BHP, Praktek Haram Pendidikan Kita
Hukum
,
Pemuda
,
Pendidikan
Praktek
otonomi kampus di negara kita bermula dari lahirnya peraturan
pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan
tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu
diperkuat oleh Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
mencantumkan tentang BHP pada pasal 53. Sementara perangkat hukum yang
mengatur tentang itu diatur dalam undang-undang tersendiri (sekarang
baru RUU BHP). Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan
tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat
perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN
tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta
menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang
ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi
mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan
’pemanasan’ menuju BHP. Pro-kontra BHP juga sedang menggeliat di
ke-empat kampus tersebut. Lalu, bagaimana dengan Unhas? Sepertinya
syahwat menuju BHP sudah tak terbendung lagi. Sosialisasi Unhas menuju
BHP semakin gencar dilakukan oleh pengambil kebijakan di kampus ini.
Praktek BHMN di Unhas
Walau
sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan
tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat
mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak
demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki
peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah
corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya
Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka
universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif
pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain
dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus.
Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?
Sadar
atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP
secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas
itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur
khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem
penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan
masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa
yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya,
maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada
orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan
harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat
mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus.
Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan
fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas
fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas
tersebut.
Mereduksi Tanggung Jawab Negara
Salah
satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.
Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945
tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara
di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional
pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini
juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya,
amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan
kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung
dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot
yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.
Komersialisasi
dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari
ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP.
Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk
lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini
menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana
ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut,
ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai
bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan
lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam
pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja
negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi
perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan
jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep
otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah
untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab
pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau
tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini
telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita
kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi
yang begitu menggebu-gebu
Mengapa Kita (harus) Menolak BHP?
Dalam
konteks Unhas, akhir-akhir ini perdebatan mengenai BHP, hanya sebatas
perhitungan untung-rugi ketika BHP direalisasikan. Padahal, perdebatan
tersebut belumlah menyentuh pada persoalan yang lebih substansi, yakni
landasan hukumnya. Tentu saja dengan tidak bermaksud mengkerdilkan hasil
diskusi dan kajian sebahagian kawan-kawan kita pada tataran tersebut.
Bahkan penulis sendiri meyakini, bahwa salah satu pemicu perjuangan kita
dalam menolak BHP adalah pertimbangan untung dan rugi. Tentu saja yang
menjadi titik tekan dalam menyorot BHP adalah persoalan ketidakadilan.
Ketidakadilan yang dimaksud adalah persoalan pemerataan dan kesempatan
mendapatkan pendidikan ketika BHP direalisasikan di unhas. Oleh karena
itu, perjuangan kita dalam konteks menolak BHP, justru semakin memiliki
daya dobrak sekiranya jika dilandasi dengan tinjauan hukum yang kuat.
Menurut
Rama Pratama anggota komisi XI (komisi anggaran) DPR RI, Realisasi
anggaran untuk pendidikan tahun 2006 lalu hanya sebesar 9,1 % dari APBN.
Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketidak
setujuannya terhadap pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan
yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam surat keputusannya yang
bernomor, MK No. 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006 menyatakan dua
poin. Pertama, menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang
menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi,
maka bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, Menyatakan UU No.13/2005
tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1%
sebagai batas tertinggi, maka tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
Dalam konstitusi negara
kita yakni UUD 1945 telah menekankan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1). Sementara itu, dalam amandemen
UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Demikian halnya juga dalam UU No 20 tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1
yang berbunyi “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari APBD”. Oleh karena itu, maka tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk menunda realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan
APBD.
Dari
landasan hukum tersebut, maka jangankan RUU BHP yang jelas-jelas belum
menjadi Undang-Undang, produk yang sudah menjadi Undang-Undang saja akan
gugur dengan sendirinya oleh konstitusi negara UUD 1945. Oleh
karenanya, praktek BHP merupakan praktek haram pendidikan kita. Ia lahir
dari semangat perselingkuhan dengan kapitalisme global. Dengan
merealisasikan 20% anggaran pendidikan sesuai dengan amanat amandemen
UUD 1945, maka praktek privatisasi dan komersialisasi tidak perlu ada.
Oleh karenanya, menolak merealisasikan amanat tersebut, sama saja
melawan konstitusi negara, serta dapat dianggap subversif. Maka dari
itu, tidak ada alasan rasional untuk kita melegalkan privatisasi
pendidikan (BHP), apalagi-oleh salah satu pembatu rektor- meminta
(lembaga) mahasiswa membuat konsep BHP versi mahasiswa. Satu-satunya
yang harus kita lakukan adalah menolak BHP di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar