BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diklat Bahasa Indonesia merupakan salah satu program Balai Diklat
Keagamaan Makassar untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam
rangka meningkatkan kualitas proses dan
hasil belajar peserta didik pada satuan
pendidikan. Kegiatan peningkatan
kompetensi guru tersebut akan dilaksanakan
dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP.
Untuk menunjang kegiatan tersebut, diperlukan suplemen modul yang relevan dengan kebutuhan pendidik dan peserta didik. Salah satu modul
tersebut berkaitan dengan materi kesusastraan. Pembahasaan kesusastraan dalam suplemen modul ini difokuskan pada pengertian sastra , periodisasi sastra, aliran sastra, genre sastra, apresiasi sastra, dan
ekspresi sastra.
Pembelajaran
sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa. Oleh karena itu, seorang guru Bahasa Indonesia juga dituntut memiliki kompetensi tentang sastra dan
menanamkan kegemaran bersastra. Agar
mampu berekspresi dalam sastra, guru
bahasa terlebih dahulu harus mampu mengapresiasi karya sastra tersebut baik
secara tertulis maupun secara lisan. Hal ini berarti guru bahasa Indonesia juga harus peka terhadap perkembangan masyarakat
dan perkembangan sastra. Dengan demikian, para guru seyogianya mampu menuangkan
ide, gagasan, serta perasaannya dalam bentuk karya sastra sebagai bekal dalam membimbing
peserta didik. Dengan bimbingan guru profesional diharapkan peserta didik juga
mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam bentuk- bentuk karya sastra seperti: menulis
dan membacakan puisi, menulis dan membacakan cerpen, dan menulis naskah dan bermain drama, sesuai dengan standar
kompetensi dan yang harus dicapai oleh
siswa selama mereka belajar di SMP.
1.2. Tujuan
Setelah mempelajari bahan
ajar ini, peserta MGMP diharapkan dapat menguasai kompetensi yang berkaitan
dengan
a. pengertian sastra, periodesasi sastra Indonesia, dan aliran sastra;
b. genre karya sastra;
c. pembelajaran apresiasi sastra;
e. Mengekspresikan perasaan melalui karya
sastra, baik secara tertulis maupun secara lisan.
1.3 Alokasi Waktu
Alokasi
waktu yang disediakan untuk mempelajari bahan ajar bagi peserta MGMP adalah 4
jam pelajaran (4 x 50 menit). Diharapkan waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk menguasasi bahan ajar kesusastraan ini.
1.4 Sasaran
Sasaran suplemen modul ini adalah para guru SMP peserta
MGMP Bahasa Indonesia Program BERMUTU.yang tersebar di 16 provinsi di wilayah Indonesia.
BAB II
EKSPRESI
KARYA SASTRA
3.1 Ekspresi Puisi
a) Menulis Puisi
Ekspresi tulis puisi adalah segala
kegiatan yang memungkinkan kita mendapatkan pengalaman
artistik dalam menulis puisi. Pada saat Anda
menemukan peristiwa yang luar biasa, misalnya jatuhnya pesawat terbang,
gerhana matahari total, atau gelapnya siang hari karena letusan sebuah gunung
berapi, perasaan apa yang ingin Anda ungkapkan? Apabila Anda mendapatkan hadiah
undian ratusan juta rupiah atau bertemu
dengan saudara yang telah beberapa tahun menghilang, perasaan apa yang akan Anda luapkan? Sedih, gembira,
bahagia, atau campuran dari semuanya? Pengalaman tersebut merupakan bahan
berharga apabila diekspresikan
melalui puisi.
Barangkali kita tidak dengan sengaja
menulisnya sebagai puisi karena hanya menuangkannya, misalnya, ke dalam buku harian. Cobalah buka kembali buku harian Anda. Mungkin Anda akan
terkejut karena di sana Anda telah menguntai kata dan kalimat secara emotif. Hal itu tidak saja karena Anda telah
mengekspresikan diri Anda sendiri, namun kondisi
manusia sebagai homo ludens ‘makhluk
bermain’ dan homo fabulans ‘makhluk bersastra’ mendorong kita untuk melakukan semua itu.
Apabila kegiatan menulis buku harian
itu kita lakukan sebagai pengisi waktu luang, kini kita
akan mencoba berekspresi secara khusus, yaitu dengan menulis puisi lama dan modern. Kegiatan ini, meskipun khusus menulis puisi, hendaknya jangan
dianggap terlalu serius. Yang penting adalah mengembangkan imajinasi dan emosi kreatif kita dengan
sarana puisi yang sudah kita kenal, yaitu puisi lama
dan puisi modern.
(1) Menulis Puisi Lama
Puisi lama merupakan puisi yang
terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah larik
dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan irama, serta muatan setiap bait. Silakan Anda perhatikan puisi lama berikut:
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati.
Puisi di atas adalah salah satu bait
puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila Anda akan menulis puisi lama dengan
bentuk demikian, syarat-syarat yang harus Anda
patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah empat, jumlah
suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik
pertama mesti memuat sampiran,
sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan
pantun.
Penyebutan puisi lama disebabkan
adanya fenomena puisi setelahnya yang dianggap baru. Namun, yang lebih perlu Anda pahami adalah bahwa puisi lama merupakan pancaran masyarakat lama atau
warisan budaya nenek moyang kita yang masih hidup dalam tradisi lisan. Karena
tradisi ini menuntut orang mengingat dan
menghafal, maka wajar saja jika dalam puisi lama terkandung syarat-syarat tertentu. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut karena
dijadikan sarana dalam berekspresi secara berulang-ulang, maka jadilah formula atau kaidah tetap yang menjadi ciri setiap
bentuk puisi. Bentuk lainnya yang juga termasuk puisi lama adalah bidal,
gazal, gurindam, mantra, masnawi, nazam,
kithah, rubai, seloka, syair, talibun, dan teromba.
Meskipun bentuk puisi lama cukup
banyak, kita akan menekuninya sebagian saja, terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun, syair, dan mantra.
Pantun
Seperti sudah disinggung sebelumnya,
pantun merupakan ragam puisi lama. Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri
atas empat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu
merupakan kiasan atau sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat
dalam larik ketiga dan keempat.
Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau
karmina, dan pantun berkait.
Pantun biasa adalah pantun seperti
kita kenal lazimnya dan rincian persyaratannya telah kita singgung di
atas, namun dengan tambahan, isinya berisi curahan
perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa. Pantun biasa pun dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah pantun berikut, yang termasuk pantun biasa dan cukup populer karena dijadikan lirik sebuah lagu
oleh Rhoma Irama:
Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian.
Pantun kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa
dengan pantun biasa. Perbedaan terjadi karena
karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya terdiri atas dua larik sehingga sampiran dan isi terletak pada larik
pertama dan kedua. Perhatikanlah
beberapa karmina berikut:
Ada ubi ada talas,
Ada budi ada balas.
Anak ayam pulang ke kandang,
Jangan lupa akan sembahyang.
Satu dua tiga dan empat,
Siapa cepat tentu dapat.
Pantun berkait, kadang-kadang juga
disebut dengan pantun berantai, merupakan pantun yang
sambung-bersambung antara bait satu dan bait berikutnya. Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan
muncul kembali pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya:
Tanam melati di rumah-rumah
ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
Ubur-ubur sampingan dua
Tanam melati bersusun bangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh besusun bangkai
Meskipun pantun merupakan puisi
lama, tidak ada yang akan melarang
apabila kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita tidak terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan sebagian bukti.
apabila kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita tidak terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan sebagian bukti.
Apabila kata-kata dalam contoh pantun
tersebut dianggap terlalu arkais dan kemelayu-melayuan,
kita dapat menggantinya dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Tentunya,
semua kita lakukan dengan tetap mengikuti formula dan syarat-syarat sebuah pantun. Misalnya, dalam acara
hiburan di salah satu televisi swasta, pantun yang bersifat humor telah
menjadi paket acara tersendiri. Dalam acara
rekreasi ke tempat objek wisata, ulang tahun, atau perpisahan, berbalas pantun melalui iringan gitar dapat pula
dijadikan kegiatan pelepas lelah dan
media berkenalan. Dengan pantun kita pun dapat memanfaatkan kelebihan dan kekurangan orang lain atau
diri sendiri sebagai bahan gelak
tawa, lelucon, dan banyolan yang dapat menyegarkan suasana. Di sela-sela kesibukan kuliah pun kita dapat membuat
pantun, seperti berikut ini:
silau lentera di dalam tenda
tikus sawah di atap bambu
walau usia masihlah muda
lulus ujian tetaplah perlu.
burung perkutut di atas galah
kayu cendana dibuat bangku
tuntut ilmu tiada lelah
jadi sarjana cita-citaku
Apabila formula pantun di atas
dianggap cukup panjang, kita dapat memanfaatkan
karmina sebagai alat pergaulan. Biasanya para remaja menuliskan catatan tambahan dalam surat yang dituliskannya kepada seorang teman dengan karmina berikut:
empat kali empat enam betas,
sempat tidak sempat harus dibalas.
Seorang ketua tingkat dapat pula menempelkan secarik kertas
di papan pengumuman dengan karmina berikut:
makan kupat
disiram kuah,
jangan lupa
kita kuliah.
Syair
Syair bersumber dari kesusastraan
Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan
masuknya agama Islam ke nusantara. Seperti halnya pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap
larik terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai
dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah
menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat
dalam syair memuat isi syair tersebut. perbedaan pantun
dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair
berpola a-a-a-a.
Karena bait syair terdiri atas isi
semata, maka antara bait yang satu dan bait lainnya
biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita
yang dikemas dalam bentuk syair
biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup
terkenal yang merupakan khazanah sastra nusantara, misalnya Syair
Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair
Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari,
Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa. Marilah kita sejenak memperhatikan beberapa bait
pengantar Syair Burung Pungguk:
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Ialah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada mumin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
Mantra
Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan
irama. Masyarakat zaman dulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau
menandingi kekuatan gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri
adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang
dalam keadaan trance 'kerasukan'. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan
kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.
Karakteristik mantra memang sangat
unik. Karena keunikannya itulah kita tidak dapat membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung sebelumnya, baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah
memiliki syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan
ekspresi, tidak ada salahnya apabila kita mencoba untuk
membuat mantra. Meskipun formula mantra tidak sekaku pantun dan syair, kita
perlu juga mengetahuinya sehingga
memudahkan kita untuk menyusunnya.
Menurut Umar Junus (1983:135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:
a. di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah;
b. mantra mementingkan keindahan bunyi atau
permainan bunyi;
c. mantra
menggunakan kesatuan pengucapan;
d. mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami
melalui bagian-bagiannya;
e. mantra merupakan sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia karena
merupakan sesuatu yang serius;
f. dalam mantra terdapat
kecenderungan esoteris (khusus) dari
kata-katanya.
Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut
ini, yang biasa diucapkan pawang ketika
mengusir anjing galak.
Pulanglah
engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah
engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gunung guntung,
Pulanglah
engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah
engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau
kau tiada mau kembali, matilah engkau.
Kita belajar untuk membuat mantra
bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya sebab anggapan
seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi. Terlebih-lebih,
puisi modern yang akan kita bicarakan nanti masih
memanfaatkan puisi lama, khususnya pantun dan mantra, sebagai alat ucap puitiknya.
(2) Menulis Puisi Modern
Puisi modern dianggap berbeda dengan
puisi lama sehingga ada yang menyebutnya dengan "puisi baru". Karena
puisi modern tidak terikat lagi oleh syarat-syarat
seperti pantun, syair, dan mantra, maka ada juga orang yang menyebutnya dengan "puisi bebas" dan karena puisi modern adalah
puisi yang ditulis kini dan ada di sekitar kita
kini, maka ada juga yang menyebutnya dengan
"puisi mutakhir" dan "puisi kontemporer".
Puisi lama dengan puisi modern,
meskipun berbeda, tidaklah bertolak belakang
sepenuhnya. Dalam pertumbuhan awal puisi modern, kita masih dapat
melihat pengaruh puisi lama di dalamnya, seperti tampak
dalam puisi Sanusi Pane berikut:
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa
bidukku perlahan,
Dalam kesunyian
malam waktu,
Tidak berpawang,
tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad,
Dengan damai mereka meninjau,
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara,
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang
dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.
Alun membawa
bidukku perlahan,
Dalam kesunyian
malam waktu,
Tidak berpawang, tdak berkawan,
Entah ke mana aku
tak tahu.
Puisi di atas terdiri atas empat
larik setiap baitnya, per larik lebih kurang empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata dan
berpola rima akhir a-b-a-b. Apabila
kita perhatikan selintas, puisi tersebut sama dengan pantun. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut, ternyata
di dalamnya tidak terdapat sampiran. Apakah puisi ini berbentuk syair?
Syair memang tidak memiliki sampiran, akan
tetapi rima akhirnya mesti berpola a-a-a-a.
Selain itu, isi puisi di atas bukanlah cerita, melainkan
tumpahan rasa sebagai manusia yang tengah
terombang-ambing sendirian di atas perahu dan di laut lepas. Gambaran manusia seperti itu tampaknya bukanlah
khusus ditujukan kepada pengarangnya
sendiri, melainkan untuk manusia pada umumnya. Dengan demikian, puisi
ini memang menggambarkan manusia secara konkret, namun justru untuk menunjukkan keadaannya yang abstrak. Dengan
kata lain, puisi ini menyimbolkan hidup manusia. Kecanggihan semacam ini tampaknya
tidak pernah terdapat dalam puisi lama, baik pantun maupun syair.
Di samping itu, ada juga penyair
modern yang menunjukkan pembaharuan puisi dengan sarana estetika
puisi lama. Hal itu dapat dianggap sebagai ironi atau kritik terhadap puisi
lama, seperti tampak dalam puisi Rustam Effendi berikut
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti merantut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurang lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Sanusi Pane dan Rustam Effendi adalah
sastrawan yang tergolong ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Angkatan
ini hidup sekitar tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 40-an. Akan
tetapi, pengaruh puisi lama terhadap puisi modern
tidaklah berhenti pada angkatan tersebut. Para
penyair setelahnya, seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan
Sitor Situmorang pun masih menampakkan
pengaruh itu, seperti tampak pada puisi "Beta Patti Rajawane”. “Mantera", dan "Lagu Gadis Itali".
Bahkan, dalam puisi-puisi mutakhir kini, seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar unsur-unsur lama itu tampak sekali. Semua itu dapat
membuktikan bahwa para penyair modern
tidak membuang begitu saja warisan para pendahulunya, melainkan menjadikannya sebagai sarana, bahan
pengalaman artistik dan estetik,
serta titik tolak penciptaan puisinya. Dengan kata lain, mereka masih tetap
mempertimbangkan tradisi para pendahulunya.
Uraian di atas menunjukkan kepada
kita bahwa untuk sampai pada pemahaman puisi modern, kita dapat
bertolak dari puisi lama. Demikian pula, untuk sampai
pada penulisan puisi modern, kita dapat memulainya dengan menulis puisi lama.
Jadi, tidaklah sia-sia kreativitas yang telah kita lakukan. Sekarang marilah kita mempersiapkan diri untuk membuat puisi modern. Namun, sebelum sampai pada proses kreatif penciptaan yang
bersifat idividual, kita akan bersama-sama
mencoaba untuk melatih imajinasi dan daya kreatif kita dengan mengikuti latihan berikut.
a) Mendeskripsikan
Objek Konkret secara Emotif
Objek konkret yang kita inderai,
seperti kucing peliharaan, bunga melati,
gunung, laut, dan air terjun dapat menjadi bahan pokok puisi kita. Penyair Abdul Hadi W.M. (dalam Eneste, ed,. 1984)
pernah berujar, "Saya paling
suka menulis puisi jika hujan sedang turun, atau sambil melihat kolam air yang memantulkan bayang-bayang benda di atasnya
atau langit". Jika penyair saja
menyukai objek yang kasatmata sebagai ilham bagi puisi-puisinya, apalagi kita yang baru mau belajar. Cara yang mudah adalah
dengan mendeskripsikan seluk-beluk
objek tersebut. Akan tetapi, karena kita tengah berlatih menulis puisi, deskripsi kita hendaknya dibangun dengan
menggunakan bahasa yang bersifat
emotif. Misalnya, ketika tengadah ke langit malam hari, seseorang takjub pada ribuan bintang yang tertebar di atas
langit. Kemudian, ia mendeskripsikannya
melalui puisi berikut.
Bintang
kemerlap jauh di atas sana
tertebar di langit hitam
Bintang
bertebaran ribuan jumlah
berhamburan melimpah ruah
Bintang, bintang, bintang!
Kapan kau terhampar di tanah
agar manusia tak kehilangan arah.
1972
b) Mengurai Nama Diri
Nama adalah identitas pokok diri
kita. Manusia dapat saling mengenal dan menyapa
karena memiliki nama. Betapa kecewanya seseorang saat namanya tidak
tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mengikuti ujian. Saat mendapatkan ratusan nama yang berhak
mendapatkan hadiah undian sebuah
produk sabun di sebuah surat kabar, tentu Anda tidak bergembira karena nama Anda tidak tercantum di
dalamnya. Sebaliknya, Anda berteriak
kegirangan manakala huruf A sejajar dengan nama Anda dalam sebuah daftar nilai ujian. Semua membuktikan bahwa
kita sangat peduli dengan nama kita
sendiri.
Kepedulian terhadap nama diri dapat
dimanfaatkan untuk belajar menulis puisi. Caranya, yaitu dengan
menderetkan nama kita secara vertikal. Misalnya, orang
yang bernama Rizal dapat mengurai namanya seperti berikut
R
I
Z
A
L
Kemudian, kembangkanlah imajinasi dan
kreativitas Anda untuk melanjutkan setiap inisial atau
huruf awal tersebut. Yang paling mudah adalah menguraikan keadaan atau pengalaman diri sendiri. Anggap saja, misalnya Rizal adalah seorang remaja yang sedang melamun untuk sampai pada hari
ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ia menulis namanya di buku harian
dengan mengurainya menjadi sebuah
puisi.
Riangnya hati ketika datang suatu hari
ltulah ulang tahun yang telah lama
dinanti
Zikir dan syukur kepada-Nya
Adalah tindakan yang paling utama
Lalu, aku
undang semua teman dan saudara
c) Menulis Puisi Berdasarkan Tokoh dalam
Sejarah, Mitologi, atau dalam Karya
Sastra
Karya sastra, apakah cerpen,
novel/roman, drama, atau puisi yang telah kita baca, dapat juga dijadikan media dalam belajar menulis puisi. Apabila Anda menyenangi tokoh tertentu dalam sebuah novel, Anda
dapat saja menulis puisi berdasarkan
tokoh tersebut. Puisi tersebut dapat merupakan suara tokoh tersebut (tokoh menjadi aku lirik), atau komentar kita
mengenai tokoh tersebut. Selain karya
sastra, tokoh dalam sejarah, wayang, atau mitologi dapat juga kita jadikan bahan penulisan puisi. Sebagian besar di
antara kita tentu sudah mengetahui
bahwa salah satu puisi Chairil Anwar yang berjudul "Diponegoro" atau puisi Amir Hamzah yang berjudul "Hang
Tuah" bersumber dari mitos pahlawan.
Perhatikanlah puisi berikut, yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi
tersebut bersumber dari cerita wayang,
yaitu Arjuna Sasrabahu atau Sumantri
Ngenger:
PESAN
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku
tertembus anak panahnya. Kami saling mencintai, dan antara disengaja dan tidak
disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku
tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba,
aku hanya akan....
d) Mengkonkretkan
Puisi dengan Bantuan Gambar
Kadang-kadang orang yang memiliki
bakat lebih dari satu seni tidak akan pernah puas ketika dia membuat sebuah karya seni. Ada sebagian penyair yang mengkonkretkan puisi dengan
tambahan gambar atau membentuk tipografi puisi sesuai dengan
keinginannya. Sebaliknya, ada juga
pelukis yang menambahkan kata-kata ke dalam lukisannya, seperti yang terjadi pada Zaini atau Herry Dim. Untuk puisi, kita
dapat menyebut Sutardji Calzoum
Bachri sebagai salah seorang penyair puisi konkret. Kemudian, apa yang
terbayang dalam benak kita ketika membaca puisi Akhudiat berikut ini:
( ( (plung) ) )
Puisi yang
dikonkretkan melalui gambar, yang dikenal dengan puisi konkret, memang bukan
hal yang baru. Di Amerika penyair E.E. Cummings pernah melakukannya, demikian
pula penyair Appolonaire di Prancis. Apabila kita kini belajar menulis puisi
konkret, tentu tujuannya bukan untuk membuat pembaharuan, melainkan untuk merangsang
dan mengembangkan imajinasi. Hal ini
dapat kita mulai, misalnya dengan membuat puisi tentang bunga, rumah, atau
benda konkret lainnya, kemudian tipografi dan kaligrafinya kita susun sehingga
serupa dengan objek yang kita jadikan bahan penulisan puisi.
e) Menulis Puisi Berdasarkan
Pengalaman Diri
Kita sering kali mendengar kata-kata, " Orang dapat
menulis puisi ketika sedang jatuh cinta", atau "Kesedihan akan
berkurang apabila dituangkan melalui puisi". Kata-kata tersebut, meskipun
belum tentu menghasilkan puisi yang bermutu
dari segi estetik, dapat Anda manfaatkan sebagai bahan berlatih dalam
menulis puisi. Terlebih-lebih,
manusia sebagai makhluk hidup tidak akan luput dari pengalaman, baik yang menyedihkan maupun yang
membahagiakan. Pengalaman itu tidak
perlu Anda tunggu sampai datang karena Anda dapat menghadirkan kembali pengalaman
yang telah lampau. Ketika Chairil Anwar ditinggal
nenek yang dicintainya, ia sangat sedih. Namun, kesedihan itu ia konpensasikan
menjadi kegiatan kreatif sehingga ia mampu menciptakan sajak berikut:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Beberapa cara latihan di atas
tampaknya masih umum sebab tujuannya sekedar merangsang imajinasi agar dapat berkreasi dengan menulis puisi. Namun, manfaatnya tak dapat diragukan sebab untuk
belajar menulis puisi tidak ada jawaban lain, seperti kata Saini K.M.,
kecuali..."Tulis!"
Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti
Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah
"dramaan". Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya
sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian,
dramatisasi puisi dapat berarti "mendramakan puisi". Dalam hal ini,
puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam konvensi
drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/
cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika kita akan
menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama yang harus kita
lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama pentas sehingga kita
mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang
benar.
Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan
tetapi, agar puisi itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah
apabila puisi tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam drama.
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi
puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan.
Sepintas memang tidak terdapat perbedaan
antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi musik.
Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun,
dapat juga pemusik menciptakan musik
dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum
menyusun partitur musiknya. Meskipun
demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik
lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut.
Dalam musikalisasi puisi tidaklah
demikian. Hal itu disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra. Dengan
demikian, dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah
puisi. Puisi harus tetap utuh. Di sinilah
kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap
karakter puisi yang digubah.
Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih selayaknyalah apabila
ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa muram dan sedih pula.
Contoh konkret musikalisasi puisi
sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup
Bimbo pernah menyanyikan lagu "Salju" yang bersumber dari puisi Wing Karjo atau "Sajadah Panjang"
yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah
mengkhususkan diri pada musikalisasi
puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang
sangat tepat untuk musikalisasi
adalah album kaset Hujan Bulan
Juni dan Hujan dalam
Komposisi yang diproduksi oleh Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus direkam untuk
kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi
Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi,
memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement).
Yang penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik
dengan puisi yang kita pilih sebagai
lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba
musikalisasi puisi, materi lomba
tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas.
Biarkanlah peserta lomba berkreativitas
untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik
pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana,
rebab, kecapi, gamelan, gong, dan
gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat
menarik pementasan musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai
Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib
adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, bukankah
unsur-unsur etnik atau warna lokal
juga merupakan bagian senyawa yang tak terpisahkan?
3.2 Ekspresi Prosa
Menulis Prosa
Menulis
buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki kompetensi
keterampilan menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan penting,
seperti agenda kerja atau agenda kegiatan sehari-hari. Hal itu merupakan
langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita lanjutkan dengan mencatat
peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari, atau pencurian. Peristiwa tersebut dapat kita
kembangkan dengan melibatkan imajinasi kita sehingga tokohnya diberi karakter tertentu, peristiwanya dijalin
lebih memikat, dan latarnya dirinci secara detil. Apabila kegiatan ini masih
dianggap sulit, kita dapat melakukan kegiatan menulis secara sederhana, yaitu
menarasikan pengalaman yang telah kita lakukan dari bangun tidur hingga ketika
akan tidur kembali.
Beberapa
kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita manfaatkan juga
untuk kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen. Kegiatan yang dimaksud
adalah mendeskripsikan objek konkret secara emotif dan menulis cerpen
berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali
menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau mitologi sebagai teks dasar
karyanya. Misalnya novel Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika zaman
revolusi kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin. Seno Gumira Ajidarma memunculkan
tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab
Omong Kosong, atau Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka, Puteri Sunda yang menjadi
martir dalam perang yang tidak seimbang antara Kerajaan Pajajaran dan
Majapahit, yang dikenal dengan Perang Bubat. Mari kita perhatikan salah satu
penggalan cerpen karya Putu Wijaya berjudul “Bisma”. Resi Bisma yang dalam
mitologi pewayangan dihormati, disegani, dan dijunjung tinggi oleh pihak Kurawa
dan Pandawa karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina, dalam novel tersebut
dimunculkan secara ganjil dan lucu.
Bisma bangkit dari tanah, udara dan
air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang
Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak
agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih
sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang
telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun, satu hal
yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawa bukanlah untuk menjiplak
karya yang sudah ada, melainkan untuk
mereaksi, menanggapi, atau melakukan
dialog dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan, cara
ini menarik minat para pakar sastra sehingga memunculkan kajian sastra dengan
menggunakan pendekatan resepsi sastra dan intertekstualitas.
Menulis prosa pun
dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi yang terdapat dalam sebuah
karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka
Kita harus mempehatikan hal-hal berikut.
1)
Tentukanlah tema cerpen berdasarkan persoalan yang Anda
kuasai, kemudian konkretkan tema tersebut dengan judul yang menarik dan
sesingkat mungkin, misalnya tidak lebih dari lima kata.
2)
Sadarilah bahwa cerpen yang konvensional selain
menyertakan judul dan pengarangnya harus juga dilengkapi aspek formal cerpen
lainnya, yaitu adanya narasi dan dialog tokoh.
3)
Kembangkanlah tema
ke dalam unsur-unsur cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh, dan
latar), sarana cerita (sudut pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4)
Padukanlah unsur-unsur cerpen dengan memperhatikan kaidah
alur, yaitu peristiwa disusun secara logis dan kronologis, menghadirkan
suspense ‘rasa ingin tahu’ membuat surprise ‘kejutan’ dan menjalin seluruh
unsur cerpen sehingga tampak utuh.
3.3 Ekspresi Drama
Beberapa
Pelatihan Menulis Naskah Drama
Dengan pengetahuan mengenai konvensi drama dan dengan ditambah keberanian, kita dapat memulai untuk menulis drama. Berikut ini merupakan pelatihan praktis yang dimodifikasi
dari Moody (1971: 88), yaitu
(1) menggali nilai-nila dramatik (dari drama yang
sudah ada), (2) menulis dialog imajiner, dan (3) menciptakan situasi dramatik
dari berbagai sumber.
a. Mengadaptasi, Menyadur, dan Memvisualisasi Drama yang sudah Ada
Drama yang tersedia di perpustakaan, di toko-toko buku, atau yang dijadikan bahan kurikulum di sekolah lebih banyak yang "enak"
untuk dibaca daripada dipentaskan. Hal itu
disebabkan tidak semua pengarang drama mengetahui
seluk-beluk teater atau pemanggungan, meskipun ketika mereka menulis drama, benaknya pasti berusaha untuk
memvisualisasi panggung. Keadaan ini mengakibatkan pihak yang
akan mementaskan drama, misalnya sutradara, perlu menyunting terlebih
dahulu naskah drama yang akan dipentaskan. Selain itu, antara drama
sebagai karya sastra di satu pihak dan teater di lain
pihak merupakan bentuk seni yang memiliki kekhasan masing-nasing. Dalam teater, naskah drama hanyalah salah satu unsur teater sehingga kretaivitas sutradara lebih penting daripada otonomi pengarang drama.
Anggap saja bahwa Anda adalah seorang sutradara yang akan mewujudkan sebuah
naskah drama ke dalam seni pertunjukan. Ada dua buah naskah drama yang menarik Anda, akan tetapi terdapat dua masalah yang belum
terpecahkan. Naskah pertama merupakan naskah terjemahan dari bahasa asing sehingga belum kontekstual. Naskah kedua
sedikit sekali mencantumkan kramagung atau petunjuk pentasnya sehingga
miskin dengan imajinasi visual. Bagaimana
cara memecahkan masalah ini? Agar kontekstual, naskah pertama dapat Anda adaptasi atau Anda sadur sesuai dengan konteks zaman dan tempat yang Anda inginkan dan naskah
kedua dapat dikonkretkan dengan lebih
memperjelas kramagungnya. Contoh pertama telah kita singgung pada saat membicarakan Rendra dengan drama Perampok-nya, sedangkan cohtoh kedua sering
kali dilakukan oleh sutradara dalam proses produksinya, yaitu dengan lebih mengkonkretkan naskah drama
dengan floo-rplan (penggambaran
arah gerak pemain) dan promp-tbook
(naskah yang sudah disunting
sesuai dengan keperluan pementasan).
b. Membuat Dialog
Imajiner
Latihan menulis pun dapat Anda lakukan dengan membuat dialog imajiner berdasarkan situasi dramatik yang sangat Anda kenal. Misalnya,
Anda membuat dialog antara dua pihak yang memiliki masalah atau konsep yang bertentangan: para buruh dengan majikannya, para
pemburu dengan pencinta lingkungan
hidup, para pedagang kakilima dengan petugas Tibum atau Satpol P.P., atau dapat
juga kita memecahkan persoalan yang
di tinjau dari dua sudut yang berbeda. Di media massa kadang-kadang terdapat rubrik yang berisi wawancara imajiner
dengan tokoh-tokoh yang sudah
meninggal, misalnya wawancara imajiner Christianto
Wibisono dengan Bung Karno. Wawancara itu dibuat karena pengarang (pewawancara)
sangat mengenal subjek yang dibicarakan. Dia tahu
betul siapa Bung Karno, apa gagasan dan filsafatnya.
c. Mendramakan
berbagai Sumber yang Mengandung Peristiwa Dramatik
Zaman kita kini
adalah zaman informasi. Apabila peristiwa kecil dan remeh dapat menarik karena dikemas secara apik dalam pemberitaannya, bagaimana dengan peristiwa besar, seperti jatuhnya
pesawat terbang, kudeta berdarah,
gempa bumi, dan meningganya kepala negara? Peristiwa-peristiwa seperti itu tentu dapat Anda jadikan bahan penulisan
drama. Dengan catatan, Anda mesti mampu melihat atau menemukan peristiwa
dramatik di dalamnya. Misalnya, apabila Anda
membaca berita mengenai jatuhnya pesawat terbang Adam Airi atau Garuda,
peristiwa dramatik dapat Anda buat dengan membayangkan bahwa Anda adalah bagian dari penumpang yang selamat,
atau ketika Anda membaca berita terhentinya pertandingan sepak bola
karena ulah penonton yang berlaku anarki,
Anda membayangkan bahwa Andalah trouble
maker-nya sehingga khawatir,
cemas, dan takut berkecamuk di dalam
dada.
Sumber pencarian peristiwa dramatik, tentunya tidak hanya berita dalam surat
kabar, majalah, atau televisi, namun segala sumber yang menarik Anda dan dipandang sebagai potensi dalam memunculkan
peristiwa dramatik. Misalnya, esai,
pledoi pengadilan, bahkan profil
seorang tokoh dapat mengandung peristiwa dramatik, terlebih-lebih jika orientasi kita pada pertunjukkan di atas
panggung. Sebagai bukti, kelompok teater di Jakarta, yaitu Teater SAE pernah
menampilkan drama berjudul Pertumbuhan di Meja Makan, yang
naskahnya bersumber dari berbagai tulisan di surat kabar; Wellem Pattirajawane,
seorang aktor dari Teater Kecil, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari
buku Indonesia Menggugat karangan
Bung Karno, Atau Adi Kurdi, aktor dari Bengkel Teater Rendra, pernah
menampilkan monolog yang bersumber dari profil dan keberanian Adi Andojo
sebagai hakim agung muda.
Namun, kita harus
kembali pada tujuan semula, yaitu berlatih menulis drama. Oleh sebab itu,
segala bahan yang dipilih dibaktikan agar Anda terampil menulis drama, misalnya
dengan mengemas bahan itu secara apik ke dalam dialog dan kramagung, yang
kemudian ditata kembali dalam adegan demi adegan serta babak.
BAB IV
RANGKUMAN
Sastra bukanlah seni bahasa belaka,
melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya
faktor yang menentukan adalah kenyataan
bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai
medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan
pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra
selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama.
Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Periodisasi
sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan
perkembangannya. Periodisasi sastra, selain berdasarkan
tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan
situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang
dijadikan objek karya kreatifnya.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya
menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan
dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat
hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam
karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar,
yakni (1) idealisme,
dan (2) materialisme.
Idealisme
adalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya.
Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan
bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran
idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme,
(b) simbolik,
(c) mistisisme,
dan (d) surealisme
Karya sastra menurut jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
Karya sastra menurut jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran
apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1)
Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya
bangsa. (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya
estetis melalui bahasa. (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran
sejarah, aliran, dan teori sastra. (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah
pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat
dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.
Adapun tujuan pembelajaran sastra
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: (1) dilihat secara umum, dan (2) dilihat
dari kurikulum yang digunakan di sekolah. Secara umum, tujuan pembelajaran
sastra adalah agar siswa: (a) memperoleh pengalaman bersastra, dan (b)
memperoleh pengetahuan sastra.
Tujuan untuk memperoleh pengalaman
bersastra dimaksudkan agar siswa memperoleh pengalaman berapresiasi dan
berekspresi sastra. Pengalaman tersebut dilakukan siswa dengan membaca hasil
karya sastra, mendengarkan pembacaan karya sastra, menonton pementasan sastra.
Jadi dalam hal ini siswa siswa mampu berekspresi sastra melalui pengekspresian
karya sastra. Kegiatan pengekspresian tersebut dapat dilakukan dengan cara:
menulis (puisi, cerpen, dialog), berdeklamasi, mementaskan drama, dll. Selain
itu juga bisa dilakukan dengan menulis surat kepada penulis hasil karya sastra
tersebut. Hasil kreasi atau karya sastra dapat dipakai sebagai media dalam
pembelajaran apresiasi sastra.
Ekspresi sastra adalah kegiatan
kreatif yang memungkinkan kita mendapatkan pengalaman artistik, baik
secara tertulis maupun secara lisan. Kegiatan ekspresi sastra secara tertulis
yang dapat kita lakukan adalah menulis karya sastra, seperti menulis puisi,
cerpen, dan naskah drama. Sementara itu, kegiatan ekspresi sastra secara lisan,
bahkan ragawi atau kinestetik adalah membaca puisi, rampak puisi, musikalisasi
puisi, dramatisasi puisi, membaca cerpen, paduan baca cerpen, dramatisasi
cerpen, mendongeng dengan bahan cerita rakyat, dan memainkan atau mementaskan naskah
drama.
Dalam kegiatan
ekspresi sastra secara tertulis, kita dapat memanfaatkan pengalaman yang kita
alami sendiri. Sebagai langkah awal, pengalaman tersebut dapat kita tuangkan ke dalam buku harian. Cara lain
adalah dengan menarasikan sepenggal kehidupan kita, mendeskripsikan pengalaman
secara emotif, atau melibatkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam sejarah,
mitologi atau karya sastra lainnya. Hal terakhir dilakukan bukan untuk menjiplak
karya yang sudah ada, bahkan banyak sastrawan yang melakukannya untuk
mereaksi, menanggapi, atau melakukan
dialog dengan karya-karya sebelumnya, yang dalam ilmu sastra dapat dijadikan
bahan kajian resepsi sastra dan intertekstualitas.
Dalam kegiatan
ekspresi sastra secara lisan, kita dapat memanfaatkan dasar-dasar bermain drama
sebagai sarana untuk meningkatkan peralatan suara dan anggota tubuh kita hingga
mampu membaca puisi dan cerpen dan
terampil dalam memainkan sebuah naskah drama. Namun, sebelum berlatih
dasar-dasar drama, kita dapat meningkatkan daya apresiasi dan ekspresi kita
secara optimal dengan empat teknik membaca, yaitu membaca dalam hati, membaca
nyaring, membaca kritis, dan mudah-mudahan akhirnya kita sampai pada tujuan
yang kita cita-citakan, yaitu mampu membaca karya sastra secara puitis dan
estetis.
BAB V
PENILAIAN
5.1 Soal Latihan
Untuk memantapkan
pemahaman Anda terhadap materi bahan ajar kesusastraan, jawablah
pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1.
Jelaskan pengertian sastra!
2.
Sebutkan periodisasi sastra menurut H.B. Jassin!
3.
Jelaskan pengertian aliran romantik idealisme dan berilah
contoh karya sastra yang dipengaruhi aliran tersebut!
4.
Sebutkan dan jelaskan genre sastra Indonesia!
5.
Jelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen!
6.
Jelaskan fungsi bahasa dalam karya sastra!
7.
Jelaskan karakteristik
drama!
8. Tulislah sebuah puisi
dengan tema bebas, yang bersumber dari peristiwa menyedihkan atau menyenangkan yang pernah
Anda alami!
9. Tulislah sebuah cerpen
dengan tema bebas, yang melibatkan tokoh-tokoh yang pernah Anda kenal, baik
dalam sejarah, karya sastra, maupun dalam kehidupan sehari-hari!
10. Tulislah sebuah naskah
drama pendek dengan tema bebas, yang bersumber dari cerpen, legenda, atau film
yang pernah Anda tonton!
5. 2 Kunci Jawaban
- Sastra adalah bentuk seni yang dilahirkan dari keindahan penggunaan bahasa, keaslian gagasan yang diungkapkan, dan kedalaman pesan yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis.
2. Periodisasi
sastra menurut H.B. Jassin. H.B.Jassin
mengelompokkan sastra Indonesia atas dua periode, yaitu:
a) periode
sastra Melayu Lama
b)
periode sastra Indonesia Modern. yang
terdiri atas empat angkatan, yaitu (1) Angkatan
Balai Pustaka;
(1) Angkatan
Pujangga Baru;
(2) Angkatan ’45;
(3) Angkatan ’66.
- Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan . Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realisme mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
- Tiga genre sastra Indonesia, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah
Puisi
adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang
disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun
dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Prosa
merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang
bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alinea-alinea,
dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan
rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku cerita,
dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan.
Bentuk ini terbagi atas kategori cerita
pendek, novelet, dan novel.
Drama
adalah Karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog para tokohnya berisi cerita atau tiruan perilaku
manusia dengan tujuan untuk dipentaskan.
5. Unsur-unsur intrinsik cerpen adalah tema, tokoh/
penokohan, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
6. Fungsi bahasa dalam karya sastra adalah sebagai
berikut.
Fungsi emotif
mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan
gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap
penyair.
Fungsi referensial
mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan
gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan.
Fungsi puitik
yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam
lambang kebahasaan itu sendiri.
Fungsi fatis,
mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi
juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan guna menciptakan kesan
keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam
komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu
penanggapnya.
7.Karakteristik
karya sastra drama adalah:
- Drama memiliki dua aspek esensial, yaitu aspek cerita dan aspek pementasan;
- Drama memiliki tiga dimensi, yaitu sastra, ujaran, dan gerak.
Rubrik
penilaian (untuk soal no. 8, 9, dan 10)
Soal nomor 8
(menulis puisi) dapat mengikuti rubrik penilaian sebagai berikut:
Aspek
|
Kriteria dan Skor
|
|||
25
|
20
|
15
|
10
|
|
Kelengkapan aspek formal cerpen
|
Memuat
1) judul
2) nama
pengarang
3) dialog
4) narasi
|
Hanya memuat tiga subaspek
|
Hanya memuat dua subaspek
|
Hanya memuat satu subaspek
|
Kelengkapan unsur intrinsik cerpen
|
Memuat
1) fakta cerita (plot, tokoh, dan latar)
2) sarana cerita (sudut
pandang, penceritaan, gaya bahasa, simbolisme, dan ironi),
3) pengembangan tema yang relevan
dengan judul
|
Memuat ketiga subaspek, namun tidak lengkap (misalnya, fakta cerita hanya
memuat plot dan tokoh, tanpa disertai latar yang jelas)
|
Hanya memuat dua subaspek
|
Hanya memuat satu subaspek
|
Keterpaduan unsur/struktur cerpen
|
Struktur disusun dengan memperhatikan
1) kaidah plot (kelogisan, rasa
ingin tahu, kejutan, dan
keutuhan) dan penahapan plot
(awal, tengah, akhir)
2) dimensi tokoh
(fisiologis, psiklogis, dan sosiologis
3) dimensi latar (tempat,
waktu dan sosial)
|
Memuat ketiga subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat dua subaspek
|
Hanya memuat satu subaspek
|
Kesesuaian penggunaan bahasa cerpen
|
Menggunakan
1) kaidah EYD
2) keajekan penulisan
3) ragam bahasa yang disesuaikan dengan dimensi
tokoh dan latar
|
Memuat ketiga subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat dua subaspek
|
Hanya memuat satu subaspek
|
Soal nomor 9
(menulis cerpen) dapat mengikuti rubrik penilaian sebagai berikut:
Aspek
|
Kriteria dan Skor
|
|||
25
|
20
|
15
|
10
|
|
Kelengkapan aspek formal
cerpen
|
Memuat
1) judul
2) nama pengarang
3) dialog
4) narasi
|
Hanya
memuat tiga subaspek
|
Hanya
memuat dua subaspek
|
Hanya
memuat satu subaspek
|
Kelengkapan unsur intrinsik
cerpen
|
Memuat
1) fakta cerita
(plot, tokoh, dan latar)
2) sarana cerita (sudut pandang, penceritaan,
gaya bahasa, simbolisme, dan ironi),
3) pengembangan tema yang relevan dengan judul
|
Memuat
ketiga subaspek, namun tidak lengkap (misalnya, fakta cerita hanya memuat
plot dan tokoh, tanpa disertai latar yang jelas)
|
Hanya
memuat dua subaspek
|
Hanya
memuat satu subaspek
|
Keterpaduan unsur/struktur
cerpen
|
Struktur
disusun dengan memperhatikan
1)
kaidah plot (kelogisan, rasa ingin
tahu, kejutan, dan keutuhan) dan
penahapan plot (awal, tengah,
akhir)
2) dimensi tokoh (fisiologis, psiklogis, dan
sosiologis
3) dimensi latar (tempat, waktu dan sosial)
|
Memuat
ketiga subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya
memuat dua subaspek
|
Hanya
memuat satu subaspek
|
Kesesuaian penggunaan bahasa
cerpen
|
Menggunakan
1)
kaidah EYD
2)
keajekan penulisan
3)
ragam bahasa yang disesuaikan dengan dimensi
tokoh dan latar
|
Memuat
ketiga subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya
memuat dua subaspek
|
Hanya
memuat satu subaspek
|
Soal nomor 10
(menulis naskah drama) dapat mengikuti rubrik penilaian sebagai berikut:
Aspek
|
Kriteria dan Skor
|
|||
5
|
4
|
3
|
2
|
|
Kelengkapan aspek formal
drama
|
Memuat
1)
judul,
2)
informasi tokoh,
3)
kramagung dan wawancang,
4)
pembagian babak, dan
adegan
|
Hanya memuat empat
subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat tiga
subaspek
|
Hanya memuat satu
aspek
|
Kelengkapan unsur intrinsik
|
Memuat
1) fakta cerita (plot, tokoh, dan
latar)
2) sarana cerita (sudut pandang
penceritaan, gaya bahasa,
simbolisme, dan ironi),
3) pengembangan tema
|
Memuat ketiga
subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat dua
suaspek
|
Hanya memuat satu
subaspek
|
Keterpaduan unsur/struktur
|
Struktur disusun
dengan memperhatikan
1) kaidah dan
penahapan plot,
2) dimensi tokoh
3) dimensi latar
|
Memuat ketiga
subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat dua
subaspek
|
Hanya memuat satu
subaspek
|
Kesesuaian penggunaan bahasa
|
Menggunakan
1) kaidah EYD
2) keajekan
penulisan
3) ragam bahasa yang
disesuaikan
dengan dimensi tokoh
|
Memuat ketiga
subaspek, namun tidak lengkap
|
Hanya memuat dua
subaspek
|
Hanya memuat satu
subaspek
|
Skor tertinggi: 20
(untuk mencapai nilai 100, nilai yang dicapai siswa dikalikan 5)
DAFTAR PUSTAKA
Anirun, Suyatna. 1979. Tehnik Pemeranan. Diktat. Bandung: Studiklub Teater Bandung.
Atmojo, Kemala. 1992. "Saya
selalu Takut". Wawancara dengan Arifin C. Noer. Matra. No. 71.
Hadimadja, Aoh K. 1972. Aliran Klasik, Romantik, dan Realisma.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Harymawan, RMA.1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.
Jassin, H.B. 1981. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta:
Gunung Agung.
Luxemburg, Jan Van dkk, 1986. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick
Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Moody, H.L.B. 1971. The
Teaching of Literature. London: Longman Group LTD.
Padmodarmaya, Pramana. 1990.
Pendidikan Seni Teater Buku Guru Sekolah Dasar . Jakarta: Depdikbud.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran
Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta
Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran
Sastra. Bandung : Gunung Larang.
_________. 1996. Peristiwa Teater. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
_________. Tanpa Tahun. “Analisis Naskah Drama.” Kertas Kerja.
S. Effendi. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Soelarto, B. 1985. Lima Drama.
Jakarta: Gunung Agung.
Stanislavski. 1980. Persiapan Seorang
Aktor. Terjemahan Asrul Sani.
Jakarta: Pustaka Jaya .
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992. “Drama sebagai Seni
Sastra dan Pertunjukan” dalam Mimbar
Pendidikan Bahasa dan Seni No. XVIII.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan (Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia
Zaidan, Abdul Razak. 2000. Kamus
Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
GLOSARIUM
apresiasi sastra
|
kegiatan
menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra
|
drama
|
ragam
satra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertujukkan di atas pentas.
|
dramatisasi puisi
|
mendramakan
puisi; mengubah teks puisi menjadi teks drama
|
dramatisasi cerpen
|
mendramakan
cerpen; mengubah teks cerpen menjadi teks drama
|
dialog
|
kata-kata
atau kalimat yang diucapkan oleh tokoh dalam sebuah drama
|
ekspresi sastra
|
segala kegiatan yang memungkinkan kita mendapatkan pengalaman artistik sastra yang
diungkapkan baik secara lisan, tertulis, dan ragawi
|
mendongeng
|
menuturkan
cerita rakyat baik dengan kata-kata
sendiri, maupun dengan cara menghafalnya
|
musikalisasi puisi
|
menggubah puisi menjadi sebuah
lagu dengan mempertimbangkan keselarasan antara karakter puisi dan musik yang
mengiringinya
|
paduan baca cerpen
|
membacakan
cerpen secara padu sehingga menimbulkan suara yang indah dan sesuai dengan
isi dan karakter cerpen
|
rampak puisi
|
membacakan
puisi secara serempak atau secara padu sehingga menimbulkan suara yang indah
dan sesuai dengan isi dan karakter puisi
|
thanks info'x gan, bermanfaat sekali bagi saya ..
BalasHapus