A.
Pengertian
Pergaulan
Kata
pergaulan identik dengan kata “gaul”
mengulas tentang kata gaul pada pradaban kejayaan romawi ada suku yang bernama
suku gaul yang pada waktu itu bangsa gaul menjadi budak kaum romawi, konon
katanya mereka diberi nama bangsa gaul dikarnakan mereka memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda dengan bangsa atau suku lainnya, yang dimana mereka
lebih cendrung memiliki sifat afatisme dan hedonisme yang artinya mereka akan
melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Akan tetapi sikap persekawanan yang mereka miliki sangat disambut mesra oleh bangsa
atau suku lainnya karna mereka memiliki sifat persekawanan yang kuat, salah
atau benar sesuatu itu mereka tetap memperjuangkannya. Mengingat tentang
perjuangan atau pemberontakan kaum Sparta dari belenggu perbudakan dimana
keprcayaan bangsa gaul diberikan oleh kaum Sparta untuk mencapai kebebasan dari
belenggu perbudakan, walaupun pada waktu itu kepercayaan orang Sparta terhadap
bangsa gaul terpecah dikarenakan adanya bangsa gaul yang lainnya menjadi
penghianat atau dengan kata lain lebih memilih menjadi pengikut bangsa romawi
akan tetapi tidak mengendurkan semangat perlawanan mereka. Setelah transisi
masa pradaban modern seirirng dengan majunya teknologi mulailah bermunculan berbagai jenis fasion
sebagai bentuk pengejawantahan ekspresi pergaulan. Sekilas penjelasan dari
argumentative diatas dapat ditarik sebuah benang merah pergaulan yang artinya menjunjung tinggi kebersamaan, persekawanan,
dan persaudaraan
Sekilas
tentang penjelasan sejarah pergaulan di ala eropanya, pergaulan dalam arti
masyarakat pribumi intraksi antara sesama dengan maksud untuk membangun hubungan emosional. Akan tetapi
pengertian pergaulan telah menyimpang dari perbuatan para remaja masa kekinian,
kebanyakan diantara para remaja menganggap bahwa pergaulan yang mereka maksud
adalah identik dengan tata penggunaan bahasa
maupun fasion, merka beranggapan
siapa yang tidak tau berarti tidak modern, sebagai contoh kata LO dan GUE
padahal dalam ejaan bahasa Indonesia yang baku tidak ada kata LU dan GUE, hal
inilah yang terkadang menimbulkan kebingungan dalam konteks kehidupan
masyarakat.
Bila kita
ingin bercermin dikonteks ala eropa pergaulan merka jadikan sebagai alat untuk
mencapai suatu tujuan. Sebagai contoh terjadinya revolusi prancis disaat
ditemukannya mesin uap, sehingga majunya peradaban ala eropa dikarnakan karna
adanya dukungan social. Hal inilah yang seharusnya menjadi cerminan bagi para
kaum remaja adanya penemuan karna adanya inspirasi dan dukungan social sehingga
adanya kebebasan dalam berpikir. Bukannya berpikir afatisme yang cendrung ingin
melakukan kesenangan toh saja yang biasanya orang seperti ini tidak pernah
mengalami kemajuan karna hanya memikirkan kesenangan toh saja, begitu pula
dengan bersikap naïf yang cendrung hanya memikirkan diri sendiri biasanya orang
seperti ini hanya memikirkan dirinya toh saja, tanpa harus melihat status.
Dari apa
yang diuraikan diatas dapat disimpulakan pergaulan adalah sebagai bentuk
intraksi dengan tujuan membangun statu kebersamaan, persaudaraan dan
persekawanan.
B. Remaja
1.
Pengertian Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa.Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan
sosial budaya setempat.MenurutWHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan
usia remaja adalah 12 sampai 24tahun.Sedangkan dari segi program pelayanan,
definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang
berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu, menurut BKKBN
(Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja
adalah 10 sampai 21 tahun.
Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan
baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah
(Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah
psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002).
Masa remaja adalah
masa yang sangat menentukan bagi diri individu, karena pada masa ini remaja
mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Perubahan kondisi kejiwaan
menyebabkan remaja mudah melakukan perilaku yang menyimpang dari aturan dan
nrma sosial yang berlaku di masyarakat. Keadaan tersebut muncul karena pada
masa ini remaja sedang dalam pencarian jati diri (Sabri, 1993).
Dari uaraian diatas
dapat disimpulkan remaja adalah masa transisi kanak-kanak menuju dewasamulai
pada 10 tahun sampai 19 tahun dan belum berstatus kawin dengan diiringi pola
perubahan prilaku baik emosi, tubuh, minat, juga mampu mengatasi
masalah-masalahnya.
2.
Factor-faktor yang mempengaruhi
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara
pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar.
Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk
ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam
memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang
berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);
dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut
merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan.
Pada anak lelaki, Luteinizing hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell
Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut
di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat
menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu
terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak
lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang
berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan
berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia
remaja.
2.
Dimensi kognitif
Perkembangan
kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan
kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan
operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para
remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah
yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian
rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif
pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir
multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa
adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya
dengan
pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan
menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan
operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan
lingkungan sekitar mereka. Pada kenyataan, di negara-negara berkembang
(termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang
belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal
ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu
operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana
dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja
diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode
belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan
cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh
orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga
anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan
usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap
pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa
berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi
terbaik.
3.
Dimensi
Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai
bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978)
menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam
menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya:
politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima
hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka
selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang
ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja
akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan
hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para
remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini
diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam
melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi
lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik
dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral
reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya
kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang
seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi
itu tidak baik.
Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa
dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin
korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan
menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini
lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan
keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang
ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar
jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis,
apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam
memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri
remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan
alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik.
Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku
akan membuat yang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban
di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya
jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan
dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai
menajam.
4.
Dimensi
Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada
masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian
di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa
remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar
biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam
untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat,
hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal
kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap
pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi
atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri
mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka
dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat
unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan
ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia
percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra
akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan
“hebat”.
Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan
berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada
saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia
tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya.
Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian
menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan
realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan
kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba
mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari
perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka
tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka
panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan
mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih
percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa
tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan
jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif
pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan
orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana
menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan
berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang
akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu.
( Kaplan dan Sadock, 1997 ). Pemilihan
idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja Dari beberapa dimensi
perubahan yang terjadi pada remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka
terdapat kemungkinan – kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini.
Diantaranya adalah perilaku yang
mengundang resiko dan berdampak negative pada remaja. Perilaku yang mengundang
resiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan alcohol, tembakau dan zat
lainnya;
aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang gantung.
aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang gantung.
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
1.
Pendidikan
Dan Jenis penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu
jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya (Corbin dan Strauss, 2003) dan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor, 1993). Denzin dan
Lincoln (Salam, 2006) mengemukakan bahwa kualitatif menekankan pada proses dan
makna yang tidak diuji atau diukur dengan setepat-tepatnya, dalam
istilah-istilah kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensi. Penelitian
kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang
tidak diperoleh oleh alat-alat statistik atau alat-alat kuantifikasi lainnya.
Konsep tersebut menekankan bahwa penelitian kualitatif ditandai oleh penekanan
pada penggunaan non-statistik khususnya dalam proses analisis data sehingga
suatu temuan penelitian secara alamiah.
B.
Waktu
Dan Tempat Penelitian
1.
Waktu
Waktu diadakan penelitian ini adalah pada hari sabtu
tanggal 19 November 2012
2.
Tempat
Tempat diadakan penelitian ini adalah berangkat dari
sebuah inisiatif kedaerahan peneliti mencoba mengamati setiap remaja yang mengalami pengaruh dampak
pergaulan bebas.
C.
Populasi
Dan Sampel
1.
Populasi
Menurut
Suharsimi Arikunto, bahwa populasi adalah :
KeseIuruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua
elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan
penelitian populasi. Studi atau penelitiannya juga disebut populasi atau studi
kasus
Berdasarkan pengertian tersebut, maka populasi dalam penelitian ini
adalah anak-anak yang mengalami dampak pengaruh televise.
2.
Sampel
Sutrisno
hadi mengemukakan bahwa sampel adalah "sebagian dari populasi disebut
sampel, se.jumlah penduduk jumiahnya kurang dari populasi".
Oleh karena besarnya subjek dalam populasi, maka sampel dalam penelitian ini
adalah anak-anak yang mengalami dampak pengaruh televise.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data tersebut diperoleh dengan
menggunakan tehnik sebagai berikut:
1. Observasi
Pengambilan
data berupa informasi mengenai situasi belajar mengajar yang menyangkut
aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Observasi dilakukan dengan
menggunakan pedoman yang di dalamnya sudah tertera indikator – indikator yang
akan diamati.
2. Tes
Pengambilan data berupa
informasi mengenai penguasaan siswa terhadap materi bidang studi IPA yang
dilakukan dengan cara pemberian soal-soal. Tes ini dilakukan pada akhir setiap
tindakan. Hasil dari tes ini berupa skor yang diperoleh siswa.
3. Dokumentasi
Tehnik ini dilakukan dengan
tujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi belajar
mengajar berupa foto-foto.
apakah Remaja dengan Pemuda sama ya? jika ada perbedaan kira-kira berapa umur Pemuda?
BalasHapusDan jika sama, tolong tuliskan arti dari Remaja dan pemuda itu sendiri.... karena melalui pengertian kata tersebut kita bisa membedakannya..... dan sebenarnya mulai umur berapa disebut pemuda? karena menurut buku yang saya baca, bahwa umur Pemuda itu dimulai dari 18-25 tahun... makanya saya memberikan komentar ini,, karena dipenjelasan penulis karya ini mencatat 10-19 tahun,,, bagaimana dengan pernyataan saya tentang umur pemuda?
BalasHapusREMAJA menurut ala pandangan WHO adalah berpandangan bahwa manusia dikategorikan remaja apabila telah melalui tahap bayi dan kanak-kanak yang dimana diantaranya telah mencapai umur 10-11 thn dan pemuda adala apabaila telah melewati pra remaja dalam kategori tahap dewasa atau berumur 10-30 thn atau dalam versi bahasa islam aqil balik sedangkan pemuda menurut pandangan radikalisme adalah spirit perjuangan yang melekat pada karakter seseorang,produktifity,emosional,radikal, dan revolusioner itulah kejiwaan seorang pemuda. kata pemuda tidak mengenal tua maupun muda, yang tuapun bisa dikategorikan pemuda apalagi yang muda. berangkat dari definisi diatas kata remaja dan pemuda dalam versi pandangan WHO DAN RADIKAL jelas memiliki perbedaan yang signifikan.
BalasHapussebenarnya tergantung penilaian dari sudut pandang seseorang dalam memberikan defenisi antara kedua redaksi kata remaja dan pemuda.
sebenarnya tidak sulit membedakan cuman krn kita adalah manusia yang berpikir sehingga kita membuatnya menjadi rumit. dan dari pertanyaan anda saya mencoba memprediksi bahwa anda adalah sosok seorang yang berada pada tahap pemuda kalau kita berangkat dari definisi pandangan ala WHO.
maaf sebelumnya karna saya baru membalas komentar anda, tanks sobb atas kunjungan dan komentarnya!!!!!!