PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI (PETUNJUK-PETUNJUK


AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI
(PETUNJUK-PETUNJUK)
Frans Magnis-Suseno SJ
  1. Hal civil society/masyarakat madani (MM) sebaiknya didekati secara faktual daripada normatif. Bukan : setuju atau tidak dengan MM, melainkan: adakah MM di Indonesia, sejauh mana, dan implikasinya apa? Secara normatif dapat ditanyakan; Bagaimana MM dapat diperkuat? Ke arah mana masyarakat, jadi; MM juga, sebaiknya diarahkan? Maka, "masyarakat madani: tentu bukan "gagasan yang diimpor" maupun "gagasan yang tidak diimpor", karena dia sama sekali bukan sebuah gagasan, melainkan sebuah kenyataan yang ada atau tidak ada atau untuk sebagian ada tetapi tidak peduli apakah kita menggagaskannya atau tidak.
  2. MM pada hakekatnya (dan mengikuti faham hegel) adalah kehidupan masyarakat di luar lingkungan keluarga/primordial/lingkungan kenalan pribadi yang diminati secara pribadi, di satu fihak, dan dilain fihak (barangkali diatur, tetapi) tidak ditentukan, diadakan oleh negara. Jadi MM hidup dan berkembang karena dinamikanya sendiri, bukan karena dorongan, apalagi inisiatif-inisiatif dari negara. Input-input dari negara (yang tentu terus menerus ada) ditampung dengan respons yang mandiri (hubungan negara - MM bukan generatif, (melainkan menurut ideal typenya) dialogal-dialektis.
  3. MM dapat dideskripsikan sebagai "wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, a.l., kesukarelaan (voluntary), keswasembadayaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporing), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam 1996,3). Yang juga penting: MM perlu difahami sebagai proses (ib.), bukan sebagai sesuatu yang jadi.
  4. MM sebaiknya dilihat secara historis, sebagai perkembangan khas pasca-tradisional.
  5. Dalam masyarakat tradisional belum ada MM dan belum ada "negara" dalam arti lembaga pusat yang kehadirannya nyata dalam segenap wilayah kehidupan. Yang ada adalah keluarga (inti-luas), komunitas lokal (desa, kampung sekitar kraton, masyarakat sebuah kota), golongan-golongan feodal menurut jajaran masing-masing (kasta-kasta, Stande/estates seperti bangsawan, gilda, pedagang). masing-masing dengan tatanannya sendiri dan dalam interaksi, dan di atasnya pemerintah (bukan: negara) dengan fungsi-fungsi sangat terbatas: perlindungan ke luar, representasi makna sosial dan karena itu prinsip ideal kesatuan masyarakat yang pluriform. Negara tidak mencoba "membangun masyarakat", dan masyarakat (barangkali menderita karena penindasan atau perang-perangan raja) tetapi tidak berwawasan "mempertahankan kemandirian terhadap negara" dan lain faham modern seperti itu.
  6. Di negara-negara industri/perekonomian modern primer MM terbentuk bersamaan dengan burjuasi yang mengambil alih kemudi perkembangan ekonomis menurut prinsip-prinsip kapitalisme. 100 tahun permulaan zaman industri (akhir abad ke-18 masuk ke abad ke-19) adalah satu-satunya zaman di mana perekonomian mengembangkan dinamika mendahului perkembangan sosial-politis (yang menimbulkan ilusi pada Marx bahwa "perkembangan alat-alat produksi" selalu mendahului dan menentukan perkembangan hubungan sosial dan "bangunan atas" (cf. Habermas 1976).
  7. MM dengan sendirinya tidak mempunya kaitan dengan egalitarianisme atau isme-isme lain. Adanya egalitarisme tidak berarti ada MM. Yang betul ialah bahwa MM, dalam kontestasinya terhadap kekuatan-kekuatan feodalisme yang mengekang dinamikanya mengambil faham kesamaan dan kebebasan sebagai pengertian-pengertian yang sangat cocok untuk membongkar legitimasi tatanan feodal itu. Sedangkan cita-cita ketiga Revolusi Perancis, persaudaraan, tidak mendapat gema banyak dalam MM, melainkan kemudian disuarakan oleh sebagian dari MM, yaitu kelas-kelas bawah dan kelompok-kelompok militan, sebagai senjata perjuangan mereka. Cita-cita kesamaan dalam MM tidak menjadi amat dominan karena malah akan mengurangi kebebasan dan dinamikanya.
  8. Dalam negara-negara berkembang (gelombang industrialisasinya kedua, ketiga, dsl) MM dengan sendirinya hanya berkembang dengan lambat. Ia berkembang sejalan dengan modernisasi struktur produksi dan kerja. Ia lambat karena modernisasi dalam segala dimensi, termasuk pembangunan ekonomis, dirintis oleh negara. Maka kita menemukan sesuatu yang tidak banyak kelihatan dalam negara-negara industri primer (saya tidak masuk di semua bidang menjadi perintis, pemrakarsa, penggerak, pendorong, dan sponsor finansial. Ketergantungan masyarakat yang semakin modern dari negara luar biasa besarnya. (perlu diperhatikan bahwa di negara-negara industri primer pun peran negara semakin bertambah; tetapi karena MM sudah mapan, ia tetapi mempertahankan diri sebagai padanan dialektis negara).
  9. Akan tetapi MM perlu juga berkembang di negara-negara berkembang apabila cita-cita lepas landas mau tercapai. Lepas landas berarti: perkembangan masyarakat, terutama juga di bidang ekonomi, berdasarkan dinamika masyarakat sendiri. Peran negara semakin sebagai fasilisator dan penata, jadi bukan lagi sebagai mesin pendorong satu-satunya.
  10. Apakah (di negara-negara berkembang) tahap tinggal landas merupakan sesuatu yang niscaya, ataukan mungkin juga berkembang sebuah masyarakat yang tetap ditopang oleh negara? Jawaban tentu spekulalatif. Akan tetapi ada petunjuk bahwa dinamika ke MM ada, meskipun sangat tergantung dari keputusan politik yang bersifat struktural. Kegagalan total semua bentuk perekonomian sosialis (di mana negara menjadi pusat perekonomian (dan kehidupan) bangsa (pada umumnya) akan terbenam dalam lumpur korupsi dan inefisiensi apabila tidak terjadi emansipasi proses ekonomis dari pengurusan langsung oleh negara, menunjukkan bahwa tanpa adanya MM lepas landas tidak tercapai dan perkembangan ekonomis akan macet , hal mana akan menjerumuskan negara yang bersangkutan ke dalam kehancuran.
  11. Terwujudnya MM untuk sebagian berjalan dengan sendirinya, tetapi untuk sebagian tergantung dari apakah, dengan keputusan-keputusan politik yang tepat, diciptakan kondisi-kondisi yang konduktif. Deregulasi ekonomis (tetapi: tak ada alasan mengapa deregulasi itu mesti menyeluruh; yang menjadi tolok ukur bagi deregulasi adalah bahwa terutama hal-hal seperti kartel, monopoli serta dominasi koneksi atas prestasi ekonomis dicabut landasanya), keterbukaan politis sampai tahap tertentu (sejauh mana perkembangan demokratis merupakan syarat pembangunan ekonomis berkelanjutan masih diperdebatkan), lalu, amat penting, perwujudan negara hukum secara efektif, termasuk jaminan hal-hak asasi manusia (di antaranya pemastian bahwa pelanggaran hak-hak asasi inti sedikit pun tidak ditolerir lagi), itulah syarat-syarat pemberdayaan masyarakat yang semakin mengoptimalkan kondisi perwujudan MM.
  12. Hubungan antara penciptaan kondisi-kondisi itu dan MM adalah timbal balik: Deregulasi, keterbukaan dan negara hukum mengandaikan adanya MM, meskipun barangkali masih kecil dan lemah. MM itu sendiri terus menerus, berdasarkan dinamika internal, memberi tekanan agar deregulasi, keterbukaan dan negara hukum diusahakan terus, dan deregulasi, keterbukaan dan negara hukum itu sendiri memperkuat MM.
  13. Baru sekarang saya mau ke pertanyaan pokok bahasan bersama ini: Apa relevansi pembicaraan tentang MM itu? Pertama: meskipun MM merupakan perkembangan faktual yang, senang atau tidak senang, akan terjadi, akan tetapi sejauh mana MM dapat berkembang lebih lanjut, atau malah macet, lalu masyarakat menjadi lemah, fungsi negara semakin super-dominan dan akhirnya semunya terperosok dalam keambrukan, kekacauan, anarki dan (kemungkinan nyata) negara bubar, - sangat tergantung dari keputusan-keputusan politik (mengenai deregulasi, keterbukaan dan negara hukum itu). Dengan lain kata, dalam kondisi modernitas dan globalisasi, dapat diragukan apakah dengan MM yang lemah suatu stabilitas positif kehidupan kemasyarakatan dan bahkan kenegaraan dapat dipertahankan. Alternatifnya adalah diktatur gelap.
  14. Maka, kedua, ada kaitan cukup erat antara kemajuan ekonomi, perwujudan negara hukum, demokrasi dan keberadaban kehidupan masyarakat dengan apakah MM berkembang terus atau tidak. Hal itu dapat dirumuskan sbb: Kalau Indonesia mau mempertahankan diri sebagai negara dan masyarakat yang "adil makmur", yang beradab, sejahtera, terang, terbuka, berbudaya dan merdeka (ke luar), memperkuat MM terus menerus harus menjadi opsi pengarahan pembangunan politis dan sosial.
  15. Dengan demikian implikasi-implikasi opsi pro pengembangan MM perlu diperhatikan. Di atas sudah dikemukan bahwa MM hanya dapat menjadi mantap apabila kita meneruskan deregulasi, mengambil tindakan untuk memantapkan keterbukaan dan berhasil mewujudkan negara hukum. Sekarang kita dapat melihatnya dengan lebih prinsipil. MM karena merupakan kehidupan sosial yang berdasarkan dinamika sendiri secara hakiki harus bebas secara internal. Artinya, dinamika-dinamika yang ada dalam masyarakat tidak boleh ditindas, diregulasi, dipotong berdasarkan apriori-apriori ideologis dsb.
  16. Lebih terinci, masyarakat itu di satu fihak harus menjamin kebebasan segenap warga masyarakat, individual dan kolektif, untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri, asal tidak mengintervensi saudara, tetangga, komunitas, kelompok dan golongan lain. Hak-hak asasi manusia perlu dijamin dan menjadi ukuran toleransi kehidupan bersama. Di lain fihak kehidupan bersama harus didukung oleh suatu konsensus dasar, konsensus tentang nilai-nilai yang mendasari kehiudpan bersama sebagai bangsa (contoh: Pancasila).
  17. Hal itu berarti dua. Pertama, MM tidak mengatur nilai-nilai, cita-cita, keyakinan-keyakinan para warganya. Adanya MM berarti bahwa ia tidak memerlukan negara untuk menjadi sandaran moralitasnya. Ia memilikinya sendiri - dan pada umumnya secara pluralistik karena MM terdiri atas komunitas-komunitas dengan tradisi-tradisi lokal dan sosial sendiri-sendiri, dengan cerite- ceritera kecilnya masing-masing. Keluar hal itu berarti maksimum toleransi. Ke dalam itu berarti; masing-masing kelompok mantap dalam identitasnya. Yang diatur oleh negara - dalam hukum - adalah kepentingan-kepentingan utiliter dan pragmatis bersama, presis apa yang memang menjadi raison d'etre (dasar eksistensi) negara.
  18. Tetapi, kedua, suatu masyarakat hanya dapat meruipakan kesatuan politis apabila memiliki suatu tandon nilai bersama, di antaranya apa yang disebut keyakinan dan keutamaan 'republika" (Ch. Taylor 1989), yaitu keterlibatan pada negara sendiri dan kesediaan untuk seperlunya berkurban demi negara bersama itu. Tetapi perlu diperhatikan: keyakinan kebersamaan dalam MM majemuk justru dapat tinggi apabila (dan hanya apabila) masing-masing warganya merasa utuh dalam identitas dan kebebasan untuk mewujudkan kehidupan menurut cita-cita mereka sendiri.
  19. Barangkali tidak selalu mungkin menghindari adanya hubungan-hubungan budaya yang hegemonikal, tetapi suatu dominasi pandangan moral-budaya tertentu mesti akan merusak negara itu, memperlemah MM secara kontinyu. Karena lalu negaralah yang harus menopang tatanan moral-kultural, jadi MM sudah tidak vitas lagi. Dengan lain kata, apabila MM mau didukung, transfer cita-cita ideologis, moral dan kultural hanya dapat dibenarkan apabila terjadi dalam suasana kebebasan dan berdasarkan daya tarik cita-cita itu sendiri.
  20. Dengan demikian saya baru sampai pada hal agama. Kiranya jelas bahwa terbentuknya MM merupakan tantangan bagi agama-agama. Memang, secara teoritis dan an sich agama-agama seharusnya tidak keberatan dengan MM yagn bebas dan toleran. Semua agama secara ekplisit mengakui nilai-nilai itu.
  21. Akan tetapi dalam kenyataan agama-agama - atau lebih tepat: umat-umat beragama, para panutan dan juru bicaranya - sering tidak biasa untuk berpandangan seperti itu tadi. Agama-agama mudah berkecenderungan totaliter dan absolutistik karena senantiasa merasa digota menerapkan kemutlakan Tuhan yang mereka akui pada diri mereka sendiri. Jadi kemungkinan bahwa agama-agama menjadi hambatan perkembangan MM tidak terkecuali.
  22. Maka MM hanya dapat berkembang, dan masyarakat modern baru dapat menjadi mantap dan percaya diri, apabila dalam agama-agama terjadi proses-proses belajar. Terutama belajar hidup dalam masyarakat pluralistik dan majemuk. Sebagai hasil proses-proses belajar itu dapat diharapkan meningkatkan kemantapan agama-agama dalam lingkungan sosial yang ditentukan kondisi-kondisi modernitas - tanpa mera terancam.
  23. Terbentuknya MM dapat dipandang sebagai prasyarat pemeliharaan ruang kemandirian manusia berhadapan dengan kekuasaan negara yang semakin bertambah. Apabila menusia tidak mau membiarkan diri direduksi menjadi sekrup dalam proses anonim sebuah adnimistrasi menyeluruh yang semakin irasional dan imoral, terbentuknya MM perlu disambut dengan positif dan, sejauh mungkin perlu diusahakan kondisi-kondisi optimal bagi proses itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar