TEORI HUKUM
Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan
kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian.
Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh
postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk
mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan
kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk
menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu,
para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang
hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori
hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika
atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat,
ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari
para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum,
barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang
hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum
pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan
teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli
hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum
para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik,
didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum
itu sendiri.
TEORI-TEORI HUKUM PADA ZAMAN
YUNANI-ROMAWI
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu
suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya
dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan
tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan
kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber
pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan
pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai
alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai
negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau
undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif”
dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada
pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya
didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan
hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada
kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh
hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya,
sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu
sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum
harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari
setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari
perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran
yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
PADA ABAD PERTENGAHAN
Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja
Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan
Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa
hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma
itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia. Untuk
dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar
Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya.
Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex
aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah
pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi
praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan
dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk
memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun
hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam,
Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh
didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia
itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam
ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan
alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam
sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena
bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan
dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat
disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga
adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan
antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal.
Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut
barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal
menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi
terkandung keadilan legal.
TEORI-TEORI PADA ABAD XIX
Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya
untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan
positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :6)
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :6)
- Hukum adalah perintah.
- Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
- Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
- Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
- Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda
dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah
perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara
memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan
tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai
sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya
kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya
yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu
peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada
motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk
mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu
mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi
aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari
kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari.
Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy
bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya
kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan
tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak
ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan
diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada
naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh
diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya
atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada
orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan
dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi
kesejahteraan umat manusia.
Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar