TAGHYIR
Bila dicermati,
seseungguhnya kata kunci bagi semua upaya manusia dalam hidup mereka terletak
pada satu kata: Taghyir (perubahan). Dalam menyikapi 3 tuntutan hidupnya
makanan (ghidza’ jazadi), informasi (ghidza’ aqli) dan dzikr ( ghidza’
ruhi/qalbi) manusia sangat sensitif pada tuntutan yang pertama, baru kemudian
yang kedua. Dan, paling akhir, yang nyaris luput ialah yang ketiga. Padahal
tidak ada target perubahan dalam aktifitas makan manusia. Ia hanya upaya
bertahan hidup, bukan peningkatan kecuali pada bayi dan anak-anak di masa
tumbuh berkembang mereka.
Akibat, dalam
pembangunan peradaban materi, yang jadi prioritas tetaplah padi dan kapas,
dengan menonjolkan alat-alat kuno:palu dan arit. Atau semi modern, yaitu gir
atau jantera, bukan chip atau simbol-simbol komputer. Adapun cara hidup dan
sikap merekadalam perjuangan dan pertahanan hidup, hampir seluruhnya mengambil
simbol singa atau elang. Begitu ngerikah manusia akan nasibnya sehingga perlu
identifikasi karakter pada semangat, ambisi dan kepekaan elang atau singa?
Erasmus punya ungkapan tentang keserakahan, kerakusan dan keganasan bangsanya,
Belanda dan Eropa umumnya , sebagai “elang pemakan bangkai yang kejam dan
ganas” (Jawaharlal Nehru, Lintasan Sejarah Dunia).
Mereka datang dan pergi
dengan ancaman dan ketakutan, membuat dunia bagaikan anak ayam yang sangat
kecil, terancam serangan dari udara. Betapa indah ungkapan Al Qur’an tentang
ketakutan para pemuka Quraisy untuk menerima islam, sementara mereka
mengakuinya sebagai Petunjuk Jalan (Huda): “Mereka berkata, Jika kami mengikuti
petunjuk bersamamu, niscaya kami akan disambar (seperti hewan kecil disambar
elang), dari bumi kami. (QS. Al
Qashash:57). Kata bersamamu cukup mencerminkan ketakutan para penguasa dan
pemimpin sekuler di negeri-negeri Muslim, yang tak cukup berani menolak Islam
secara terbuka, tetapi enggan menerima Islam secara utuh. Sehingga petunjuk hanya
berupa kata tanpa bukti dan keteladanan. “Kamu mau islam yang ini, bukan islam
yang itu. “ Mereka punya persepsi tentang islam yang mereka dapat dari banyak
sumber, kecuali dari satu sumber yaitu islam itu sendiri. Apa yang menjadi
ucapan para pendahulu mereka terulang dalam redaksi yang tak begitu jauh: “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana berimannya
orang-orang (yaitu para sahabat seperti dijelaskan Ibn Abbas, Abu’l Aliah, Al
Qurthubi, Ibnu Katsir, juga dalam Tafsir Jalalain), mereka berkata: “Apakah
kami harus beriman seperti berimannya orang-orang bodoh itu?”
Kemajuan Ruhani,
Putaran Roda Gerobak yang amat Lamban
Tak perlu kitab suci
untuk panduan menu, karena manusia punya naluri yang amat tajam untuk urusan
ini. Ia sangat sensitif, bahkan kepakaan terletak di lututnya yang cepat
gemetar, alam diperutnya yang berbunyi dari matanya yang berkunang-kunang, bila
sudah tegah hari belum juga dapata makan.
Sebagian masyarakat
(miskin) perlu dorongan semangat (dan dana) untuk menyekolahkan anak-anak
mereka. Sementara kesadaran ini sudah meninggi di masyarakat perkotaan,
sampai-sampai mereka berebut sekolah unggulan. Kondisi itu menjadi mangsa kaum
bermodal, yang bukan lagi “mengobok-obok” hutan, lautan, tambang, dan jalan bebas
hambatan sebagai wilayah perburuan dolar mereka, bahkan masuk menambah ke rimba
pendidikan. Karena hidung musang mereka begitu tajam mencium aroma kecemasan
wali murid yang ingin anak mereka berhasil, jadi orang bergelar dan berpangkat.
Akhirnya bermuara juga pada “enak makan, enak tidur dan enak hidup”.
Apa yang berubah dari
manusia, saat otak mereka hanya berpikir tentang “kemasalaluan” Fir’aun, Haman,
Qarun dan Bal’am? Dimana mereka letakkan Fir’aun saat mereka sembelih
hamba-hamba Alloh? Dimana Haman saat mereka gunakan senjata dan bangunan menara
atas perintah Fir’aun untuk membidik (dan melecehan) Tuhan Musa as? Dimana
Qarun saat mereka memamerkan kekayaan dan mengklaim itu sebagai “milikku dan
kudapat dari ilmuku?” Dimana Bal’am saat para intelektual sains dan agama
menjadi pengamin rezim korup, arogan dan kolaborator? Apa yang mustahil bagi
rakyat yang seluruh cita-citanya tersimpul pada jargon “Andaikan daku punya
kekayaan seperti yang diberikan kepada Qarun” (QS. Al Qashash:79)
Tidak ada yang berubah
pada segala bentuk kemajuan peradabanmateri kecuali instrumen pemburu
kesenangan itu saja. Sesudah itu hidup tetap menjadi segitiga pengaman, seperti
pada kendaraan yang mogok. Itulah segitiga permanen KT (Kamar Tidur), KM (Kamar
Makan), KB (Kamar Buang, WC). Ia tidur bila lelah dan kantuk menyerang. Jika
bangun dan perutnya lapar, ia pergi kedapur untuk makan. Dan bila telah penuh
perutnya, ia harus pergi ke KB untuk membuang menu internasionalnya yang telah
berubah dengan cepat! Lalu semua aktivitas lainnya hanyalah menjadi aksesori
dari kerangka utama segi tiga mogok tersebut.
Apa yang harus Diubah
dan dari Mana Dimulai
Perubahan apapun atas
persoalan apapun (ma bi qaumin, QS.Ibrahim :11) dalam kehidupan manusia, hanya
mungkin terjadi bila mereka mengubah “ma bi anfusihim” (Apa yang ada dalam jiwa
mereka). Perubahan pada jiwa itulah perubahan yang sesungguhnya. Ustadz Said
Hawwa rahimahullah menawarkan 4 perubahan paa aqliyah (otak) kontra produktif
selama ini:
1.
Aqliyah Jamidahatau otak beku, diganti dengan Aqliyah Marinah/Muthawatirah
(otak dinamis)
2. Aqliyah Qaul, otak
pengandal kata dengan otak aplikasi
3. Aqliyatul Ahlam,
otak pemimpi dengan Aqliyatu’l Waqi’, otak realita, dan
4. Aqliyatul Taswif,
otak penunda dengan Fauriyatul Istijabah, otak respon kilat.
Da’wah tidak untuk
sekadar membincangkan masa lalu tanpa upaya menegakkan hari ini. Buka juga
untuk menggelar masalah karena da’i bukan pembicara masalah (problem speaker),
melainkan pemecah masalah (Problem solver). Da’i yang tidak berorientasi
kesini, pada saatnya akan menjadi problem maker bahkan besar peluangnya menjadi
problem trader. Dilapangan kita dapat melihat siapa sesungguhnya pelaku
istilah-istilah ini.
Mungkin kita dapat
belajar dari dialog seputar tawuran, kawin muda karena “kecelakaan”, putus
sekolah dan hedonisme:
Suara 1: “Sudah dekat
kiamat, orang diajak baik malah lari”.
Suara 2: “Saya sudah
usaha belikan remaja itu baju taqwa, kain sarung dan rwbana. Dasar belanda
coklat.”
Suara 3: “Enaknya
mereka dilatih disiplin militer, biar berubah, lalu diberi modal membuat
swalayan besar, atau dikirim keluar negeri. Untuk bimbingan mental mereka harus
diundang tahajud tiap malam dan puasa Senin Kamis.”
Suara 4: “Anak-anak
zaman dulu nggak begitu. Sama guru dan orang tua hormat sekali. Coba kamu
lurus-lurus saja kan nggak runyam begini.”
Suara 5: “Memang harus
kaya dulu, baru suara kita didengar. Nanti kalau saya sudah jadi pejabat kaya
mereka akan saya kumpulkan tiap malam dirumah. Boleh main catur, main kartu, silakan,
asal tertib dan terlokalisir. Sudah itu saya da’wahi, pasti suara kita
didengar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar