BHMN, BHP, Entrepreneurial University dan Privatisasi
Selasa, 22 - Mei - 2007, 09:20:08
klik untuk memperbesarCatatan Raker ITB, 15 Mei 2007
Dua pembicara tamu pada acara Rapat Kerja ITB yang diselenggarakan pada hari Selasa, 15 Mei 2007 memberikan satu pandangan berbeda mengenai “masa depan” ITB BHMN ini. Pembicara pertama, Dr. Jos Luhukay, memberikan paparan mengenai konsep “Auditable Entrepeneurial University”. Konsep yang memandang “pasar” lembaga pendidikan adalah mahasiswa. Tidak salah memang kalau konsep ini diterapkan untuk perguruan tinggi yang memang hanya memiliki “bisnis” pengajaran seperti kebanyakan perguruan tinggi swasta. Sedangkan pembicara kedua, Prof. Dr. Yohanes, lebih menjelaskan mengenai RUU Badan Hukum Pendidikan (Tinggi) (RUU-BHP) yang ternyata banyak berbeda dengan model BHMN.
Entrepreneurial University
Dalam bagian pendahuluan pembicara pertama dipaparkan beberapa ilustrasi mengenai kecenderungan permintaan (Trends in Demand) dan pergerakan pasar (Market Movements) di Indonesia yang sekaligus “dikonfrontasikan” dengan regulasi-regulasi pemerintah yang dianggap membatasi kiprah perguruan tinggi.
Isu utama yang mendorong pergeseran paradigma “permintaan” lembaga pendidikan tinggi adalah masalah otonomi daerah. Otonomi daerah menjadi satu penggerak untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan tinggi di ibu kota kabupaten/kota masing-masing. Dan sejumlah perguruan tinggi besar baik nasional maupun internasional berlomba membangun konglomerasi di tempat-tempat tersebut. Kondisi ini memang sudah diantisipasi oleh pemerintah - melalui Dirjen Dikti - walaupun, menurut Pak Jos, lemah dalam implementasi dan ditanggapi dingin oleh kebanyakan PT swasta.
Kecenderungan lain adalah akan “larinya” bagian besar pasar ke luar negeri. Mendekati tahun 2010, diperkirakan juga akan “menyedot” sampai 250,000 orang Indonesia untuk belajar di luar negeri. Tujuan terbesar (>50%) masih Australia dan Amerika Serikat sedangkan sekitar 30% akan memilih negara-negara jiran di kawasan Asean. Dan sisanya ke Eropa, Jepang, Canada, Timur Tengah dsb.
Dua kondisi ini menurut Jos Luhukay tidak akan bisa “ditangani” oleh struktur lembaga pendidikan tinggi (negeri) klasik (tradisional) yang cenderung berusaha untuk “mematuhi” berbagai regulasi dari pemerintah (tentu saja!, red). Tiga aspek kunci pengelolaan, yaitu proses (processes), isi (contents), dan sumberdaya (resources), harus “dimodifikasi” untuk dapat menjawab perubahan permintaan dan pergeseran pasar di atas. Ketiga aspek kunci ini harus dibangun secara simultan, tidak bisa satu persatu, dalam bentuk “korporasi”.
“Proses” dalam pengelolaan harus melibatkan semua “business processes” yang harus dilakukan perguruan tinggi. Proses-proses ini harus dibuat dan didefinisikan sebaik dan serinci mungkin dan dituangkan dalam bentuk SOP setiap unit kerja. Implementasi proses-proses ini yang nantinya akan menentukan bentuk organisasi yang diperlukan.
“Isi” (contents) secara umum diterima sebagai “roh/nyawa” sebuah perguruan tinggi, ytang meliputi kurikulum dan semua produk turunannya yang pada umumnya ditentukan oleh “pusat” dan cenderung tidak ada inisiatif ataupun kreatifitas untuk menyesuaikan dengan pasar (agak tidak cocok untuk ITB, red). Perlu diciptakan satu roh yang mampu menjawab kebutuhan saat ini dan masa depan.
“Sumberdaya” yang meliputi talenta (SDM), keuangan, aset diam, peralatan dan lain-lain, harus dikelola sehingga dapat membentuk satu lingkungan yang lebih kompetitif.
Menurut Jos, ketiga aspek kunci itu harus diarahkan untuk membentuk satu lembaga pendidikan yang “multichannel” dan “multisource”. Multichannel berarti berbagai cara alternatif - selain model guru berdiri di depan kelas - harus digunakan untuk menyampaikan material secara efisien. Sedangkan multisource berarti tidak perlu membuat sendiri semua material untuk pengajaran. Manfaatkan saja “global repository” yang banyak tersedia (terutama) di Internet, tentunya dengan tetap memperhatikan isu “hak milik intelektual” (Intellectual property rights, IPR).
Motivasi untuk meng-korporasi lembaga pendidikan tinggi antara lain adalah perlu memandang pendidikan tinggi sebagai satu bisnis layanan, perlu menerapkan satu model pengelolaan yang modern, dan perlu satu dukungan finansial yang lebih kondusif.
Korporatisasi lembaga pendidikan tinggi dalam hal ini adalah mengubah pengelolaan dari model hirarki (lembaga pemerintah) ke model “entrepreneurial”. Menurut Jos model struktur BHMN maupun yayasan tidak cocok untuk menjadi “entrepreunial” yang harus menempatkan sejumlah aspek legal, yaitu aset-aset tetap, kepemilikan IPR, dan pengelola/operator yang profesional.
Sejumlah perbedaan dan “trade off” mendasar terlihat pada perbandingan struktur organisasi hirarki dengan struktur organisasi “entrepreneurial”. Misalnya, struktur hirarki lebih rumit, tetapi lebih stabil. Sistem pelaporan dan informasi dalam model hirarki cenderung ke bentuk sentralisasi yang terkontrol, tetapi memakan sumberdaya yang besar, sedangkan dalam model entrepreneurial cenderung desentralisasi namun sulit dalam hal kontrol. Struktur hirarki mengelola resiko dan aset dengan lebih ketat dalam bentuk sistem otoritas dan kontrol proses, sedangkan dalam sistem entrepreneurial pengelolaan lebih longgar dan cenderung inisiatif serta reaktif.
Beberapa alternatif bentuk/struktur organisasi lembaga pendidikan dengan semangat entrepreneurial juga disajikan oleh Jos, pertama adalah bentuk pemerintah sebagai pemilik baik IPO maupun aset tetap, sedangkan operasionalnya dilakukan oleh pihak ketiga atau operator profesional dengan sistem kontrak. Bentuk kedua adalah satu yayasan sebagai pemilik IPO dan izin operasi, kemudian pengelolaan dilakukan oleh pihak ketiga sebagai operator, juga dengan sistem kontrak sekaligus mengelola aset tetap yang (bisa) dimiliki oleh pihak lain.
Menurut Jos, (jika ingin) berubah dari bentuk pengelolaan hirarki ke bentuk entrepreneurial maka harus direncanakan, dilakukan dan domoniotir dengan seksama. Mengingat akan terjadi perubahan “budaya”, maka perlu ada satu pengelolaan auditabilitas yang ketat. Inti perubahan yang harus terjadi adalah “mimpi” yang harus dibagi, kepemimpinan yang kuat dan jelas, implementasi yang konsisten dengan sistem pelaporan dan sistem informasi yang transparan, serta rencana yang baik dengan rincian yang cukup dan aturan penyesuaian yang realistis.
Badan Hukum Pendidikan
Setelah lama “nasibnya” hampir tak terdengar, ternyata Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP), yang disusun untuk menjalankan amanat Pasal 53 UU No. 20/2003, beserta naskah akademiknya sudah disampaikan oleh Presiden RI ke Dewan Perwakilan Rakyat per tanggal 21 Maret 2007. Dari analisis anatomi subyek hukum, maka badan hukum pendidikan (BHP) akan termasuk kelompok Badan Hukum Perdata (Privat), yang artinya merupakan suatu badan hukum yang didirikan oleh masyarakat dan diakui oleh negara (pemerintah), atau didirikan oleh negara. Bentuk badan hukum perdata/privat ini membawa salah satu konsekwensi bahwa BHP, dengan keputusan pengadilan, dapat dinyatakan pailit (dan dapat dibubarkan karenanya).
Berbeda dengan penetapan BHMN yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, maka BHP (baru) nantinya didirikan dengan akta notaris yang kemudian disahkan oleh Mendiknas. Juga struktur pimpinan BHP berbeda dengan BHMN dimana pada BHP posisi MWA adalah sebagai organ tertinggi. MWA ini yang nantinya bertugas membentuk Satuan Pendidikan, Dewan Pendidik atau Senat Akademik (mungkin merger antara SA dan MGB dari model BHMN) dan Dewan Audit. Ditambah lagi aturan bahwa pembentukan satuan pendidikan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Untuk kasus ITB yang sudah terlanjur BHMN tentunya tidak perlu membuat BHP dari awal lagi, tapi tinggal melakukan sejumlah penyesuaian, diantaranya bahwa anggaran dasar harus dituangkan dalam akta notaris pendirian BHP. Pengalihan status pendidik dan tenaga pendidik dari PNS ke pegawai BHP juga dibatasi maksimal 9 (sembilan) tahun sejak status BHP Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal disahkan.
Privatisasi
Ada hal menarik dari isu privatisasi lembaga pendidikan ini, yaitu bahwa kekayaan BHP dapat berasal dari berbagai sumber (tentunya dengan tidak melanggar aturan yang berlaku) dan dikategorikan sebagai BUKAN Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dan prinsip nirlaba BHP menyatakan bahwa dalam hal pendiri adalah Pemerintah/Pemda, maka sisa lebih (a.k.a SHU) diinvestasikan kembali 100\% pada BHP. BHP juga boleh mendirikan badan hukum perdata lain seperti perseroan terbatas, koperasi, yayasan dan sebagainya sesuai dengan persyaratan pendirian badan hukum perdata.
Meskipun berkesan rumit dan sulit, namun untuk ITB yang bercita-cita menjadi “research-base university” nampaknya bentuk BHP dapat menjadi satu jalan untuk membentuk satu “entrepreneur university”, tentunya dengan satu modifikasi mendasar atas ide tersebut, yaitu bahwa “pasar” utama ITB bukan jumlah peserta didik alias jumlah mahasiswa tetapi pengguna produk penelitian ITB. (bset)
Trackback
Hukum
Selasa, 22 - Mei - 2007, 09:20:08
klik untuk memperbesarCatatan Raker ITB, 15 Mei 2007
Dua pembicara tamu pada acara Rapat Kerja ITB yang diselenggarakan pada hari Selasa, 15 Mei 2007 memberikan satu pandangan berbeda mengenai “masa depan” ITB BHMN ini. Pembicara pertama, Dr. Jos Luhukay, memberikan paparan mengenai konsep “Auditable Entrepeneurial University”. Konsep yang memandang “pasar” lembaga pendidikan adalah mahasiswa. Tidak salah memang kalau konsep ini diterapkan untuk perguruan tinggi yang memang hanya memiliki “bisnis” pengajaran seperti kebanyakan perguruan tinggi swasta. Sedangkan pembicara kedua, Prof. Dr. Yohanes, lebih menjelaskan mengenai RUU Badan Hukum Pendidikan (Tinggi) (RUU-BHP) yang ternyata banyak berbeda dengan model BHMN.
Entrepreneurial University
Dalam bagian pendahuluan pembicara pertama dipaparkan beberapa ilustrasi mengenai kecenderungan permintaan (Trends in Demand) dan pergerakan pasar (Market Movements) di Indonesia yang sekaligus “dikonfrontasikan” dengan regulasi-regulasi pemerintah yang dianggap membatasi kiprah perguruan tinggi.
Isu utama yang mendorong pergeseran paradigma “permintaan” lembaga pendidikan tinggi adalah masalah otonomi daerah. Otonomi daerah menjadi satu penggerak untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan tinggi di ibu kota kabupaten/kota masing-masing. Dan sejumlah perguruan tinggi besar baik nasional maupun internasional berlomba membangun konglomerasi di tempat-tempat tersebut. Kondisi ini memang sudah diantisipasi oleh pemerintah - melalui Dirjen Dikti - walaupun, menurut Pak Jos, lemah dalam implementasi dan ditanggapi dingin oleh kebanyakan PT swasta.
Kecenderungan lain adalah akan “larinya” bagian besar pasar ke luar negeri. Mendekati tahun 2010, diperkirakan juga akan “menyedot” sampai 250,000 orang Indonesia untuk belajar di luar negeri. Tujuan terbesar (>50%) masih Australia dan Amerika Serikat sedangkan sekitar 30% akan memilih negara-negara jiran di kawasan Asean. Dan sisanya ke Eropa, Jepang, Canada, Timur Tengah dsb.
Dua kondisi ini menurut Jos Luhukay tidak akan bisa “ditangani” oleh struktur lembaga pendidikan tinggi (negeri) klasik (tradisional) yang cenderung berusaha untuk “mematuhi” berbagai regulasi dari pemerintah (tentu saja!, red). Tiga aspek kunci pengelolaan, yaitu proses (processes), isi (contents), dan sumberdaya (resources), harus “dimodifikasi” untuk dapat menjawab perubahan permintaan dan pergeseran pasar di atas. Ketiga aspek kunci ini harus dibangun secara simultan, tidak bisa satu persatu, dalam bentuk “korporasi”.
“Proses” dalam pengelolaan harus melibatkan semua “business processes” yang harus dilakukan perguruan tinggi. Proses-proses ini harus dibuat dan didefinisikan sebaik dan serinci mungkin dan dituangkan dalam bentuk SOP setiap unit kerja. Implementasi proses-proses ini yang nantinya akan menentukan bentuk organisasi yang diperlukan.
“Isi” (contents) secara umum diterima sebagai “roh/nyawa” sebuah perguruan tinggi, ytang meliputi kurikulum dan semua produk turunannya yang pada umumnya ditentukan oleh “pusat” dan cenderung tidak ada inisiatif ataupun kreatifitas untuk menyesuaikan dengan pasar (agak tidak cocok untuk ITB, red). Perlu diciptakan satu roh yang mampu menjawab kebutuhan saat ini dan masa depan.
“Sumberdaya” yang meliputi talenta (SDM), keuangan, aset diam, peralatan dan lain-lain, harus dikelola sehingga dapat membentuk satu lingkungan yang lebih kompetitif.
Menurut Jos, ketiga aspek kunci itu harus diarahkan untuk membentuk satu lembaga pendidikan yang “multichannel” dan “multisource”. Multichannel berarti berbagai cara alternatif - selain model guru berdiri di depan kelas - harus digunakan untuk menyampaikan material secara efisien. Sedangkan multisource berarti tidak perlu membuat sendiri semua material untuk pengajaran. Manfaatkan saja “global repository” yang banyak tersedia (terutama) di Internet, tentunya dengan tetap memperhatikan isu “hak milik intelektual” (Intellectual property rights, IPR).
Motivasi untuk meng-korporasi lembaga pendidikan tinggi antara lain adalah perlu memandang pendidikan tinggi sebagai satu bisnis layanan, perlu menerapkan satu model pengelolaan yang modern, dan perlu satu dukungan finansial yang lebih kondusif.
Korporatisasi lembaga pendidikan tinggi dalam hal ini adalah mengubah pengelolaan dari model hirarki (lembaga pemerintah) ke model “entrepreneurial”. Menurut Jos model struktur BHMN maupun yayasan tidak cocok untuk menjadi “entrepreunial” yang harus menempatkan sejumlah aspek legal, yaitu aset-aset tetap, kepemilikan IPR, dan pengelola/operator yang profesional.
Sejumlah perbedaan dan “trade off” mendasar terlihat pada perbandingan struktur organisasi hirarki dengan struktur organisasi “entrepreneurial”. Misalnya, struktur hirarki lebih rumit, tetapi lebih stabil. Sistem pelaporan dan informasi dalam model hirarki cenderung ke bentuk sentralisasi yang terkontrol, tetapi memakan sumberdaya yang besar, sedangkan dalam model entrepreneurial cenderung desentralisasi namun sulit dalam hal kontrol. Struktur hirarki mengelola resiko dan aset dengan lebih ketat dalam bentuk sistem otoritas dan kontrol proses, sedangkan dalam sistem entrepreneurial pengelolaan lebih longgar dan cenderung inisiatif serta reaktif.
Beberapa alternatif bentuk/struktur organisasi lembaga pendidikan dengan semangat entrepreneurial juga disajikan oleh Jos, pertama adalah bentuk pemerintah sebagai pemilik baik IPO maupun aset tetap, sedangkan operasionalnya dilakukan oleh pihak ketiga atau operator profesional dengan sistem kontrak. Bentuk kedua adalah satu yayasan sebagai pemilik IPO dan izin operasi, kemudian pengelolaan dilakukan oleh pihak ketiga sebagai operator, juga dengan sistem kontrak sekaligus mengelola aset tetap yang (bisa) dimiliki oleh pihak lain.
Menurut Jos, (jika ingin) berubah dari bentuk pengelolaan hirarki ke bentuk entrepreneurial maka harus direncanakan, dilakukan dan domoniotir dengan seksama. Mengingat akan terjadi perubahan “budaya”, maka perlu ada satu pengelolaan auditabilitas yang ketat. Inti perubahan yang harus terjadi adalah “mimpi” yang harus dibagi, kepemimpinan yang kuat dan jelas, implementasi yang konsisten dengan sistem pelaporan dan sistem informasi yang transparan, serta rencana yang baik dengan rincian yang cukup dan aturan penyesuaian yang realistis.
Badan Hukum Pendidikan
Setelah lama “nasibnya” hampir tak terdengar, ternyata Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP), yang disusun untuk menjalankan amanat Pasal 53 UU No. 20/2003, beserta naskah akademiknya sudah disampaikan oleh Presiden RI ke Dewan Perwakilan Rakyat per tanggal 21 Maret 2007. Dari analisis anatomi subyek hukum, maka badan hukum pendidikan (BHP) akan termasuk kelompok Badan Hukum Perdata (Privat), yang artinya merupakan suatu badan hukum yang didirikan oleh masyarakat dan diakui oleh negara (pemerintah), atau didirikan oleh negara. Bentuk badan hukum perdata/privat ini membawa salah satu konsekwensi bahwa BHP, dengan keputusan pengadilan, dapat dinyatakan pailit (dan dapat dibubarkan karenanya).
Berbeda dengan penetapan BHMN yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, maka BHP (baru) nantinya didirikan dengan akta notaris yang kemudian disahkan oleh Mendiknas. Juga struktur pimpinan BHP berbeda dengan BHMN dimana pada BHP posisi MWA adalah sebagai organ tertinggi. MWA ini yang nantinya bertugas membentuk Satuan Pendidikan, Dewan Pendidik atau Senat Akademik (mungkin merger antara SA dan MGB dari model BHMN) dan Dewan Audit. Ditambah lagi aturan bahwa pembentukan satuan pendidikan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Untuk kasus ITB yang sudah terlanjur BHMN tentunya tidak perlu membuat BHP dari awal lagi, tapi tinggal melakukan sejumlah penyesuaian, diantaranya bahwa anggaran dasar harus dituangkan dalam akta notaris pendirian BHP. Pengalihan status pendidik dan tenaga pendidik dari PNS ke pegawai BHP juga dibatasi maksimal 9 (sembilan) tahun sejak status BHP Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal disahkan.
Privatisasi
Ada hal menarik dari isu privatisasi lembaga pendidikan ini, yaitu bahwa kekayaan BHP dapat berasal dari berbagai sumber (tentunya dengan tidak melanggar aturan yang berlaku) dan dikategorikan sebagai BUKAN Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dan prinsip nirlaba BHP menyatakan bahwa dalam hal pendiri adalah Pemerintah/Pemda, maka sisa lebih (a.k.a SHU) diinvestasikan kembali 100\% pada BHP. BHP juga boleh mendirikan badan hukum perdata lain seperti perseroan terbatas, koperasi, yayasan dan sebagainya sesuai dengan persyaratan pendirian badan hukum perdata.
Meskipun berkesan rumit dan sulit, namun untuk ITB yang bercita-cita menjadi “research-base university” nampaknya bentuk BHP dapat menjadi satu jalan untuk membentuk satu “entrepreneur university”, tentunya dengan satu modifikasi mendasar atas ide tersebut, yaitu bahwa “pasar” utama ITB bukan jumlah peserta didik alias jumlah mahasiswa tetapi pengguna produk penelitian ITB. (bset)
Trackback
Tidak ada komentar:
Posting Komentar