-6, Dino Patti Djalal, kunjungan kenegaraan empat hari ke China akan diisi
dialog dengan masyarakat Indonesia yang akan dilakukan di Beijing. Sekarang ada
ribuan warga Indonesia yang hidup di China.
Banyaknya warga negara RI di China
terjadi berbagai hal berikut ini. Di masa Orla simpatisan PKI banyak yang
sengaja melarikan diri ke RRC, di antaranya dalam bentuk tugas belajar. Di masa
reformasi juga banyak warga Indonesia keturunan yang ke China akibat kerusuhan
sosial dan pemerkosaan. Oleh karena itu pemerintahan SBY harus melakukan
pendekatan secara khusus agar warga negara Indonesia tersebut bisa kembali ke
Indonesia.
Di hari kedua presiden dan rombongan
akan melakukan pertemuan resmi dengan kepala negara. Pihak tuan rumah akan dipimpin
langsung Presiden Hu Jintao. Sedangkan di hari terakhir Presiden Indonesia yang
mendapatkan julukan The new strong man dari Asia baru-baru ini menurut Asia
Week, akan menghadiri pertemuan one on one dengan pengusaha/taipan
China. Dari pertemuan ini diharapkan banyak pengusaha China menanamkan modalnya
di Indonesia.
Kunjungan ke China merupakan lawatan
Presiden ke delapan ke mancanegara setelah ke Cile, Mesir, Laos,
Malaysia-Singapura, Australia-Selandia Baru-Timor Leste, AS dan Filiphina.
Untuk sementara waktu kunjungan ke Brunei Darussalam dan Thailand ditunda,
karena efisiensi BBM.
Dalam ilmu hubungan internasional,
ada teori bahwa kunjungan kepala negara ke suatu negara adalah sebuah bentuk
pentingnya negara tersebut bagi negara lain, dan sebaliknya.
Abad 21, Abad Asia
Republik Rakyat China yang berdiri 1
Oktober 1949 adalah negeri tua yang penuh warna sebagai sebuah bangsa. China
telah hancur akibat perang saudara dan dilanda kemiskinan yang akut akibat
bencana. Lebih dari 25 juta orang tewas akibat perang melawan Jepang
(1937-1945). Pada tahun 1938, 400 ribu orang meninggal ketika Sungai Kuning
meluap pada sebuah tempat di sebuah kota.
Sekarang merupakan kekuatan ekonomi
terbesar keenam di dunia. China juga dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
perkembangan spektakuler. Kehidupan masyarakat China telah berubah di luar
dugaan. Meskipun rata-rata PDB lebih kecil daripada 1.000 dolar AS per orang
dari 1,3 miliar penduduk Indonesia, negara ini sudah bebas dari bahaya
kelaparan dan kemiskinan.
Pasca perang dingin 1990-an, pusat
dunia bergeser. Bila di abad 20 M, Amerika Serikat, Uni Soviet sebagai pusat
peradaban dunia, maka di abad-21, Asia diprediksikan sebagai pusat dunia yang
baru. Bahkan Napoleon Bonaparte sebagai seorang yang disegani di kawasan Eropa
pada abad -19, mengatakan, "hati-hati dengan China-naga besar yang baru
tidur panjang, jika naga tersebut bangun, maka dunia akan terguncang dan siap
mematuk."
China Daratan pada abad 17-19 M
mengalami abad penghinaan yang luar biasa. Politik kolonialisme bangsa Eropa
terhadap Asia hingga pemberian label negeri tirai bambu terhadap RRC adalah
sebuah bentuk "penghinaan besar" atau zaman kegelapan.
Tapi di awal abad-21 M, Asia
mempunyai kutub-kutub perkembangan ekonomi yang mampu mengguncang kemapanan AS
dan Eropa Barat.
Lihat bagaimana dinamisnya
pertumbuhan ekonomi Jepang, Korea Selatan, Taiwan, RRC, Singapura, Hong Kong,
Taiwan, Malaysia dan Indonesia dari tahun 1980-an hingga akhir abad-20 M.
Bahkan RRC sebagai the rising star dari tahun 1990-an hingga sekarang
pertumbuhan ekonominya rata-rata 10 % per tahun.
Dengan jumlah penduduk 1,3 miliar
orang dan mempunyai jaringan Tionghoa perantauan (guangxi), maka bangsa
ini tidak lama lagi akan menjadi negeri super power atau adidaya yang
mampu sejajar dengan Amerika Serikat.
Di awal abad-21 RRC sudah mampu
membanjiri pasar AS dengan produk tekstil, mainan hingga elektronik yang sangat
murah. Negeri Sungai Kuning ini juga sudah mampu meluncurkan pesawat antariksa.
Bahkan di bidang elektronik hasil home industry mampu bersaing ketat
dengan produk Jepang, Korsel yang lebih dulu membanjiri dunia. Perkembangan
yang sangat luar biasa ekonomi RRC adalah awal patukan naga yang baru saja
bangun dari tidur panjangnya.
Kembalinya Hong Kong, dan Makau ke
pangkuan China Daratan memberikan bargaining position yang sangat besar
bagi RRC. Hong Kong sebagai salah satu jantung dunia dan Macao sebagai kota
judi dunia akan mampu memberikan nilai lebih terhadap perkembangan ekonomi
negeri tua yang kaya dengan keanekaragaman budaya.
Geliat perkembangan ekonomi Asia
juga terjadi Jepang pascakekalahan dalam PD II, lantas Korea Selatan (1970-an),
Singapura, Malaysia, Taiwan hingga Indonesia yang terseok-seok untuk berdiri
tegak sejak terjadinya krisis ekonomi 1997.
Bila negara-negara Asia mampu
membuat jaringan seperti yang digagas mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad,
maka abad-21 Asia adalah hal yang akan segera terwujud. Apalagi negara-negara
Asia sekarang ini sudah membuat pakta perdagangan bebas (free trade)
baik antarnegara (bilateral) maupun kawasan (uni lateral).
AFTA mampu membuat dinamis kawasan
Asia Tenggara. Belum lagi hubungan antarnegara Asia yang penuh dengan
nilai-nilai Asia mampu menjadikan Asia menjadi magnet perkembangan dunia di
awal abad -21 ini. Lalu, bagaimana gambaran kinerja hubungan ekonomi Indonesia
- RRC selama ini?
Baru di masa pemerintahan mantan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hubungan Indonesia - RRC dipulihkan
kembali. Bahkan di era Gus Dur, etnis Tionghoa diperbolehkan menggunakan identitas
budayanya di Indonesia. Kebebasan politik yang didapat oleh warga Indonesia
keturunan Tonghoa akhirnya membuat Indonesia kaya dengan nuansa budaya dan
mempererat hubungan dengan Beijing.
Tarian liong, dan lampion hingga
perayaan hari besar Konghucu sudah menjadi pemandangan biasa di seluruh wilayah
Nusantara.
Berdasarkan data, nilai perdagangan
tahun 2004 dengan RRC meningkat 32 % menjadi 13 miliar dollar AS dibanding
tahun 2003 (Kompas, 29/06/05).
Menurut Menko Perekonomian Aburizal
Bakrie, nilai perdagangan antara Indonesia - China meningkat menjadi 30 miliar
dollar AS. "Nilai 13,5 miliar dollar AS masih terlalu kecil bila melihat
peluang yang ada. Untuk itu, kami berharap dalam waktu lima tahun mendatang
nilai perdagangan kedua negara bisa menembus angka 30 miliar dollar AS,"
kata Aburizal.
Di era pemerintahan Presiden
Yudhoyono sekarang akan segera dibentuk Forum Investasi Bersama Indonesia -
China. Pemerintah Indonesia harus menjamin terciptanya iklim kondusif supaya
tercipta peluang bagi investor untuk meraih keuntungan.
Jakarta - Beijing
Berdasarkan lima prinsip
koeksistensi secara damai, China terus mengembangkan hubungan persahabatan dan
kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
RRC senantiasa berpendirian bersahabat dan hidup rukun dengan negara-negara
tetangga, termasuk Indonesia.
Hubungan Jakarta - Beijing
pascareformasi di bidang politik, ekonomi, militer, kebudayaan, dan lainnya
berkembang terus secara menyeluruh dan mencakup berbagai tingkat. Kunjungan
timbal - balik tingkat tinggi sering kali diadakan, pergaulan dan hubungan baik
telah terjalin antara pemimpin kedua negara. Para petinggi China sudah
mengunjungi Jakarta.
Bagi Indonesia, baik mantan Presiden
Abdurrahman Wahid, mantan presiden Megawati Soekarno Putri pernah ke China. Di
masa Gus Dur dan Mega hubungan Indonesia China telah memasuki masa-masa
perkembangan terbaik dalam sejarah.
Memang di masa Orde Lama hubungan
Jakarta - Beijing juga semanis sekarang. Tapi sejak Orde Baru berkuasa (32 th)
hubungan kedua mengalami masa-masa surut. Bahkan Indonesia mempunyai pikiran
bahwa RRC terlibat dalam G-30 S PKI 1965.
China dan Indonesia masing-masing
mempunyai jumlah penduduk yang besar, potensi pasar yang besar, ekonominya
berpeluang saling mengisi, maka kerja sama ekonomi dan perdagangan kedua negara
mempunyai prospek yang cemerlang.
Tiga Makna Khusus
Ada tiga makna khusus yang dipetik
Presiden SBY dalam berkunjung ke negeri China selama empat hari, di tengah
krisis BBM.
Pertama, sebagai sesama negara Asia,
antipenjajahan, maka keinginan kedua negara untuk membebaskan dunia dan segala
bentuk penjajahan mudah diwujudkan. RRC mempunyai hak veto di PBB.
Oleh karena itu, keinginan Indonesia
untuk menjadi anggota Dewan Keamanan PBB perlu mendapatkan dukungan dari
Beijing.
Kedua, Presiden Yudhoyono yang
sedang giat-giatnya memberantas korupsi, bisa belajar banyak dari bangsa China.
Negeri komunis ini tidak segan menghukum mati wali kota dan pejabat tinggi yang
terbukti melakukan korupsi.
Ketiga, di bidang pengembangan usaha
kecil dan menengah (UKM), Indonesia bisa belajar banyak dari RRC. Sebab mocin
(motor China) di negeri ini adalah hasil kerja industri rumah tangga. Oleh
karena itu kunjungan yang strategis ini adalah wujud dari babak baru hubungan
Jakarta - Beijing di era abad Asia, yang akan menjadi milik bersama RRC dan
Indonesia. (11)
-Drs Eddy Maszudi, Pengamat masalah politik internasional, Ketua
Umum Centre Strategic for Development and International Relations (CSDIR)
Kunjungan SBY ternyata memiliki maksud yang baik ya sob,semoga dengan sudah berkunjungnya Sby ke China menjadikan negara kita negara Industri yg bisa memakimurkan rakyat.terima kasih sudah berbagi info sobat
BalasHapus