KELEBIHAN DAN KELEMAHAN SISTEM DEMOKRASI
Kelebihan sistem demokrasi selanjutnya adalah
stabilitas dan tanggung jawab pemerintah yang hanya akan stabil apabila hal ini
di dukung oleh public. Selanjutnya adalah pendidikan politik rakyat dimana
rakyat akan selalu berperan serta dalam menyampaikan aspirasi mengenai berbagai
kebijakan demi menciptakan kesadaran di kalangan masyarakat.
Kelebihan sistem demokrasi lainnya
adalah sedikitnya peluang revolusi, pemerintahan akan menjadi lebih stabil,
sistem demokrasi akan dapat membantu masyarakat untuk menjadi warga Negara yang
baik, dan hal ini juga di dasarkan oleh opini atau pendapat dari masyarakat
umum
Ada beberapa kelebihan dari
sistem politik yang di anut Indonesia antara lain:
1. Warga
negara bisa terlibat dalam hal-hal tertentu seperti pembuatan keputusan-keputusan
politik,baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih.
2. Warga
negara memiliki kebebasan atau kemerdekaan menyangkut hak-hak kebebasan yang
telah mencakup dalam hak asasi manusia (seperti hak politik,ekonomi,kesetaraan
di depan hokum dan pemerintahan,ekspresi kebudayaan,dan hak pribadi).
3. Masyarakat
yang telah memenuhi syarat tertentu memiliki hak untuk berpartisipasi dalam
pemilihan pemerintahan (pemilu).
4. Penduduk
memilih secara rahasia tanpa ada unsure paksaan.
5. Pengambilan
keputusan di lakukan dengan cara bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
6. Mengutamakan
persatuan nasional dan kekeluargaan
7. Selalu menghargai dan melindungi hak-hak asasi
manusia
8. Demokrasi ini selalu menghendaki adanya persamaan
hak dan kewajiban sehingga dalam setiap melakukan proses politik yang berlaku
di Negara Indonesia melibatkan seluruh pelaku Negara termasuk setiap warga
Negara, seperti dalam pemilihan umum.
9. Selalu menjunjung tinggi hokum
Sistem ini selalu menghendaki suatu pemerintahan yang benar-benar menjunjung
tinggi hukum (rechtstaate) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaate).
Dengan demikian, segala tindakan atau kebijaksanaan harus berdasarkan pada
hokum yang berlaku. Hal ini menghapus kewenangan politik secara semena-mena
sehingga membuat masyarakat lebih lancar melibatkan diri dalam proses politik
di dalam berbangsa bernegara.
10. Menghendaki proses politik secara musyawarah dalam
pengambilan keputusan
Hal ini memang sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan di Indonesia,
sehingga politik di dalam suatu negara tidak menimbulkan perselisihan apalagi
dalam perebutan kekuasaan pemerintahan. Musyawarah ini harus diliputi oleh
semangat kekeluargaan.
11. Bebas, terbuka dan jujur untuk mencapai konsensus
bersama
Hal ini menjadi penyaluran pemikiran politik dari masyarakat sehingga
tidak tertutup kemungkinan jika politik pemerintahan dikritik masyarakat itu
sendiri.
12. Mengungkapkan seperangkat norma
Menghambat politik tak bertanggungjawab sebagai substansi dari
norma-norma dan kaidah-kaidah yang menjadi pembimbing dan kriteria dalam
mencapai tujuan kenegaraan.
Kelebihan dari sisi lain system
pemerintahan Indonesia, Sistem
Pemerintahan Indonesia menganut Sistem
Pemerintahan Presidensial. Dalam Sistem
Pemerintahan Presidensial di Indonesia, Presiden memiliki posisi yang
relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan begitu saja seperti misalkan rendahnya
dukungan politik tidak akan membuat presiden dapat dilengserkan karena alasan
tersebut. (read more: Sistem
Pemerintahan Indonesia, Sistem
Pemerintahan Presidensial). Hal tersebut bisa menjadi suatu Kelebihan
ataupun Kekurangan dalam Sistem
Pemerintahan Indonesia.
Kelebihan Sistem
Pemerintahan Indonesia:
- Pengaruh
rakyat terhadap politik yang dijalankan sangat besar sehingga suara rakyat
sangat didengarkan oleh parlemen
- Dengan
adanya parlemen sebagai perwakilan rakyat maka pengawasan pemerintah dapat
berjalan dengan baik
- Pembuat
kebijakan bisa ditangani secara cepat sebab gambang terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif & legislatif. Hal ini disebabkan kekuasaan
eksekutif & legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
- Sistem
pertanggungjawaban dalam pembuatan dan juga pelaksanaan kebijakan publik
sangat jelas.
- Badan
eksekutif (presiden) akan lebih stabil kedudukannya karena tidak
tergantung pada parlemen.
- Masa
jabatan badan eksekutif (presiden) mempunyai jangka waktu tertentu. Masa
jabatan Presiden Indonesia adalah 5 tahun.
- Penyusun
Program Kerja Kabinet akan lebih mudah karena dapat disesuaikan dengan
jangka waktu semasa mereka menjabat.
- Legislatif
bukan tempat kaderisasi calon jabatan eksekutif karena badan legislatif
dapat diisi oleh orang luar bahkan anggota parlemen pun dapat masuk dalam
badan legislatif.
