PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Rabu, 29 Mei 2013

TAGHYIR



TAGHYIR

Bila dicermati, seseungguhnya kata kunci bagi semua upaya manusia dalam hidup mereka terletak pada satu kata: Taghyir (perubahan). Dalam menyikapi 3 tuntutan hidupnya makanan (ghidza’ jazadi), informasi (ghidza’ aqli) dan dzikr ( ghidza’ ruhi/qalbi) manusia sangat sensitif pada tuntutan yang pertama, baru kemudian yang kedua. Dan, paling akhir, yang nyaris luput ialah yang ketiga. Padahal tidak ada target perubahan dalam aktifitas makan manusia. Ia hanya upaya bertahan hidup, bukan peningkatan kecuali pada bayi dan anak-anak di masa tumbuh berkembang mereka.
Akibat, dalam pembangunan peradaban materi, yang jadi prioritas tetaplah padi dan kapas, dengan menonjolkan alat-alat kuno:palu dan arit. Atau semi modern, yaitu gir atau jantera, bukan chip atau simbol-simbol komputer. Adapun cara hidup dan sikap merekadalam perjuangan dan pertahanan hidup, hampir seluruhnya mengambil simbol singa atau elang. Begitu ngerikah manusia akan nasibnya sehingga perlu identifikasi karakter pada semangat, ambisi dan kepekaan elang atau singa? Erasmus punya ungkapan tentang keserakahan, kerakusan dan keganasan bangsanya, Belanda dan Eropa umumnya , sebagai “elang pemakan bangkai yang kejam dan ganas” (Jawaharlal Nehru, Lintasan Sejarah Dunia).
Mereka datang dan pergi dengan ancaman dan ketakutan, membuat dunia bagaikan anak ayam yang sangat kecil, terancam serangan dari udara. Betapa indah ungkapan Al Qur’an tentang ketakutan para pemuka Quraisy untuk menerima islam, sementara mereka mengakuinya sebagai Petunjuk Jalan (Huda): “Mereka berkata, Jika kami mengikuti petunjuk bersamamu, niscaya kami akan disambar (seperti hewan kecil disambar elang), dari bumi kami.  (QS. Al Qashash:57). Kata bersamamu cukup mencerminkan ketakutan para penguasa dan pemimpin sekuler di negeri-negeri Muslim, yang tak cukup berani menolak Islam secara terbuka, tetapi enggan menerima Islam secara utuh. Sehingga petunjuk hanya berupa kata tanpa bukti dan keteladanan. “Kamu mau islam yang ini, bukan islam yang itu. “ Mereka punya persepsi tentang islam yang mereka dapat dari banyak sumber, kecuali dari satu sumber yaitu islam itu sendiri. Apa yang menjadi ucapan para pendahulu mereka terulang dalam redaksi yang tak begitu jauh: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana berimannya orang-orang (yaitu para sahabat seperti dijelaskan Ibn Abbas, Abu’l Aliah, Al Qurthubi, Ibnu Katsir, juga dalam Tafsir Jalalain), mereka berkata: “Apakah kami harus beriman seperti berimannya orang-orang bodoh itu?”

Kemajuan Ruhani, Putaran Roda Gerobak yang amat Lamban
Tak perlu kitab suci untuk panduan menu, karena manusia punya naluri yang amat tajam untuk urusan ini. Ia sangat sensitif, bahkan kepakaan terletak di lututnya yang cepat gemetar, alam diperutnya yang berbunyi dari matanya yang berkunang-kunang, bila sudah tegah hari belum juga dapata makan.

Sebagian masyarakat (miskin) perlu dorongan semangat (dan dana) untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Sementara kesadaran ini sudah meninggi di masyarakat perkotaan, sampai-sampai mereka berebut sekolah unggulan. Kondisi itu menjadi mangsa kaum bermodal, yang bukan lagi “mengobok-obok” hutan, lautan, tambang, dan jalan bebas hambatan sebagai wilayah perburuan dolar mereka, bahkan masuk menambah ke rimba pendidikan. Karena hidung musang mereka begitu tajam mencium aroma kecemasan wali murid yang ingin anak mereka berhasil, jadi orang bergelar dan berpangkat. Akhirnya bermuara juga pada “enak makan, enak tidur dan enak hidup”.
Apa yang berubah dari manusia, saat otak mereka hanya berpikir tentang “kemasalaluan” Fir’aun, Haman, Qarun dan Bal’am? Dimana mereka letakkan Fir’aun saat mereka sembelih hamba-hamba Alloh? Dimana Haman saat mereka gunakan senjata dan bangunan menara atas perintah Fir’aun untuk membidik (dan melecehan) Tuhan Musa as? Dimana Qarun saat mereka memamerkan kekayaan dan mengklaim itu sebagai “milikku dan kudapat dari ilmuku?” Dimana Bal’am saat para intelektual sains dan agama menjadi pengamin rezim korup, arogan dan kolaborator? Apa yang mustahil bagi rakyat yang seluruh cita-citanya tersimpul pada jargon “Andaikan daku punya kekayaan seperti yang diberikan kepada Qarun” (QS. Al Qashash:79)
Tidak ada yang berubah pada segala bentuk kemajuan peradabanmateri kecuali instrumen pemburu kesenangan itu saja. Sesudah itu hidup tetap menjadi segitiga pengaman, seperti pada kendaraan yang mogok. Itulah segitiga permanen KT (Kamar Tidur), KM (Kamar Makan), KB (Kamar Buang, WC). Ia tidur bila lelah dan kantuk menyerang. Jika bangun dan perutnya lapar, ia pergi kedapur untuk makan. Dan bila telah penuh perutnya, ia harus pergi ke KB untuk membuang menu internasionalnya yang telah berubah dengan cepat! Lalu semua aktivitas lainnya hanyalah menjadi aksesori dari kerangka utama segi tiga mogok tersebut.

Apa yang harus Diubah dan dari Mana Dimulai
Perubahan apapun atas persoalan apapun (ma bi qaumin, QS.Ibrahim :11) dalam kehidupan manusia, hanya mungkin terjadi bila mereka mengubah “ma bi anfusihim” (Apa yang ada dalam jiwa mereka). Perubahan pada jiwa itulah perubahan yang sesungguhnya. Ustadz Said Hawwa rahimahullah menawarkan 4 perubahan paa aqliyah (otak) kontra produktif selama ini:

1. Aqliyah Jamidahatau otak beku, diganti dengan Aqliyah Marinah/Muthawatirah (otak dinamis)
2. Aqliyah Qaul, otak pengandal kata dengan otak aplikasi
3. Aqliyatul Ahlam, otak pemimpi dengan Aqliyatu’l Waqi’, otak realita, dan

4. Aqliyatul Taswif, otak penunda dengan Fauriyatul Istijabah, otak respon kilat.
Da’wah tidak untuk sekadar membincangkan masa lalu tanpa upaya menegakkan hari ini. Buka juga untuk menggelar masalah karena da’i bukan pembicara masalah (problem speaker), melainkan pemecah masalah (Problem solver). Da’i yang tidak berorientasi kesini, pada saatnya akan menjadi problem maker bahkan besar peluangnya menjadi problem trader. Dilapangan kita dapat melihat siapa sesungguhnya pelaku istilah-istilah ini.
Mungkin kita dapat belajar dari dialog seputar tawuran, kawin muda karena “kecelakaan”, putus sekolah dan hedonisme:
Suara 1: “Sudah dekat kiamat, orang diajak baik malah lari”.
Suara 2: “Saya sudah usaha belikan remaja itu baju taqwa, kain sarung dan rwbana. Dasar belanda coklat.”
Suara 3: “Enaknya mereka dilatih disiplin militer, biar berubah, lalu diberi modal membuat swalayan besar, atau dikirim keluar negeri. Untuk bimbingan mental mereka harus diundang tahajud tiap malam dan puasa Senin Kamis.”
Suara 4: “Anak-anak zaman dulu nggak begitu. Sama guru dan orang tua hormat sekali. Coba kamu lurus-lurus saja kan nggak runyam begini.”
Suara 5: “Memang harus kaya dulu, baru suara kita didengar. Nanti kalau saya sudah jadi pejabat kaya mereka akan saya kumpulkan tiap malam dirumah. Boleh main catur, main kartu, silakan, asal tertib dan terlokalisir. Sudah itu saya da’wahi, pasti suara kita didengar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar