Kurikulum Pendidikan

PENDIDIK HARUS TERDIDIK

Bisnis On Line Tanpa Modal

Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Desember 2015

sejarah hukum

10.03
TEORI HUKUM


Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.

ANDA BISA MENDAPATKAN FILE LENGKAPNYA DENGAN MEN-DOWNLOAD PADA LINK DI BAWAH...



DOWLOAD FILE

Sabtu, 05 Desember 2015

FILSAFAT HUKUM

03.34
FILSAFAT HUKUM


A.    Filsafat hukum
Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hokum Pokok kajian filsafat hukum :
•    Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral).
•    Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb)
•    Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum). Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum)
•    Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hokum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia)
•    Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)
•    Ajaran hukum umum

anda bisa dapatka file word lengkap, download filenya segera..........


DOWNLOAD FILE











Selasa, 28 April 2015

BADAN HUKUM PENDIDIKAN

12.02
                                                     BHP, Praktek Haram Pendidikan Kita

Praktek otonomi kampus di negara kita bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu diperkuat oleh Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan tentang BHP pada pasal 53. Sementara perangkat hukum yang mengatur tentang itu diatur dalam undang-undang tersendiri (sekarang baru RUU BHP). Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan ’pemanasan’ menuju BHP. Pro-kontra BHP juga sedang menggeliat di ke-empat kampus tersebut. Lalu, bagaimana dengan Unhas? Sepertinya syahwat menuju BHP sudah tak terbendung lagi. Sosialisasi Unhas menuju BHP semakin gencar dilakukan oleh pengambil kebijakan di kampus ini.
Praktek BHMN di Unhas
Walau sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus. Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?

Sadar atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya, maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus. Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas tersebut.
Mereduksi Tanggung Jawab Negara
Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya, amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.


Komersialisasi dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP. Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut, ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi yang begitu menggebu-gebu

Mengapa Kita (harus) Menolak BHP?
Dalam konteks Unhas, akhir-akhir ini perdebatan mengenai BHP, hanya sebatas perhitungan untung-rugi ketika BHP direalisasikan. Padahal, perdebatan tersebut belumlah menyentuh pada persoalan yang lebih substansi, yakni landasan hukumnya. Tentu saja dengan tidak bermaksud mengkerdilkan hasil diskusi dan kajian sebahagian kawan-kawan kita pada tataran tersebut. Bahkan penulis sendiri meyakini, bahwa salah satu pemicu perjuangan kita dalam menolak BHP adalah pertimbangan untung dan rugi. Tentu saja yang menjadi titik tekan dalam menyorot BHP adalah persoalan ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah persoalan pemerataan dan kesempatan mendapatkan pendidikan ketika BHP direalisasikan di unhas. Oleh karena itu, perjuangan kita dalam konteks menolak BHP, justru semakin memiliki daya dobrak sekiranya jika dilandasi dengan tinjauan hukum yang kuat.
Menurut Rama Pratama anggota komisi XI (komisi anggaran) DPR RI, Realisasi anggaran untuk pendidikan tahun 2006 lalu hanya sebesar 9,1 % dari APBN. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketidak setujuannya terhadap pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam surat keputusannya yang bernomor, MK No. 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006 menyatakan dua poin. Pertama, menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, Menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam konstitusi negara kita yakni UUD 1945 telah menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1). Sementara itu, dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Demikian halnya juga dalam UU No 20 tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang berbunyi “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Oleh karena itu, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD.
Dari landasan hukum tersebut, maka jangankan RUU BHP yang jelas-jelas belum menjadi Undang-Undang, produk yang sudah menjadi Undang-Undang saja akan gugur dengan sendirinya oleh konstitusi negara UUD 1945. Oleh karenanya, praktek BHP merupakan praktek haram pendidikan kita. Ia lahir dari semangat perselingkuhan dengan kapitalisme global. Dengan merealisasikan 20% anggaran pendidikan sesuai dengan amanat amandemen UUD 1945, maka praktek privatisasi dan komersialisasi tidak perlu ada. Oleh karenanya, menolak merealisasikan amanat tersebut, sama saja melawan konstitusi negara, serta dapat dianggap subversif. Maka dari itu, tidak ada alasan rasional untuk kita melegalkan privatisasi pendidikan (BHP), apalagi-oleh salah satu pembatu rektor- meminta (lembaga) mahasiswa membuat konsep BHP versi mahasiswa. Satu-satunya yang harus kita lakukan adalah menolak BHP di negeri ini.


pengertian filsapat hukum

11.33


Filsafat hokum

Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hokum.  Pokok kajian filsafat hukum : Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral).
Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb) Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum). Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum).  Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hokum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia) Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum). Ajaran hukum umum

TEORI HUKUM

11.30
TEORI HUKUM
Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri. 
TEORI-TEORI HUKUM PADA ZAMAN YUNANI-ROMAWI
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.

PADA ABAD PERTENGAHAN
Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia. Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.

TEORI-TEORI PADA ABAD XIX 
Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :6)
  1. Hukum adalah perintah.
  2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
  3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
  4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
  5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

TEORI HUKUM MURNI

11.27


TEORI HUKUM MURNI

Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum. Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi  juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.
Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain, dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja. Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum lain yang telah memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada konsepsi Immanuel Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai Sollen, dan pengertian hukum sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut sebagai Neo Kantiaan. Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofis-metafisis, dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi hukum yang diartikan sebagai perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap mazhab-mazhab lain. Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi menentukan peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus dilakukan orang. Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu : sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib hukum menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan atau lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum. Dinamakan tertib hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak. Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah badab-badan atau lembaga-lembaga yang melaksanakan hukum, Setiap perbuatan hukum harus dapat dikembalikan pada suatu norma yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu. Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari hypotese atau grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh masyarakat harus ditaati.  Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :
1.      Tingkatan Norma-norma.
2.      Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang logis dengan norma yang lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama

Senin, 11 November 2013

23.20


KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 155 /U/1998

                                                                       TENTANG
PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI PERGURUAN TINGGI
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Menimbang
a. bahwa pendidikan nasional telah mengalami perkembangan yang memerlukan penyesuaian dan pemantapan baik dalam hal kebijaksanaan maupun tatanannya;
b. bahwa pengembangan kehidupan kemahasiswaan adalah bagian integral dalam sistem pendidikan nasional sebagai kelengkapan kegiatan kurikuler;
c. bahwa organisasi kemahasiswaan perlu ditingkatkan peranannya sebagai perangkat perguruan tinggi dan sebagai warga sivitas akademika;
d. bahwa pengembangan organisasi kemahasiswaan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan reformasi di bidang pendidikan tinggi dan tuntutan globalisasi pada masa mendatang;
e. bahwa sesuai dengan butir a, b, c, dan d dipandang perlu menetapkan pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi;
Mengingat
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi beserta perubahannya;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN
DI PERGURUAN TINGGI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan
1. Organisasi kemahasiswaan intra. perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.
2. Tujuan pendidikan tinggi adalah :
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetatman, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
3. Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman tentang arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerjasama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
4. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan akademik yang meliputi : kuliah, pertemuan kelompok kecil (seminar, diskusi, responsi), bimbingan penelitian, praktikum, tugas mandiri, belajar mandiri, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (kuliah kerja nyata, kuliah kerja lapangan dan sebagainya).
5. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial bagi masyarakat.
Pasal 2
Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
BAB II
BENTUK ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Pasal 3
(1) Di setiap perguruan tinggi terdapat satu organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan.
(3) Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Organisasi kemahasiswaan pada sekolah tinggi, politeknik, dan akademi menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
(5) Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang sejenis menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya.
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TANGGUNGJAWAB
Pasal 4
Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 5
Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi mempunyai fungsi sebagai sarana dan wadah:
1. perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahasiswaan;
2. pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan;
3. komunikasi antar mahasiswa;
4. pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan;
5. pengembangan pelatihan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa;
6. pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional;
7. untuk memelihara dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan.
Pasal 6
Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi.
BAB IV
KEPENGURUSAN, KEANGGOTAAN DAN MASA BAKTI
Pasal 7
(1) Pengurus organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi pada masing-masing tingkat sekurang-kurangnya terdiri atas ketua umum, sekretaris dan anggota pengurus.
(2) Pengurus ditetapkan melalui pemilihan yang tatacara dan mekanismenya ditetapkan oleh mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 8
Keanggotaan organisasi kemahasiswaan pada masing-masing tingkat adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar dan masih aktif dalam kegiatan akademik.
Pasal 9
Masa bakti pengurus organisasi kemahasiswaan maksimal 1 (satu) tahun dan khusus untuk ketua umum tidak dapat dipilih kembali.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
(1) Pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada anggaran perguruan tinggi yang bersangkutan dan/atau usaha lain seijin pimpinan perguruan tinggi dan dipertanggungiawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Penggunaan dana dalam kegiatan kemahasiswaan harus dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Semua organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang telah ada pada saat ditetapkannya Keputusan ini agar menyesuaikan dengan Keputusan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Petunjuk teknis pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1998
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
ttd.
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelitian dan. Pengembangan Pendidikan. dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Badan Penelitian. dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
6. Semua Rektor universitas/institut, Ketua sekolah tinggi, Direktur politeknik/akademi di lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara,
9. Badan Pemeriksa Keuangan,
10. Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan,
11. Komisi VII DPR-RI.