Kelemahan sistem politik yg dianut Indonesia :
·
Kekerasan
Politik Dalam Penerapan Prinsip Demokrasi di Indonesia
Demokrasi sebagai
sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa atau
demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi,
demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara
kebangsaan (nation state). Artinya demokrasi memiliki hakikat nasionalisme
secara menyeluruh dan bukan sebuah pemahaman nasionalisme dalm arti sempit
(baca; chauvinisme) yang berpotensi melahirkan kekerasan politik di sebuah
negara Demokrasi.
Huntington secara
menarik menamakan perkembangan demokrasi di negara modern (negara bangsa)
dengan istilah Gelombang Demokrasi atau gelombang demoratisasi, yang menunjukan
fenomena transisi di sejumlah negara dari rezim non-demokratis (otoriter) ke
rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kuruk-kurun waktu tertentu dan
jumlahnya sangat signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah yang
sebaliknya. Dengan analisis gelombang demokrasi yang lebih empirik, Huntungton
melihat bahwa demokratisasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal,
yakni:
1.
Berakhirnya sebuah rezim yang otoriter,
2.
Dibangunnya sebuah rezim demokratis,
3.
Pengkonsolidasian rezim demokratis.
Tampak
sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan demokratisasi secara empirik
berhadap-hadapan dengan sistem politik yang otoriter untuk mengetahui seberapa
jauh perkembanagn terbaik dari dua kecendrungan yang bertentangan secara
diametral itu. Analisis tentang demokrasi memang menjadi sangat jelas dan
bersifat empirik manakala dikaitkan dengan kondisi dan sistem politik yang
berada diseberangnya, yakni sistem poltik otoriter.
Gelombang
baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan uoaya melakukan
dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal dengan pemikiran
tentang “democracy without adjectives”, demokrasi kerakyatan, demokrasi
parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata sifat lainnya, selain
mereduksi sifay universalitas demokrasi juga pada saat bersamaan merupakan
pembatasan-pembatasan terhadap praktik demokrasi yang sesungguhnya. Setiap kata
sifat sering kali digunakan oleh pihak penguasa untuk memnatasi pelaksanaan
demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga demokrasi kehilangan fungsi dalam
aktualisasi kehidupan suatu sistem politik di suatu bangsa dan negara. Penguasa
di beberapa negara otoriter bahakan seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat
itu untuk mengebiri demokrasi dan tegaknya kedaultan rakyat.
Demokrasi
sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa
atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi,
demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara
kebangsaan (nation state).Setiap rezim memang selalu memerlukan conflicts dan
management of conflicts. Kedua hal tersebut diyakini penguasa sangat dibutuhkan
untuk menumbuhkan demokrasi. Namun yang lebih sering terjadi justru hal
tersebut direkayasa untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu persoalan,
sekaligus juga menempatkan sang penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan
pertikaian tersebut.
Para
operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow boxing hanya
untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun celakanya bagi
masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai berhala, yang
kemudian mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk dengan melakukan
pembenaran terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan sekalipun. Hal ini tidak
berati kita harus menggugat elite politik sebagai pelaku dan penanggungjawab
utama kekerasan politik yang selama ini terjadi di masyarakat. Ini hanya
sekilas catatan untuk menunjukan apa yang terhilang dari analisis sosial yang
terlanjur menonjol dalam masyarkat.
Dalih
yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari sebuah
proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah sempit seperti
yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki
tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan
pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan
berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi,
pemilihan yang sama, bebas, rahasia atas dasar nilai dua alternatif, dimana
para wakil dipilih untuk waktu terbatas
Demokrasi
sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa pada
tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah poko yang
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah negara
oleh karena kebijaksanaan tersebut menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun
pada umumnya pengertian demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi
karena di dalamnya meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting,
namun pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip
ini telah menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.
Adanya
berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu menunjukkan pula
beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada negara yang memberikan
peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang melalui sistem
pluralisme-liberal, dan ada juga yang sebaliknya negara yang memegang dominasi
yang jauh lebih besar daripada rakyatnya. Studi politik tentang Dunia Ketiga
yang umumnya memperlihatkan lebih dominannya negara daripada peranan rakyat
telah melahirkan berbagai konsep yang dimaksudkan sebagai alat pemahaman bagi
realitas tersebut. Berbagai uapaya pemahaman dengan memberikan pijakan teoritis
itulah telah menunjukkan betapa di negara Indonesia telah terjadi hubungan
tolak-tarik antara negara dengan masyarkat dalm memainkan peranannya.
Penting
kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan demokrasi,
serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mampu mengatur agar simbol-simbol
kekerasan tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang
terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol
dan menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk
mengembangkan demokrasinya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.
Namun,
kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya public podium
yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di Tanah Air.
Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat
cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme. Kecenderungan
semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok
dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan
masyarakat berubah menjadi arena kekerasan politik.
Setidaknya
ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan struktural dan
kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik dipahami
sebagai hasil hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para pelaku
tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai imperatif struktural yang
terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang berprilaku selaras
dengan-atau fungsional terhadap sistem.
Menurut
Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar persoalan
munculnya kekerasan politik :
Pertama,
kekerasan politik tersebut merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat,
khususnya pendukung OPP tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan kurang
adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan
dengan wewenang strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah
untuk menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara
dialogis dan beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan
kekuasaanlah yang dipakai untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan
yang bersengketa atau berbeda kepentingan.
Kedua,
cara-cara kekerasan politik tersebut ditempuh karena para pelaku menilai bahwa
institusi-institusi demokrasi tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan
berbagai kepentingan politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok
yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi
politiknya melalui cara-cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi
perjuangan politik kemudian dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara
kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar